Anda di halaman 1dari 59

INTERVENSI KOMBINASI TERAPI LINGUISTIK DAN AAC TERHADAP

KEMAMPUAN FUNGSIONAL KOMUNIKASI PASIEN STROKE DENGAN


AFASIA BROCA DI MAKASSAR

BAB I
IDENTIFIKASI DAN INTERVENSI BAHASA
PENDERITA STROKE ISKEMIK:
Suatu Pendekatan Neurolinguistik

1 PENDAHULUAN

Salah satu gangguan ekspresi verbal yang banyak ditemui kasusnya


dalam kehidupan adalah yang dialami oleh penderita stroke, yaitu masalah
kesehatan yang disebabkan oleh karena tersumbat atau pecahnya aliran
darah di otak. Apabila fungsi bahasa pada otak terganggu, terjadilah

gangguan berbahasa (language disorder). Berbagai gangguan berbahasa


dapat dikaji secara neurolinguistik dengan memerhatikan akibat kerusakan
sistem saraf melalui cacat bahasa (Gresham, et al., 1995, National Institute
on Deafness and Other Communication Disorders, 2008).
Gangguan berbahasa pascaserangan stroke dikenal dengan sebutan
afasia. Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan
formulasi simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang dapat
memengaruhi distribusi kerja struktur subkortikal dan kortikal hemisfer
(Berthier, 2005). Diperkirakan

sekitar 21%-38% pasien stroke akut dapat

mengalami afasia (Salter, Jutai, Hellings & Teasell, 2006). Afasia terjadi akibat
cedera otak atau proses patologik stroke, perdarahan otak dan dapat muncul
perlahan pada kasus tumor otak pada lobus frontal, temporal atau parietal
yang mengatur kemampuan berbahasa yaitui area Broca atau Wernicke dan
jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak
pada hemisfer kiri otak dan pada umumnya bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa (Kirshner, 2009; Price & Wilson, 2006).
Beberapa bentuk afasia mayor menurut Smeltzer & Bare, 2008;
Lumbangtobing, 2011 adalah afasia sensoris (Wernicke) motorik (Broca) dan
Global. Afasia sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan girus
temporal superior, yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa
lisan dan bila menjawab ia pun tidak mampu mengetahui jawabannya salah.
Pada afasia motorik terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal
yang ditandai dengan kesulitan dalam mengoordinasikan pikiran, perasaan,

dan kemauan menjadi simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam
bentuk ekspresi verbal dan tulisan. Adapun afasia Global disebabkan oleh lesi
yang luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa yang
ditandai dengan adanya lagi bahasa spontan dan menjadi beberapa patah
kata yang berulang-ulang (itu-itu saja) disertai ketidakmampuan memahami
yang diucapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sastra G. (2005) menemukan data
secara kuantitatif dan kualitatif, bahwa akibat stroke menyebabkan terjadi
pelbagai kesilapan verbal, yaitu verbal penggantian (32%), pengguguran
(48%), tidak berurutan (10%), penambahan (8%), dan pemendekan (12%).
Di Amerika Serikat lebih dari 700 stroke terjadi setiap tahun dan kirakira 170.000 kasus baru dari afasia setiap tahun berhubungan dengan stroke.
Diperkirakan sekitar 1 sampai 1,5 juta orang dewasa Amerika mengalami
afasia (Kirshner, 2009; Smeltzer, dan Bare, 2002). Jumlah pasien afasia akan
terus bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang bertahan hidup
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Defek dasar pada afasia adalah pada pemrosesan bahasa di tingkat
integratif yang lebih tinggi. Gangguan bahasa ini dapat melibatkan semua
komponen bahasa (fonology, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik),
begitu juga modalitas lainnya (berbicara, membaca, menulis, menandai) dan
output (ekspresi) juga input (pemahaman) (Papathanasioau, Ilias, 2013).
Kemampuan linguistik penderita stroke (Sastra G., 2005) sangat
ditentukan oleh terapi linguistik yang dilakukan. Karena dengan adanya terapi

linguistik oleh neorolinguis, penderita akan memiliki rasa percaya diri untuk
berkomunikasi dengan lawan tutur, yaitu melalui kaidah terapi perilaku, terapi
intonasi, dan perbandingan pendengaran. Setiap kaidah terapi, didasarkan
kepada kemampuan verbal dan bentuk-bentuk kesalahan linguistik setiap
penderita. Namun, kemampuan linguistik penderita stroke sangat ditentukan
juga oleh kemampuan nonlinguistiknya, seperti motivasi, ekspresi diri, dan
aspek sosial yang memengaruhi seorang penderita.
Agar para penderita afasia dapat memeroleh kembali bahasanya,
ditempuh berbagai perlakuan (treatment), seperti rehabilitasi, training, dan
terapi. Treatment dan prosedur treatment didefinisikan sebagai suatu hal yang
perlu sebagai prasyarat jawaban bersifat percobaan. Treatment yang
didasarkan pada prosedur pembiasaan, latihan, dan target pencapaian waktu
pada umumnya tergambar dengan baik dan menjadi hal menarik serta dapat
menjadi model bagi para perancang terapi bicara dan bahasa pada afasia
agar lebih efektif, efisien, dan manjur (Siguroardottir & Sighvatsson, 2006).
Beberapa di antara perlakuan tersebut adalah terapi melalui Speech
Language Therapy (SLT), Melody Intonation Therapy (MIT), Semantic and
Phonological Treatment, Word Treatment, ConstraintInduced Aphasia
Therapy (CIAT)dan Metoda Terapi Perilaku (MTP).
Dalam rehabilitasi penderita stroke yang disertai afasia, unsur musik
sendiri masih sedikit mendapat perhatian (Forsblom A., dkk., 2009). BWE
merupakan aktivasi otak yang dilakukan berulang-ulang/rhythmic dalam
jangka waktu tertentu yang dapat berupa stimulasi visual dan auditory (Demos

JN, 2005); (Thomson, 2007a). Terapi dengan menggunakan musik telah


terbukti efektif dalam rehabilitasi pascastroke. Penelitian menyarankan
penggunaan musik mungkin berkontribusi terhadap plastisitas otak, restorasi
fungsi otak dapat ditingkatkan secara alami (Altenmuller E., dkk., 2009); (Rojo
N., dkk., 2011). Penelitian lain menerangkan bahwa musik dan fungsi bahasa
keduanya membangkitkan aktivitas hemisfer bilateral dari otak (Safranek, R.
2011); (Thompson J.D., 2007b). BWE efektif dalam meningkatkan fungsi
kognitif, suasana hati, stress/kecemasan, perilaku, dan lain-lain (Huang T.L.,
dkk., 2008). Will U., dkk., 2007) mengemukakan BWE berkaitan dengan
persepsi, sistem motorik dan fungsi kognitif.
Selanjutnya, penelitian Esi R.S., dkk. (2012) terhadap pasien stroke
iskemik akut yang mendapat terapi standar disertai terapi musik, didapatkan
peningkatan skala motorik yang lebih bermakna pada kelompok perlakuan
dibanding dengan kelompok kontrol. Usman EI. (2011) juga melaporkan
terdapat peningkatan skor TADIR dalam hal pemahaman lisan, bicara,
membaca dan komunikasi penderita stroke iskemik dengan afasia motorik
pada kelompok yang mendapat terapi musik instrumental.
Treatment semantik dan fonologi sesuai dengan pemrosesan bahasa
yang berpengaruh dalam pemahaman berbicara dan berbahasa, baik tulisan
maupun percakapan. Ukuran hasil yang meningkat adalah pencapaian
kemampuan memberikan diskripsi penamaan suatu tugas.
Terapi yang menggunakan kombinasi BWE dengan Semantik dan
Fonologi masih jarang dan belum pernah dilakukan. Metode terapi kombinasi

ini diharpkan dapat memberi daya ungkit yang signifikan terhadap perbaikan
fungsi bahasa penderita stroke dengan afasia. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan meneliti sejauh mana efikasi kombinasi BWE dan terapi semantik
dan fonologi terhadap perbaikan fungsi penamaan penderita afasia broca.

HIPOTESIS
Kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi memperbaiki
gangguan penamaan pada penderita afasia broca.

TUJUAN PENELITIAN
A. Tujuan Umum
Mengetahui dan menilai efikasi intervensi kombinasi terapi musik BWE
dan terapi semantik-fonologi terhadap perbaikan gangguan sistem
bahasa penderita afasia broca.
B. Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan Menilai hubungan tingkat pendidikan dengan efikasi
intervensi kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi
terhadap perbaikan gangguan sistem bahasa penderita afasia broca.
2. Mengetahui dan menilai hubungan umur dengan efikasi intervensi
kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi terhadap
perbaikan gangguan sistem bahasa penderita afasia broca.

3. Mengetahui dan menilai

hubungan jenis kelamin dengan efikasi

intervensi kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi


terhadap perbaikan gangguan sistem bahasa penderita afasia broca.
4. Mengetahui dan menilai hubungan jenis afasia dengan efikasi
intervensi kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi
terhadap perbaikan gangguan sistem bahasa penderita afasia broca.
5. Mengetahui dan menilai hubungan latar belakang sosial dengan
efikasi intervensi kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantikfonologi terhadap perbaikan gangguan sistem bahasa penderita
afasia broca.
6. Mengetahui dan menilai hubungan pekerjaan dengan efikasi
intervensi kombinasi terapi musik BWE dan terapi semantik-fonologi
terhadap perbaikan gangguan sistem bahasa penderita afasia broca.
MANFAAT PENELITIAN

RUANG LINGKUP MASALAH


Stroke adalah gangguan peredaran darah di otak, baik karena
penyumbatan arteri (strok iskemik), maupun karena pendarahan atau
pecahnya arteri (strok hemoragik). Kasus stroke umumnya menimpa manusia
yang berusia di atas 40 tahun. Namun, akhir-akhir ini, juga ditemukan pada
mereka yang bertumur di bawah 40 tahun, bahkan juga terjadi pada anakanak. Selain gejala kelumpuhan, cacat bahasa merupakan gejala yang umum

terjadi.
Penderita stroke yang telah diketahui mengalami gangguan di hemisfer
kiri otaknya, menyebabkan gangguan pertuturan. Gejalanya memperlihatkan
sulitnya penderita melafazkan suatu tuturan secara lancar. Ekspresi penderita
menjadi tidak fasih.
Cacat bahasa terjadi pada penderita stroke, karena kacau-balaunya
pikiran. Ini disebabkan karena terganggunya area otak sebelah kiri, maka
perintah otak pun tidak jelas, sehingga bahasa yang dituturkan menjadi tidak
beraturan. Apabila seseorang terserang stroke, area yang pertama kali terluka
tidak saja lobus frontal, tetapi juga area temporal-parietal-oksipital, yaitu pusat
perintah bahasa yang mengawali saraf-saraf motorik bunyi vokal dan bunyi
konsonan.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. KONSEP AFASIA


2.2.1 Definisi
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi
simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang
mempengaruhi distribusi kerja struktur subkotikal dan kortikal pada hemisfer
(Berthier,

2005).

Sedangkan

menurut

Lumbangtobing

(2011)

afasia

merupakan gangguan berbahasa dalam hal ini pasien menunjukkan


gangguan dalam bicara spontan, pemahaman, menamai, repetisi, membacxa
dan menulis.
2.2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu

area Broca dan area Wernicke dan jalur yang menghubungkan antara
keduanya. Kedua area ini biasanya terletak dihemisfer kiri dan pada
kebanyakan orang bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan
berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006).
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia
disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak dan
sebagainya. Sekitar 80% afasia disebabkan oleh infark iskemik,
sedangkan hemoragik jarang. Afasia disebabkan oleh kerusakan pada
area otak yang berperan dalam mengatur fungsi bahasa. Kerusakannya
disebabkan oleh stroke, trauma kepala injury, tumor otak, neurosurgery,
dan infeksi otak. Karena kerusakan tersebut pathway pemahaman
bahasa dan produksinya terganggu bahkan rusak. Demikian pula
menimbulkan gejala-gejala yang melibatkan semua komponen bahasa
sesuai dengan daerah kerusakannya. (RCSLT, 2009).

2.2.3 Klasifikasi dan Gejala Klinik


Menurut Lumbangtobing ada banyak klasifikasi afasia yang dibuat oleh
para peneliti atau pakar yang masing-masing membuat keperluan disiplin ilmu
mereka. Dasar untuk mengkalsifikasikan afasia beragam, diantaranya ada
yang mendasar kepada manifestasi klinis, distribusi anatomi dari lesi yang
bertanggung jawab bagi defek dan berdasarkan klasifikasi yang merujuk pada

linguistik. Beberapa bentuk afasia menurut Smeltzer & Bare (2008); Rasyd
(2007
a. Afasia Broca
Adapun ciri klinik afasia broca adalah:
- Bicara tidak lancar
- Tampak sulit memulai bicara
- Kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
- Pengulangan (repetisi) buruk
- Kemampuan menamai buruk
- Kesalahan parafasia
- Pemahaman
lumayan
(namun
mengalami
kesulitan
-

memahami kalimat yang sintaktis kompleks)


Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu

1. Afasia Wernicke
Adapun ciri klinik afasia Wernicke adalah:
- Bicara lancar
- Panjang kalimat normal
- Artikulasi baik
- Prosodi baik
- Anomia (tidak dapat menamai)
- Parafasia fonemik dan semantik
- Komprehensi auditif dan membaca buruk
- Repetisi terganggu
- Menulis lancar tapi isinya kosong
2. Afasia Konduksi
Adapun ciri klinik afasia konduksi adalah:
- Bicara lancar
- Gangguan yang berat pada repetisi
- Kesulitan dalam membaca kuat-kuat
- Pemahaman bahasa lisan terpelihara dan membaca baik
- Gangguan dalam menulis
- Parafasia yang jelas
- Anomia berat
3. Afasia sensorik transkortikal
Adapun ciri klinik afasia sensorik transkortikal adalah:
- bicara lancar
- pemahaman buruk

4.

5.

6.

7.

- repetisi baik
- echolalia
- komprehensi auditif dan membaca terganggu
- defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
- didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan
Afasia Motorik Transkortikal
Adapun ciri klinik afasia motorik transkortikal adalah:
- Bicara tidak lancar
- Komprehensi baik
- Repetisi baik
- Inisiasi output terlambat
- Ungkapan-ungkapan singkat
- Parafasia semantik
- Echolalia
Afasia transkortikal campuran
Adapun ciri-ciri klinik afasia transkortikal campuran adalah:
- Bicara tidak lancar
- Komprehensi buruk
- Repetisi baik
- Echolalia mencolok
Afasia Anomik
Adapun ciri-ciri klinik afasia anomik adalah:
- Bicara lancar
- Komprehensi baik
- Repetisi baik
- Gangguan (deficit) dalam menemukan kata
Afasia Global
Adapun ciri-ciri klinik afasia global adalah:
- Bicara tidak lancar
- Komprehensi buruk
- Repetisi buruk
- Membaca dan menulis terganggu

Algoritma klasifikasi afasia berdasarkan gejala klinis:

KELANCAR
AN

KOMPREH
ENSI

BAIK

REPETI
SI

JENIS
AFASIA

BAIK

ANOMIK

BURUK

KONDUKSI

LANCA
R

AFASI
A

BURUK
BAIK
BURUK
BAIK

TRANSKORTIKAL
TRANSKORTIKAL
WERNICKE
SENSORIK
MOTORIK

BURUK

BROCA

BAIK

I.

TIDAK
Pemeriksaan Afasia
LANCA

TRANSKORTIKAL
CAMPURAN

BAIK

BURUK(1983 dalam Braundyke, 2002), untuk melihat


Menurut Lezak
BURUK

GLOBAL

fungsi berbahsa dan wicara pada pasien afasia dapat dilakukan


pemeriksaan

aspek

perilaku

verbal,

seperti

bahasa

spontan,

pengulangan kata, frase, kalimat, pemahaman bicara, penamaan,


membaca, dan menulis.
2.2.5 Pengkajian Tes Afasia
Berbagai macam tes afasia dapat dipergunakan sebagai pengkajian.
Penggunaan macam tes ini bergantung pada kebutuhan. Obesrvasi
klinis tanpa penggunaan alat pengkajian ditemukan tidak adekuat untuk
mengidentifikasi afasia selama fase akut. Penggunaan instrumen
skrining dilakukan untuk mengidentifikasi afasai secara signifikan
(Edwards et al, 2006).
Linguist (pakar bahasa) merupakajn salah satu profesional yang
bertanggunga awab terhadap afasia.dalam fase akut afasia sering
ditemukan

oleh

anggota

keluarga

terdekat.

Dalam

rehabilitasi,

observasi pengkajian dan unterpretasi diidentifikasi sebagai pusat


aktifitas. Menurutu Bulechek dan McClockey (2000), hsil pengkajian

dan identifikasi yang ditemukan dapat digunakan dalam klasifikasi ,


intervensi pada defisdit komunikasi.
Beradasrkan hasil rewieu yang diblakukan Salter, Jutai, Foley, Hellings
dan teasel (2006), terdapat 2 instrument untuk menskrining afasia yaitu
Frenchay Aphasia Screening Test (FAST dan Ulleval

Screening

Test/UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebih sering


digunakan dibandingkan dengan instrumen afasia lainnya (Salter, Jutai,
Foley, Hellings dan Teasell, 2006, Enerby&Crowby, 1996).
FASTterdiri dari 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa
(pemahaman, ekspres verbl, membaca, dan menulis) dengan skor 0-30
(enderby et al 1987 dalam Lightbody et al,2007). Diaktakn afasia bila
skor kurang dari 27 pada usia diatas 60 tahun, atau bila skor kurang
dari 25 pada usia di bawah 60 tahun.
Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu
diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi
(pemahaman),

repetisi

(mengulang),

dan

menamai

(naming).

(Lumbantobing, S.M, 2014)


1 Pemeriksaan kelancaran berbicara
Seseorang disebut berbicara lancar bila bicara spontannya
lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari kata yang diinginkan.
Kelancaran

berbicara

verbal

merupakan

refleksi

dari

efisiensi

menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat di


deteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau

pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes
kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat
diproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya, menyebutkan
sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu 1 menit,
atau menyebutkan kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu,
misalnya huruf S atau huruf B dalam 1 menit.
Menyebutkan nama hewan: Pasien

disuruh

menyebutkan

sebanyak mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat


jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor: Orang
normal mampu menyebutkan 18-20 nama hewan selama 60 detik,
dengan variasi kurang lebih 5-7.
Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna
dalam tugas ini. Orang normal yang berusia 69 tahun akan mampu
menyebutkan 20 nama hewan dalam simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (kurang lebih 2,8) pada usia
70-an, dan menjadi 15,5 (kurang lebih 4,8) pada usia 80-an. Bila skor
kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu
dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor
yang di bawah 10 pada usia di bawah 80 tahun, sugestif bagi masalah
penemuan kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas
normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: kepada
pasien dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai
dengan huruf tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama
orang

atau nama kota. Skor, orang normal umumnya

dapat

menyebutkan sebanyak 36-60 kata, bergantung pada usia, inteligensi


dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau
kurang untuk tiap huruf diatas merupakan petunjuk adanya penurunan
kelancaran

berbicara

verbal.

Namun,

kita

harus

hati-hati

menginterpretasikan tes ini pada pasien dengan tingkat pendidikan


yang tidak melebihi tingkat sekolah menengah pertama.
2 Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit
dinilai. Pemeriksaan klinis di sisi ranjang dan tes yang baku cenderung
kurang cukup dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah
berikut

dapat

digunakan

untuk

mengevaluasi

pemahaman

(komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan,


pilihan ya atau tidak dan menunjuk.
a Konversasi
Dengan

mengajak

pasien

bercakap-cakap

dapat

dinilai

kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan


oleh pemeriksa
b Suruhan
Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (satu langkah)
sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk
menilai kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien
bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya:
mengambil pensil, letakkan dalam kotak dan simpan kotak di atas
kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan

gangguan motorik walaupun pemahamannya baik; hal ini harus


diperhatikan oleh pemeriksa).
c Ya atau tidak
Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk pertanyaan
yang dijawab ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah ialah
50%, jumlah pertanyaan harus banyak, paling sedikit 6 pertanyaan,
misalnya:
Andakah yang bernama Santoso?
Apakah AC dalam ruangan ini mati?
Apakah ruangan ini kamar hotel?
apakah di luar sedang hujan?
apakah saat ini malam hari?
apakah pekerjaan Anda polisi?
d Menunjuk
Pemeriksa juga dapat mengeluarkan beberapa benda, misalnya:
kunci, duit, arloji, pulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah
satu benda disebut, misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dipersulit ,
misalnya tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian pulpen. Pasien
tanpa afasia dengan tingkat intelegensi rata-rata mampu menunjukkan
4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan afasia
mungkin hanya mampu menunjuk 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada
pemeriksaan ini pemeriksa menambah jumlah objek yang harus
ditunjuk, sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
3 Pemeriksaan Repetisi (mengulang)
Kemampuan pasien mengulang dinilai dengan menyuruh pasien
mengulang, mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata),
kemudian ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi kita ucapkan

kata atau angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya. Cara


pemerksaannya:
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa.
Contoh:
- Map
- Bola
- Kereta
- Rumah sakit
- Sungai Barito
- Lapangan latihan
- Kereta api malam
- Besok aku pergi dinas
- Rumah ini selalu rapi
- Syukur anak itu naik kelas
- Seandainya si Amat tidak kena influenza
Pemeriksa harus memerhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tata bahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulangi kalimat yang
mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia yang mengalami
kesulitan

dalam

mengulang

(repetisi),

namun

ada

juga

yang

menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang dan sering


lebih baik daripada berbicara spontan. Umumnya dapat dikatakan
bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang
mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian.
Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah peri-sylvian
terbebas dari kelainan patologis.
4 Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi
berbahasa. Hal ini sedikit banyak terganggu pada semua penderita
afasia. Dengan demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai

afasia mencakup penilaian pada keampuan ini. Kesulitan menemukan


kata erat kaitannya dengan keampuan menyebut nama (menamai) dan
hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan
nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu
gambar geometrik, simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam
hal ini, perlu digunakan item yang sering digunakan (misalnya sisir dan
arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang).
Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang
sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban
dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya melukiskan kegunaannya)
atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu dan sulit menamai, ia dapat dibantu
dengan memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan
kalimat penuntun. Misalnya: pisau, kita dapat membantu dengan suku
kata pi atau dengan kalimat kita memotong daging dengan . Yang
kita nilai adalah sampainya pasien menamai objek tersebut. Ada pula
pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya
(sirkumlokusi)

namun

tidak

dapat

menamainya.

Misalnya,

bila

ditunjukkan kunci, ia mengatakan: anu itu untuk masuk rumah


kita putar.
Cara pemeriksaan, kita terangkan pada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek
tersebut. Kita dapat menilai dengan memerlihatkan misalnya arloji,
bolpoin, kacamata, kemudian bagian dari arloji (jarum menit, detik),

lensa kaca mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan:
objek yang ada di ruangan: meja, kursi, pintu, dan jendela. Bagian dari
tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, dan mulut. Warna: merah, biru, hijau,
kuning, dan ungu. Bagian dari objek: jarum jam, lensa kacamata, sol
sepatu, kepala ikat pinggang, dan bingkai kacamata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek
dengan

cepat

atau

lamban

atau

tertegun

atau

menggunakan

sirkumlokusi, parafasia, neologisme, dan apakah ada preseverasi. Di


samping menggunakan objek, dapat pula digunakan gambar objek. Bila
pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih
nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek. Gunakanlah
sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan
gangguan. Penilaian-penilaian di atas terdapat pada Western Aphasia
Battery Test Booklet.
Selain dengan penilaian tadi, diagnosis afasia juga dapat di
dukung dengan CT-Scan maupun MRI untuk mengetahui lokasi lesi
yang merupakan penyebab afasia tersebut (Yavuzer,Gunes, 2010).

II.

PENATALAKSANAAN AFASIA
Rehabilitasi afassia saat ini berfkus pada status fungsional
pasien afasia dalam melaksanakan aktivitas ehari-hari (Sundin
dan Janson, 2003). Rehabilitasi afasia dapat memperbaiki
pasien dengan gangguan berbahsa agar menjadi produktif atau
memperbaiki kualitas hidupnya ( Goldstein, 1987 dalam

kuisumoputro 1992). Penanganan paling efektif saat ini untuk


mengobati afasia adalah adalah dengan melakukan latihan
wicara. (Kishner, 2009, Media Indonesia, 2010) Menurut Aini
(2006) tujuan utama dari latihan wicara adalah mengembalikan
kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Dalam hal ini
meliputi percakapan, membaca atau menulis, mengoreksi
angka/kata

lebih

membvuat

suara

baik.
dan

Didalamnya
bahasa,

meliputi

termasuk

bagaimana

pengertian

dan

pemilihan kata yang digunakan. Tujuan sepsifik meliputi :


Kejelasan dalam ucapan, kemmpuan dalam mengerti kata-katta,
kemapuan membuat perhatia dan mkemampuan mengeluarkan
kata-kata yang solid /jelas dan dapat dimengerti.
Dalam memberikan latihan wicara perlu m memperjhatikan
prinsip-prinsip, seperti :
a Terlepas dari jenia terapi afasia yang digunkan, hasilnya
akan lebih nbaik jika intensitas terapi ditingkatkan;
b Efektivitas terapi afasia akan keningkat jika terapi
menggunakan bentuik stimulus audio dalam bentuk
musik dan stimulus visual dalam bentik gambar-gtambar
serta lukiosan. Jeni stimulus ini sebaiknya digunakan
secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
c Terapi dengan pendekatan stratwegi komonukiaisi.
Upaya
pendekatan
inji
adallah
ngemvbangkan
kemmbpuan kiomunikasi meskiopun pasien masih tetap
mengalami afasia (Holland, 1982) dalamKusumoputro
1992)

Menurut
ateredapt

Smeltzer
empat

&Bare

minimal

(2002),

empta

pada

ghal

dasrany

yang

harus

dilakukan linguist pada penderita afasia


a. Meningkatkan harga diri positif
b. Meningkatkan kemapuan komunikasi
c. Meningkatkan stimulasi pendenganran
d. Memnbantu coping di keluarga
Menurut tarigasn 2009 bebrap bentuk terapi afasia yang
sering digunakan adalah
a. Terapi Kognitif Linguiostik
Bentuk terapi menekankan apada kompinen emosional
bahasa.

Sebagai

contoh

beberapa

latihan

akan

mengharuskan penderita untuk menginteropretasikan


kakartaertisik dari suara dengan nada emosi yang
berbeda-beda.

Ada

juga

yang

meinya

penderita

mendsiksripikan arti akta sepeerti kata-kata gembira.


Latiha

seperti

ini

mmemprkatikkan

akan

membantiu

kemampuan

pasien

komprehnesif

sementara tetap fokus pada pemahaman komponen


emosi dari berbahasa.
b. Progrma stimulus
Jenis terapi ini mengunakan

berbagai

modalita

sensorik, termasuk gambar-gambar musik. Prgram ini


diperkenalkan

dengaqn

tingkat

kesukaran

yang

meningkat dari rtingkat yang mudah ke tingkat yang


sulit
c. Stimulationfascilitation therapi.

Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti)


dan sintalkisis (susunan kalimat) dari bahasa.Stimulus
utama yang digunakan selama terapi adalah stimulus
audio.Prinsip

terpai

ini

yaitu

peningkatana

kemampuan berbahasa akan lebih bik jika dilakukan


dengan pengulangan.
d. Tearpi kelompok (Group Theraphy)
Dalam terapi ini pasien disediakan konteks sosiaal untuk
mempraktikkan

kemampuan

komunikasi

yang

telah

mereka pelajasri selama sesi pribadi. Selain itu merek


juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan
pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan
anggota keluarga. Eeeknya akan sama sekaligus juga
mempererat komunikasi pasoienj dengan orang-orang
tercinta mereka.
e. PACE

(Promoting

Aphasicks

Communicative

Effectiveness)
Ini merupakan bentuk terpai pragmatik yang paling
terkenal.

Jensi

terapi

ini

bertujuan

meningkatka

kemampuan berkomunikasi DENGAN MENGGUNAKAN


percakan sebagai alatnya.n Dalam terapi pasien akan
terlibat percakan dengan terapis.Untuk mensimulasi
komunikasi spontan, jenis terapi ini menggunakan
lukisan-lukisan, gambar serta benda-benda visual.

f. Terapi Intonasi Melodi


Metode ini terutama

dipergunakan

untuk

pasien

dengan curah verbal yang sangat kurang yang


disebabkan oleh kelainan di hemisfer kiri, sedangkan
hemisfer kanan masih utuh. Dasar metode ini adalah
menyalurkan stimulus melodik dari hemisfer kiri ke
hemisfer kanan. Hemisfer kanan diketaahui memunyai
fungsi untuk membuat interpretasi proses non verbal
seperti musik atau melodi dan diketahui ada hubungan
transkalosal antara kortks auditorik asosiasi dan
hemsifer kiri dan kanan, sehingga diharpakn terjadi
curah verbal yang bersifat melodik.
II.2.7 Pemulihan Wicara-Bahasa pada Afasia
Menurut Prins dan Maas
(1990 dalam Kusumoputro 1992), bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi pemulihan wicara-bahsa pada
afasia adalah:
a. Luas cedera
Pada hakikatnya luas kerusakan berhubungan erat
dengan

kemungkinan

gangguan

tambahan.

Gangguan visual, gangguan motoris (terutama bila


berkaitan

dengan

proses

berbicara),

gangguaj

auditif lain, gangguan daya ingat dan gangguan


emosional akibat kerusakan otak dapat sangan
menghambat pemulihan.

b. Letak cedera
Afasia akibat kerusakan transkortikal memunyai
prognosis yang lebih baik dari pada afasia akibat
kerusakan perisilvis. Tersumbatnya arteri serebri
posterior
afasia,

pada
tetapi

mulanya
ini

hanya

dapat

mengakibatkan

bersifat

sementara.

Sementara afasia thalamis ternyata tidak pulih


secetapt

dan

menyeluruh

seperti

yang

dulu

diperkirakan.
c. Keparahan afasia
Parahnya afasia pada periode awal biasanya bukan
merupakan faktor peramal yang baik mengenai
pemulihan

karena

berkurangnya

pembentukan

persediaan

darah

edema
dapat

dan

embuat

afasia tambahah lebih parah dari pada yang


twernyata kemudian. Semakin parah afasia yang
diderita semaikin kurang kemungkinan pemulihan
menyeluruh.
d. Umur
Tidak ada petunjuk bahwa umur berkaitang dengan
pemulihan. Di sisi lain tidak mustahil bahwa umur
berperan. Kecepatan prosxes penyembuihan secara
umum pada usia dewasa lebih lambat dibandingkan
pada usia anak-anak, khusunya pada strok kecepata
mpenyembuhan

pada

orang

dewasa

memiliki

prognosis yang buruk oleh karena neyral pslatisitsi

(Mc Caffrey, 2008). Selain itu dengan erbtambahnya


tuanya seseorang terdapat kemungkinan besar
untuk terkena berbagaia penyakit dan cacat tubuih
penyakit jantung, dan pembuluh darah, penyakit
gula) yang dapat memengaruhi proses pemulihan
afasia.
e. Intelegensi dan Pendidikan
Ada dugaan bahwa tingkat

intelegensi

dan

pendidikan yang lebih tinggi merupaan faktor positif


bagi

pemulihan

didukung

oleh

afasia
bukti.

tetatapi hal ini


Tingkat

dtidak

intelegenis

dan

pendidikan yang tinggi diiirngi oleh tingkat aspirasi


yang lebih tinggi pula dengan segala frustasinya.
Ada kemungkinan bahaw tingkat intelegeni yang
lebih tinggi memsmcu pemulihan gangguan afasia
yang lebih besatr, tetapi hal ini tidak dapat
duihubungkan

dengan

keuntungan

komunikatif

yang lebih besar.


f. Kterlibatan keluarga
Penanganan terpadui Antara terapi dengan anggota
keluarga pasien merupakan faktor yang cukup
penting dasn kunci kerbverhasilan dalam prose
penanganan afasia. Menrut Bullan, Chiki, dan Stern
(2007), keterlibatan anggota keluarga dan teman dan
latihan dapat meningkatkan efektifitas rehabilitasi.

Selain itu lingkungan keluarga yang merupakan


lingkungan

yang

cocok

kemampuan

berbahsa

untuk

afasia

menstimulasi

karena

stimujlasi

tersebuit dapat dilakukan secartidak formal, dapat


memilih waktu yang tepat, saat pasien dalam
keadaan bermotivasi dan kanggota keluarga cukup
tahu mengenai hal ikhwal keadaan pasie (Prins dan
Maas 1993, Kusumoputro 1992).
Hal yang harus diahami oleh keluarga adalah bahwa
pasien afasia tetap

membutuhkan

kesempatan

memndengan pembicara orang lain secara normal.n


Bil;a keluarga mengabaikan pasien stroke yang
mengalami

afasia,

misalnya

mendiamkan

atau

menganggap seolah-olah pasien tiodak memahami


pembivcaraan

keluarga,

pasien

akan

merasa

frustasi dan sakit hati (Mulyatsih & Bunga & Ahmad,


2008).
Angghota keluarga dapat dianjurkan:
1. Mengucapkan bahasa yang sedrhana dengan
kata-kata pendek dan kalimta yang sedrjanan
2. Mengulangi isi kata atau menulis kata kunci
untuk menjelaskan arti
3. Memertahankan percakanan seperti pada orang
dewasa

4. Mengurangi dsitraksi seperti bunyi radio atau


televisi yang keras bila memungkkonan, saat
berkomunikasi
5. 5. Melibatkan pasien afasia dalam percakapan
dengan menanyakan dan meminta pendapat
pasien
6. Menganjurkan beberap jenis komunikasi seperti
bicara, menunjuk gambar.
7. Hindari mengoreksi kertika pasien bicara
8. Memberikan
waktu
untuk
memehami
pembicaraan
9. Melibatkan pasien dalam kegiatan dalam rumah
seperti

mengikutk

sertakan

dalam

club

stroke(htttp://www.nidcd.nih.gov)
II.3

kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia


Konsep Dasar
Afasia tergolong gangguan komunikasi dan komunikasi
merpukan bagian penting dalam kehidupan manusia.
Komunikais verbal melipti kaa-kata yang diucapkan
maupun yang dtulis (Potter & Perry, 2005). Seseorang
yang berkomunkasi akan menggunakan sedertan fungsi
seperti simbolisasi, respirasi, resonansi dan fonasi,
artikulasi, lafal, prosodi dan kemapuan komunikasi
(Kusumoputro, 1992). Gangguan wicara-bahsa keduanya
merupakan gangguan komunikasi. Gangguan berbicara
secara

praktis

disebut

disartria

yang

terdiri

dari

gangguan artikulasi, fonasi dan fluensi yang dapat

disebabkan lesi pada sistem nneuromuskular untuk


wicara,

sedangkan

afasia

merupakan

gangguan

berbahasa yang disebabkan lesi di hemisfer kiri.


(dominan) (Kusumoputro, 1992;Prins & Maas, 1993;
Lumbantobing,2011).
Bahasa merupakan instrumen dasar bagi komunikasi
manusi dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi
kemampuan kognitif. Dalam berbahsa tercakup berbagai
kemapuan yaitu bicara spontan, pemahakamn menamai,
repetisi

(mengulang),

membaca

dan

menulis

(lumbangtobing, 2011). Bahasa akan menjadi efektif


hanya jika setiap orang yang berkomunikasi memahami
pesan tersebut dengan jelas(Potter & Perry, 2005).
Gangguan
komunikasi
verbal
akibat
afasia
menyebabkan

pasien

mengalami

hambatan

dalam

melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari, sehingga


menyebabkan distres pada pasien. Hal ini terjadikarena
komunikasi merupakan proses pertukaran inormasi
diantara 2 orang atau lebih atau terjadi pertukaran ideide atau pemikiran (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2008).
Sedangkan menutur Sundin& Jonson (2003), memalui
komunikasi

seseorang

dapat

mengekspresikan

perasaan dan integritas diri. Lebih lanjut menurut Arwani


(2003) komunikasi mempunyai kegunaan 1. Membantu

perkembangan intelektual dan sosial, 2. Identitas diri 3.


Membantu memahami kenyataan yang ada disekeliling
kita. 4. Sarana pembentuk kesahatan mental.
Pada pasien afasia karena keterbatasan

dalam

berkomunikasi verbal, sehingga menyebaban merasa


diisolasi, tidak utuh , tidak berdaya,. Jika pasien pasien
tidak dapat berinteraksi dengan orang lain karena
penyakit, keterbatasan fisik, gangguan karena terapi
atau

alasan

emosional,

maka

linguistics

harus

mendorong pasien untuk meningkatkan kemampuan


komunikasinya (Potter & Perry)
Salah
satu
upaya
meningkatkan
komunikasi

pada

meningkatkan

pasienj

afasia

keterampilan

kemampuan

adalah

dengan

berkomunikasi.

Keterampilan mendengar dan juga berbicara ditekankan


pada program rehabilitasi. Pasien dapat dibantu dengan
menyiapkan papan komunikasi . papan komunikasi ini
berisi gambar, kata-kata, huruf atau simbol aktivitas
kegiatan harian pasien sesuai dengan kegiatan yang
diminta atau diungkapkan. Yang perlu diingat adalah
bahwa papan komunikasi ini sebagai media komunikasi
untuk mengantisipasi keinginan pasien dan mencegah
pasien

frustasi.

Pasien

harus

dianjurkan

untuk

mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan

papan

tulis

bila

tidak

mampu

mengekspresikan

kebutuhan ( Smeltzer & Bare, 2002; Mulyatsih & Ahmad,


2008; Potter &Perry, 2005).
Pengkajian Kemampuan Fungsional
Kemampuan fungsional koumnikasi dapat dinilai dengan
Derby Functional Communication Scale. Instrumen ini
dikembangkan oleh derby et al, pada tahun 1997 untuk
pengkajian obersvasifungsional komunikasi pada pasien
dengan gangguan komunikasi didapat selama di rumah
sakit dan unit rehabilitasi. Insrumen ini dapat digunakan
oleh non speech and language dan petugas kesehatan.
DFCS menujukkan hubungan yang signifikan dengan
pengukuran

komunikasi

Quisioner

(SQ)

dan

lain,

sepertiFAST,

Edinburgh

Speech

Fungtionale

Communication Profile (EFCP). DFCS terdiri dari tiga


skala yaitu Ekspresi (E), Pemahaman (U) dan Interaksi
(I). Setiap skala tyerdiri dari 8 pertanyaan dengan skala
tyerendah 0 dan tertinggi 8. Nilai 0 berarti pasien tidak
mampu mengekspresikan kebutuhan.

Nilai 0 berarti

pasien tidak mampu mengekspresikan kebutuhan, tidak


ada pemahaman atau tidak ada interaksi pada skala E, U
dan I. Kesimpulan yang diperoleh semakin tinggi nilai
yang diperoleh, maka akan menunjukkan kemampuan
fungsional komunikasi yang lebih baik pada skala E, U

dan I. Skor dari ketiga penilaian ekspresi , pemahaman


dan interaksi adalah 0-24.
2.4

Augmentative

dan

Alternative

Communication

(AAC)
2.4.1. Menurut Mustonen et al (1991,dalam Johnson,
Haugh, King Vost, Paul & Jeffs, 2008, AAC merupakan
perangkat

pendukung

atau

pengganti

kemampuan

komunikasi verbal seseorang. Menurut Garret(2003)


uinetrvensi AAC merupakan multimodal secara alami,
seperti isyarat, tanda dan bantuian strategi komunikasi.
Menurut

Poslawsky,

Schuurmans,

Lindermann

&

Hafsteindottier (2010) AAC merupakan komunikasi non


verbal,seperti siayarat, atau menggunakan pernagkat,
seperti papan alfaber=t, menui-menu bergambar. Dari
ketiga pernyataan tersebut dapat diatyarik kesimpulan
bahwa AAC menrupakan alat pembantu pengganti
komuniaksi verbal, seperti papan alfgabet, isyaarta dan
menu-menu bergambar.
AAC merupakan salah satu media latihan wicara yang
efektif sebagai program rehabilitasi pada pasien stroke
dengan afasia . Menrutu Schlosser (2008), interbvensi
AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal itu
didukung oelh sistematik review Finke, Light & Kitko
2008, tentang efektifitas komunikasi pada apasien

dengan masalah komunikasi pada pengguanaan AAC


menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu pasien
untuk berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain,
ketika komunkiasi verbal buiikan satu pilihan. Hal ini
diseakan kondisi medias pasien afasia yang mengalami
keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tak mampu
untuk

berpartisipasi

secara

verbal

dalam

ineraksi

komunikasdi pazda ssat latuihan wicara ( Beukelman et


al, 2007).
2.4.2 Tujuan AAC
Tujuan utama pengguanaan AAC adalah agar pasien
dapat terlibat secara efektif dalam interaksi dengan
keluarga, teman, dan para terapis lainnya. Untuk
mengatasi gangguan berkomunikasi (Beukelman et al,
2007 dalam Finke, Light & Kitko (2008).
2.4.3. Kelompok Pengguan AAC
Aac digunakan sebagai pendukung dan pelengkap pada
pasien

dengan

keterbatasan

komunikasi

verbal.

Beberapa kondisi seperti serebrfal palsy, ganfgguan


intyelektual, autisme, dyspraxia, afasia, stroke batang
otak amytropik olateral sclerosis, penyakit parkinson ,
multiple sclerosis, demensia, traumatic brain Injury
memerlukan AAC (wikipedia 2011). Berbagai hasil
penelitian telah sukses mengguankan AAC sebagai alat
bantu dalam berkomunikasi dengan nonverbal, ketika

komuniasi verbal bukan merupakan suatu pilihan.


Karakterisitk pasien afasai y ang memeilki ketrbatasan ,
motivasi dan situasi sosial sehingga AAC memberika
keuntunga pada kemampuan bahsa dan kekuatan
komuninmaks (Van de Staindt-Koenderman, 2004 dalak
Clarkson, 2010). Pasien dengan gangguan komunikasi
berat

dan

kebutuhan

komunikasi

yang

kompleks

umumunya msmerlukan perangkat AAC dan strategi


untuk

memfasilitasi

komunikasi

(Beulkelman&

Mirenda,dalam Finke, Light & Kitko 2008). AAC juga


efektiof diberikan pada pasien dengan afasia berat
(Diener & Rosario, 2004 dalam Poslawsky, Scuuurmans,
Linderman & Hafsteindottir, 2010)
2.4.4 Klaisifikasi AAC dan keterkaitan dengan terapis
AAC dikalsifikasikan menjadi tanpa menggunakan
pernagkat /unaided atau menggunakan pernagkat/aided
(Leonard

La

Ponte,

2005

dalam

Wikipedia

2011).

Metodde komuinikkasi tanpa mengguankan perangkat


fokusnya pada pengguanaan tubuh (users body) untuk
menyampaikan pesan yang komuniaktif. Strategi ini
meliputi komunikasi melalui vokalisasi, tangan, wajah,
dan/kaki dan tanda manual (bahasa isyarat Amerika,
pantomim, isyarat, ekspresi wajah, pantomim,sistem
kedipan mata dan kepala yang dianggukka (Finke Light

&

Kitko

008;

Wikipedia,

2011).

Adapun

metode

komunikasi yang jmenggunakan perangkat mencakup


penggunaan kertas dan pensil, gambar, papan alfabet,
buku komunikasi sampai mengguanakan komputer
laptop dengan sisntesis wicara.
Sistem komunikasi yang

mkenfgguankan

alat

dika;lsiifikaskan menmhajsdi AAC teknologi sedrjha/Low


technology yaitu tanpa mengguanakn elektronik muali
dari karti bergambaer, buiku komunikasi dengan katakata yang ditampikkan oleh gambar dan simbol yang
dspat ditunjukka oleh pasien, papan komunikasi yangs
sedrhana, papan alfabet, alat tulis, majalah/surat kabar.
Adapun AAC yang berteknologi tinggi /High
Technology

menggunakan

sistem

komp[uter

atau

ellektronikk dengan kemampuan multimedia.Teknologi


tinggi

menganding

mikrokomputer

yang

dapat

menyimpan dan memperoleh kembali informasi pesan/


wicara serta dapat dicetak. Software komputer ini dpat
menampilkan kata atau gamabta, mengucapkan kata
dengan menanmpikak kecepatan bicara, mencatat bicara
pasien dan mengulang kembali apa yandg diucapkan
pasien sehingga cocok pada kondisi hemiplego atau
paraplegi.

Aac

dapat

meningkatkan

mkemampuan

komuniaksio pasien Finke dan Light & Kitko 2008; La

Ponte 2005 (dalam wikipedia 2011) hal ini didukung oleh


salter et al 2005 terapi komputer dapat meningkatkan
kemampuan

wicara-bahasa

.Hasil

Federson et al (2001), dengan

peneltiain

aoleh

melakukan pervobaan

pada 3pasien dengan anomia seperti pafasia ringgan


ghangguan

dllam

menemukan

kata

setelah

menggunakan twraopi komputer ditenmukan terjadi


peningkatan kemampuan bahasa.
Penggunaan komputer yang merupakan AAC modern
(high technology) dapat diberika pada pasien afasia
sebagai alat bantu komunikasi afasia (Iganatvicius &
Workman, 2010). Namun pengguanaan komputer ini
perlu kemprtimbangkan kemabpuan pasien dan terapi.
Hal ini diapat disebabkan karena tidak selurtuh pasien
stgroke

familiar

dengan

dikomputer

sehingga

melakukan

tugas-tuigas

menu0-menu

dopaat
yang

yang

ada

menghambat

untuk

diberikan

melaui

komputer. Kemapuan dan kondidis pasien merupakan


kompinen utam efekktignya dialkaukan latigahan wicara
(Greener&

Grant

dalam

Pow

Lasky,

Schuurmans,

Linderman& Hapsteindottir, 2010). Pada u mumnya


berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini
enggabungkan metode kopmunikasi yang menggunakan
alat atau tidak menggunakan perangkat(Leonard laponte

2005

dalam Wikipedia 2011). Metode akses spesifik

yang dipilih bergantung pada kemampuan dan keahlian


pengguna (Wikipedia, 2011). Selain itu, penggunaan AAC
juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor, sepereti
kemampuan pemahaman pasien, karakteristik yang
berhubungan dengan aspek sosial, kekuatan, dan
kelemahan pembelajaran dan kemampuan intelektual.
2.4.5 Durasi dan Intensditas Latihan wiucara
Berbagai hasil penelitian bervariasi menjelaskan tentang
durasi dan intensitas latihan betrkiomunikasi, yaitu:
a. Bakheit et al (2007) membanduin gkan 2kelompojk
yang menggunakan media gambar sebagai latihan
wicara (orientasi tugas menyeleksi gambar, pen
amaanobjek,

menjelaskan

dan

mengenalkan

hubungan antara kedua item) dengan durasi yang


betrbeda (kelompok intensif = 5 jam dan kelompok
standar = 2 jam) yang dimulai swedini mungkin
selama 12 nmninggu, menunjukkan operbedaan yang
sdignifikan terhadap kemampuan berbahadsa pada
kelompok standar dengan waktu 2 jam (p = 0,002
dibandingkan dengan kelompok intensif dengan
waktu 5 jsm ( p > 0.05).
b. Rappaport et al (1999 dalam Powlasky, Schuurmans,
Linderman
penelitian

&

Hafsteindottir,

dengan

2010)

menggunakan

melakukan

media

gambar

sebagai latihan wicara yang diberikan setiap hari


selama 5 tahun dengan lama latihan 3 jam/mun ggu,
sebagianb menunjukkan kemmapuan berb ahadsa,
sedangkan sebagian agi menunjukan sedikit atau
tidask ada perbasikan,
c. Bhogal, Teasell, Foley & Speechley (2003) yaBG
MENFGGUNAKAN

constraint

induced

tyherapi

(menggunakan kartu berisi gmabar) sebagai latihan


wicara,

membandingkan

kelompokm

yang

menerimaterapi 3 jam slama 10 hari sdan kelompok


standar

yang

memnunjukkkan

menerima

jam

pwerbadaabn

mminggu

signifikan

pada

kelompok terapui yang menerima 3 jam selama 10


hari dibandingfkan dengan kelonpok standar yang
menerima 1 jam selama 4 minggu menun

jukkan

kwmaMPUn penamaan dan pemahanman bahasa


yang dinilai dengan tes wioiocvvara (Token Test).
Dari beberapa hasilpenelitian tersebut, menunjukkan variasi
tentang intensitas dan durasi daslam latihan wicara, tetapi yang
terpenting lastihan harus diomulai sedini muingkmin setelah fase
akut dan pasien labil. Latihan secara intensif dapat meningkatkan
neural plasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan
fungsi motorik. Hal ini sesuai dengan pebnelitian yang dilakukan
oleh Xerry, et al (1998), setelah melakukan percobaann pada

bionatang dengan lesi otak fokal akut dengan mwemberikan


latihan perilaku secara intensif (Bakheit et al, 2007). Penelitian ini
didukung oleh hasil poenel;;itian Robey (1998) dengan melakukan
metanalaisis pada 55 artikel tentanbg terapi afasi, bahwa terapi
dapat meningkatkabn hasil positif kira-kira 1.83 kali pada individu
yang m,ennerima intervensi daripada yang tidak menerima
intervensi (Clarkson, 2010).
Penelitian tentang penyembuhan spontan kemampuan bicara
m,,en unjukkan pemulihan tercepat selama 2 atau 3 bulan dan
puncaknay terjadi setelah 1 tahun (Bathier, 2005). Didukung oleh
penelitian Laska (2007) bahwa penyembuhan bicartta tercepat
terjadi dalam bukan pertama pascastroke.Menurut darley (1977
dalam Kusumoputro, 1992), bahwa terapui yang ointensif askan
memberikan suatu manfaat pemulihan nyata pada pasien apabiula
diberikan pada waktu terjadi opoemulihan spontan dan hasil
maksimal akan didaoatkan apabila tetrrapi dimulkai awal dan
berlanjut untuk periode beberapa bulan.
2.4.6 Hasil/outcome AAC
Hasil yang dicapai pada oemberian AAC adalah kualitas
hidup.Hal ini dapat terjadi karena pasien yang menggunakan AAC
oada umumunya memiliki kepuasan dalam hubungan dengan
kellaRGA,

TEMAN,

DAN

AKTIVITAS

HIDUP

YANG

MENYENANGKAN.

Masalah

yang

berhubungan

dengan

ketidakpuasan adalah pelayanan dan dukungan AAC yang


menyebabkan hambatan dalam penggunaan AAC (Hamm &
Mirenda, 2000, dalam Wikipedia, 2011). Didukung oleh penelkitian
Johnston et al (2004 dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat
meningkatkan

kemampuan

komunikasi

pasien,

memperbaiki

kehidupan seseorang dengan meningkatkankemandirian dan


perkembangan hubungan sosial.
2.4.7 Prosedur Pemberian Latyihan komunikasi dengan AAC
Menurut Bourgeouis, Dijkstra, Burgio & Burge (2001); Jphnson,
Hough, King, Vos & Jeffs (2008); Costello, Patak & Pritchard (2010)
yang telah dimodifikasi, prosedur pemberian AAC adalah:
a. Pra Kegiatan
1. Sebelum memulai pelaksanaan terapuis hasrus melakukan
pengkajian terhadap tanda-rttanda vital, kesadaran pasien
komposmentis

dan stabil,

fungsi

pendengaran

, fungisi

penglihatan/visual, status emosi pasien, apakah pasien buta


huruf atau tidak untuk membetikaN ALAT BANTU KOMUNIKASI.
Pasien dapat menggunakan alat bantu dngaR, GIGI PALSU DAN
KACA MATA SELAMA PROSES P;ELAKSANAAN.
2. Pastikan lingkuingan sekitar pasien kondusif,

seperti

menghindari kebisngan dengan memwbawa pasien ke ruangan

khusus, untuk memudahkan pasien berkonsentrasi dalam


pekaksanaan kegiatan.
3. Perawat dapat melibatkan keluarga untuk mendampingi pasien,
mengobservasi

pelpaksanaan

dna

berkomunikasi dengaN PASIEN AFASIA.


4. Sebelum memulai kegiatan, perawat

membantu
dapat

dalam

melakukan

pengkajian terhadap kemampuan wicara bahasa, seperti


kemampuan ekspresi verbal, membaca, pemahaman, menulis
menggunakan format FAST. Dari pemeriksaan FAST dapat
diketahui apakah pasien termasuk afasia motorik, sebsorik atau
afasia global.
5. Dalam berkomunikasi, perawat tetap memperhatikan pedoman
dalam berkomunikasi dengan pasien afasia.
6. Pasien dapat diberikan berbagai alat bantu komunikasi,
bergantung kondisi dan kemampuan pasien.
b. Pelaksanaa
Pelaksanaan pemberian aac pada pasien afasia motorik adalah :
1. Terapis duduk berhadapan dengan pasien / disamping
tempat tidur dan pertahankan kontak mata.
2. Terapis memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada
pasien dan keluarga maksud dan tujuan dilakukan latihan
komunikasi dengan suara yang jelas dan dapat dipahami
oleh pasien.
3. Hindarkan berbicara dengan suara yang keras / berteriak
pada saat berkomunikasi dengan pasien karena dapat
membuat

pasien

keterbatasannya.

merasa

lebih

frustasi

dengan

4. Terapsi dapat mulai berkomunikasi dengan memberikan aac


sederhana yang menggunakan bantuan dan tanpa bantuan,
seperti :
a. Papan komunikasi / buku komunikasi
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan.
Papan komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan
bagi pasien yang tidak dapat membaca ( buta huruf ).
Posisikan papan komunikasi yang nyaman bagi pasien dan
dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi simbol
simbol / gambar dapat berhubungan dengan nyeri / rasa
nyaman, emosi, posisi, kebutuhan aktifitas rutin sehari hari
yang familiar dengan pasien, seperti mandi, makan dan
minum, bab/ bak dan istirahat. Ajarkan pasien bagaimana
menggunakan alat komunikasi tersebut. Pasien dan keluarga
dapat diperkenalkan

penggunaan papan komunikasi yang

berisi tampilan gambar. Ajarkan setiap simbol atau gambar


yang ada pada papan komunikasi. Bantu pasien untuk
menunjukkan setiap bagian, misalnya bila pasien sedang
marah / sedih, pasien dapat menunjukkan bagian gambar
emosi, sedih / marah, bagian tubuh yang menunjukkan
pasien merasa tidak nyaman. Berikan waktu pada pasien
untuk memahami informasi yang diberikan. Jika pasien tidak
mampu mengidentifikasi simbol simbol gambar tersebut,
ganti

simbol

gambar

menjadi

lebih

familiar, jelaskan

hubungan antara simbol dengan artinya dalam bentuk


kalimat dan instruksikan untuk mengulangnya dalam bentuk
simbol

lain.

Misalnya

simbol

piring

sendok

yang

mengindetifikasi saya ingin makan. Bila pasien tidak dapat


mengidentifikasi terapis dapat membantu dengan gambar,
kemudian menanyakan gambar apakah itu.
Tunjukkan buku komunikasi yang berisi gambar secara
berulang ulang dan anjurkan pasien untuk mengucapkan
kata kata dalam suara keras sehingga dapat melatih diotot
oto bicara dan vokalisasi. Minta klien untuk menyebutkan
nama nama benda yang ditunjukkan oleh pasien dan
jelaskan naman objek tersebut. Belia pasien tidak mampu
menyebutkan kata tersebut, bantu pasien menyebutkan suku
pertama kata tersebut atau dengan menggunakan kalimat
penuntun. Misalnya : pensil. Kita dapat membantu dengan
suku kata pen.... atau dengan kalimat : kita menulis dengan
..... . Instruksikan pasien untuk mengulang kata kata
tersebut. Jika memungkinkan, gunakan ekspresi wajah,
gerakan tubuh dan irama suara sehingga pasien dapat
memahami pembicaraan.
b) papan alfabet dapat digunakan pada pasien yang tidak
buta huruf. Akses ini daoat memungkinkan pasien untuk
mengatakan apa yang mereka inginkan. Lakukan pengkajian

abjad abc dan vokal yang diucapkan sebelum menggunakan


alfabet. Minta pasien untuk mengeja abjad abc dan bantu
pasien untuk mengulang kembali mengeja abjad tersebut
dengan suara yang keras.
c) alat tulis
pasien

dapat

diinformasikan

menggunakan

pulpen

dan

keinginannya.

Minta

pasien

keinginannya

dikertas,

dan

kertas

seperti

dibantu

untuk

untuk
mau

untuk

menyatakan

menulis
makan,

setiap
minum,

kemudian katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang


ditulisnya dan diperintahkan oada pasien untuk mengulang
kembali apa yang dibacanya. Minta juga pasien untuk
mengeja kata atau bagian yang ditulisnya.
d) strategi berkomunikasi dengan mengajak pasien untuk
bercakap cakap, misalnya acara televisi, apa yang dimakan
pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran dll. Upaya
pendekatan

ini

adalah

mengembangkan

kemampuan

komunikasi.
e) mendengarkan musik atau lagu lagu. Dengarkan sebuah
lagu yang disenangi pasien, kemudian pasien diajarkan
untuk mengambil lagu lagu tersebut, kemudian diajarkan

menyanyikan kalimat kalimat pada melodi dan pasien


diminta meniru menyanyi.
f) foto foto keluarga. Menunjukkan foto foto anggota
keluarga pasien, kemudian pasien diminta menunjukkan dan
menyebutkan

nama

anggota

keluarganya,

meminta

mengulanginya kembali.
5. berikan pujian atas setiap keberhasilan, bila pasien belum
menunjukkan kemajuan, berikan motivasi kepada pasien dan
keluarga untuk tetap melanjutkan latihan.
6. gunakan perangkat lain, seperti rekaman rekorder untuk
menilai kemajuan bicara bahasa/ komunikasi pasien.
Terapis dapat memutar kembali hasil rekaman tentang
perkembangan wicara bahasa dan tunjukkan

kepada

pasien. Catat setiap simbol simbol yang diucapkan untuk


e=menilai kemajuan pasien dan jelaskan kepada pasien
setiap perubahan yang dihasilkan pasien.
&. Jika terlihat pasien merasa tidak mood atau mengalami
kelelahan, latihan dapat dihentikan sementara dan terapsi
dapat kontak waktu kembali kepada pasien dan keluarga
untuk melanjutkan latihan.

(R. Schoeman et al, 2010)


Dalam penanganan afasia, pertama-tama kita harus mengatasi keadaan
yang

mendasarinya, seperti stroke, tumor, perdarahan dan etiologi

lainnya.
Terapi Farmakologis
Piracetam merupakan turunan -aminobutyrate, agen farmakologis
dengan efek potensial terhadap kognisi dan memori. Piracetam adalah aminobutyrate

derivatif,

Piracetam

diperkirakan

meningkatkan

pembelajaran dan memori dengan memfasilitasi pelepasan asetilkolin dan

asam amino rangsang, dengan peningkatan aliran darah dan metabolisme


energi (Yavuzer,Gunes, 2010).
Terapi bicara sering diberikan kepada orang-orang dengan afasia,
namun tidak menjamin obat. Tujuan terapi bicara adalah untuk membantu
pasien sepenuhnya memanfaatkan keterampilan yang tersisa dan belajar
cara kompensasi komunikasi.

Terapi Bahasa
Terapi

bahasa

ampuh

untuk

mengobati

afasia

jika

dilakukan secara intens. Sebuah studi baru-baru ini telah


menetapkan bahwa terapi afasia intensif selama periode
waktu yang singkat memiliki dampak yang lebih besar pada
pemulihan daripada terapi kurang intens selama jangka
waktu yang lama (Yavuzer,Gunes, 2010).
Computer-based Treatment
Dapat meningkatkan skill berbahasa dan komunikasi
secara fungsional (Yavuzer,Gunes, 2010).
Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (RTMS)
Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation

(RTMS)

adalah prosedur non-invasif yang menggunakan medan


magnet berfluktuasi dengan cepat untuk "membuat arus
listrik di daerah diskrit otak. (Yavuzer,Gunes, 2010).
BWE (Brain Wave Entrainment)
adalah terapi dengan stimulasi auditory, menggunakan CD terapi BWE
stroke recovery dari sofware natura sound, yang dilakukan setiap 20
menit/hari selama 10 hari perawatan.

Penilaian

luaran

stroke

berdasarkan

NIHSS

dilakukan

setelah

diputuskan menjadi sampel penelitian, yang dilakukan pada saat masuk


rumah sakit dan setelah perawatan hari ke-10.
III.

PROGNOSIS
Prognosis untuk pemulihan bahasa bervariasi bergantung pada

ukuran dan sifat lesi dan usia dan kesehatan secara keseluruhan dari
pasien. Secara umum, pasien dengan diawetkan fungsi bahasa reseptif
adalah kandidat yang lebih baik untuk rehabilitasi daripada orang-orang
dengan gangguan pemahaman. Potensi untuk pemulihan fungsional afasia
ekspresif terutama (yaitu, afasia Broca) setelah stroke sangat baik, untuk
pemulihan dari Wernicke-jenis afasia akibat stroke tidak sebagus itu untuk
afasia Broca. Potensi untuk pemulihan afasia karena tumor diobati atau
penyakit neurodegeneratif (Yavuzer,Gunes, 2010).

BAB III
METODE PENELITIAN

Penilaian luaran stroke berdasarkan NIHSS dilakukan setelah


diputuskan menjadi sampel penelitian, yang dilakukan pada saat masuk
rumah sakit dan setelah perawatan hari ke-10.

Analisis Data

Data yang terkumpul diolah melalui analisis statistik dengan SPSS for
Windows Version 17. Untuk melihat perubahan skor NIHSS sesudah terapi
pada

masing-masing

kelompok

digunakan

uji

berpasangan

dan

perbandingan hasil terapi diantara kedua kelompok digunakan uji T tidak


berpasangan dengan batas kemaknaan =5% (p<0.05). Penelitian dimintakan
Ethical Clearance

dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, dengan Rekomendasi Persetujuan Etik no. ..................................


Tingkat keparahan afasia akan bergantung pada tingkat kerusakan otak.
Pengobatan afasia difokuskan pada penyebab kondisi yang diikuti dengan
berbagai terapi untuk mengembalikan kemampuan komunikasi penderita.
Orang yang mengalami kerusakan otak ringan umumnya dapat mempelajari
kembali kemampuan bahasa tanpa pengobatan atau terapi

Namun hal ini tidak terjadi pada kasus kerusakan parah sehingga pasien
mungkin memerlukan terapi bicara dan bahasa untuk merehabilitasi
kemampuan bahasa mereka. Agar lebih efektif, terapi harus dimulai segera
setelah afasia terjadi. Terapi bisa berisi latihan untuk meningkatkan dan
mempraktikkan keterampilan komunikasi.

Secara bertahap, latihan ini dapat berlanjut menjadi langkah-langkah


yang lebih rumit seperti menjelaskan atau bercerita tentang suatu hal. Pasien
juga diajarkan untuk menggunakan bahasa tubuh dan gambar untuk
membantu berkomunikasi. Buku atau papan dengan gambar dan kata-kata
bisa digunakan sebagai alat peraga untuk membantu pasien mengingat kata-

kata yang umum digunakan. Agar lebih efektif, terapi juga harus diiringi
dengan praktik langsung. Pasien bisa mengunjungi berbagai tempat dan
menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Bekerja dalam kelompok akan
membantu membangun kepercayaan dan dukungan antar pasien.

Memulai percakapan, mengklarifikasi kesalahan bahasa, memperbaiki


kalimat yang tidak sempurna, dll., merupakan berbagai latihan yang bisa
dilakukan bersama dalam kelompok. Sebagian pasien juga mendapatkan
manfaat dengan penggunaan komputer untuk membantu mempelajari kembali
jenis kata dan kalimat.

Terapi afasia akan berlangsung lebih baik dengan bantuan keluarga yang
selalu mendukung disertai mengulang latihan sesampainya di rumah. Untuk
mengatasi hal ini, salah satu metode yang bisa digunakan untuk membantu
kemampuan berbahasa dan berbicara pasien adalah dengan menggunakan
terapi afasia.

Secara

umum,

afasia

merupakan

gangguan

produksi

pengolahan, dan pemahaman bahasa akibat kerusakan pada otak.

Ada berbagai bentuk terapi afasia. Dari berbagai jenis ini, hanya
beberapa terapi yang telah diteliti tingkat efektivitasnya. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman pasien, para terapis dan dokter, terapi afasia
bermanfaat

bagi

Prinsip Umum

perkembangan

kemampuan

berbahasa

pasien.

Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik
jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih
baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari
dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan
jumlah hari yang lebih banyak pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan
berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam
bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti
sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama
mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik. Berikut
merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan,
seperti diuraikan dalan situs about:
Terapi Kognitif Linguistik
Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen emosional bahasa.
Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk
menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang
berbeda-beda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata
seperti kata gembira. Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien

mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap fokus pada


pemahaman komponen emosi dari bahasa.
Program

Stimulus

Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk


gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan dengan tingkat
kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy:
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (susunan
kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah
stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa
akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.

Terapi kelompok (group therapy)


Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan
kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi.
Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan
pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya
akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orangorang

tercinta

mereka.

PACE (Promoting Aphasics Communicative Effectiveness)


Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi
afasia ini bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan percakapan sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan
terlibat percakapan dengan terapis. Untuk menstimulus komunikasi yang
spontan, jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-lukisan, gambar, serta
benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien sebagai
sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi
secara

bergiliran

akan

menyampaikan

ide-ide

mereka.

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)


Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang
diduga menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke.
Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut, maka pemulihan
diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan hasil
yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk
membuktikan efektivitas terapi ini.
Salah satu masalah yang dihadapi penderita afasia saat ini adalah
terbatasnya terapi yang dapat mempercepat penyembuhan gangguan fungsi
bahasa. Sejumlah hal menarik dapat kita kaji melalui tuturan verbal para
penderita afasia. Salah satu di antaranya adalah tingkat kelancaran verbal

yang sekaligus menjadi permasalahan yang ingin dibahas di sini. Untuk


mengkaji secara mendalam tentang tingkat kelancaran verbal mereka
(termasuk penetapan jenis afasia apa yang diderita sesorang), peranan
keenam modalitas bahasa (yaitu berbicara spontan, menamai, memahami,
mengulang, membaca, dan menulis) tak dapat diabaikan. Hal ini dirasa perlu
untuk segera diungkap sehingga penulis memformulasikan judul tulisan ini
menjadi Kompetensi Pembentukan Kalimat Penderita Afasia Tidak Lancar
yang Disebabkan oleh Strok Iskemik. Dari judul ini diharapkan dapat
menjawab pertanyaan Bagaimana tingkat kompetensi tiga dari enam
modalitas bahasa (berbicara spontan, menamai, dan memahami) dalam
pembentukan kalimat oleh penderita afasia?

DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin. 2010. Neuropsikolinguistik. Rajawali Pers, Jakarta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Dachrud, Musdalifah. 2010. Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi
pada Pemulihan Bahasa Afasia. Jurnal Psikologi. Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Manado.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik. Yayasan Obor Indonesia,


Jakarta.
Dharmaperwira-Prins, R., Maas, W. 1993. Afasia Deskripsi Pemeriksaan
Penanganan: diterjemahkan oleh Dr. Soeharto Heerdjan dan Dra. Ny.
SMN Astoeti Heerdjan. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Metode Linguistik. Refika Aditama. Bandung.
Febriani, R., Ngusman, Nursaid. 2013. Kalimat Penderita Afasia (Studi Kasus
pada Anggela Efellin). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Universitas Negeri Padang.
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi. Erlangga. Jakarta.
Harianja, Nurilam. 2013. Hubungan Bahasa Dengan Otak. Jurnal Universitas
Medan. Medan.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Mardjono, M., Sidharta, P. 1988. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
Marhijanto, Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini.
Terbit Terang. Surabaya.
Markam, Soemarmo. 2008. Penuntun Neurologi. Binarupa Aksara Publisher.
Jakarta.

Marat, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Refika


Aditama. Bandung.
Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Ar-ruzz Media. Jogjakarta.
Muljati, Wheny. 1998. Studi Kasus Cacat Leksikal dan Cacat Gramatikal
Keluaran Wicara Penderita Afasia Wernicke. Skripsi Universitas
Indonesia. Jakarta.
Mumenthaler, Mark. 1995. Neurologi: diterjemahkan oleh Dr. Wendra Ali.
Binarupa Aksara. Jakarta.
Program Pascasarjana. 2012. Pedoman Penulisan Tesis Dan Disertasi Edisi
4. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Pusat Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT. Gramedia Pustaka.
Jakarta.
Said, Ikhwan. 2009. Perkembangan Kompetensi Berbahasa Penderita Afasia
Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Strok Iskemik. Disertasi.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik. Alfabeta. Bandung.
Sastra, G., Yanis, A., Handoko. 2014. Model Terapi Wicara Untuk Penderita
Gangguan Berbahasa Kasus Afasia Pada Orang Dewasa. Kongres
Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia.

Simanjuntak, Mangantar. 1990. Teori Linguistik Chomsky Dan Teori


Neurolinguistik Wernicke. Gaya Media Pratama. Jakarta.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Alfabeta.
Bandung.
Weiner, H., Levitt, L. 2001. Buku Saku Neurologi. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 6.
Jakarta. EGC
Lumbantobing, S.M. 2014.Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta. Penerbit
Erlangga.
Yavuzer , Gunes. 2010. International Encyclopedia of rehabilitation: Aphasia
Rehabilitation. Turkey. Ankara University Faculty of Medicine Department of
PMR.
Alexander, Michael P. Aphasia: Clinical and Anatomic Aspects Chapter 9.
Royal College Of Speech and Language Therapist. 2009. Aphasia.
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders.
2008.Fact Sheet: Aphasia.
Papathanasiou, Ilias, et al. 2013. Aphasia and Related Neurogenic
Communication Disorders. Greece. Jones and Bartlett Learning.

R, Schoeman, et al. 2010. Aphasia, an acquired language disorder. South


Africa. Department of Psychology, Stellenbosch University.
Kertesz,Andrew, et al. 1982. Western Aphasia Battery Test Booklet. United
States. The Psychological Corporation Harcourt Brace Jovanovich,Inc.
Gusdi Sastra, 2010 Terapi Linguistik untuk Penderita Stroke
Alwasilah, Abd. Chedar. 1983.Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa
Badudu, J.S. 1980. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia Jakarta: Bandung Angkasa
__________ 1982. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta:Gramedia.
Kridalaksana. H. 1982. Kamus Lingistik, Jakarta: Gramedia
Keraf, Gorys. 1982. Tatabahasa Indonesia. EndeFlores: Nusa Indah
Ramlan, M. 1988. Sintaksis. Yogyakarta: UP Kencono
Sartuni, Rasyid, dkk. 1984. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta:
Nina Dinamika
Semi, M.Atar.1990 Menulis Efetif. Padang: Angkasa Raya
Tarigan, H,G, 1983. Prinsip-Prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Djago & Sulistyaningsih, L.S. 1979. Analisis Kesalahan Berba

Esi, R.S., Tammase, J., Muis A. & Gunawan, D. (2012). Pengaruh Terapi
Musik Terhadap Peningkatan Skala Motorik pada Penderita Strok Iskemik
Akut. Neurona; 29(2): 33-42

Huang, T.L. & Charyton, C. (2008). A Comprehensive Review of the


Psychological Effects of Brainwave Entrainment. Alternative Therapies Health
Med,;14(5):38-50

Johansson, B.B. (2011). Current trends in stroke rehabilitation. A review with


focus on brain plasticity. Acta Neurol Scand (123): 145-159
Kusumoputro, S. (2009). Plastisitas Otak dan Potensinya Untuk Melakukan
Transformasi.
Dalam: Sjahrir H. Anwar Y, Kadri AS. Neurology Up Date 2009. P: 355-358

Anda mungkin juga menyukai