Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam, sehingga kita bisa menikmati
segala karunianya. Dengan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan Studi
Lapangan Bioproses Pembuatan Enzim Selulase dari Aspergillus Oryzae dengan Substrat
Serbuk Kayu Mahoni.
Dewasa ini enzim sangat diperlukan, hal ini menyebabkan harga enzim yang mahal.
Karena itu kami membuat enzim selulase agar ke depannya dapat dikembangkan dengan lebih
baik lagi. Dalam laporan ini kami membahas tentang pembuatan enzim selulase, dari dasar teori,
alat dan bahan, beserta langkah kerja yang harus dilaksanakan. Dengan adanya laporan ini
diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk dapat membuat enzim selulase dari serbuk kayu
yang terlihat tidak bermanfaat.
Kami menyadari sepenuhnya dalam pembuatan laporan ini masih terdapat banyak
kesalahan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan di masa mendatang.
Akhirnya kami berharap semoga laporan studi lapangan ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Wassalamualaikum wr. wb.

DAFTAR ISI
i

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
I.6

Latar Belakang................................................................................................... 1

I.1

Rumusan Masalah............................................................................................... 2

I.3

Tujuan Kegiatan.................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................4


II.1

Enzim.............................................................................................................. 4

II.2

Selulase............................................................................................................ 7

II.3

Jenis Mikroorganisme........................................................................................... 8

II.4

Pertumbuhan Mikroorganisme................................................................................9

II.5

Sistem Fermentasi Padat....................................................................................... 9

II.6

Uji Benedict..................................................................................................... 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...................................................................................................15


III.1

Rancangan Percobaan......................................................................................... 16

III.2

Alat dan Bahan yang Digunakan........................................................................... 17

III.3

Prosedur Percobaan........................................................................................... 19

III.4

Bagan Prosedur Percobaan Pembuatan Enzim Selulase................................................20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................................22


IV.1

Uji Enzim Selulase............................................................................................ 22

BAB V PENUTUP....................................................................................................................................26
V.1

Kesimpulan..................................................................................................... 26

V.2

Daftar Pustaka.................................................................................................. 27

ii

BAB I
PENDAHULUAN
I.6 Latar Belakang
Sifat dan karakteristiknya yang unik, menjadikan kayu sebagai bahan yang paling banyak
digunakan untuk keperluan konstruksi. Kebutuhan kayu yang terus meningkat dan potensi hutan
yang terus berkurang menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain dengan
memanfaatkan limbah berupa serbuk kayu menjadi produk yang bermanfaat. Di lain pihak,
seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat.

Sebagai

konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Limbah plastik merupakan


bahan yang tidak dapat terdekomposisi oleh mikroorganisme pengurai (non biodegradable),
sehingga penumpukkannya di alam dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lingkungan.
Perkembangan teknologi, khususnya di bidang papan komposit, telah menghasilkan produk
komposit yang merupakan gabungan antara serbuk kayu dengan plastik daur ulang. Teknologi ini
berkembang pada awal 1990-an di Jepang dan Amerika Serikat. Dengan teknologi ini
dimungkinkan pemanfaatan serbuk kayu dan plastik daur ulang secara maksimal, dengan
demikian akan menekan jumlah limbah yang dihasilkan. Di Indonesia penelitian tentang produk
ini sangat terbatas, padahal bahan baku limbah potensinya sangat besar.
Kebutuhan manusia akan kayu sebagai bahan bangunan baik untuk keperluan konstruksi,
dekorasi, maupun furniture terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di Indonesia diperkirakan sebesar 70 juta m 3 per tahun
dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2 % per tahun sedangkan produksi kayu bulat diperkirakan
hanya sebesar 25 juta m3 per tahun, dengan demikian terjadi defisit sebesar 45 juta m3
(Priyono,2001). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya konversi hutan alam menjadi
lahan pertanian, perladangan berpindah, kebakaran hutan, praktek pemanenan yang tidak efisien
dan pengembangan infrastruktur yang diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut
penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain melalui konsep the whole tree
utilization, disamping meningkatkan penggunaan bahan berlignoselulosa non kayu, dan
pengembangan produk-produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu.

Patut disayangkan, sampai saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu di Indonesia
masih menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Purwanto dkk, (1994) menyatakan komposisi
limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu adalah sebagai berikut:
1. Pada pemanenan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai 66,16%.
2. Pada industri penggergajian limbah kayu meliputi serbuk gergaji 10,6%, sebetan 25,9%,
dan potongan 14,3%, dengan total limbah sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang
digunakan.
3. Limbah pada industri kayu lapis meliputi limbah potongan 5,6%, serbuk gergaji 0,7%,
sampah vinir basah 24,8%, sampah vinir kering 12,6%, sisa kupasan 11,0%, dan potongan
tepi kayu lapis 6,3%. Total limbah kayu lapis ini sebesar 61,0% dari jumlah bahan baku
yang digunakan.
Data Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa
produksi kayu lapis Indonesia mencapai 4,61 juta m 3 sedangkan kayu gergajian mencapai 2,06
juta m3. Dengan asumsi limbah yang dihasilkan mencapai 61% maka diperkirakan limbah kayu
yang dihasilkan mencapai lebih dari 5 juta m3 (BPS, 2000).
Bagi kebanyakan orang, serbuk gergaji atau grajen lebih sering dianggap sebagai barang
buangan. Status ekonominya tidak lebih dari limbah industri kayu atau paling tinggi sebagai
media tanam untuk budidaya jamur. Namun siapa sangka grajen bisa dijadikan media lukisan di
atas kanvas.
Namun, dewasa ini pemanfaatan limbah kayu dapat digunakan sebagai produksi enzim
yang dalam kehidupan nyata dapat digunakan untuk keperluan laboratorium dan lain - lain.
Produksi enzim juga dapat menghasilkan keuntungan banyak karena harga enzim yang tidak
murah.
I.1 Rumusan Masalah

Berikut ini adalah rumusan masalah yang akan dibahas pada laporan ini.
a. Apakah Aspergillus oryzae

dengan substrat serbuk kayu dapat menghasilkan enzim

selulase?
b. Apakah enzim selulase yang dihasilkan menunjukkan karakteristik enzim selulase dengan
uji kualitatif (uji Benedict)?
I.3 Tujuan Kegiatan
2

Berikut ini adalah tujuan dari kegiatan ini:


a. Untuk mengetahui apakah Aspergillus oryzae dengan substrat serbuk kayu dapat
menghasilkan enzim selulase.
b. Untuk mengetahui apakah enzim selulase yang dihasilkan menunjukkan karakteristik
enzim selulase dengan uji kualitatif (uji Benedict).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Enzim
Mikroorganisme, terutama ragi, telah digunakan selama beberapa ribu tahun untuk
membuat bir, minuman anggur, dan beberapa produk fermentasi lain. Namun, baru pada tahun
1878, oleh Kuhne, komponen sel ragi yang bertanggung jawab terhadap fermentasi disebut
sebagai

enzim (berasal dari bahasa Yunani yang berarti di dalam ragi). Kurang dari dua

dasawarsa berikutnya, sifat enzim yang tidak hidup dibuktikan secara jelas dengan menggunakan
ekstrak ragi yang bebas sel, ternyata ekstrak tersebut mampu mengkatalisis perubahan glukosa
menjadi etanol (Fowler M.W, 1988).
Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri makanan. Selain
itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi, dan tekstil. Lebih dari 2000 enzim
telah diisolasi, tetapi hanya 14 enzim yang diproduksi secara komersial. Kebanyakan dari enzim
ini adalah hidrolase, misalnya amilase, protease, pektinase, dan selulase. Enzim penting lainnya
adalah glukosa isomerase dan glukosa oksidase. Alasan digunakannya enzim dalam industri
adalah enzim mempunyai kelebihan antara lain:

Kemampuan katalitik yang tinggi, mencapai 109 - 1012 kali laju reaksi nonaktivitas enzim.
Spesifikasi substrat yang tinggi.
Reaksi dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, yaitu pada tekanan dan temperatur
rendah.
Ada tiga sumber enzim, yaitu dari hewan, tumbuhan, dan sel mikroba. Dahulu hewan dan

tumbuhan merupakan sumber enzim tradisional, namun dengan berkembangnya ilmu


bioteknologi, masa depan terletak pada sistem mikrobial. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian
besar sumber enzim dalam skala industri adalah mikroorganisme. Beberapa alasan digunakan
mikroba adalah:

Sistem produksi mikrobial dapat diperoleh di bawah kontrol tertutup.


Level/tingkat enzim, sehingga produktivitas enzim dapat dimanipulasi secara lingkungan

dan genetika.
Metode pengayakan untuk sistem mikrobial cukup sederhana.
Tabel 2.1. Beberapa enzim yang dihasilkan mikroba dan aplikasinya (Fowler M.W., 1988)
4

Enzim

Selulase

Sumber
Bacillus subtilis
Aspergillus oryzae
Penicillium roqueforti
Aspergillus niger
Bacillus subtilis
Aspergillus oryzae
Saccharomyces cerevisiae
Aspergillus oryzae
Tricoderma sp.

Pektinase
Protease

Aspergillus niger
Clostridium sp.

Amylase
Penicillinase
Invertase

Aplikasi
Tekstil, pelarutan pati,
produksi glukosa
Degradasi penisilin
Industri permen
Pengurang viskositas, membantu sistem
pencernaan
Klarifikasi wine dan jus buah
Pelunak, membantu sistem pencernaan

Kebanyakan enzim mikroba yang digunakan secara komersial adalah ekstraseluler, di mana
enzim diproduksi dalam sel kemudian dikeluarkan atau berdifusi keluar sehingga memungkinkan
untuk direcovery. Seleksi organisme produser adalah kunci dalam pengembangan proses sistem
mikrobial. Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mikroorganisme:

Sumber organisme stabil.


Mudah tumbuh dan berkembang sehingga biaya produksi rendah.
Produktivitas enzim tinggi.
Tidak mengeluarkan racun.
Dari semua hal tersebut, yang paling penting adalah stabilitas strain dan produktivitas

enzim yang tinggi (Fowler M.W, 1988).


Sekalipun semua enzim dihasilkan di dalam sel, beberapa dieksresikan melalui dinding sel
dan dapat berfungsi di luar sel. Ada dua tipe enzim, yaitu enzim eksoenzim atau enzim
ektraseluler atau enzim di luar sel dan enzim endoenzim atau enzim intraseluler atau enzim di
dalam sel.
Berdasarkan tempat bekerjanya, bakteri juga memiliki 2 jenis enzim, yaitu endoenzim
dan eksoenzim. Endoenzim yaitu enzim yang bekerja di dalam sel. Sistem endoenzim selain
bersifat anabolik tapi juga bersifat katabolik. Sedangkan eksoenzim yaitu enzim yang
diekskresikan keluar sel dan berdifusi ke dalam media. Sebagian besar eksoenzim bersifat
hidrolitik, yang berarti bahwa eksoenzim menguraikan molekul kompleks menjadi molekulmolekul sederhana. Molekul-molekul yang lebih kecil ini kemudan dapat memasuki sel dan
digunakan untuk kepentingan sel.
Tabel 2.2. Perbedaan Enzim Ekstraseluler dan Enzim Intraseluler
Pembeda

Enzim Ekstraseluler

Enzim Intraseluler
5

Sebutan Lain
Tempat Kerjanya

Eksoenzim
Aktifitas di luar sel yang
menghasilkan enzim.

Endoenzim
Aktifitasnya di dalam sel.

Sebagian besar bersifat hidrolitik,


yang berarti bahwa eksoenzim
Sifat

mengeluarkan molekul-molekul
yang lebih sederhana (molekul

Bersifat anabolik dapat juga


bersifat katabolic.

yang lebih kecil).

Melangsungkan perubahanperubahan pada nutrien di


sekitarnya sehingga
memungkinkan nutrien tersebut
Fungsi Utama

memasuki sel; dengan kata lain,


mengambil zat-zat makanan yang
ada di sekelilingnya. Misalnya,
enzim amilase menguraikan zat
pati menjadi unit-unit gula yang
lebih kecil.

Reaksi yang Dilakukan

Melakukan reaksi hidrolisis

Enzim intraseluler mensintesis


bahan seluler dan
menguraikan nutrien untuk
menyediakan energi yang
dibutuhkan oleh sel, misalnya
heksokinase mengkatalisis
fosforilasi glukosa dan
heksosa (senyawa senyawa
gula sederhana) di dalam sel.
Melakukan reaksi oksidasi
dan reduksi.

II.2 Selulase
Enzim yang dapat menghirolisis ikatan (1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis
enzimatik yang sempurna memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu:

Endo-1,4--D-glucanase (endoselulase, carboxymethylcellulase atau CMCase), yang


mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan internal -1,4-glikosida untuk

menghasilkan oligodekstrin dengan panjang rantai yang bervariasi


Exo-1,4--D-glucanase (cellobiohydrolase), yang mengurai selulosa dari ujung pereduksi

dan non pereduksi untuk menghasilkan selobiosa dan/atau glukosa.


glucosidase (cellobiase), yang mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa.
6

Kompleks selulase digunakan secara komersial dalam pengolahan kopi. Selulase


digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan kertas bahkan kadang-kadang
digunakan dalam industri farmasi. Dalam krisis energi sekarang ini, selulase dapat digunakan
dalam fermentasi biomassa menjadi biofuel, walaupun proses ini sifatnya masih eksperimental.
Di bidang kesehatan selulase digunakan sebagai treatment untuk phytobezoarssalah satu
bentuk selulosa bezoar di dalam perut manusia.
Seperti yang dijelaskan di atas, selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan
menggunakan asam atau enzim. Hidrolisis menggunakan asam biasanya dilakukan pada
temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang cukup tinggi. Baru pada
tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase.
Selulosa diproduksi oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial
selulase pada umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa mikroorganisme yang
memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang mampu menghidrolisa kristal selulosa
secara invitro. Fungi adalah mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun
beberapa bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase. Fungi
berfilamen seperti Tricoderma dan Aspergillus adalah penghasil selulase dan crude enzyme
secara komersial. Fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam memproduksi selulase (Ikram dkk,
2005).

II.3 Jenis Mikroorganisme


Definisi
Aspergillus adalah suatu jamur yang termasuk dalam kelas Ascomycetes yang dapat
ditemukan di mana-mana di alam ini. Ia tumbuh sebagai saprofit pada tumbuh-tumbuhan yang
membusuk dan terdapat pula pada tanah, debu organik, makanan dan merupakan kontaminan
yang lazim ditemukan di rumah sakit dan laboratorium. Aspergillus adalah jamur yang
membentuk filamen-filamen panjang bercabang, dan dalam media biakan membentuk miselia
dan konidiospora. Aspergillus berkembang biak dengan pembentukan hifa atau tunas dan
menghasilkan konidiofora pembentuk spora. Sporanya tersebar bebas di udara terbuka sehingga

inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk melalui saluran pernapasan ke dalam paru.
(Tarigan, 1991)
Ciri-ciri
Ciri-ciri Aspergillus adalah mempunyai hifa berseptat dan miselium bercabang, sedangkan
hifa yang muncul di atas permukaan merupakan hifa fertil, koloninya berkelompok, konidiofora
berseptat atau nonseptat yang muncul dari sel kaki, pada ujung hifa muncul sebuah gelembung,
keluar dari gelembung ini muncul sterigma, pada sterigma muncul konidiumkonidium yang
tersusun berurutan mirip bentuk untaian mutiara, konidiumkonidium ini berwarna (hitam,
cokelat, kuning tua, hijau) yang memberi warna tertentu pada jamur. (Schlegel, 1994)
Taksonomi
Kingdom

: Myceteae

Divisi

: Amastigomycota

Kelas

: Ascomycetes

Ordo

: Eurotiales

Famili

: Euroticeae

Genus

: Aspergillus

Spesies

: Aspergillus fumigatus
Aspergillus flavus
Aspergillus clavatus
Aspergillus nidulans
Aspergillus niger
Aspergillus oryzae
Aspergillus yermus
Aspergillus wentii (Sudiro, 1993)

II.4 Pertumbuhan Mikroorganisme


Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan fungi
mempunyai beberapa fase, antara lain: (1) fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan
lingkungan pembentukan enzim-enzim untuk mengurai substrat; (2) fase akselerasi, yaitu fase
mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase aktif; (3) fase eksponensial, merupakan
fase perbanyakan jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel sangat meningkat, dan fase ini
8

merupakan fase yang penting bagi kehidupan fungi. Pada awal fase-fase ini kita dapat memanen
enzim-enzim dan akhir pada fase ini atau (4) fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang
aktif membelah, kita dapat memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi
diperlukan oleh sel; (5) fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang
mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal. Banyak
senyawa metabolit sekunder yang dapat dipanen pada fase ini. Selanjutnya pada (6) fase
kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
II.5 Sistem Fermentasi Padat
Fermentasi berasal dari kata latin fervere yang berarti mendidih yang menunjukkan
adanya aktivitas pada ekstrak buah-buahan atau larutan malt biji-bijian. Kelihatan seperti
mendidih karena terbentuknya gelembung-gelembung CO2 akibat dari proses katabolisme secara
anaerobik dari gula yang ada dalam ekstrak (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008).
Fermentasi merupakan suatu reaksi reduksi-oksidasi dalam sistem biologi yang
menghasilkan energi. Senyawa organik seperti karbohidrat merupakan donor dan aseptor pada
proses fermentasi (Winarno, 1984), pada penelitian yang dilakukan senyawa organik yang
digunakan adalah selulosa (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008).
Fermentasi dibagi menjadi 3, yakni:
1.
2.
3.

Fermentasi permukaan
Sistem fermentasi cair
Sistem fermentasi padat (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008)
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sistem fermentasi padat. Sistem

fermentasi padat umumnya diidentikkan dengan pertumbuhan mikroorganisme dalam partikel


pada substrat dalam berbagai variasi kadar air. Substrat padat bertindak sebagai sumber karbon,
nitrogen, mineral, dan faktor-faktor penunjang pertumbuhan, dan memiliki kemampuan untuk
menyerap air, untuk pertumbuhan mikroba. (M. Saban Tanyildizi dkk, 2007)
Mikroorganisme yang tumbuh melalui

sistem fermentasi padat berada pada kondisi

pertumbuhan di bawah habitat alaminya, mikroorganisme tersebut dapat menghasilkan enzim


dan metabolisme yang lebih efisien dibandingkan dengan

sistem fermentasi cair. Sistem

fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair,
diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah,
kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan
9

busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di
negara-negara berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan
substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan. (M. Saban Tanyildizi
dkk, 2007)
Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum
dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri (seperti pectinase
digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amylase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga
residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang
dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa
residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam
sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga
sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba. (M. Saban Tanyildizi dkk, 2007)
Komposisi dan konsentrasi dari media dan kondisi fermentasi sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan produksi enzim ekstraseluler dari mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan
substrat merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan
substrat padat memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi pada proses sistem
fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 60% dan 50% untuk biaya medium
fermentasi dan pengaturan proses down-stream. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem
fermentasi padat cocok untuk pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri
karena membutuhkan air yang lebih banyak. (M. Saban Tanyildizi dkk, 2007)
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi:
a. Konsentrasi substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat
dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat
mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana. (Indrawati Gandjar, 2006)
b. Sumber nitrogen
Bahan yang banyak sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium
sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat
mempengaruhi aktivitas dari Aspergillus niger. Pada proses fermentasi untuk
menghasilkan enzim selulase sumber nitrogen yang optimal adalah urea. (Narasimha G
dkk, 2006)
10

c. Phospat
Kebutuhan phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan
tetapi keseimbangan antara mangan, seng, tetapi phospat merupakan salah satu faktor
penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka
adanya phospat dapat memberikan keuntungan. (Indrawati Gandjar, 2006)
d. Magnesium
Magnesium berfungsi sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang
terlibat dalam reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium
adalah 0,002% - 0,0025%. (Indrawati Gandjar, 2006)
e. Aerasi
Dalam media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan poripori
bahan yang difermentasikan (Indrawati Gandjar, 2006). Aerasi berfungsi untuk
mempertahankan kondisi aerobik untuk desorbsi CO 2, mengatur temperatur substrat,
dan mengatur kadar air (Prior
menghilangkan

sebagian

dkk, 1980). Aerasi yang diberikan juga membantu

panas

yang

dihasilkan

sehingga

temperatur

dapat

dipertahankan pada temperatur optimal untuk produksi enzim (Abdul Aziz Darwis dkk,
1995).
Tingkat aerasi optimal yang diberikan dipengaruhi oleh sifat mikroorganisme
yang digunakan. Tingkat O2 yang dibutuhkan untuk sintesis produk, jumlah panas
metabolik yang harus dihilangkan dari bahan, ketebalan lapisan substrat, tingkat CO 2,
dan metabolit-metabolit lain yang mudah menguap harus dihilangkan, dan tingkat ruang
udara yang tersedia di dalam substrat. (Lonsane dkk, 1985)
f. pH
pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu
hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu.
Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh
pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5 - 5,5. Pengaturan pH sangat penting dalam
industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya
pada produksi asam sitrat, produksi enzim, produksi antibiotik, dan juga untuk
mencegah pembusukan bahan pangan. (Indrawati Gandjar, 2006)
g. Temperatur inkubasi
Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat
dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang
kisaran temperatur pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat

11

tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran
(Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan
produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme
funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin. (Indrawati
Gandjar, 2006)
h. Waktu fermentasi
Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun pada hari ke10. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami beberapa fase
pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian.
(Abdul Aziz Darwis dkk, 1995)
Organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca
eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat akttivitas enzim yang dihasilkan
tinggi, maka kapang telah berada pada fase tersebut (Suhartono, 1989). Pada temperatur
31C aktivitas tertinggi diperoleh setelah hari ke-4 fermentasi, akan tetapi pada hari ke6 mengalami penurunan aktivitas enzim dan pada hari ke-8 mengalami kenaikan
kembali. (Abdul Aziz Darwis dkk, 1995)
i. Moisture Content
Moisture content merupakan faktor penting dalam proses sistem fermentasi padat
karena variabel ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme, biosintesis,
dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan
nutrien di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air tinggi.
Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya
yield enzim yang dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada
matriks padatan, sehingga menghalangi transfer oksigen. (Md. Zahangir Alam dkk,
2005)
II.6 Uji Benedict
Uji benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula (karbohidrat) pereduksi.
Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan beberapa disakarida seperti laktosa dan
maltosa.
Nama Benedict merupakan nama seorang ahli kimia asal Amerika, Stanley Rossiter
Benedict (17 Maret 1884-21 Desember 1936). Benedict lahir di Cincinnati dan studi di
12

University of Cincinnati. Setahun kemudian dia pergi ke Yale University untuk mendalami
Physiology dan metabolisme di Department of Physiological Chemistry.
Pada uji Benedict, pereaksi ini akan bereaksi dengan gugus aldehid, kecuali aldehid dalam
gugus aromatik, dan alpha hidroksi keton. Oleh karena itu, meskipun fruktosa bukanlah gula
pereduksi, namun karena memiliki gugus alpha hidroksi keton, maka fruktosa akan berubah
menjadi glukosa dan mannosa dalam suasana basa dan memberikan hasil positif dengan pereaksi
benedict.
Satu liter pereaksi Benedict dapat dibuat dengan menimbang sebanyak 100 gram sodium
carbonate anhydrous, 173 gram sodium citrate, dan 17.3 gram copper (II) sulphate pentahydrate,
kemudian dilarutkan dengan akuadest sebanyak 1 liter. Untuk mengetahui adanya monosakarida
dan disakarida pereduksi dalam makanan, sampel makanan dilarutkan dalam air, dan
ditambahkan sedikit pereaksi benedict. Dipanaskan dalam waterbath selama 4-10 menit. Selama
proses ini larutan akan berubah warna menjadi biru (tanpa adanya glukosa), hijau, kuning,
orange, merah dan merah bata atau cokelat (kandungan glukosa tinggi).
Sukrosa (gula pasir) tidak terdeteksi oleh pereaksi benedict. Sukrosa mengandung dua
monosakrida (fruktosa dan glukosa) yang terikat melalui ikatan glikosidic sedemikian rupa
sehingga tidak mengandung gugus aldehid bebas dan alpha hidroksi keton. Sukrosa juga tidak
bersifat pereduksi.
Uji benedict dapat dilakukan pada urine untuk mengetahui kandungan glukosa. Urine yang
mengandung glukosa dapat menjadi tanda adanya penyakit diabetes. Sekali urine diketahui
mengandung gula pereduksi, tes lebih jauh mesti dilakukan untuk memastikan jenis gula
pereduksi apa yang terdapat dalam urine. Hanya glukosa yang mengindikasikan penyakit
diabetes.

13

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memproduksi enzim selulase menggunakan Aspergillus oryzae dengan substrat
serbuk kayu melalui proses sistem fermentasi padat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Penyiapan bahan baku
Bahan baku berupa serbuk kayu. Sebelum digunakan sebagai medium fermentasi,
serbuk kayu dipilih dengan struktur lembut agar lebih mudah dilakukan proses fermentasi.
Pemilihan serbuk kayu juga bisa dengan cara digerus atau dihaluskan. Aspergillus oryzae
diperoleh dari Laboratorium Bioproses Politeknik Negeri Malang.
2. Penyiapan inokulum
Penyiapan inokulum dilakukan dalam media cair yang ditutup dengan kapas
kemudian diinkubasi pada suhu 30C selama 4 hari di ruang aseptik.
3. Produksi enzim selulase
Produksi enzim ini dimulai dengan mencampur serbuk kayu dengan nutrien yang ada
dalam media cair padat. pH fermentasi diatur lalu media disterilkan di dalam autoclave
kemudian didinginkan. Suspensi spora ditambahkan dan disebar merata pada media
tersebut. Kemudian diinkubasi pada suhu 30C dengan waktu fermentasi selama 5 hari
(120 jam).
4. Pengambilan enzim

14

Proses pengambilan enzim dimulai dengan mengekstrak hasil fermentasi dengan


aquadest sehingga diperoleh filtrat dan padatan. Kemudian filtrat dan padatan dipisahkan
dengan menggunakan centrifuge. Filtrat yang diperoleh siap diuji aktivitas enzimnya.
5. Analisa hasil
Analisa selulase menggunakan larutan benedict dengan cara mencampur filtrat
dengan substrat dan meneteskan beberapa tetes larutan benedict untuk mengetahui aktivitas
enzim selulase yang diperoleh.

Bagan Metodologi Pembuatan Enzim Selulase


Penyiapan bahan baku

Fermentasi

Pembenihan inokulasi

inokulum

Penyiapan inokulum

sentrifugasi
Pengambilan enzim ekstraselular

Analisa hasil

III.1 Rancangan Percobaan


Pada penelitian digunakan variabel moisture content. Adapun rancangan percobaan
disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1. Rancangan percobaan
Run

Variabel
15

1
2
3
4

Jumlah Serbuk Kayu saat Produksi (gram)


2
3
5
10

Waktu fermentasi (jam)


120
120
120
120

Adapun kondisi yang dipertahankan tetap adalah :


Komposisi nutrisi dalam media:
Urea
: 30 mg
MgSO4.7H2O : 5 mg
KH2PO4
: 2,3 mg
Suhu fermentasi
: 30C
pH fermentasi
:5
Pengambilan Sampel
Sampel yang mengandung enzim ekstraseluler diambil sebanyak 2,5 ml untuk tiap variabel
kemudian dilakukan analisa uji kandungan enzim.
Respon yang Diamati
Respon yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Kandungan enzim selulase yang terbentuk saat diuji menggunakan cairan benedict.
Pengolahan data
Data hasil yang diperoleh tiap variabel, dibuat tabel dan grafik sehingga kondisi optimum
dari masing-masing variabel yang berpengaruh dapat diketahui.
III.2 Alat dan Bahan yang Digunakan
Alat

Autoclave
Api bunsen
Centrifuge
Cuvet
Inkubator
Timbangan
Screen/ayakan

Beaker glass
Tabung reaksi
Kertas pH
Pengaduk
Pipet
Corong
Erlenmeyer
16

Labu takar
Cawan petri

Kawat ose
Lemari aseptis

HCl
NaOH
Spiritus
Sodium potassium tartrat
BSA (bovine serum albumin)
glukosa standart
alkohol 96%
PDA (Potato Dextrose Agar)

Bahan

Jerami
Aquadest
KH2PO4
MgSO4.7H2O
Na2CO3
CuSO4.5H2O
Folin phenol
KOH
Urea

17


III.3 Prosedur Percobaan
III.3.1. Pemilihan Mikroba
Mikroba yang digunakan dalam pembuatan enzim adalah Aspergillus oryzae
dari Politeknik Negeri Malang.
III.3.2. Pembenihan Inokulasi

Mikroba yang digunakan adalah Aspergillus oryzae. Pembenihan dilakukan pada


media PDA (Potato Dextrose Agar) secara zig-zag dengan menggunakan kawat

inokulasi di dalam agar miring secara aseptik.


Mikroba diinkubasi pada suhu 30C selama 120 jam.

III.3.3. Penyiapan Inokulum

100 ml media cair (terdiri dari sukrosa 12,5%, (NH 4)2SO4 0,25%, KH2PO4 0,2%),

api bunsen, dan kawat ose disiapkan.


pH media cair diatur dengan HCl hingga pH=5.
Ujung kawat ose dicelupkan ke dalam alkohol 96% lalu dipanaskan pada api

bunsen sampai berwana merah.


Biakan Aspergillus oryzae dari media PDA diambil dengan menggunakan kawat

ose lalu dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh.
Media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu 30C selama 96 jam.
Pekerjaan ini dilakukan di ruang aseptik.

III.3.4. Produksi Enzim selulase

Serbuk kayu dipersiapkan dengan jumlah yang telah ditentukan dengan

dikeringkan terlebih dahulu.


Serbuk kayu dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml sesuai variabel (jumlah
serbuk kayu saat produksi) dengan nutrisi antara lain: urea, MgSO 4.7H2O,

KH2PO4, dalam media cair padat.


Aquadest ditambahkan dalam serbuk kayu sebanyak 100 ml.
Lalu media disterilkan di dalam autoclave pada suhu 121C selama 30 menit.
Media yang telah disterilkan kemudian didinginkan.
Suspensi spora ditambahkan 15ml pada media tersebut.
Media diinkubasi pada suhu 30C dengan waktu fermentasi 120 jam.

III.3.5. Pengambilan Enzim

Hasil fermentasi diekstrak dengan jumlah 10 ml.

Endapan dan cairan hasil fermentasi dipisahkan dengan menggunakan centrifuge

dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit.


Cairan yang diperoleh kemudian diambil untuk diuji kandungan enzimnya.

III.4 Bagan Prosedur Percobaan Pembuatan Enzim Selulase


a. Pembenihan Inokulasi

Aspergillus oryzae

Agar miring (PDA)


digoreskan zig zag

Inkubasi suhu 30oC selama 120 jam

b. Penyiapan Inokulum

Biakan Aspergillus oryzae

Media cair
Pindahkan dengan ose

Urea, MgSO4.7H2O, KH2PO4 dalam media cair

tutup dengan
Serbuk kayu
kapas

Inkubasi
padamlsuhu 30oC selama 120 jam
Beaker
glass 250

Autoclave suhu 121C selama 30 menit

Inokulum

Media steril

c. Produksi Enzim Selulase

Inkubasi suhu 30C selama 120 jam

d. Pengambilan Enzim

Hasil
fermentasi diekstrak

sentrifuge dengan

kecepatan 2500 rpm

selama 15 menit

Cairan yang diperoleh diambil untuk diuji secara


kualitatif

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Uji Enzim Selulase

Penelitian ini dilakukan dengan variabel tetap nutrien dalam media (urea 30

mg, MgSO4.7H2O 5 mg, KH2PO4 2,3 mg), pH awal fermentasi 5, dan temperatur fermentasi
30C. Uji enzim ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya selulosa yang bisa dihidrolisis
secara enzimatis menjadi glukosa. Berikut ini adalah jumlah variabel tetap pada percobaan
serta hasil analisa uji enzim selulase yang disajikan pada tabel 4.1. dan tabel 4.2.

ar

ir

MgSO

.7H2O

(mg)

Subs

KH2

trat

PO4

Awal

(mg)

(gra
m)

1
0
0

3
0

2,3

2,3

2,3

2,3

10

l
1
0
0

3
0

l
1
0

l
1
0
0
m
l

3
0


Tabel 4.1. Jumlah Variabel Tetap saat Pembuatan Media

Substr
at

Substrat saat
Uji Enzim

Awal

Hasil Uji Enzim

(gram)

(gram)
2

3
5
10

0,3
0,3
0,3
0,3

3
3
2
1

Tabel 4.2. Hasil Uji Enzim

*Keterangan:

3 = banyak enzim yang terlihat


2 = sedikit enzim yang terlihat
1 = sedikit sekali enzim yang dihasilkan

Uji enzim selulase dimulai dengan meneteskan larutan benedict sebagai tolak ukur
apakah pada ekstrak yang dibuat mengandung selulase atau tidak. Dari literatur, untuk
mengetahui adanya monosakarida dan disakarida pereduksi dalam makanan, sampel makanan
dilarutkan dalam air, dan ditambahkan sedikit pereaksi benedict. Selanjutnya dipanaskan
dalam waterbath selama 4-10 menit. Selama proses ini larutan akan berubah warna menjadi
biru (tanpa adanya glukosa), hijau, kuning, orange, merah dan merah bata atau cokelat
(kandungan glukosa tinggi).

Selanjutnya kami mengambil enzim yang telah disentrifuge sebelumnya dari

pembuatan substrat awal. Pengambilan enzim sebanyak 2,5 ml. Jumlah ini disesuaikan
dengan jumlah enzim hasil sentrifugasi yang memang terbatas. Pengambilan enzim dengan
jumlah tersebut juga dimaksudkan agar substrat yang nantinya akan diuji dengan enzim yang
telah kami buat dengan beberapa tetesan larutan benedict tenggelam sempurna di bawah
enzim agar mudah dilakukan pengamatan perubahan warna.

Dari literatur yang kami peroleh keadaan pH 5 dan temperatur 30C. Dari

sampel yang kami uji sebelumnya, pH yang terlihat dari kertas uji pH adalah 8. Karena itu
ditambahkan HCl sesuai prosedur, ini dimaksudkan agar pH menjadi lebih asam. Untuk
menjadikan pH menjadi 5 perlu ditambahkan 5 tetes HCl 0,1 M. Sedangkan pengaturan suhu
mencapai 30oC dengan cara memasukkan tabung reaksi berisi enzim ke dalam waterbath.
Waterbath diatur sesuai SOP dengan suhu sekitar 30oC. Enzim di waterbath selama 90 menit.
Dari uji enzim yang kami lakukan, terlihat tetesan larutan benedict berubah warna
dari biru menjadi cokelat. Jadi dapat disimpulkan bahwa enzim selulase yang kami buat dari
serbuk

kayu

melanjutkan
yang

kami

buat

Gambar 4.2. Hasil uji


benedict pada substrat
awal 3 gram

mengandung

enzim

selulase.

Kami

tahapan selanjutnya untuk menguji enzim


dengan variabel jumlah substrat yang

digunakan. Enzim pertama dibuat dari 2 gram enzim dengan 100 ml air dengan nutrisi dan
media yang sama. Enzim yang telah disentrifuge diambil supernatannya 2,5 ml. Dari 2,5 ml
ditambahkan 0,03 gram serbuk kayu sebagai substrat, ditetesi pula larutan benedict. Setelah
dilakukan
pada
(gambar
secara

pengamatan, terlihat dari campuran tersebut yang


awalnya

berwarna hijau berubah warna menjadi cokelat

4.1).

Karena jumlah enzim yang tidak dapat dihitung

manual,

maka kami memisalkan banyak sedikitnya enzim


yang terlihat dengan angka. Kami menotasikan
enzim yang terlihat pada pembuatan enzim
dengan pembuatan substrat awal 3 gram adalah 3.

Pengujian selanjutnya dengan enzim yang terbuat

dengan substrat awal 3 gram (gambar 4.2), terlihat perubahan warna


cokelat pula dari tetesan larutan benedict. Jumlah yang terlihat pun
hampir sama dengan uji pada substrat 2 gram. Kami menotasikan
angka 3 sebagai jumlah enzim yang terlihat.

Gambar 4.1. Hasil uji benedict


pada substrat awal 2 gram

Pengujian berlanjut pada enzim dengan pembuatan


substrat awal 5 gram (gambar 4.3). Terlihat hanya sedikit
perubahan warna cokelat. Begitu pula pada pengujian dengan

substrat

awal 10 gram (gambar 4.4), hanya sedikit enzim

yang

terlihat.

Gambar 4.3. Hasil uji


benedict pada substrat
awal 5 gram

Gambar 4.4. Hasil uji


benedict pada substrat
awal 10 gram

Produksi Enzim Selulase


3.5
3
2.5
2
Jumlah Enzim Selulase

1.5
1
0.5
0
1

10

11

Jumlah Serbuk Kayu (gram)

Gambar 4.5. Grafik hubungan jumlah serbuk kayu (gram) terhadap jumlah enzim selulase yang
dihasilkan.

Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak substrat yang
digunakan, semakin sedikit enzim yang dihasilkan. Dilihat jumlah enzim tertinggi dihasilkan
pada variabel 2 gram. Sedangkan jumlah enzim paling sedikit terdapat pada variable
tertinggi, yaitu 10 gram.

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Substrat serbuk kayu dapat digunakan untuk memproduksi enzim selulase oleh

Aspergillus oryzae.
Enzim selulase yang dihasilkan dari Aspergillus oryzae dengan substrat kayu terbukti

sesuai dengan karakteristik enzim selulase dengan uji benedict.


Enzim paling banyak dihasilkan pada media serbuk kayu dengan berat 2 gram dan 3

gram.
Semakin banyak media serbuk kayu yang digunakan, semakin sedikit enzim yang
dihasilkan.


V.2 Daftar Pustaka

Abdul Aziz Darwis, Illah Sailah, Tun Tedja Irawadi, Safriani. 1995. Kajian Kondisi
Fermentasi pada Produksi Selulase dari Limbah Kelapa Sawit (Tandan Kosong dan

Sabut) oleh Neurospora sitophila. J. Teknologi Industri Pertanian vol. 5 (3) 199-207.
Fowler M.W. 1998. Enzym Technology in Biotechnology Engineers, Biological
System in Technological Processes, Edited : Scragg, A. H., John Wiley & Sons, New

York.
Gandjar, Indriwati. 2006. Mikrobiologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.
Lonsane. B.K., N.P. Ghildyal, S. Budiatman dan S.V. Khrisna. 1985. Engineering

Aspects of Solid State Fermentation. Enzyme Microb. Tech. Vol. 7:258-265.


M. Saban Tanyildizi, Dursun zer, Murat Elibol.2007. Production of bacterial amylase by B. Amyloliquefaciens Under Solid Substrate Fermentation. Biochemical

Engineering Journal Volume 37, Issue 3, 15 Desember 2007, Pages 294-297.


Priyono SKS. 2001. Komitmen Berbagai Pihak dalam Menanggulangi Illegal Logging.

Konggres Kehutanan Indonesia III. Jakarta.


Purwanto D, Samet, Mahfuz, dan Sakiman. 1994. Pemanfaatan Limbah Industri Kayu
lapis untuk Papan Partikel Buatan secara Laminasi. DIP Proyek Penelitian dan
Pengembangan Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen

Perindustrian. Banjar Baru.


Schlegel, H. G. dan K. Schmidt 1994. Mikrobiologi Umum Edisi Keenam. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.


Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Tenaga

Kependidikan Jakarta.
Villena, Gretty K. And Marcel Gtierrez Correa 2007. Production of lignocellulolytic
enzymes by Aspergillus niger biofilms at variable water activities. Electronic journal of

Biotechnology Chile: Vol. 10 No. 1, pp. 124.140.


http://bigtreeoflife.blogspot.com
http://madi-cmos.blogspot.com
http://frestime.wordpress.com
http://belajar-indah.blogspot.com
http://www.onlinebuku.com

Anda mungkin juga menyukai