Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

Demam berdarah disebabkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Nyamuk


yang sudah terinfeksi virus kemudian menggigit orang sehat dan
memindahkan virusnya bersama air ludah ke dalam tubuh. Virus
memperbanyak diri dan menginfeksi sel darah putih serta kelenjar getah
bening kemudian masuk ke sistim sirkulasi darah. Virus yang berada
dalam darah selama tiga hari sejak ditularkan oleh nyamuk. Saat itulah
sistim imunitas tubuh membentuk antigen untuk merespons virus Dengue
dan saat itu pula suhu tubuh mengalami peningkatan sekitar 39-40 oC.
(Asih Y, 1999)
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada
penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap
Penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam
tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit,
mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian.
Sejalan pesatnya perkembangan penelitian dibidang obat, saat
ini tersedia berbagai pilihan obat sehingga diperlukan pertimbangan yang
cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Walaupun temuan dan
terobosan substansial di bidang obat telah memberikan konstribusi yang
besar dan meningkatkan pelayanan masyarakat , namun perlu disadari
bahwa

obat

meninggalkan

efek

yang

tidak

diinginkan

apabila

kegunaannya tidak tepat. Obat berperan sangat penting dalam pelayanan

kesehatan. Penanganan dan pencegahan penyakit tidak dapat dilepaskan


dari berbagai tindakan terapi dan obat. (Ganiswara, 1995).
Berdasarkan hasil survei bahwa penggunaan obat golongan
kortikosteroid di RSUD Lanto Dg Pasewang sangat meningkat sehingga
sering diresepkan untuk penatalaksanaan demam berdarah dengue.
Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping yang berat seperti : osteoporosis, hipertensi,
diabetes alkalosis, hipokalemi, penurunan kekebalan, gastritis, gangguan
1
pertumbuhan, katarak, moon face dan kegemukan. Sebagian efek
samping ini tergantung dosis dan dapat dikurangi dengan mencuci mulut
setelah penggunaan (Ikawati, 2006).
Kontraindikasi kortikosteroid adalah infeksi sistemik, vaksinasi
dengan virus aktif pada pasien yang menerima dosis immunosupresive.
Steroid inhalasi dikontraindikasikan untuk serangan akut dan harus
digunakan dengan hati-hati pada anak-anak karena dapat menimbulkan
gangguan pertumbuhan (Anonim,2000).
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius
dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif
yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan
kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa
pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Yang jelas masih
banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan
khususnya dalam peresepan obat.

Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian,


dan secara umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang
rasional. WHO memberikan definisi sebagai berikut pasien menerima obat
sesuai dengan kebutuhan kliniknya, pada dosis yang tepat secara
individual, waktu pemakaian terukur, dan terjangkau harganya oleh pasien
yang bersangkutan, atau masyarakat sekelilingnya (Quick, 1997).
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
suatu permasalahan yaitu seberapa besar penggunaan dan pemakaian
obat golongan kortikosteroid pada pasien demam berdarah dengue di
RSUD Lanto Dg Pasewang selama bulan Januari sampai Maret 2011?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah dan jenis
penggunaan dan pemakaian obat golongan kortikosteroid pada pasien
demam berdarah dengue di RSUD Lanto Dg Pasewang
Januari sampai Maret 2011.

selama bulan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Uraian Tentang Rumah Sakit


Rumah sakit adalah institusi yang memberikan pelayanan
kepada mereka yang sakit. Dalam menjalankan kewajibanya, rumah
sakit pada dasarnya tidak terlepas dari Batasan Badan Kesehatan
Dunia (WHO, 1957) bahwa peran rumah sakit tidak dapat dipisahkan
dari keutuhan pelayanan kesehatan.
Menurut WHO, rumah sakit adalah bagian integral dari suatu
organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan
pelayanan paripurna, kuratif dan preventif kepada masyarakat
dengan pelayanan rawat tinggal dan rawat jalan yang menjangkau
keluarga dan lingkungan rumah. Rumah sakit juga merupakan pusat
pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat pelayanan biomedik.
Kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut rumah sakit
termasuk di dalam upaya rujukan kesehatan dan rujukan medis.
Rujukan kesehatan terutama berkaitan dengan upaya promotif dan
preventif yang mencakup bantuan teknologi, sarana dan operasional.
Sedangkan tujuan medis adalah rujukan pelayanan terutama meliputi
upaya kuratif dan rehabilitatif.

Dengan demikian rumah sakit selayaknya menyediakan atau


menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik,
pelayanan perawatan, rehabilitatif, preventif dan promotif.
Oleh karena itu rumah sakit merupakan sebuah instalasi yang
kompleks dan unik, karena sifat dari rumah sakit adalah padat karya,
padat moral serta padat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adapun fungsi dari rumah sakit sebagai sarana pelayanan
kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pelayanan medis
2. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis
3. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan
5. Menyelenggarakan pelayanan pendidikan dan latihan
6. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
7. Menyelenggarakan

administrasi

umum

dan

keuangan

(Setiawan,1991 & Anonim,1989 & Depkes RI,1978)

B. Uraian Tentang Demam Berdarah Dengue


Demam berdarah atau demam berdarah dengue adalah
penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan
penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus
Flavivirus, famili Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga
tidak ada proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa

serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. Demam berdarah disebarkan


kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti.
1. Tanda dan gejala
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara
tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot
(myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah
mempunyai ciri-ciri merah terang, petekial dan biasanya muncul
duluan pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia
menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu,
radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut,
rasa mual, muntah-muntah atau diare.
Demam berdarah umumnya sekitar enam atau tujuh hari
dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa
demam. Secara klinis, jumlah platelet akan jatuh hingga pasien
dianggap afebril. Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3 - 15
hari.
Demam berdarah dapat berlangsung ringan sampai berat
sekali. Menurut WHO demam berdarah dapat dibagi menjadi 4
tingkatan, yaitu :
a. Derajat I, terdapat demam disertai gejala tidak khas dan satusatunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
b. Derajat II, apabila ditemukan derajat I disertai perdarahan kulit
atau perdarahan lain.

c. Derajat III, apabila terdapat kegagalan sirkulasi, yaitu nadi


cepat dan lembut, tekanan atau amplitudo nadi menurun atau
hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi
gelisah.
d. Derajat IV, apabila terjadi syok berat dengan nadi tak teraba
dan tekanan darah tak teratur. (Anonim 2011)
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada
penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap
penderita yang diduga menderita penyakit demam berdarah dalam
tingkat yang manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah
Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok / kematian.
Penyebab demam berdarah menunjukkan demam yang lebih tinggi,
pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Sejumlah kecil
kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai
tingkat kematian tinggi.
2. Diagnosis
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis.
Biasanya yang terjadi adalah demam tanpa adanya sumber infeksi,
ruam petekial dengan trombositopenia dan leukopenia relatif.
Serologi dan reaksi berantai polimerase tersedia untuk memastikan
diagnosa

demam

berdarah

jika

terindikasi

secara

klinis.

Mendiagnosis demam berdarah secara dini dapat mengurangi


risiko kematian daripada menunggu akut.

3. Pengobatan
Bagian terpenting dari pengobatannya adalah terapi suportif.
Sang pasien disarankan untuk menjaga penyerapan makanan,
terutama dalam bentuk cairan. Jika hal itu tidak dapat dilakukan,
penambahan dengan cairan intravena mungkin diperlukan untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan.
Transfusi platelet dilakukan jika jumlah platelet menurun drastis.
Pengobatan alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum
jus jambu biji bangkok, namun khasiatnya belum pernah dibuktikan
secara medik. Kombinasi antara manajemen secara medik dan
alternatif tetap harus dipertimbangkan
4. Epidemologi
Wabah

pertama

terjadi

pada

tahun

1780-an

secara

bersamaan di Asia, Afrika dan Amerika Utara. Penyakit ini


kemudian dikenali pada 1779. Wabah besar global dimulai di Asia
Tenggara pada 1950-an dan hingga 1975 demam berdarah telah
menjadi penyebab kematian utama di antara anak-anak di daerah
tersebut.
5. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk
flavivirus demam berdarah. Pencegahan utama demam berdarah
yaitu

dengan

menguras

dan

menyikat

tempat-tempat

penampungan air, menutup rapat-rapat tempat penampungan air


dan mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan telah terbukti berguna untuk
mengontrol penyakit yang disebabkan nyamuk.
6. Proses Terjadinya Demam Berdarah Dengue
Secara kronologis prosesnya dimulai dari nyamuk Aedes
aegypti yang tidak bervirus menggigit dan mengisap darah
seseorang yang telah terkena demam berdarah dengue. Nyamuk
yang sudah terinfeksi virus kemudian menggigit orang sehat dan
memindahkan virusnya bersama air ludah ke dalam tubuh.
Pada

saat

tersebut,

virus

memperbanyak

diri

dan

menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening untuk


kemudian masuk ke sistem sirkulasi darah. Virus ini sebenarnya
hanya ada di dalam darah selama 3 hari sejak ditularkan oleh
nyamuk. Pada hari-hari itulah terjadi pertempuran antara antibodi
dan virus dengue yang dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.
Badan biasanya mengalami gejala demam dengan suhu tinggi
antara 39 sampai 40 derajat celcius. Akibat pertempuran tersebut
terjadi penurunan kadar trombosit dan bocornya pembuluh darah
sehingga membuat plasma darah mengalir ke luar. Penurunan
trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hari ketiga. Masa kritis
penderita demam berdarah berlangsung sesudahnya, yakni pada
hari keempat dan kelima.

10

Pada fase ini, suhu badan turun dan biasanya diikuti oleh
sindrom shock dengue karena perubahan yang tiba-tiba. Muka
penderita pun menjadi memerah atau facial flush. Biasanya,
penderita juga mengalami sakit pada kepala, tubuh bagian
belakang, otot, tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak
jarang diikuti dengan muntah yang berlanjut dan suhu dingin dan
lembab pada ujung jari serta kaki.
Penanganan yang benar pada fase tersebut sangat
ditekankan agar penderita bisa melewati masa kritisnya dengan
baik. Caranya dengan banyak memberikan asupan cairan kepada
penderita sebagai pengganti plasma darah. Hal ini dikarenakan
banyaknya cairan tubuh yang hilang dengan cepat akibat
merembesnya plasma darah yang keluar dari pembuluh darah.
Pemberian infus diberikan apabila penderita dalam kondisi
muntah terus, tidak bisa makan dan minum, menderita kejang,
kesadaran menurun atau derajat kebocoran plasma darahnya
tinggi, yang biasa terjadi pada fase kritis. Begitu pula dengan
transfusi trambosit yang akan diberikan jika trambosit penderita di
bawah 100.000 dengan pendarahan yang cukup banyak. Bila masa
kritis itu bisa dilewati dengan baik maka pada hari keenam dan
ketujuh kondisi penderita akan berangsur membaik dan kembali
normal pada hari ketujuh atau kedelapan.

11

Gambar 1 : Grafik tahap penyembuhan demam berdarah dengue


(DBD)
C. Uraian Umum Kortikosteroid
1) Pengertian
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid
yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai
tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II.
Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat,
pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Secara

umum

terdapat

beberapa

jenis

obat

golongan

12

kortikosteroid misalnya Aldosteron, betametason, beklometason


dipropionat,

budesonida,

diflukortolon

valerat,

dexamethasone,

fludrokortisone

desoximetason,

acetat,

fluokortolon

pivalat,flumetason pivalat, fluosinolon asetonida, flupredniden


asetat,

flutikason

propionate,

halsinonida,

hydrocortisone,

kortison, klobetasol propionate, methylprednisolon, mometasone


furoat, phenylbutazone, prednisone, dan triamsinolon asetonida
(Anonim, 2006).
Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi dua
yaitu:
a. Glukokortikoid yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi
dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat
pula menurunkan kinerja eosinofil, misalnya dexamethasone
dan turunannya.
b. Mineralokortikoid yang berfungsi mengatur kadar elektrolit
dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa
kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut
dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan
satu jenis efek, misalnya prednison dan turunannya.
2. Biosintesis Dan Kimia
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol,
yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih
lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan
androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga

13

merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang


digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen),
baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari
cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin
dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam
tumbuhan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan
sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis
berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah
yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan
biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.
3. Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan
sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati
membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target
hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam
sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid.
Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak
menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.

14

Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek


fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid
merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik. pada
jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau
toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
a. Farmakokinetik
Metabolisme

kortikosteroid

sintetis

sama

dengan

kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison)


memiliki

berbagai

efek

fisiologis,

termasuk

regulasi

metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan


dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat
oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan
balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan
glukokortikoid.
b. Farmakodinamik
Kortikosteroid

mempengaruhi

metabolisme

karbohidrat, protein dan lemak, dan mempengaruhi juga


fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf,
dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya

15

penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri


dalam menghadapi perubahan lingkungan (Sukandar, 2008).
4. Kortikosteroid Alami
Di dalam tubuh sebenarnya diproduksi kortikosteroid alami
yang berasal dari tubuh kita sendiri. Salah satunya adalah
kortisol.

Kortisol

glukokortikoid

yang

merupakan
berasal

hormon
dari

steroid

kolesterol.

golongan

Hormon

tsb

mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tubuh, termasuk


kemampuan seseorang untuk menghadapi stressor (gangguan
/tekanan /pengaruh dari luar) yang dapat menyebabkan stres.
Dengan kata lain, jumlah hormon kortisol dapat berpengaruh
terhadap tubuh. Jumlah kortisol dalam tubuh meningkat pada
pagi hari dan rendah pada malam hari (Samuraithief, 2011).
Beberapa efek negatif peningkatan kortisol dalam tubuh
adalah sebagai berikut (Samuraithief, 2011):
a. Gangguan kinerja kognitif
b. Menekan fungsi tiroid
c. Ketidakseimbangan gula darah seperti hiperglikemia
d. Penurunan kepadatan tulang

16

e. Penurunan jaringan otot


f. Tekanan darah
g. Menurunkan kekebalan dan respon peradangan di dalam
tubuh, memperlambat penyembuhan luka, dan konsekuensi
kesehatan lainnya
h. Peningkatan lemak perut yang dapat mengakibatkan adalah
serangan jantung, stroke, pengembangan metabolik sindrom,
peningkatan LDL, penurunan HDL.
5.

Indikasi
Terdapat beberapa pengaruh kortikosteroid terhadap
fungsi dan organ tubuh yaitu sebagai berikut:
a. Metabolisme karbohidrat dan protein
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah
sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga
merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis.
Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit
menghambat

lipolisis

sehingga

hasil

akhirnya

adalah

peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam


lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada
kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan
dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein

otot

17

melepas

asam

amino, perangsangan lipolisis, dan

hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.


Hormon ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer
dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolik.
Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi
jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi
osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan
nitrogen menjadi negatif. Asam amino tersebut dibawa ke
hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan
dalam produksi glukosa dan glikogen.
b. Metabolisme lemak
Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka
panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan
distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul
secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang
(buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka
(moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan
menghilang.
c. Keseimbangan air dan elektrolit
Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+
serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar
mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na
yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia,
dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya:

18

hiponatremia,

hiperkalemia,

volume

cairan

ekstrasel

berkurang dan hidrasi sel.


d. Sistem kardiovaskular
Kortikosteroid

dapat

mempengaruhi

sistem

kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh


tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and elektrolit,
misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume
yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini
didiamkan

akan

timbul

hipotensi

dan

akhirnya

kolaps

kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem


6.

kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. \


Prinsip terapi kortikosteroid (Mikhael, 2010):
Terdapat beberapa prinsip terapi yang harus
diperhatikan dalam menggunakan obat golongan kortikosteroid
yaitu sebagai berikut:
a. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus
ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari
waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu
dosis

tunggal

besar

kortikosteroid

umumnya

tidak

berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari


tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan
kecuali dengan dosis sangat besar.
b. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih
hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek
samping dan efek letal potensial akan bertambah. Kecuali
untuk

insufisiensi

adrenal,

penggunaan

kortikosteroid

19

bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi


hanya bersifat paliatif karena efek anti- inflamasinya.
c. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka
panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi
adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid
akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan
dalam dosis minimal yang masih efektif. Kemudian dalam
periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai
tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi.
d. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam
pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam
beberapa

hari

belum

terlihat

efeknya,

dosis

dapat

dilipatgandakan.
e. Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien,
kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu
singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
f. Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat
dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis
tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat
diterapkan untuk semua penyakit.
7. Penggunaan preparat kortikosteroid
Beberapa kasus penggunaan preparat kortikosteroid yaitu:
a. Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus
dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau
deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27-

20

34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat


badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
b. Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis
rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan
dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat
bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan
obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.
c. Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada
sindrom nefrotik yang

disebabkan

lupus

eritematus

sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.


d. Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk
eksaserbasi akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya
bervariasi. Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang
bermanfaat.
e. Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
f. Penyakit alergi, hepar, leukemia, syok, edema serebral, dan
trauma sumsum tulang belakang.
g. Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis
optika, koroiditis).
8. Efek Samping
Sampai saat ini ratusan produk kortikosteroid tersedia di
pasaran. Layaknya obat lainnya, kortikosteroid juga beresiko
menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, bahkan
beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah
kesehatan yang cukup serius. Ketika anda mengetahui efek
samping yang mungkin terjadi dari obat ini, diharapkan anda
bisa mengambil langkah untuk mengontrolnya.

21

a.

Efek samping jangka pendek.

1.

Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)

2.

Banyak ekimosis

3.

Kulit tipis
4. Retensi cairan yang menyebabkan pembengkakan di
tungkai

5.

Peningkatan tekanan darah (Hipertensi)

6.

Tonjolan kerbau (buffalo hump).

7.

Wajah bulan (moon face)

b. Efek samping jangka panjang (Neal, 2006).


1.

Supresi adrenal
Supresi adrenal dapat terjadi pada penggunaan jangka
lama dan bertahan beberapa tahun setelah pengobatan
dihentikan.

Pengurangan

dosis

yang

tiba-tiba

setelah

penggunaan lama (lebih dari 7 hari) dapat menyebabkan

22

insufisiensi adrenal akut, hipotensi dan kematian. Oleh karena


itu penghentian harus bertahap. Efek Supresi adrenal ini
paling kecil bila obat diberikan pagi hari. Untuk mengurangi
efek ini lebih lanjut, dosis total dua hari sebaiknya diberikan
sebagai dosis tunggal berselang sehari. Cara ini cocok untuk
terapi atritis rheumatoid, tetapi tidak cocok untuk terapi asma
bronkial. Efek supresi ini juga dapat dikurangi dengan
pemberian intermitten (Sukandar, 2008).
2. Pengurangan produksi cortisol sendiri.
Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar
adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan
dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA)
penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah
steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid atau
terhadap stres seperti infeksi atau trauma maka dapat
mengakibatkan sakit parah.

3. Meningkatkan kerentanan terhadap infeksi


Pemberian obat steroid dapat menurunkan fungsi
jaringan limfa sehingga menyebabkan berkurangnya dan
mengecilnya sel limfosit. Efek ini menyebabkan menurunnya

23

kekebalan

tubuh

atau

imunosupresan

pada

seseorang

sehingga mudah terkena infeksi. Oleh karena itu, penggunaan


obat kortikosteroid sebaiknya diberikan tambahan suplemen
penambah daya tahan tubuh.
4. Diabetes
Kortikosteroid

dengan

efek

glukokortikoid

dapat

meningkatkan glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa


dari protein, sehingga beresiko meningkatkan kadar gula
darah. Karena itu, orang dengan resiko diabetes dapat
mengalami kenaikan kadar gula darah yang nyata.
5. Penekanan pertumbuhan pada anak-anak
Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat
menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya
terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap
tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses
pertumbuhan memanjang.
Penghambatan

pertumbuhan

pada

pemakaian

kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor


hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan
sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel
di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.

24

6. Osteoporosis
Pengguanaan kortikosteroid secara terus menerus
akan meningkatkan penguraian protein sehingga mengurangi
pembentukan protein, termasuk protein yang diperlukan untuk
pembentukan tulang. Akibatnya terjadi osteoporosis atau
keropos tulang, karena matriks protein tulang menyusut.
7. Psikosis
Psikosis

adalah

ketidakmampuan

untuk

menilai

realitas, ditandai dengan kelainan berfikir dan ide-ide aneh,


sering kali berupa delusi dan halusinasi. Sebagian besar
psikosis terjadi akibat terapi steroid.
8. Ulserasi peptik
Penggunaan kortikosteroid dapat meningkatkan kadar
asam lambung, sehingga akan terjadi ulserasi peptik yang
hebat.

Oleh

karena

itu,

penggunaan

obat

golongan

kortikosteroid sebaiknya setelah makan atau tidak dalam


keadaan perut kosong.
9.

Hipokalemia
Kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar hormon

kostikosteroid termasuk aldosteron. Sama seperti aldosteron

25

di dalam tubuh, penggunaan obat kortikosteroid dari luar


secara berlebihan dan dalam waktu yang lama juga
menyebabkan ginjal mengeluarkan kalium dalam jumlah besar
sehingga seseorang menderita hipokalemia yaitu suatu
keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari
3.8 mEq/L darah.
D. Kerasionalan Obat
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa
kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung
interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup :
a. Tepat indikasi sesuai dengan standar medis/panduan klinis
atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya.
b. Tepat pemilihan obat berdasarkan efektivitasnya

dan

keamanannya.
c. Tepat penggunaan obat yaitu pasien mendapat informasi
yang relevan, penting dan jelas mengenai kondisinya dan
obat yang diberikan, misal aturan pakai, cara pemberian.
d. Tepat pasien yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan
efek samping yang tidak diinginkan
e. Tepat monitoring artinya efek obat diketahui dan yang tidak
diketahui dipantau dengan baik (Santoso dkk, 2003).
Penulisan resep yang tidak rasional selain menambah biaya,
kemungkinan juga dapat menimbulkan efek samping yang semakin
besar serta dapat menghambat mutu pelayanan. Pengobatan yang
irasional adalah pengobatan yang tidak sesuai atau tidak tepat dengan

26

dosis, indikasi, jenis obat, diagnosis, cara dan lama pemberian,


penilaian terhadap kondisi pasien, informasi dan tindak lanjutnya
(Sastramihardja dan Herry, 1997).

BAB III

27

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah merupakan penelitian noneksperimental
(observasional), deskriptif dengan data retrospektif. Inklusi data
meliputi semua dokumen medik kesehatan penderita
berdarah

dengue

di

RSUD

Lanto

Dg

Pasewang

demam

Kabupaten

Jeneponto.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Rencana penelitian ini akan dilakukan di RSUD Lanto Dg

Pasewang Kabupaten Jeneponto, pada bulan September 2011.


Dan data yang diambil adalah data sekunder.
C. Populasi dan sampel penelitian
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah rekam
medik pasien rawat inap di RSUD Lanto Dg Pasewang Kabupaten

Jeneponto, sedangkan sampel penelitian adalah pasien Demam


Berdarah Dengue periode Januari sampai Juni 2011.
D. Prosedur Kerja
1. Dikumpulkan semua rekam medik pasien rawat inap pada bulan
Januari sampai Juni 2011.
2. Dipilih resep yang mengandung obat kortikosteroid, dihitung jenis,
bentuk sediaan, dan dosis obat yang diberikan pada pasien.

27

28

E. Pengumpulan data
Data diperoleh dari catatan rekam medik pasien demam

berdarah dengue selama periode bulan Januari sampai Juni 2011.


F.

Analisis Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah deskriptif, maka data
yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan kemudian dilakukan
evaluasi menghitung prosentasenya.

29

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Tabel 1.

Data penulisan resep obat yang diberikan pada pasien


Demam Berdarah Dengue Di Rumah Sakit Umum Daerah
Lanto Daeng Pasewang yang ditulis oleh dokter pada bulan
Januari 2011- Juni 2011
Jumlah Resep yang
ditulis oleh dokter
A
B
6
2

No.

Bulan

1.

Januari

2.

Februari

3.

Maret

4.

April

12

5.

Mei

10

6.

Juni

Obat
Kortikosteroid
Inj.deksametaso
n
Inj.deksametaso
n
Inj.deksametaso
n
Inj.deksametaso
n

Jumlah
48
16
Sumber Data : RSUD Lanto Daeng Pasewang
Keterangan :
A : Jumlah Resep yang ditulis oleh dokter
B : Jumlah Resep yang mengandung obat kortikosteroid.

29

30

B. Pembahasan
Dalam bidang farmasi, obat-obat yang disintesis sehingga
memiliki efek seperti hormon kortikosteroid pasti memiliki manfaat
yang sangat penting. Misalnya obat-obat golongan kortikosteroid yang
mempunyai efek sebagai antiinflamasi, antihistamin, asma, hepatitis,
dermatitis, sistemic lupus erythematosus, sarcoidosis dan digunakan
pada keadaan-keadaan yang memerlukan

terapi

kortikosteroid.

Manfaat dari preparat ini cukup luas tetapi efek samping yang
ditimbulkan

juga cukup banyak, maka

dalam penggunaannya

dibatasi (Sukandar,dkk., 2008).


Beberapa

efek

samping

obat

kortikosteroid

dapat

menimbulkan masalah-masalah kesehatan yang cukup serius seperti


glaukoma, gangguan mental, euphorbia, peningkatan tekanan darah,
Sindrom Cushing yang sifatnya berpulih, osteoporosis, peningkatan
kerentangan terhadap infeksi, penekanan pertumbuhan pada anakanak serta efek samping lain yang sangat berbahaya. Efek yang
seperti ini bukanlah efek yang mudah untuk diabaikan tetapi
kenyataan di lapangan, masih banyak masyarakat yang sering
menggunakan obat-obat kortikosteroid secara tidak benar misalnya
pada penggunaan dexamethasone yang seharusnya diindikasikan
sebagai antiinflamasi tetapi digunakan untuk menambah berat badan
dan demam berdarah dengue (Sukandar, dkk. 2008).

31

Tubuh dalam keadaan normal memproduksi kortikosteroid


alami dalam jumlah yang cukup. Fungsinya, untuk membantu
metabolisme tubuh dan melawan stress. Konsumsi obat kortikosteroid
dari luar tubuh dalam

waktu yang lama akan direspon oleh tubuh

dengan menghentikan produksi kortikosteroid alami. Jika sewaktuwaktu konsumsi obat kortikosteroid dihentikan, tubuh akan segera
kekurangan kortikosteroid (tubuh kita perlu waktu untuk memproduksi
kortikosteroid alami). Akibatnya, metabolisme tubuh akan kacau balau
(rebound phenomenon). Bahkan pada beberapa kasus dapat berakhir
dengan kematian (Wahl, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa jumlah pasien DBD yang
berobat dirumah sakit tersebut sebanyak 48 orang selama periode
Januari sampai Juni 2011. Sedangkan pasien yang menerima obat
kortikosteroid sebanyak 16 orang dan mendapatkan terapi injeksi
dexametason.

32

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa penggunaan obat kortikosteroid pada pasien
demam berdarah dengue rawat inap Di Rumah Sakit Umum Daerah
Lanto Daeng Pasewang selama periode Januari sampai Juni 2011
yaitu injeksi deksametason.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efek samping
penggunaan obat kortikosteroid pada penderita demam berdarah
dengue.

33

DAFTAR PUSTAKA
Asih Y, 1999, Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan,
Pencegahan dan Pengendalian, Edisi 2, Jakarta, EGC
Djamhuri, A., 1990, Sinopsis Farmakologi Dengan Terapan Khusus di
Klinik dan Perawatan, Hipokrates, Jakarta, 123 129.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Jakarta
Sirgar Charles J.P, 2003, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Terapan,
Penerbit EGC Kedokteran, Jakarta 22, 89
Muchtar, A. (1985), Farmakologi Klinik Dan Penggunaan Obat Yang
Rasional, Majalah Farmakologi Indonesia Dan Terapi
Nanizar Z.J.,2001, Ars Prescribendi Resep yang Rasional, Edisi 2,
Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.
Tjay T.H., dan Rahardja K., 2002, Obat Obat Penting, Edisi Ke IV,
Direktur Jenderal Obat dan Makanan, Departeman Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Quick, J.D.1997, Managing Drug Supply, 2nd Ed., bab III D.28. 422437,
Kumarian Press, West Hartford
Wikipedia,
2007,
cara-mengobati-Demam
Berdarah
Dengue,http://www.medicastore.com/stroke/, diakses tanggal 08
April 2011
Medistro, 2009, Penyakit DBD, http://medicastore.com/, diakses tgl 08
April 2011
Neal M.J., 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Edisi V, Jakarta,
Erlangga 72-73
Sunarto dan Sutaryo., 1991, Penatalaksanaan Demam Berdarah,
http://www.i-lib.ugm.ac.idjurnaldownload.phpdataId=7456.pdf,
diakses tanggal 28 Mei 2011

34

Surat Dari Jurusan Farmasi


( UIT )

Dinas Kesehatan kabupaten


Jeneponto

Rumah Sakit Umum Daerah


Lanto Dg. Pasewang

Apotek / Depo Farmasi


dan catatan Resep/rekam medik

Pengumpulan Data

Analisa Data

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar

1.

Studi Penggunaan Obat Golongan


Kortikosteroid Pada Terapi Demam Berdarah Dengue Di
Rumah Sakit Umum Daerah Lanto Dg. Pasewang
kabupaten Jeneponto.
Skema

Kerja

Anda mungkin juga menyukai