Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DROWNING
Oleh:
Pembimbing:
dr.Soeparimbo S, Sp. OT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
tersebut akan diikuti asfiksia and penurunan kesadaran serta secara pasif air
masuk ke jalan napas dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan
kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal sebagai wet drowning.
Kasus seperti ini lebih banyak terjadi, yakni 80 sampai 90%. Perubahan
patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam, tergantung pada jumlah dan
sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Setiap jaringan
pada tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda terhadap hipoksemia dan
kepekaan jaringan otak merupakan organ yang dominan mengalami disfungsi
sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia.
Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru,
karena air laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma
ke alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi
perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas.
Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke
dalam sirkulasi dan segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah
tekanan permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk
sementara perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan
meningkatkan hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga
menyebabkan
oedem
paru
yang
berpengaruh
terhadap
atelektasis,
sering terjadi akibat trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan
iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh. Kesadaran yang hilang
bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan
hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10
menit anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam
beberapa detik setelah orang tenggelam, diikuti oleh berhentinya perfusi
dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan kembali
berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia walaupun telah dilakukan
tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat akan mengurangi
aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi serebri
yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.
Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi
elektrolit serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit.
Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang
1) Paralisis otot
2) Luka tusuk pada torso yang mempengaruhi kemampuan diafragma
untuk melakukan gerakan respirasi
3) Perubahan pada jaringan yang mengabsorbsi oksigen
4) Spasme laring yang persisten pada saat terbenam di air
5) Menghirup udara selain oksigen yang tidak membunuh secara
langsung seperti helium
6) Kelebihan cairan dalam tubuh yang menyebabkan penurunan
kadar sodium dalam darah yang kemudian menyebabkan edema
otak
Menurut teori adalah bahwa ketika sedikit air memasuki laring
atau trakea, tiba-tiba terjadi spasme laring yang dipicu oleh vagal
refleks. lendir tebal, busa, dan buih dapat terbentuk, menghasilkan
plug fisik pada saat ini. Dengan demikian, air tidak pernah memasuki
paru-paru. Volume darah sirkulasi meningkat pada daerah paru akibat
penarikan semua darah dari abdomen, kepala, dan ekstremitas yang
ditimbulkan oleh tekanan negatif yang meningkat pada paru. Terjadi
pula perubahan vaskular pada daerah paru. Pembuluh darah yang
membawa daerah yang kaya oksigen menjadi sangat sempit dan hanya
cukup satu sel darah merah yang dapat melewati pembuluh darah
tersebut. Dinding pembuluh darah juga menjadi tipis yang
memungkinkan oksigen masuk ke dalam darah dan karbondioksida
dikeluarkan dari darah. Pada kasus dry drowning tidak terjadi
pertukaran gas karena tidak adanya oksigen dalam paru. Sedangkan
tekanan negatif yang muncul menyebabkan tertariknya cairan dari
pembuluh darah ke dalam paru sehingga menyebabkan edema paru
dan pasien tenggelam karena cairan tubuhnya sendiri. Pada saat yang
sama, sistem saraf simpatik merespon kondisi spasme pada laring.
Sistem
ini
menyebabkan
vasokonstriksi
yang
mengakibatkan
10
Penanganan Korban :
a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman.
b. Bila ada kecurigaan cedera spinal satu penolong mempertahankan
posisi kepala, leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus.
Pertimbangkan untuk menggunakan papan spinal dalam air, atau
bila tidak memungkinkan pasanglah sebelum menaikan penderita
ke darat.
10
11
c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka
upayakan untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan
berikan bantuan nafas sepanjang perjalanan.
d. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas.
e. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila
perlu.
f. Berikan oksigen bila ada.
g. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan
selimuti.
h. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada.
i. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.
Metode Resusitasi Jantung Paru
Dalam menangani korban tenggelam, penolong harus mengutamakan jalan
napas dan oksigenasi buatan. RJP yang harus dilakukan adalah RJP konvensional
(A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respons
darurat.
I.
11
12
12
13
untuk
melakukan evakuasi korban dari dalam air agar baik penolong maupun
korban dapat selamat.
Adapun tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Segera hampiri korban, namun tetap perhatikan keadaan sekitar untuk
menghindari hal yang tidak diingin terhadap diri penolong. Lakukan
evakuasi dengan melingkarkan tangan penolong ditubuh korban
seperti yang dilakukan pada no. 3 untuk korban sadar.
2. Untuk korban yang dijumpai dengan kondisi wajah berada di bawah
permukaan air (tertelungkup), maka segera balikkan badan korban dan
13
14
tahan tubuh korban dengan salah satu tangan penolong. Jika penolong
telah terlatih dan bisa melakukan pemeriksaan nadi dan nafas saat
menemukan korban, maka segera periksa nafas dan nadi korban.
Kalau nafas tidak ada maka segera buka jalan nafas dengan cara
menggerakkan rahang korban dengan tetap menopang tubuh korban
dan berikan nafas buatan dengan cara ini. Dan jika sudah ada nafas
maka segera evakuasi korban ke darat dengan tetap memperhatikan
nafas korban.
3. Ketika penolong dan korban telah sampai ditempat yang aman (di
darat), maka segera lakukan penilaian dan pemeriksaan fisik yang
selalu berpedoman pada ABC. Berikan respon kepada korban untuk
menyadarkannya.
4. Ketika respon ada dan korban mulai sadar, maka segera lakukan
pemeriksaan fisik lainnya untuk mengetahui apakah ada cedera lain
yang dapat membahayakan nyawa korban. Jika tidak ada cedera dan
korban kemudian sadar, berikan pertolongan sesuai dengan yang
diperlukan korban, atau bisa juga dengan mengevakuasi korban ke
fasilitas kesehatan terdekat untuk pemeriksaan secara medis.
5. Jika tidak ada respon dan tidak ada nafas, segera buka jalan nafas
dengan cara ini, periksa jalan nafas dengan cara look, listen, feel
selama 3-5 detik. Jika tidak ada nafas maka segera berikan bantuan
pernafasan (bantuan hidup dasar) dengan cara ini lalu periksa nadi
karotis. Apabila nadi ada, maka berikan bantuan nafas buatan sesuai
dengan kelompok umur korban hingga adanya nafas spontan dari
korban (biasanya nafas spontan ini disertai dengan keluarnya air yang
mungkin menyumbat saluran pernafasan korban ketika tenggelam),
lalu posisikan korban dengan posisi pemulihan. Terus awasi jalan
nafas korban sambil penolong berupaya untuk menyadarkan seperti
14
15
tikosteroid. Obat-
obatan ini berguna untuk mengatasi keadaan darurat dan mencegah komplikasi
lebih lanjut. Selain obat, terapi cairan juga merupakan langkah penting dalam
penanganan korban tenggelam. Pemberian cairan pada pasien yang tenggelam
di air asin tentu berbeda dengan yang tenggelam di air tawar, karena perbedaan
dari sifat masing-masing jenis air tersebut. Air laut mempunyai sifat hipertonik
sehingga
menarik
cairan
dari
ekstrasel
ke
intrasel,
dan
terjadilah
15
16
16
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Piette, M. H. A., and De Letter, E. A. Drowning: Still a difficult autopsy
diagnosis. Journal Forensic Science International. 2005.
2. WHO. Fact about Injuries: Drowning. 2005
3. Di Maio D and Di Maio V. Drowning In: Forensic Pathology. New York:
CRC Press; 2004. P 356-365
4. Hoediyanto dan Hariadi A. 2010. Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal FK UNAIR.
5. Harrisons. Principles of Internal Medicine 18th Edition. 2010. U.S.: The
McGraw-Hill Companies.
6. Papadakis, M. A dan S. J. McPhee. 2013. Current Medical Diagnosis and
Treatment 2013. U.S.: The McGraw-Hill Companies.
7. Quan, L. dan P. Cumming. Characteristic of Drowning by Different Age
Groups. Journal Injury Prevention. 2003.
8. Branche, C. dan Steward M. S. Lifeguard Efectiveness: A Report of the
Working Group. Atlanta: Center for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control. 2001.
9. Wedro, B. dan Melissa C. S. 2013. Drowning. Diakses dari:
http://www.medicinet.com [11 Desember 2013]
10. Heller,
L.
J.
2013.
Drowning
Rescue.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/medlineplus.html
Diakses
[11
dari:
Desember
2013]
17