Nama Wahana
: RS Muhammadiyah Selogiri
Topik
Tanggal (kasus)
: 24 April 2016
Nama Pasien
: Tn.R
No. RM
Tanggal Presentasi :
: 074543
Keterampilan
Manajemen
Bayi
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Masalah
Istimewa
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi: Laki laki, 35 tahun, dengan cidera kepala berat curiga fraktur basis cranii
Tujuan: penanganan kedaruratan pada pasien cedera kepala berat
Bahan bahasan:
Cara membahas:
Tinjauan Pustaka
Diskusi
Riset
Presentasi dan
diskusi
Kasus
Audit
Pos
Pemeriksaan fisik: penurunan kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (E1M2V1), battle sign, rhinorrhea,
Diagnosis ini semestinya didukung dengan pemeriksaan penunjang yakni Rontgent Cranial dan CT scan kepala untuk
melihat lesi intrakranial yang terjadi pada pasien. Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan mengingat keterbatasan
Menjaga patensi jalan napas: pemasangan orofaringeal tube (goodle), penghisapan lendir seperlunya, pemasangan
nasogastric tube untuk mencegah aspirasi cairan lambung
Menjaga sirkulasi: pemasangan intravenous fluid drip (IVFD) RL loading 1 liter, selanjutnya 30 tpm
Pemberian obat-obatan, antara lain injeksi Cefotaxime (2x1g) intravena, Ketorolac (3x30mg)
Berhubung keterbatasan fasilitas dan tenaga di rumah sakit, pasien sedianya dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap
untuk dilakukan penatalaksanaan secara paripurna.
Pendidikan :
-
Edukasi keluarga pasien mengenai kondisi pasien (keparahan penyakit dan kemungkinan penyembuhan)
Edukasi keluarga untuk merujuk pasien ke sarana kesehatan yang memadai dengan fasilitas yang lebih lengkap
TINJAUAN PUSTAKA
1. TRAUMA KAPITIS
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen.
a. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan:
1. Patologi
- Komosio serebri
- Kontusio serebri
- Laserasio serebri
2. Lokasi lesi
- Lesi diffus
- Lesi kerusakan vaskule otak
- Lesi fokal
Hematoma intrakranial
o
Hematoma ekstradural
o
Hematoma subdural
o
Hematoma intraparenkim
Hematoma subarakhnoid
Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebellar
3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS
i. CKR (Cedera Kepala Ringan)
GCS > 13
GCS 9-13
1. Anamnesis
i. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
ii. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
iii. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi Ap, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
2. Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battles sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Dolls eye phenomen
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi
Penderita cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana walaupun status
kardiopulmonernya telah distabilisasi. GCS pada cedera kepala berat adalah 3-8.Penderita cedera kepala
berat mempunyai risiko besar menderita morbiditas dan mortalitas yang berat.
Primary Survey
1. Airway & breathing
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral
menggunakan stiffneck collar, head block dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada,
penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi pernapasan di kedua aksila.
Pada cedera kepala berat sering terjadi gangguan terhentinya pernapasan sementara. Penatalaksanaan pada
kasus ini adalah dengan intubasi endotrakeal. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan hati-hati pada
penderita cedera kepala berat. Tindakan ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan
menurunkan secara cepat tekanan intrakranial. pCO2 harus dipertahankan antara 35-40 mmHg sehingga
terjadi vasokontriksi pembuluh darah ke otak. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial
2. Sirkulasi dilakukan pemberian resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat
atau Normal Salin (20ml/kgBB) jika pasien syok, tranfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan
3. Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis berat seperti
anak dengan nilai GCS 8 harus diintubasi.
4. Kontrol Pemaparan/ Lingkungan.
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering datang dengan
keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan
alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai
390C
Secondary survey
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan penderita
CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan
selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan deficit
-
sakit dan observasi ketat. Status cedera kepala yang dialami menjadi cedera kepala sedang atau berat
dengan penanganan yang berbeda.
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum penderita diizinkan pulang,
sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita, dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH) maka
-
yang lebih besar daripada ini akan sulit diresorpsi), EDH pada pasien pediatric
Pada hematom subdural (SDH) : SDH simtomatik, SDH dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5
mm pada pediatric
d. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi bila cedera kepala merupakan cedera yang berat atau cedera
ringan/sedang yang tidak tertangani maka dapat terjadi:
-
Gangguan neurologik, cedera saraf otak dapat berupa anosmia, gangguan visus, strabismus, gangguan
pendengaran atau keseimbangan, disarti hingga hemiparesis.
Sindrom pascatrauma, biasanya pada cedera kepala ringan, atau pingsan yang tidak lebih dari 20 menit.
Keluhan dapat berupa nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya konsentrasi menurun, dan
lain-lain.
Ensefalopati pascatrauma, gambaran klinis tampak sebagai demensia, penurnan kesiagaan, dan yang
lainnya.
Koma,penderita dengan trauma kepala berat dapat berakhir dengan keadaan korteks serebrum tidak
berfungsi lagi semua rangsangan dari luar dapat diterima namun tidak disadari. Penderita biasanya
dalam keadaan tutup mata dan terdapat siklus banngun tidur. Penderita dapat bersuara, gerakan ototnya
lemah atau tidak ada sama sekali.
-Mati otak, pada keadaan mati otah selain henti napas, semua refleks batang otak tidak dapat ditimbulkan,
seperti refleks, pupil, kornea, refleks muntah dan batuk.
e. Prognosis
Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien masuk semua penderita mendapat
terapi agresif menurut konsultasi dari ahli bedah saraf. Terutama pada anak-anak yang mempunyai daya
pemulihan yang baik. Penderita usia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebi rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala. Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24 jam setelah trauma,
prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.
2. FRAKTUR BASIS KRANII
1. Anterior
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrea
- Perdarahan bilaterala periorbital ecchymosis/racoon eye
- Anosmia
2. Media
Gejala dan tanda:
terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi)
atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.
Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan
ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan
tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superiorinferior.
Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi skull fraktur hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi,
leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para
peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis cranii
membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada
kecepatan ruda paksa 9 m /s.
Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme
biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis cranii ketika kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa: 1. Pada
studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan
simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan
menggunakan uji quasistatic. Suatu ruda paksa yang bervariasi
Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N.
Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis cranii. 2. Studi kedua
menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara
tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk
setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan
energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J.
Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja
biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen
magnum
3.
HEMATOMA EPIDURAL
Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematoma massif, akibat pecahnya a.meningea
media atau sinus venosus.
Tanda diagnostik klinik:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penunjang diagnostik:
1. CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan duramater, umumnya daerah
temporal, dan tampak bikonveks
5. HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya bridging vein(vena jembatan)
Jenis:
Akut
: interval lucid
0-5 hari
Subakut
: interval ucid
5 hari minggu
Kronik
: interval lucid
>3 bulan
Sakit kepala
Kesadaran menurun
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arakhnoid, umumnya karena
robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit
Kaku kuduk
Nyeri kepala
Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik:
DAFTAR PUSTAKA
1. A Pierce. Dkk. At a Glance Ilmu Bedah. Penerbit Erlangga. Jakarta.2006
2. Dewanto, George, dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.EGC. Jakarta. 2009
3. Schwartz, dkk. Intisari Prinsp-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.
4. Sjamsuhidajat, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.2005
5. Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf