Anda di halaman 1dari 32

Tugas

M.K.
Dosen
Batas

: Tugas Kelompok
: Hukum dan Etika Bisnis PMB 583
: Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis
: 19 Mei 2012

POTENSI PELANGGARAN NORMA MORAL


DALAM EKONOMI KREATIF
BIDANG PERFILMAN DAN PERIKLANAN

Disusun Oleh:
Erdiasa Nursaman
Hasim Ashari
Mila Fauziah
Rachmat Agustian
Yoshi Nadia

(P056110093.38E)
(P056110113.38E)
(P056110153.38E)
(P056110183.38E)
(P056110273.38E)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................i
I. PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.....................................................................................................1
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2
2.1 Pengertian Etika.......................................................................................................2
2.2 Pengertian Bisnis.....................................................................................................2
2.3 Klasifikasi Bisnis.....................................................................................................3
2.4 Pengertian Etika Bisnis............................................................................................4
2.5 Etika Bisnis Yang Baik............................................................................................4
III. PEMBAHASAN..........................................................................................................6
IV. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13
LAMPIRAN....................................................................................................................13

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Film Air Terjun Pengantin................................................................................6
Gambar 2 Film Hantu Binal Jembatan Semanggi.............................................................6
Gambar 3 Film Suster Keramas........................................................................................7
Gambar 4 Iklan TV Minuman Berenergi Torpedo............................................................9
Gambar 5 Iklan TV Permen MintChoka, Sukoka, dan Suteka........................................10
Gambar 6 Iklan Cetak Provider Telekomunikasi Fren....................................................11
DAFTAR LAMPIRAN

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 1

ABSTRAK

Berkaitan Dengan tugas matakuliah Hukum dan Etika bisnis, kelompok 4 akan
membahas dua subsektor ekonomi kreatif yaitu Perfilman dan Periklanan. Kedua
subsektor tersebut sangat rentan dan berpotensi terjadi pelanggaran etika, hukum
terutama norma moral yang berkaitan dengan pornografi. Walaupun Undang Undang
Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi telah disyahkan, namun
sampai tahun 2012 belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur petunjuk
pelaksanaan undang-undang tentang pornografi.
Berbagai komponen masyarakat, pemerintah, akademisi, sektor swasta dan
lembaga swadaya masyarakat telah berupaya untuk menanggulangi pornografi,

namun

pelanggaran atas pornografi masih banyak kita jumpai pada industri perfilman dan
periklanan. Olehkarena itu kelompok kami tertarik untuk membahasnya sehingga judul
makalah ini adalah: Potensi Pelanggaran Norma Moral dalam Ekonomi Kreatif Bidang
Perfilman dan Periklanan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk
mengetahui potensi pelanggaran norma moral yang berkaitan dengan pornografi di
industri perfilman dan periklanan serta mengetahui kontribusi masyarakat dalam
penanggulangan pornografi.
Dengan masih banyaknya kita jumpai potensi pelanggaran norma moral dalam
industri Perfilman dan Periklanan, dibutuhkan kesadaran dan kontribusi kolektif
terutama masyarakat untuk penanggulangan pornografi pada industri perfilman dan
periklanan, sehingga perkembangan industri tersebut tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
etika bisnis yang sangat bermanfaat untuk membangun nilai moral bangsa Indonesia.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring
dengan pertumbuhan ekonomi, dari semula berbasis Sumber Daya Alam (SDA)
sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin
Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi ke
dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian.
Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi.
Kemudian diprediksikan gelombang keempat adalah gelombang ekonomi kreatif
dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.
Sejak tahun 2009, Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 sangat mendorong
perkembangan ekonomi kreatif. Menkokesra telah membuat Tim Pengembangan
Ekonomi Kreatif berdasarkan SK Menkokesra Nomor
25A/KEP/MENKO/KESRA/X/2009 tanggal 11 Oktober 2009, dimana pengembangan
ekonomi kreatif di bawah Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Wujud
keseriusan Indonesia dalam pengembangan ekonomi kreatif, pada 17 Oktober tahun
2011 terjadi perubahan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan menjadi Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Ekonomi Kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi
dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya
manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonomi. Indonesia ditargetkan
masuk 10 besar negara ekonomi kreatif internasional pada 2012. 14 subsektor ekonomi
kreatif terdiri dari :
1. Periklanan;
2. Arsitektur;
3. Pasar seni dan barang antik;
4. Kerajinan;
5. Desain dan Fesyen;
6. Video;
7. Perfilman dan Fotografi;
8. Permainan interaktif;
9. Musik;
10. Seni Pertunjukan;
11. Penerbitan dan Percetakan;
Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 2

12. Layanan Komputer dan piranti lunak;


13. Televisi dan radio;
14. Riset dan Pengembangan.
Berkaitan Dengan tugas matakuliah Hukum dan Etika bisnis, kelompok 4 akan
membahas dua subsektor ekonomi kreatif yaitu Perfilman dan Periklanan. Kedua
subsektor tersebut sangat rentan dan berpotensi terjadi pelanggaran etika, hukum
terutama norma moral. Pelanggaran norma moral yang sering terjadi pada ekonomi
kreatif subsektor Perfilman dan Periklanan adalah berkaitan dengan pornografi.
Walaupun Undang Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
telah disyahkan, namun sampai tahun 2012 belum ada Peraturan Pemerintah yang
mengatur petunjuk pelaksanaan undang-undang tentang pornografi.
Berbagai komponen masyarakat, pemerintah, akademisi, sektor swasta dan
lembaga swadaya masyarakat telah berupaya untuk menanggulangi pornografi,

namun

pelanggaran atas pornografi masih banyak kita jumpai pada Perfilman dan Periklanan.
Olehkarena itu judul makalah ini adalah: Potensi Pelanggaran Norma Moral dalam
Ekonomi Kreatif Bidang Perfilman dan Periklanan.

1.2 Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1) Mengetahui potensi pelanggaran norma moral yang berkaitan dengan pornografi
di industri perfilman
2) Mengetahui potensi pelanggaran norma moral yang berkaitan dengan pornografi
di industri periklanan
3) Mengetahui peran serta masyarakat dalam penanggulangan pornografi

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Etika
Vitayala (2012) menjelaskan kata etika (Etica; Latin) berarti falsafah moral
sebagai pedoman cara hidup yang benar dilihat dari sisi pandang agama, norma sosial
dan budaya. Etika berkaitan dengan kata moral (Mos; Mores; jamak; Latin) yang berarti
adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan baik (kesusilaan)
dan menghindari perbuatan atau tindakan yang buruk (asusila). Etika disebut Ethos
(bahasa Yunani) yang mengindikasi:

Suatu adat kebiasaan/watak kesusilaan.


Semangat khas kelompok tertentu: ethos kerja, kode etik kelompok profesi.
Norma yang dianut kelompok, golongan dan masyarakt tertentu mengenai

perbuatan yang baik-benar.


Studi tentang prinsip-prinsip perilaku yang baik dan benar sebagai falsafat moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1998), etika menyangkut pemahaman nilai

benar-salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.


2.2 Pengertian Bisnis
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau
jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata
bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam
konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan
aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta,
bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para
pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai
dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis
mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem
sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat
umum, atau serikat pekerja.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 4

Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang
sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri
memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya-penggunaan singular kata bisnis dapat
merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk
pada sektor pasar tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas
merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan
jasa. Meskipun demikian, definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan perdebatan
hingga saat ini (sumber Wikipedia)
2.3 Klasifikasi Bisnis
Bisnis terdiri dari berbagai macam tipe, dan, sebagai akibatnya, bisnis dapat
dikelompokkan dengan cara yang berbeda-beda. Satu dari banyak cara yang dapat
digunakan adalah dengan mengelompokkan bisnis berdasarkan aktivitas yang
dilakukannya dalam menghasilkan keuntungan.

Manufaktur adalah bisnis yang memproduksi produk yang berasal dari barang
mentah atau komponen-komponen, kemudian dijual untuk mendapatkan
keuntungan. Contoh manufaktur adalah perusahaan yang memproduksi barang

fisik seperti mobil atau pipa.


Bisnis jasa adalah bisnis yang menghasilkan barang intangible, dan
mendapatkan keuntungan dengan cara meminta bayaran atas jasa yang mereka

berikan. Contoh bisnis jasa adalah konsultan dan psikolog.


Pengecer dan distributor adalah pihak yang berperan sebagai perantara barang
antara produsen dengan konsumen. Kebanyakan toko dan perusahaan yang

berorientasi-konsumen adalah distributor atau pengecer. lihat pula: Waralaba


Bisnis pertanian dan pertambangan adalah bisnis yang memproduksi barang-

barang mentah, seperti tanaman atau mineral tambang.


Bisnis finansial adalah bisnis yang mendapatkan keuntungan dari investasi dan

pengelolaan modal.
Bisnis informasi adalah bisnis menghasilkan keuntungan terutama dari

penjualan kembali properti intelektual (intelellectual property).


Utilitas adalah bisnis yang mengoperasikan jasa untuk publik, seperti listrik dan

air, dan biasanya didanai oleh pemerintah.


Bisnis real estate adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan dengan cara
menjual, menyewakan, dan mengembangkan properti, rumah, dan bangunan.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 5

Bisnis transportasi adalah bisnis yang mendapatkan keuntungan dengan cara


mengantarkan barang atau individu dari sebuah lokasi ke lokasi yang lain.

2.4 Pengertian Etika Bisnis


Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup
seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika
Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan
serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan
pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni
bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati
kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk
manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan seharihari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang professional
(sumber Wikipedia).
2.5 Etika Bisnis Yang Baik
Menurut Richard De George dalam Sundartini (2011), bila perusahaan ingin
sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu:
1. Produk yang baik
2. Managemen yang baik
3. Memiliki Etika

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 6

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu:


1. Sudut pandang ekonomi
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi di sini adalah adanya
interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan
konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar
manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi
kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak,
tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak.
Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan
saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.
2. Sudut pandang moral
Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi
jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak
semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati
kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita
sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu
juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.
3. Sudut pandang hukum
Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan Hukum
Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu
hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam
hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum
juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan
pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada
sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma,
ada pepatah terkenal: Quid leges sine moribus yang artinya: apa artinya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 7

III. PEMBAHASAN
Perkembangan ekonomi kreatif baik di bidang perfilman maupun periklanan di
ranah Indonesia sekarang ini patutlah dibanggakan, bahkan banyak pihak yang
mengatakan inilah kebangkitan dari industri film di Indonesia. Selain itu banyak pula
iklan-iklan yang ada di televisi yang tidak kalah kreatif untuk membantu proses
pemasaran suatu produk.
Begitu banyak karya sutradara-sutradara yang telah melahirkan berbagai macam
genre film, mulai dari film komedi, percintaan, horor, dan lain-lain. Akan tetapi, kenapa
saat ini banyak sekali film-film Indonesia yang lebih sering mempertontonkan bukabukaan daripada memperhitungkan makna yang ada di dalam film itu sendiri. Sebagai
contoh dapat kita lihat beberapa tampilan cuplikan gambar di bawah ini.

Gambar 1 Film Air Terjun Pengantin

Gambar 2 Film Hantu Binal Jembatan Semanggi

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 8

Gambar 3 Film Suster Keramas


Dari semua film tersebut yang ditayangkan di bioskop, kesemuanya memamerkan
bentuk pornografi seperti yang tertuang di dalam UU Pornografi nomor 44 tahun 2008
tentang jenis-jenis pornografi. Akan tetapi jika adegan-adegan yang memancing aura
syahwat tersebut ditiadakan, dikhawatirkan industri hiburan khususnya perfilman
menjadi lesu karena sebagian masyarakat Indonesia menilai bahwa jalan ceritanya tidak
akan menarik. Hal ini senada dengan ucapan Produser Film Nasional, KK Dheeraj saat
dihubungi detikhot via telepon pada salah satu filmnya Saya tidak merasa merusak
moral bangsa. Film itu sudah diloloskan LSF, apa lagi yang dipermasalahkan?.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Lembaga Sensor Indonesia (LSI),
Anwar Rusnaidi bahwa, Menurut Lembaga Sensor Indonesia, adegan mesum film
bokep tersebut tidak perlu lagi disensor. Masyarakat Indonesia sudah terbiasa melihat
adegan tersebut di video mesum Ariel Peterpan. Anwar juga menambahkan bahwa
justru dengan maraknya film-film dalam negeri yang mengandung adegan mesum,
popularitas film nasional bisa melonjak di kancah internasional. Hal ini tentu akan
berpengaruh positif terhadap dunia perfilman Indonesia, yakni sebagai ajang bisnis dan
keuntungan berlimpah karena didatangkannya artis yang tak selayaknya diundang itu
bisa menghabiskan 3 milyar untuk satu orang. Dan itu pun belum pembuatan filmnya.
Tapi, ketika film sudah selesai, maka keuntungannya akan berlimpah ruah. Karena
banyak orang yang mulai tertarik dengan menonton film tersebut.
Berikut di bawah ini merupakan contoh-contoh film yang di dalamnya ada
adegan-adegan yang dikategorikan masuk pornografi sesuai dengan UU Pornografi
nomor 44 tahun 2008 dan menjadi 10 film terlaris di Indonesia tahun 2010:
1. Sang Pemimpi (lebih dari dua juta orang)
Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 9

2. Air Terjun Pengantin (1,1 juta penonton)


3. Sang Pencerah (satu juta penonton)
4. Suster Keramas (820.000 penonton)
5. Laskar Pemimpi (550.000 penonton)
6. 18+ True Love Never Dies (520.000 penonton)
7. Satu Jam Saja (500.000 penonton)
8. Menculik Miyabi (500.000 penonton)
9. Lihat Boleh, Pegang Jangan (450.000 penonton)
10. Tiran: Mati di Ranjang (420.000 penonton)
Sama seperti halnya film yang ditayangkan di bioskop, film-film yang
ditayangkan di televisi pun juga mengandung unsur yang sama yakni adanya unsur
pornografi seperti yang tertuang di UU Pornografi nomor 44 tahun 2008. Bedanya
adalah untuk tayangan film di televisi, pihak lembaga sensor perfilman sudah
mengeluarkan ketentuan dengan mencantumkan kode-kode tertentu sepeti kode BO
untuk Bimbingan Orang Tua, kode R untuk Remaja, dan kode D untuk Dewasa.
Padahal kenyataannya, banyak anak-anak di bawah umur masih bisa menonton film
beradegan porno tersebut. Jelas hal ini akan merusak moral anak bangsa sebagai
penerus generasi muda Indonesia. Sebagian besar film-film yang sudah ditayangkan di
bioskop akan ditayangkan juga di layar televisi, walaupun ditayangkan di jam malam,
terkadang masih banyak anak-anak di bawah umur juga masih menontonnya.
Tidak hanya industri hiburan perfilman saja yang di dalamnya mengandung
konten pornografi yang akan merusak moral bangsa, media iklan baik iklan televisi,
maupun iklan cetak juga masih banyak yang mengandung konten serupa. Berikut di
bawah ini salah satu tampilan gambar dari iklan-iklan yang mengandung konten
tersebut.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 10

Gambar 4 Iklan TV Minuman Berenergi Torpedo


Dapat dilihat dari gambar iklan televisi salah satu minuman berenergi merk
Torpedo yang menampilkan visualisasi gigi palsu seorang talent pria yang terlepas
terbang dan menancap di belahan dada talent wanita. Penayangan iklan tersebut selain
melanggar UU Pornografi nomor 44 tahun 2008 yang mengatur tentang pelarangan
pornografi juga melanggar Etika Pariwara Indonesia Bab IIIA No.3.3.2 (Pemeran iklan
perempuan) yang berbunyi: Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi,
mengobyekkan, atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang
merendahkan kodrat, harkat, dan martabat mereka.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 11

Gambar 5 Iklan TV Permen MintChoka, Sukoka, dan Suteka


Ketiga iklan permen di atas dibuat dengan versi yang sama yakni terlihat talent
wanita mengeluarkan produk permen tersebut dari belahan payudaranya. Dari pantauan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, seperti yang dikutip dari situs www.kpi.go.id
bahwa iklan tersebut telah melanggar UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5 (b) dan Pasal 46
ayat 3 (d) serta Standar Program Siaran (SPS) khususnya terdapat dalam Pasal 11, 17
dan 18 ayat 1. Perlu diketahui, pelanggaran yang terdapat Pasal 36 ayat 5 (b) dapat
dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 10 Milyar.
Selain banyaknya aduan yang masuk ke KPI atas iklan ini, pada tanggal 13 Oktober
2009 yang lalu KPI juga menerima surat dari Badan Pengawas Periklanan No 209/BPPPPPI/X/2009 tentang potensi pelanggaran Etika Pariwara Indonesia terhadap iklan-iklan
yang dimaksud.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 12

Gambar 6 Iklan Cetak Provider Telekomunikasi Fren


Dari sisi kreatifitas pembuat iklan, promo yang dilakukan oleh salah satu provider
telekomunikasi fren sangatlah kreatif untuk menarik pengguna telekomunikasi dengan
mencoba kartu fren tersebut yakni dengan falsafah makna bahwa menelepon dengan
kartu Fren tidaklah berbayar dan diilustrasikan dengan daun. Terlepas dari kontroversi
yang dilayangkan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) mengenai
penggunaan kalimat pake daun disini yang kita lihat adalah adanya sosok talent
wanita yang mengenakan kain kemben ditutupi dengan daun, sehingga terlihat
bertelanjang dada, serta di dalamnya terdapat talent pria juga dengan hal yang sama
yakni tubuh telanjang ditutupi dengan daun. Kesan erotis pun semakin terlihat yakni
penempatan antara talent wanita dengan talent pria sangatlah berdekatan yang akan
membuat imajinasi orang yang melihatnya akan semakin berlebihan. Sesuai dengan
iklan pada gambar 4 dan gambar 5 pada iklan televisi, iklan cetak promosi kartu Fren
Sobat juga melanggar UU Pornografi nomor 44 tahun 2008 dan juga melanggar Etika
Pariwara Indonesia Bab IIIA No.3.3.2 (Pemeran iklan perempuan) yang berbunyi:
Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, atau mengornamenkan
perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat, dan martabat
mereka.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 13

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Mengacu pada pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1) Pelanggaran norma moral tentang pornografi masih banyak kita jumpai di
industri film di antaranya: Film Air Terjun Pengantin; Film Hantu Binal
Jembatan Semanggi; Film Suster Keramas
2) Pelanggaran norma moral tentang pornografi masih banyak kita jumpai di
industri periklanan di antaranya: Iklan TV Permen MintChoka, Sukoka, dan
Suteka; Iklan TV Minuman Berenergi Torpedo; Iklan Cetak Provider
Telekomunikasi Fren
3) Dibutuhkan kesadaran dan kontribusi kolektif terutama masyarakat untuk
penanggulangan pornografi pada industri perfilman dan periklanan, sehingga
perkembangan industri perfilman dan periklanan tetap menjunjung tinggi nilainilai etika bisnis yang sangat bermanfaat untuk membangun nilai moral bangsa
Indonesia.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 14

DAFTAR PUSTAKA
Feri. 2010. Film Adegan Vulgar Merusak Moral Generasi Bangsa. From: http://myzone
.okezone.com/content/read/2010/04/19/1687/. Diakses tanggal 15 Mei 2012.
[]. 2011. Menghancurkan/Merusak Moral Generasi Muda Dengan Film Indonesia.
From: http://slight-hope.blogspot.com/2011/04/menghancurkanmerusak-moral-ge
nerasi.html/. Diakses tanggal 15 Mei 2012.
[]. 2010. Film Esek-esek Paling Laris Di Indonesia. From: http://beritahothariini.
blogspot.com/2010/12/film-esek-esek-paling-laris-di.html. Diakses tanggal 15
Mei 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta.
Margono, H. 2012. Etika Pariwara Indonesia (EPI). The Ritz Carlton. Jakarta.
Sundartini, N. 2011. Makalah Etika Bisnis Mata Kuliah Etika Bisnis. Universitas
Gunadarma. Jakarta.
Wikipedia. 2012. Etika Bisnis. From: http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_bisnis. Diakses
tanggal 15 Mei 2012.
Vitayala. 2012. Silabus Mata Kuliah Hukum dan Etika Bisnis. Program Magister
Manajemen dan Bisnis. Institut Pertanian Bogor.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 2009. Iklan Sukoka Dihentikan. From:
http://www.kpi.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=1431&catid=14%3Adalam-negeriumum&Itemid=1&lang=id. Diakses tanggal 15 Mei 2012.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 15

LAMPIRAN

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 13

Lampiran 1: UU Pornografi nomor 44 Tahun 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur
bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. Bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan
sosial masyarakat Indonesia;
c. Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang
ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan
masyarakat;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat:
Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 13

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat
kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan
perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
1. Mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
2. Menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat,
dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
3. Memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
4. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
5. Mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 14

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki,
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau
model yang mengandung muatan pornografi.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 15

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di
muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi.
Pasal 13
(1)
(2)

Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan
kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah
akses anak terhadap informasi pornografi.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 16

Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan
sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah
berwenang:
a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; dan
c. Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam
maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah
Daerah berwenang:
a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi di wilayahnya;
c. Melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. Mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka
pencegahan pornografi di wilayahnya.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 17

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan
dengan cara:
a. Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur
pornografi; dan
d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran
pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. Barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan
cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. Data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 18

Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa,
dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer,
jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data
elektronik dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau
penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas
kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang
dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. Nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan
pornografi;
b. Nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang
dimusnahkan.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 19

BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 20

Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung
muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di
muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik
sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 21

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi
menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus
korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana
penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana
denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas
antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap
orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang
berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan
yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 22

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 23

Lampiran 2: Etika Pariwara Indonesia


Bab 3 Pemeran Iklan
3.1 Anak-anak
3.1.1
Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk
yang tidak layak di konsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang
dewasa.
3.1.2
Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adeganadegan yang berbahaya, menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh
anak-anak.
3.1.3
Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi
penggunaan suatu produk yang bukan untuk anak-anak.
3.1.4
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi
daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para
orang tua untuk mengabulkan permintaan anak-anak mereka akan produk
terkait.
3.2 Perempuan
Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, atau
mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan
kodrat, harkat, dan martabat mereka.
3.3 Jender
Iklan tidak boleh mempertentangkan atau membiaskan kesetaraan hak jender
dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup:
3.3.1 Kewenangan; bahwa pria dan wanita memiliki kewenangan yang setara.
3.3.2 Pengambilan keputusan; bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan yang
setara dalam mengambil keputusan.
3.3.3 Seksualitas; bahwa baik pria maupun wanita tidak boleh dieksploitasi secara
seksual.
3.3.4 Kekerasan dan pengendalian; bahwa tidak boleh terdapat penggambaran
kekerasan dan atau pengendalian oleh pria terhadap wanita ataupun sebaliknya,
oleh wanita terhadap pria.
3.3.5 Perbedaan; bahwa pria dan wanita di segala tingkat usia memiliki kesempatan
yang sama dalam berperan atau berprestasi.
3.3.6 Bahasa bias gender; bahwa tidak boleh terdapat kesan penggunaan istilah atau
ungkapan yang dapat disalahartikan atau yang dapat menyinggung perasaan
sesuatu jender, maupun yang mengecualikan pria atau wanita.
3.4 Penyandang Cacat
Iklan tidak boleh memberi kesan yang merendahkan atau mengejek penyandang
cacat.
3.5 Tenaga Profesional
Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 24

3.5.1

3.5.2

Iklan produk obat-obatan (baik obat-obatan bebas maupun tradisional), alat-alat


kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga serta makanan dan
minuman tidak boleh menggunakan tenaga professional, identitas, atau segala
atribut profesi, baik secara jelas maupun tersamar.
Iklan yang mengandung atau berkaitan dengan profesi tertentu harus mematuhi
kode etik profesi tersebut.

3.6 Hewan
Iklan tidak boleh menampilkan perlakuan yang tidak pantas terhadap hewan,
utamanya dari spesies yang dilindungi dan hewan peliharaan.
3.7 Tokoh Animasi
3.7.1 Penggunaan tokoh animasi sebagai peniruan seorang tokoh atau sesuatu karakter
yang popular, harus atas ijin dari yang bersangkutan atau pemillik hak atas
karakter tersebut.
3.7.2 Suatu tokoh animasi tidak boleh ditampilkan secara menakutkan atau
menjijikkan secara berlebihan.
3.7.3 Penokohan sosok animasi hasur tetap sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya
bangsa.

Hukum dan Etika Bisnis | Norma Moral Kelompok 4 25

Anda mungkin juga menyukai