Anda di halaman 1dari 29

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI

Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif


terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa
tidak terjadi penyakit. Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau
resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan
atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit yang
lain diperlukan imunisasi lainnya.1-3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
terhadap serangan penyakit infeksi yang berbahaya. Beberapa imunisasi tidak
cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan
lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan
memberikan imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan
telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun
memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan
infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan. Tujuannya adalah memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit
yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh
dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk
tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan

Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.


Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.

Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih
jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut
secara almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang
diubah ( dilemahkan atau dimatikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau
toksisitasnya hilang, tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin
diberikan kepada manusia maka akan menimbulkan kekebalan spesifik secara
aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya
pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh
kembang anak dapat dilakukan dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit
atau kejadian yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera
dan cacat. Pencegahan sekunder adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal atau meninggalkan gejala sisa,
cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya
gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar dapat hidup
mandiri tanpa bantuan orang lain.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Data The United Nations Childrens Fund (UNICEF) tahun 2013
menyebutkan 6,5 juta per tahun anak-anak meninggal karena penyakit yang
sebenarnya masih dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan
oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti
penyakit campak (525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza
tipe B, pertusis dan tetanus. Dari jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian
balita terjadi dinegara-negara sedang berkembang, khususnya Afrika dan Asia
Tenggara (termasuk Indonesia).1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui
vaksinasi akan dapat diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam

hal ini bisa tercapai bila lebih dari > 90% populasi telah mendapatkan vaksinasi
terhadap penyakit tersebut.1,2
2.3. TUJUAN
Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.3
Sasaran dari pemberian imunisasi tidak hanya pada anak-anak, tetapi juga
mencakup wanita hamil (awal kehamilan 8 bulan), wanita usia subur (calon
mempelai). Pada anak-anak, imunisasi diberikan dimulai sejak bayi dibawah umur
1 tahun (0 11 bulan) sampai anak sekolah dasar (kelas 1 kelas 6).
2.4. RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis
antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian
antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada
pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat
mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.
Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan
oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD (
T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh
oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat

dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi


oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Proses imun terdiri dari dua fase

Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC =


antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.

Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor.

2.5. KEBERHASILAN IMUNISASI


Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi
campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan
membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang
mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada umumnya
kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA
FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI
setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena
itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian kolostrum ( kurang atau
sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI ( kolostrum ) jangan
diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus
akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila
imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat


obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita
penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit
keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya
defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis
milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena
itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan.

Sedang

dosis

terlalu

rendah

tidak

merangsang

sel-sel

imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena
itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar
antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan
oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat
merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan
reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan
lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau
bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan
cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang
hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh
dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh mikroorganisme, misalnya suhu
yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media
kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13
tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain
tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

10

2.6. PERSYARATAN VAKSIN


1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi
interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori.
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi
variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme
MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan
limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B
sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus
hidup.
2.7. JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )

Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )

Vaksin hidup attenuated


Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan
kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya
dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai
sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus
vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan
media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.

11

o Agar dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus


berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh
( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan
yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan
antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan
virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak
adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme
yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin
polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia

Berasal dari virus hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,


polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).

Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan
penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit
( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami

12

mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh


antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada
di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau
menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis
kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai
respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun
terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak
menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated
menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial
seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi
ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponenkomponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh
antigen pertusis dalam vaksin DPT ).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.

Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis


a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.

Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus


influenzae tipe b.

Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).

2.8. VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN

13

Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan


perlindungan terhadap seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan
tubuh kita bekerja melawan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1

Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah
dilengkapi dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1.

Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)


Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh

kita tidak ditujukan terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh
bentuk kekebalan non-spesifik :
-

Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas
bagian bawah.

Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin berperan sebagai antibakteri

Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.

Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan nonspesifik yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag)
akan menangkap, mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.

2.

Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)

14

Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T
dan sel B. Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh
mikroorganisme, melainkan sebagai protein saja yang akan merangsang sistem
kekebalan. Bagian dari struktur protein mikroorganisme yang dapat merangsang
sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen. Adanya antigen akan merangsang
diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular. Selanjutnya sel T ini akan
memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan fungsi menjadi sel
plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari sistem
kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh
kita kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar
antibodi tubuh karena sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang
merupakan bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini
selanjutnya akan ditanggapi oleh sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi
antibodi. Berdasarkan cara memperoleh kekebalan, maka kekebalan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3
a.

Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat

bantuan dari luar antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak
berlangsung lama, umumnya tidak kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara
alami telah memiliki kekebalan pasif dari ibunya.
b.

Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan

berlangsung bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen
tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat
dibuat dari2 :

Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)

Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)

Vaksin rekombinan

15

Virus like particle vaccine.


Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium

dengan cara memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin


mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh
menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan
penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun, vaksin hidup attenuated harus
berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis
kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di
dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari
virus hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus,
demam kuning (yellow fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan
demam tifoid.
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus
dalam media

pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan

penambahan bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional,


organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang
dimaksukkan

dalam vaksin (misalnya

kapsul polisakarida

dari kuman

pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin
inactivated yang tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated
contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A. Kemudian dari seluruh bakteri yang
inactivated contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Juga dari toksoid misalnya
difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni misalnya pneumokokus,
meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses
rekayasa genetik, misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin
hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B
ke dalam sel ragi. Sela ragi yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen
permukaan hepatitis B murni.

16

Virus like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip
dengan virus, contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk
mencegah kanker leher rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang
diolah sedimikian rupa sehingga menghasilkan struktur mirip dengan seluruh
struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo particles of HPV tipe 16).
2.9. PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination )
bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak
penerima vaksin.

17

Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh


apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi
ikutan yang lebih berat.

Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.

Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas


Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.

Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan


vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan
pada temperatur 2-8C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis
B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku
Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 45 0-600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke
arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.

18

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan
yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

19

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Subkutan
Perhatian
Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela, meningitis
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur
Tempat
Bayi (lahir s/d 12 Paha
bulan)
anterolateral
1-3 tahun
paha
anterolateral/
Lateral
lengan atas
Anak > 3 tahun
Lateral
lengan atas

Ukuran jarum
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25
Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25

Insersi jarum
Arah jarum 45o
Terhadap kulit
Cubit tebal untuk
suntikan subkutan

Jarum 5/8-3/4
Spuit no 23-25

Aspirasi
spuit
sebelum disuntikan
Untuk
suntikan
multipel diberikan
pada ekstremitas
berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Intramuskular
Perhatian:
Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur
Bayi (lahir
s/d
12
bulan)
1-3 tahun

Tempat
Otot vastus lateralis
pada paha daerah
anterolateral
Otot vastus lateralis
pada paha daerah
anterolateral sampai
masa otot deltoid
cukup besar (pada
umumnya umur 3
tahun)

Ukuran jarum
Jarum 7/8-1
Spuit no 22-25
Jarum 5/8-1
(5/8 untuk
suntikan
di
deltoid umur
12-15 bulan)
Spuit no 22-25

Insersi jarum
1. Pakai jarum yang
cukup panjang untuk
mencapai otot
2. Suntik dengan arah
jarum 80-90o. lakukan
dengan cepat
1. Tekan kulit sekitar
tepat suntikan dengan
ibu jari dan telunjuk
saat jarum ditusukkan

20

Anak > 3 Otot deltoid,


tahun
bawah akromion

di Jarum 1-1 2. Aspirasi


spuit
Spuit no 22-25 sebelum
vaksin
disuntikan,
untuk
meyakinkan
tidak
masuk ke dalam vena.
Apabila
terdapat
darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk
suntikan
multipel
diberikan
pada
bagian
ekstremitas berbeda
Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi
Orangtua

atau

pengantar

bayi/anak

dianjurkan

mengingat

dan

memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi
tersebut di bawah ini :

Pernah

mengalami

kejadian

ikutan

pasca

imunisasi

yang

berat

( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).

Alergi terhadap bahan yang terdapat di dalam vaksin (misalnya neomisin ).

Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau


kemoterapi.

Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia,


kanker, HIV/AIDS ).

Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan


imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).

Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin
campak, poliomielitis, rubela ).

Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.

Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi


Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu
imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau

21

tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data


yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa
anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa
membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
2.10. KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1
Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si
penerima layanan baik dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan
pemberian vaksinasi, reaksi yang timbul setelah pemberian vaksinasi disebut
kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse following immunization
(AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan semakin
meningkatnya

teknik

pemberian

vaksinasi,

maka

reaksi

KIPI

dapat

diminimalisasi. Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja
terjadi. Oleh karena itu, petugas imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban
untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa saja yang dapat terjadi. Dan bagi
orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk bertanya dan
mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, kesalahan program,
reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat ditentukan. Secara umum,
reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program, reaksi
suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan
teknik pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi

22

dan cara menyuntik, sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin


membaiknya pengelolaan vaksin, pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi
vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin,
tetapi lebih karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan
kemerahan di tempat suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan
akibat dari trauma suntikan melainkan karena kecemasan, pusing, atau pingsan
karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan dapat dihindari dengan
melakukan teknik penyuntikan secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi
terlebih dahulu, karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi
efek samping yang terjadi setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul
umumnya bersifat ringan (demam, bercak merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot).
Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin dapat bersifat berat,
misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi serius
relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan
kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikan reaksi efek
samping atau KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas
gejala apa saja yang dapat terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat
ringan, misalnya demam, nyeri tempat suntikan, atau bengkak maka dapat
dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum obat antipiretik saja.
Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat mungkin
dibawa ke rumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian
vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan
Tingkat Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang
berkedudukan di setiap provinsi.
2.11. VAKSINASI YANG DIANJURKAN1
Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada
masyarakatnya. Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi

23

bayi dan anak-anak, karena kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem
kekebalan tubuh sempurna. Di Indonesia, pemerintah mengambil kebijakan dalam
pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib (sebagai program imunisasi
nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program imunisasi
nasional)

Vaksinasi Wajib
Tuberculosis
Hepatitis B
DPT (Difteri, tetanus,
pertusis)
- Poliomielitis
- Campak

Vaksin Anjuran
MMR
(campak,
gondong, rubella)
- Haemophilus influenza
tipe B
- Demam tifoid
- Varisela
- Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi (Satgas Imunisasi I katan Dokter Anak Indonesia, 2010)1
-

1.

Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Merupakan vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak

berulang selama 1-3 tahun sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih
mempunyai imunogenitas.Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi
perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier). Vaksin BCG
membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 5080% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi
anak.

24

Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah.


Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur
sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang
belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO
tetap menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak
di tempat lain (bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid
lebih mudah dilakukan (tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang
terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di
daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan sebagai tanda baku untuk keperluan
diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada
infeksi HIV).
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul
dalam waktu 1 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan
menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk
sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan
kering.
2.

Vaksinasi Hepatitis B1,3


Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan

anak karena pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin
yang diproduksi oleh beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara
pemberiannya sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Nama
Dagang
Engerix B

Produsen

Cara
Pemberian

GSK

IM

Dosis

Anak
Dewasa

Interval
Pemberian
10 mcg
20 mcg

Bulan
0,1,6

ke-

25

Euvax

Sanofi
pasteur
VAX MSD

IM

Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak

10 mcg
Bulan ke20 mcg
0,1,6
HB
IM
10 mcg
Bulan keII
20 mcg
0,1,6
Hepavax
Kalbuitech IM
10 mcg
Bulan keGene
20 mcg
0,1,6
Hepatitis
Bio Farma IM
10 mcg
Bulan keB
20 mcg
0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian
Vaksin Hepatitis B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam
(sampai ke otot). Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak
pertama, 1 bulan, dan 6 bulan kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir
diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama

: sebelum umur 12 jam

2. Dosis kedua

: umur 1-2 bulan

3. Dosis ketiga

: umur 6 bulan

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh


imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga
hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12
jam setelah lahir. Sebab, Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat
segera memberikan proteksi meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan). Jadwal
ulangan Hepatitis B diberi 5 tahun kemudian.
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan
dan bersifat sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2
hari. Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis
B. Kehamilan dan laktasi bukan kontraindikasi vaksin Hepatitis B.
3.

Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri

26

Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian.
Sebagai imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi
tetanus dan pertusis, dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir,
pemberian vaksin DPT telah menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah.
Vaksin DPT (DtaP atau DTwP) diberikan untuk anak usia di atas 6 minggu sampai
7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin
Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap (tetanustoxoid, reduced diphteria
toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td diberikan juga pada
anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan pada anak
usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi karena
toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui
suntikan intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8
minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia
15-18 bulan) dan ulangan kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama
(4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah
suntikan yang ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar
hanya bertahan selama 10 tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun
sekali. Pemberian booster cukup dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau
minimal 5 tahun setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk
memberikan booster setiap 10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan
menggunakan vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis
pertama dan kedua, dan 6 bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan
dosis booster 6 bulan setelah dosis ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi
lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang
timbul dapat mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).

27

Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan
kejang pada pemberian vaksin yang pertama.
4.

Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu,

namun kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu,
sebaiknya anak usia kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis
diberikan dalam bentuk vaksin DPT (DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi
berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot. Imunisasi dasar diberikan
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6 bulan). Ulangan
pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan
merupakan whole pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang
telah di non aktifkan. Namun, sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan
menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP) yang mengandung satu atau lebih protein
Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin DtaP, ternyata efek samping, baik
lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah (75%) jika dibandingkan
dengan vaksin DTP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis seluruhnya, namun
terbukti dapat meringankan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
KIPI
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri
pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam
(0,06%), anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca
suntikan (inconsolable crying). KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut
atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan
ensefalopati pada pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu
mendapatkan perhatian khusus adalah bila pada pemberian pertama dijumpai
riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang kurang (hipotonik- hiporesponsif)

28

dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2 jam, dan riwayat kejang
dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.
5.

Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT.

DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun).
Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa
nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri,
Tetanus dan Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau
subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3
bulan (DPT II) dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak
kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah
DPT III yaitu pada umur 18-24 bulan dan DPT V diberikan pada saat usia
prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan
booster vaksin DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10
tahun karena vaksin memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10
tahun diberikan booster. Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali
suntikan yang mengandung vaksin difteri, akan memberikan perlindungan
terhadap difteri selama 10 tahun.2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya
diberikan DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu
ringan, imunisasi DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang,

29

penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda


sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intramuskular baik pada imunisasi dasar maupun ulangan.
6.

Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan

IPV (inactivated polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan
IPV diberikan melalui suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan
dalam 3 kali di lengan dengan jarak 2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi
baru lahir kemudian dilanjutkan dengan imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4,
dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional) semua balita harus mendapat
imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada penyakit dengan daya
tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya terlambat, jangan
mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai
dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes dengan
jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap
respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian
vaksin, anak tetap bisa minum ASI. Imunisasi polio ulang jangan diberikan saat
masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya diberikan pada usia 15-19 tahun.
Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh dibawah usia 15 tahun
harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian
vaksin polio. Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala
pusing, diare ringan, dan nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan
ketika seseoarang sedang demam, muntah, diare, sedang dalam pengobatan
radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh, kanker, penderita HIV, dan alergi
pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi
virus polio yang dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja

30

selama 6 minggu, sehingga bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang
dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian IPV.
Imunisasi Campak1,3

7.

Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak.


Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak jerman (vaksin MMR). Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan
pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin
campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak hidup dan dilemahkan (tipe
Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus
campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam
aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti
bahwa potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan
insidens kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi
ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi imunisasinya
tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak
SD, SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh
pengobatan imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh
pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap
protein telur.
KIPI
-

Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai
pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari

Kejang demam

31

Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari

Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

8.

Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3


Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul

Haemophilus influenza Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).


Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua
vaksin ini termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4
dan 6 bulan. Vaksin Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis
ketiga tidak diperlukan. Vaksin ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP diberikan
pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin
Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan secara intramuskular sebanyak
0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah
pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2
kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali
suntikan, sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan
saja tanpa perlu pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan
95% anak-anak terlindungi dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh
vaksinasi bisa mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat
suntikan selama 1-3 hari. Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila
seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut, dan orang dengan riwayat
alergi yang mengancam jiwa.
2.12. JADWAL IMUNISASI
Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan
jadwal 2004. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus
konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada

32

program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela


yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007). Pada jadwal
2008 ditambahkan vaksin Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human
Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan
Dokter Anak Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang
diwajibkan dan dianjurkan serta ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi
seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti hepatitis B.

Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127

Anda mungkin juga menyukai