Anda di halaman 1dari 12

Limfoma Malignum

Manda Malia Ubra


10 2009 047
Kelompok C4

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No 6. Jakarta
e-mail : liaubra13@yahoo.com

Abstrak
Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari
sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit
sehingga muncul istilah limfoma malignum. Dalam kondisi normal, sel
limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh. Sementara sel
limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah
bening dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma
beredar di dalam pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di
dalam pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di luar
kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan
sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati,
dan otak.
A. Ananmnesis
Keluhan terbanyak pada penderita adalah pembesaran kelenjar getah
bening di leher, aksila, ataupun lipat paha. Berat badan semakin
menurun, dan terkadang disertai dengan demam, sering berkeringat.1,4
B. Pemeriksaan Fisik

Palpasi

pembesaran

kelenjar

getah

bening

di

leher

terutama

supraklavikuler aksila dan inguinal. Pada Limfoma secara fisik dapat


timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada
leher, ketiak atau pangkal paha). Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin
Weldeyer

ikut

terlibat.

Apabila

area

ini

terlibat

perlu

diperiksa

gastrointestinal sebab sering terlibat bersama-sama.1,3,4


C. Pemeriksaan Penunjang 1,4
- Pemeriksaan laboratorium
1) Hematologi rutin (darah perifer, gambaran darah tepi)
2) Urinalisis
3) Kimia klinik
- Pemeriksaan Biopsy
Biopsy KGB dilakukan hanya satu kelenjar yang

paling

representative, superficial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar perifer/


superficial

yang

representative,

maka

tidak

perlu

biopsy

intra

abdominal atau intratorakal. Specimen kelenjar diperiksa :


Rutin
: Histopatologi : REAL-WHO dan working Formulation
Khusus : Imunoglobulin permukaan
Histo/sitokimia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi. FNAB
dilakukan atas indikasi tertentu. Tidak diperlukan penentuan stadium
laparotomi.
-

Bone Marrow
Aspirasi sumsum tulang (BMP) dan biopsy sumsum tulang dari dua
sis spina iliaca dengan hasil specimen sepanjang 2 cm.
Pemeriksaan Radiologi
Rutin :
1) Toraks foto PA dan lateral
2) CT-Scan seluruh abdomen
Khusus :
1) CT-Scan Toraks
2) USG Abdomen
3) Limfografi, limfosintigrafi
2

Konsultasi THT
Bila cincin Waldeyer terkena, dilakukan gastroskopi atau foto saluran
cerna atas dengan kontras.
Cairan tubuh lain
Cairan
pleura,
asites,

cairan

serebrospinal

jika

dilakukan

punksi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, di samping


-

pemeriksaan rutin lainnya.


Immunophenotyping
Parafin panel : CD 20, CD 3

D. Working Diagnosis1,4,5
Limfoma malignum adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik di organ lainnya. Tumor ini merupakan salah astu
keganasan system hematopoetic yang terbagi menjadi dua golongan
besar, yaitu Hodgkins Lymphoma (HL) dan Non Hodgkins Lymphoma
(NHL). Belakangan ini insiden limfoma meningkat relatif cepat. Sekitar
90% limfoma Hodgkin timbul dari kelenjar limfe, hanya 10% timbul dari
jaringan limfatik di luar kelenjar limfe. Sedangkan limfoma non-Hodgkin
60% timbul dari kelenjar limfe, 40% dari jaringan limfatik di luar kelenjar.
Tabel 1. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell1
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
I
Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ ekstralimfatik (IE)
II
Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang letaknya
III
IV
Suffix
A
B

berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)


Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma ditambah
dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)
Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ ekstralimfatik
Tanpa gejala B
Terdapat salah satu gejala di bawah ini:

Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum

diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya


Demam intermitten > 38 C
Berkeringat di malam hari

Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm, atau ,
massa mediastinum dengan ukuran >

/3 dari diameter transthoracal

maximum pada foto polos dada PA

Gambar 1. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor1


E. Diagnosis Banding
- Limfadenitis Tuberkulosis
Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme
yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Streptokokus dan
bakteri staphylococcal adalah penyebab paling umum dari limfadenitis,
meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat
menginfeksi kelenjar getah bening. Ciri khasnya, infeksi tersebut
menyebar menuju kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga,
hidung, atau mata atau dari beberapa infeksi seperti infectious
mononucleosis,

infeksi

cytomegalovirus,

infeksi

streptococcal,

tuberculosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa mempengaruhi kelenjar


getah bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh.
Kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan
jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu gejala klinis yang timbul
adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang. Kulit di atasnya terlihat
merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai daging
tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk memastikan
apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis

maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di


bawah mikroskop.
Limfadenitis pada

taraf

parah

disebut

limfadenitis

kronis.

Limfadenitis ini terjadi ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal


pada kondisi ketika seseorang dengan faringitis kronis akan ditemukan
pembesaran kelenjar getah bening leher (limfadenitis). Pembesaran di
sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri.
Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia
adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh
pembesaran kelenjar getah bening, padat/keras, multiple dan dapat
berhubungan satu sama lain.
F. Gejala Klinis
- Penyakit Hodgkin
Penderita muda umumnya menunjukan kelenjar limfe yang keras,
teraba seperti karet, dan membesar, di daerah leher bawah atau
daerah supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif
sekunder akibat limfadenopati hilus. Kira kira 25 % dari penderita
memiliki gejala demam persisten yang tidak diketahui penyebabnya
dan atau keringat di malam hari. Ditambah penurunan berat badan.
Pada kasus kasus tertentu terdapat demam Pel Ebstein (demam
yang memiliki pola siklis , dimana suhu tubuh pada malam hari
meningkat, berlangsung dari beberapa hari sampai berminggu
-

minggu).
Penyakit non Hodgkin
Timbul gejala gejala demam, penurunan berat badan, berkeringat
pada malam hari, tapi insidennya lebih rendah disbanding penyakit
Hodkin. Kira kira 20% atau lebih penderita menunjukan gejala gejala

yang

berkaitan

dengan

pembesaran

kelenjar

limfe

retroperitonial atau mesenterium, dan timbul nyeri abdomen atau


buang air besar yang tidak teratur.

G. Etiologi2
5

Hodgkin merupakan kelompok keganasan primer limfosit yg berasal


dari sel Reed-Sternberg, Cenderung Intranodal, Lebih pada Sel Limfosit B.
Sedangkan non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yg
berasal dari limfosit B dan limfosit T. Cenderung ekstranodal, Pada Sel
Limfosit B dan T. Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin
masih belum diketahui. Namun diperkirakan aktivasi abnormal gen
tertentu

mempunyai

peran dalam

timbulnya

semua

jenis

kanker,

termasuk limfoma.
Pada limfoma hodgkin ditemukan adanya perkembangan sel B
abnormal atau dinamakan sel Reed-Sternberg akibat pengaruh paparan
virus epstein barr (EBV). Terkait Proses Transkripsi sel B yang terganggu.
Sedangkan pada non hodgkin penyakit berkembang dari limfosit yang
abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan
tidak terkontrol akibat faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan,
infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp) dan toksin
lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia). Pembelahan yang
tak terkendali dari limfosit B dan T akibat mutasi sel menjadi sel ganas.
H. Patofisiologi2,4,5s
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat
terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua
yang tengah berada dalam proses tranformasi menjadi imunoblas (terjadi
akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah
proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua
berada diluar centrum germinativum sedangkan imunoblast berada di
bagian paling sentral dari central germinativum. Beberapa perubahan
yang terjadi pada limfosit tua, antara lain : 1) ukurannya makin besar, 2)
kromatin inti menjadi lebih halus, 3) nukleolinya terlihat, 4) protein
permukaan sel mengalami perubahan (reseptor).
Hal mendasar lain yang perlu diingat adalah bahwa sel yang berubah
menjadi sel kanker seringkali tetap mempertahankan sifat dasarnya.
6

Misalnya sel kanker dari limfosit tua tetap mempertahankan sifat mudah
masuk dalam aliran darah namun dengan tingkat mitosis yang rendah,
sedangkan sel kanker dari imunoblas amat jarang masuk ke dalam aliran
darah, namun dengan tingkat mitosis yang tinggi.
I. Epidemiologi2,4
Insidensi penyakit Hodgkin kira-kira 3 per 100.000 penderita per
tahun. Pada wanita insidensinya lebih sedikit daripada pria. Rasio
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1,3-1,4 : 1.
Distribusi umur bimodal yaitu terdapat pada satu puncak dalam distribusi
frekuensi pada antara 20-40 tahun dan satu puncak di atas 50 tahun. Di
Amerika Serikat setiap tahun terdapat sekitar 7000 penderita Hodgkin
Lymphoma, atau kira-kira 1% dari seluruh tumor ganas yang sama.
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama
dijumpai pada usia agak tinggi. Insidensi puncak terdapat di atas 40
tahun dan untuk berbagai subtype bahkan di atas 60 tahun. Tetapi ada
beberapa tipe, yaitu NHL derajat tinggi yang juga terdapat pada umur
anak dan remaja muda. Insidensinya adalah 6 per 100.000. Pada tahun
2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan
26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat 5% kasus LNH
baru terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya.
Di Indonesia sendiri LNH bersama penyakit Hodgkin dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering.
J. Terapi1,6.7
Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu:
a) Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan
yang terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis
limfoma, seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja
7

atau jika ada resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif,


pembedahan

masih

menjadi

pilihan

utama. Namun,

sejauh

ini

pembedahan hanya dilakukan untuk mendukung proses penegakan


diagnosis melalui surgical biopsy.
b) Radioterapi
Radioterapi

memiliki

peranan

yang

sangat

penting

dalam

pengobatan limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran


penyakit ini lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi
yang tersedia telah banyak digunakan untuk mengobati limfoma
hodgkin seperti radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi
menggunakan antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk
melawan antigen spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan
radioisotope menggunakan

131

Iodine atau

90

Yttrium untuk irradiasi sel-

sel tumor secara selektif. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan


pada stadium limfoma itu sendiri1, yaitu:
Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 2. Berbagai macam teknik radiasi


c) Kemoterapi1,6,7
8

Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan banyak obatobatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap limfoma.
Pengobatan Awal:
1) MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14
o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4
2) ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus
o Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15
3) Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus
o Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11
o Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11
o Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12
o Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9
o Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11
o Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10, tapering of pada minggu ke
11,12
4) BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus
o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8
o Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3
o Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1
o Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7
o Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14
Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:
1) ICE regimen
o Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
o Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
o Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
o Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3
2) DHAP regimen
o Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama
o Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2
o Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4

3) EPOCH regimen Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine, dan doxorubicin diberikan
secara bersamaan selama 96 jam IV secara berkesinambungan.
o Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4
o Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4
o Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4
o Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5
o Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6

d) Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-, di mana interferon-
berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun akibat pemberian kemoterapi.7
e) Transplantasi sumsum tulang
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma tidak
membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien mengalami pajanan ulang
(relaps). Ada dua cara dalam melakukan transplantasi sumsum tulang, yaitu secara
alogenik dan secara autologus. Transplantasi secara alogenik membutuhkan donor
sumsum yang sesuai dengan sumsum penderita. Donor tersebut bisa berasal dari saudara
kembar, saudara kandung, atau siapapun asalkan sumsum tulangnya sesuai dengan
sumsum tulang penderita. Sedangkan transplantasi secara autologus, donor sumsum
tulang berasal dari sumsum tulang penderita yang masih bagus diambil kemudian
dibersihkan dan dibekukan untuk selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita
agar dapat menggantikan sumsum tulang yang telah rusak
K. Komplikasi7
Komplikasi yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan
dengan penanganan dan berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang
merugikan berkaitan dengan kemoterapi meliputi : alopesia, mual,
muntah,

supresi

sumsum

tulang,

stomatitis

dan

gangguan

gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius


yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari
kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati.
Bila pengobatan pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan
terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah,
rambut rontok, dan penurunan produksi saliva.
Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang
mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia.
10

L. Prognosis6
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin
ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain :
- Serum albumin < 4 g/dL
- Hemoglobin < 10.5 g/dL
- Jenis kelamin laki-laki
- Stadium IV
- Usia 45 tahun ke atas
- Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3
- Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih
Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai
90%, sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka
harapan hidupnya hanya 59%.
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain :
-

usia (>60 tahun)


Ann Arbor stage (III-IV)
hemoglobin (<12 g/dL)
jumlah area limfonodi yang terkena (>4) and
serum LDH (meningkat)
yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu

resiko rendah (memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2


faktor di atas), dan resiko buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).
M. Kesimpulan
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk
keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel
T dan histiosit. Ada dua jenis penyakit yang termasuk limfoma malignum
yaitu penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH). Penyebab
dari penyakit limfoma maligna masih belum diketahui dengan pasti.
Empat kemungkinan penyebabnya adalah: faktor keturunan, kelainan
sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus human T-cell
11

leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV), Helicobacter Sp) dan


toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia).

DAFTAR PUSTAKA

1. Dessain,

S.K.

2009.

Hodgkin

Disease.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/201886-overview, 12 April 2014.


2. Ford-Martin, Paula. 2005. Malignant Lymphoma. serial online. Diunduh
dari : http://www.healthline.com/galecontent/malignant-lymphoma, 12
April 2014.
3. Price, S.A dan Wilson, L.M. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease
Processes, Sixth Edition. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan
Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta : EGC. 2005.
4. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. Limfoma Non-Hodgkin. Disunting oleh
Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006.
5. Kumar, Abbas, dan Fausto. Phatologic Basis of Diseases 7 th Edition.
Philadelphia : Elsevier & Saunders. 2005.
6. Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview, 12 April 2014.


7. Berthold, D. dan Ghielmini, M. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss

Med Wkly. 2004.

12

Anda mungkin juga menyukai