BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih
jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut
secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang
diubah ( dilemahkan atau dimatikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau
toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin
diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya
pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh
kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit
atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera
dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa,
cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya
gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Data The United Nations Childrens Fund (UNICEF) tahun 2013
menyebutkan 6,5 juta per tahun anak-anak meninggal karena penyakit yang
sebenarnya masih dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan
oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti
penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza
tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian
balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam
hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut.1,2
2.3. TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (awal kehamilan 8 bulan), wanita usia subur (calon
mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur
1 tahun (0 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 kelas 6).
2.4. RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD (
T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh
oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan.
Sedang
dosis
terlalu
rendah
tidak
merangsang
sel-sel
imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena
itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar
antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan
oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat
merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan
lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau
bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan
cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang
hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh
dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu
yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media
kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13
tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain
tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.
10
11
Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan
penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit
( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami
12
Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
13
Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1.
kita tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh
bentuk kekebalan non-spesifik :
-
Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas
bagian bawah.
Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin berperan sebagai antibakteri
Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan nonspesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag)
akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2.
14
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T
dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh
mikroorganisme, melainkan sebagai protein saja yang akan merangsang sistem
kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang
sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang
diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan
memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel
plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari sistem
kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh
kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar
antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini
selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi
antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3
a.
Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat
bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak
berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara
alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
b.
Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan
berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen
tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat
dibuat dari2 :
Vaksin rekombinan
15
kapsul polisakarida
dari kuman
pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin
inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated
contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian dari seluruh bakteri yang
inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Juga dari toksoid misalnya
difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni misalnya pneumokokus,
meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses
rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin
hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B
ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.
16
Virus like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk
mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang
diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh
struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo particles of HPV tipe 16).
2.9. PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination )
bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak
penerima vaksin.
17
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan
pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis
B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku
Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 45 0-600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke
arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
18
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan
yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)
19
Umur
Tempat
Bayi (lahir s/d 12 Paha
bulan)
anterolateral
1-3 tahun
paha
anterolateral/
Lateral
lengan atas
Anak > 3 tahun
Lateral
lengan atas
Ukuran jarum
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Insersi jarum
Arah jarum 45o
Terhadap kulit
Cubit tebal untuk
suntikan subkutan
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Aspirasi
spuit
sebelum disuntikan
Untuk
suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda
Tempat
Otot vastus lateralis
pada paha daerah
anterolateral
Otot vastus lateralis
pada paha daerah
anterolateral sampai
masa otot deltoid
cukup besar (pada
umumnya umur 3
tahun)
Ukuran jarum
Jarum 7/8-1
Spuit no 22-25
Jarum 5/8-1
(5/8 untuk
suntikan
di
deltoid umur
12-15 bulan)
Spuit no 22-25
Insersi jarum
1. Pakai jarum yang
cukup panjang untuk
mencapai otot
2. Suntik dengan arah
jarum 80-90o. lakukan
dengan cepat
1. Tekan kulit sekitar
tepat suntikan dengan
ibu jari dan telunjuk
saat jarum ditusukkan
20
atau
pengantar
bayi/anak
dianjurkan
mengingat
dan
memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi
tersebut di bawah ini :
Pernah
mengalami
kejadian
ikutan
pasca
imunisasi
yang
berat
Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin
campak, poliomielitis, rubela ).
21
teknik
pemberian
vaksinasi,
maka
reaksi
KIPI
dapat
diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja
terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban
untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi
orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan
mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,
reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,
reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi
suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan
teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi
22
23
bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem
kekebalan tubuh sempurna. Di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam
pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi
nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi
nasional)
Vaksinasi Wajib
Tuberculosis
Hepatitis B
DPT (Difteri, tetanus,
pertusis)
- Poliomielitis
- Campak
Vaksin Anjuran
MMR
(campak,
gondong, rubella)
- Haemophilus influenza
tipe B
- Demam tifoid
- Varisela
- Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi (Satgas Imunisasi I katan Dokter Anak Indonesia, 2010)1
-
1.
Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Merupakan vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi
perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG
membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 5080% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi
anak.
24
anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin
yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara
pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Nama
Dagang
Engerix B
Produsen
Cara
Pemberian
GSK
IM
Dosis
Anak
Dewasa
Interval
Pemberian
10 mcg
20 mcg
Bulan
0,1,6
ke-
25
Euvax
Sanofi
pasteur
VAX MSD
IM
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
10 mcg
Bulan ke20 mcg
0,1,6
HB
IM
10 mcg
Bulan keII
20 mcg
0,1,6
Hepavax
Kalbuitech IM
10 mcg
Bulan keGene
20 mcg
0,1,6
Hepatitis
Bio Farma IM
10 mcg
Bulan keB
20 mcg
0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam
(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak
pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir
diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama
2. Dosis kedua
3. Dosis ketiga
: umur 6 bulan
Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri
26
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian.
Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi
tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir,
pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah.
Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia di atas 6 minggu sampai
7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin
Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria
toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada
anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak
usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena
toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui
suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8
minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia
15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama
(4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar
hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun
sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk
memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis
pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang
timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
27
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan
kejang pada pemberian vaksin yang pertama.
4.
Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu,
namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang
telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan
menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih protein
Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek samping, baik
lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika dibandingkan
dengan vaksin DTP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun
terbukti dapat meringankan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam
(0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca
suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut
atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik- hiporesponsif)
28
dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan riwayat kejang
dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
5.
Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.
DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa
nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau
subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3
bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah
DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia
prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10
tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10
tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali
suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan
terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya
diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu
ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang,
29
Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan
IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan
IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan
dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi
baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4,
dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat
imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya
tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan
mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap
respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian
vaksin, anak tetap bisa minum ASI. Imunisasi polio ulang jangan diberikan saat
masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun.
Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun
harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian
vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala
pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan
ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan
radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi
pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja
30
selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang
dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
Imunisasi Campak1,3
7.
Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai
pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari
Kejang demam
31
Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari
Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.
8.
32