Makalah Studi Lapangan
Makalah Studi Lapangan
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
I.6
Latar Belakang................................................................................................... 1
I.1
Rumusan Masalah............................................................................................... 2
I.3
Tujuan Kegiatan.................................................................................................. 3
Enzim.............................................................................................................. 4
II.2
Selulase............................................................................................................ 7
II.3
Jenis Mikroorganisme........................................................................................... 8
II.4
Pertumbuhan Mikroorganisme................................................................................9
II.5
II.6
Uji Benedict..................................................................................................... 13
Rancangan Percobaan......................................................................................... 16
III.2
III.3
Prosedur Percobaan........................................................................................... 19
III.4
BAB V PENUTUP....................................................................................................................................26
V.1
Kesimpulan..................................................................................................... 26
V.2
Daftar Pustaka.................................................................................................. 27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.6 Latar Belakang
Sifat dan karakteristiknya yang unik, menjadikan kayu sebagai bahan yang paling banyak
digunakan untuk keperluan konstruksi. Kebutuhan kayu yang terus meningkat dan potensi hutan
yang terus berkurang menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain dengan
memanfaatkan limbah berupa serbuk kayu menjadi produk yang bermanfaat. Di lain pihak,
seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat.
Sebagai
Patut disayangkan, sampai saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu di Indonesia
masih menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Purwanto dkk, (1994) menyatakan komposisi
limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu adalah sebagai berikut:
1. Pada pemanenan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai 66,16%.
2. Pada industri penggergajian limbah kayu meliputi serbuk gergaji 10,6%, sebetan 25,9%,
dan potongan 14,3%, dengan total limbah sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang
digunakan.
3. Limbah pada industri kayu lapis meliputi limbah potongan 5,6%, serbuk gergaji 0,7%,
sampah vinir basah 24,8%, sampah vinir kering 12,6%, sisa kupasan 11,0%, dan potongan
tepi kayu lapis 6,3%. Total limbah kayu lapis ini sebesar 61,0% dari jumlah bahan baku
yang digunakan.
Data Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa
produksi kayu lapis Indonesia mencapai 4,61 juta m 3 sedangkan kayu gergajian mencapai 2,06
juta m3. Dengan asumsi limbah yang dihasilkan mencapai 61% maka diperkirakan limbah kayu
yang dihasilkan mencapai lebih dari 5 juta m3 (BPS, 2000).
Bagi kebanyakan orang, serbuk gergaji atau grajen lebih sering dianggap sebagai barang
buangan. Status ekonominya tidak lebih dari limbah industri kayu atau paling tinggi sebagai
media tanam untuk budidaya jamur. Namun siapa sangka grajen bisa dijadikan media lukisan di
atas kanvas.
Namun, dewasa ini pemanfaatan limbah kayu dapat digunakan sebagai produksi enzim
yang dalam kehidupan nyata dapat digunakan untuk keperluan laboratorium dan lain - lain.
Produksi enzim juga dapat menghasilkan keuntungan banyak karena harga enzim yang tidak
murah.
I.1 Rumusan Masalah
Berikut ini adalah rumusan masalah yang akan dibahas pada laporan ini.
a. Apakah Aspergillus oryzae
selulase?
b. Apakah enzim selulase yang dihasilkan menunjukkan karakteristik enzim selulase dengan
uji kualitatif (uji Benedict)?
I.3 Tujuan Kegiatan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Enzim
Mikroorganisme, terutama ragi, telah digunakan selama beberapa ribu tahun untuk
membuat bir, minuman anggur, dan beberapa produk fermentasi lain. Namun, baru pada tahun
1878, oleh Kuhne, komponen sel ragi yang bertanggung jawab terhadap fermentasi disebut
sebagai
enzim (berasal dari bahasa Yunani yang berarti di dalam ragi). Kurang dari dua
dasawarsa berikutnya, sifat enzim yang tidak hidup dibuktikan secara jelas dengan menggunakan
ekstrak ragi yang bebas sel, ternyata ekstrak tersebut mampu mengkatalisis perubahan glukosa
menjadi etanol (Fowler M.W, 1988).
Enzim digunakan dalam sebagian besar sektor industri, terutama industri makanan. Selain
itu, enzim juga digunakan dalam industri deterjen, farmasi, dan tekstil. Lebih dari 2000 enzim
telah diisolasi, tetapi hanya 14 enzim yang diproduksi secara komersial. Kebanyakan dari enzim
ini adalah hidrolase, misalnya amilase, protease, pektinase, dan selulase. Enzim penting lainnya
adalah glukosa isomerase dan glukosa oksidase. Alasan digunakannya enzim dalam industri
adalah enzim mempunyai kelebihan antara lain:
Kemampuan katalitik yang tinggi, mencapai 109 - 1012 kali laju reaksi nonaktivitas enzim.
Spesifikasi substrat yang tinggi.
Reaksi dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, yaitu pada tekanan dan temperatur
rendah.
Ada tiga sumber enzim, yaitu dari hewan, tumbuhan, dan sel mikroba. Dahulu hewan dan
dan genetika.
Metode pengayakan untuk sistem mikrobial cukup sederhana.
Tabel 2.1. Beberapa enzim yang dihasilkan mikroba dan aplikasinya (Fowler M.W., 1988)
4
Enzim
Selulase
Sumber
Bacillus subtilis
Aspergillus oryzae
Penicillium roqueforti
Aspergillus niger
Bacillus subtilis
Aspergillus oryzae
Saccharomyces cerevisiae
Aspergillus oryzae
Tricoderma sp.
Pektinase
Protease
Aspergillus niger
Clostridium sp.
Amylase
Penicillinase
Invertase
Aplikasi
Tekstil, pelarutan pati,
produksi glukosa
Degradasi penisilin
Industri permen
Pengurang viskositas, membantu sistem
pencernaan
Klarifikasi wine dan jus buah
Pelunak, membantu sistem pencernaan
Kebanyakan enzim mikroba yang digunakan secara komersial adalah ekstraseluler, di mana
enzim diproduksi dalam sel kemudian dikeluarkan atau berdifusi keluar sehingga memungkinkan
untuk direcovery. Seleksi organisme produser adalah kunci dalam pengembangan proses sistem
mikrobial. Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih mikroorganisme:
Enzim Ekstraseluler
Enzim Intraseluler
5
Sebutan Lain
Tempat Kerjanya
Eksoenzim
Aktifitas di luar sel yang
menghasilkan enzim.
Endoenzim
Aktifitasnya di dalam sel.
mengeluarkan molekul-molekul
yang lebih sederhana (molekul
II.2 Selulase
Enzim yang dapat menghirolisis ikatan (1-4) pada selulosa adalah selulase. Hidrolisis
enzimatik yang sempurna memerlukan aksi sinergis dari tiga tipe enzim ini, yaitu:
inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk melalui saluran pernapasan ke dalam paru.
(Tarigan, 1991)
Ciri-ciri
Ciri-ciri Aspergillus adalah mempunyai hifa berseptat dan miselium bercabang, sedangkan
hifa yang muncul di atas permukaan merupakan hifa fertil, koloninya berkelompok, konidiofora
berseptat atau nonseptat yang muncul dari sel kaki, pada ujung hifa muncul sebuah gelembung,
keluar dari gelembung ini muncul sterigma, pada sterigma muncul konidiumkonidium yang
tersusun berurutan mirip bentuk untaian mutiara, konidiumkonidium ini berwarna (hitam,
cokelat, kuning tua, hijau) yang memberi warna tertentu pada jamur. (Schlegel, 1994)
Taksonomi
Kingdom
: Myceteae
Divisi
: Amastigomycota
Kelas
: Ascomycetes
Ordo
: Eurotiales
Famili
: Euroticeae
Genus
: Aspergillus
Spesies
: Aspergillus fumigatus
Aspergillus flavus
Aspergillus clavatus
Aspergillus nidulans
Aspergillus niger
Aspergillus oryzae
Aspergillus yermus
Aspergillus wentii (Sudiro, 1993)
merupakan fase yang penting bagi kehidupan fungi. Pada awal fase-fase ini kita dapat memanen
enzim-enzim dan akhir pada fase ini atau (4) fase deselerasi, yaitu waktu sel-sel mulai kurang
aktif membelah, kita dapat memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi
diperlukan oleh sel; (5) fase stasioner, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang
mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal. Banyak
senyawa metabolit sekunder yang dapat dipanen pada fase ini. Selanjutnya pada (6) fase
kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
II.5 Sistem Fermentasi Padat
Fermentasi berasal dari kata latin fervere yang berarti mendidih yang menunjukkan
adanya aktivitas pada ekstrak buah-buahan atau larutan malt biji-bijian. Kelihatan seperti
mendidih karena terbentuknya gelembung-gelembung CO2 akibat dari proses katabolisme secara
anaerobik dari gula yang ada dalam ekstrak (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008).
Fermentasi merupakan suatu reaksi reduksi-oksidasi dalam sistem biologi yang
menghasilkan energi. Senyawa organik seperti karbohidrat merupakan donor dan aseptor pada
proses fermentasi (Winarno, 1984), pada penelitian yang dilakukan senyawa organik yang
digunakan adalah selulosa (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008).
Fermentasi dibagi menjadi 3, yakni:
1.
2.
3.
Fermentasi permukaan
Sistem fermentasi cair
Sistem fermentasi padat (Retno Wijayanto & Tri Wuri Hadayani, 2008)
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode sistem fermentasi padat. Sistem
fermentasi padat memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan dengan sistem fermentasi cair,
diantaranya tingkat produktivitasnya tinggi, tekniknya sederhana, biaya investasi rendah,
kebutuhan energi rendah, jumlah air yang dibuang sedikit, recovery produknya lebih baik, dan
9
busa yang terbentuk sedikit. Sistem fermentasi padat ini dilaporkan lebih cocok digunakan di
negara-negara berkembang. Manfaat lain dari sistem fermentasi padat adalah murah dan
substratnya mudah didapat, seperti produk pertanian dan industri makanan. (M. Saban Tanyildizi
dkk, 2007)
Enzim yang dihasilkan melalui proses sistem fermentasi padat baik yang belum
dimurnikan atau yang dimurnikan secara parsial dapat diaplikasikan di industri (seperti pectinase
digunakan untuk klarifikasi jus buah, alpha amylase untuk sakarifikasi pati). Murahnya harga
residu pertanian dan agro-industri merupakan salah satu sumber yang kaya akan energi yang
dapat digunakan sebagai substrat dalam sistem fermentasi padat. Fakta menunjukkan bahwa
residu ini merupakan salah satu reservoir campuran karbon terbaik yang ada di alam. Dalam
sistem fermentasi padat, substrat padat tidak hanya menyediakan nutrien bagi kultur tetapi juga
sebagai tempat penyimpanan air untuk sel mikroba. (M. Saban Tanyildizi dkk, 2007)
Komposisi dan konsentrasi dari media dan kondisi fermentasi sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan produksi enzim ekstraseluler dari mikroorganisme. Biaya dan ketersediaan
substrat merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan, dan karena itulah pemilihan
substrat padat memegang peranan penting dalam menentukan efisiensi pada proses sistem
fermentasi padat. Untuk biaya analisa awal, kira-kira 60% dan 50% untuk biaya medium
fermentasi dan pengaturan proses down-stream. Sehingga dapat diketahui bahwa sistem
fermentasi padat cocok untuk pengembangan fungi dan tidak cocok untuk proses kultur bakteri
karena membutuhkan air yang lebih banyak. (M. Saban Tanyildizi dkk, 2007)
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan fungi:
a. Konsentrasi substrat
Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-nutrien baru dapat
dimanfaatkan sesudah fungi mengeksresi enzim-enzim ekstraselular yang dapat
mengurai senyawa-senyawa kompleks dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana. (Indrawati Gandjar, 2006)
b. Sumber nitrogen
Bahan yang banyak sebagai sumber nitrogen adalah ammonium nitrat, ammonium
sulfat, dan urea. Nitrogen diperlukan dalam proses fermentasi karena dapat
mempengaruhi aktivitas dari Aspergillus niger. Pada proses fermentasi untuk
menghasilkan enzim selulase sumber nitrogen yang optimal adalah urea. (Narasimha G
dkk, 2006)
10
c. Phospat
Kebutuhan phospat dalam proses pertumbuhan fungi tidak banyak dijelaskan
tetapi keseimbangan antara mangan, seng, tetapi phospat merupakan salah satu faktor
penentu dalam beberapa kasus dimana terjadi kontaminasi ion logam tertentu maka
adanya phospat dapat memberikan keuntungan. (Indrawati Gandjar, 2006)
d. Magnesium
Magnesium berfungsi sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang
terlibat dalam reaksi. Dalam sel konsentrasi optimal dari penambahan magnesium
adalah 0,002% - 0,0025%. (Indrawati Gandjar, 2006)
e. Aerasi
Dalam media fermentasi padat, aerasi diatur dengan cara memperhatikan poripori
bahan yang difermentasikan (Indrawati Gandjar, 2006). Aerasi berfungsi untuk
mempertahankan kondisi aerobik untuk desorbsi CO 2, mengatur temperatur substrat,
dan mengatur kadar air (Prior
menghilangkan
sebagian
panas
yang
dihasilkan
sehingga
temperatur
dapat
dipertahankan pada temperatur optimal untuk produksi enzim (Abdul Aziz Darwis dkk,
1995).
Tingkat aerasi optimal yang diberikan dipengaruhi oleh sifat mikroorganisme
yang digunakan. Tingkat O2 yang dibutuhkan untuk sintesis produk, jumlah panas
metabolik yang harus dihilangkan dari bahan, ketebalan lapisan substrat, tingkat CO 2,
dan metabolit-metabolit lain yang mudah menguap harus dihilangkan, dan tingkat ruang
udara yang tersedia di dalam substrat. (Lonsane dkk, 1985)
f. pH
pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu
hanya akan mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu.
Umumnya fungi menyenangi pH di bawah 7. Jenis-jenis khamir tertentu bahkan tumbuh
pada pH yang cukup rendah, yaitu pH 4,5 - 5,5. Pengaturan pH sangat penting dalam
industri agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal, misalnya
pada produksi asam sitrat, produksi enzim, produksi antibiotik, dan juga untuk
mencegah pembusukan bahan pangan. (Indrawati Gandjar, 2006)
g. Temperatur inkubasi
Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan, fungi dapat
dikelompokkan sebagai fungi psikrofil, mesofil, dan termofil. Pengetahuan tentang
kisaran temperatur pertumbuhan suatu fungi sangat penting, terutama bila isolat-isolat
11
tertentu akan digunakan di industri. Misalnya, fungi yang termofil atau termotoleran
(Candida tropicalis, Paecilomyces variotii, dan Mucor miehei), dapat memberikan
produk yang optimal meskipun terjadi peningkatan temperatur, karena metabolisme
funginya, sehingga industri tidak memerlukan penambahan alat pendingin. (Indrawati
Gandjar, 2006)
h. Waktu fermentasi
Pada awal fermentasi aktivitas enzim masih sangat rendah. Aktivitas enzim akan
meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan menurun pada hari ke10. Hal ini mengikuti pola pertumbuhan mikroorganisme yang mengalami beberapa fase
pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian.
(Abdul Aziz Darwis dkk, 1995)
Organisme pembentuk spora biasanya memproduksi enzim pada fase pasca
eksponensial. Jadi dapat diduga bahwa pada saat akttivitas enzim yang dihasilkan
tinggi, maka kapang telah berada pada fase tersebut (Suhartono, 1989). Pada temperatur
31C aktivitas tertinggi diperoleh setelah hari ke-4 fermentasi, akan tetapi pada hari ke6 mengalami penurunan aktivitas enzim dan pada hari ke-8 mengalami kenaikan
kembali. (Abdul Aziz Darwis dkk, 1995)
i. Moisture Content
Moisture content merupakan faktor penting dalam proses sistem fermentasi padat
karena variabel ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme, biosintesis,
dan sekresi enzim. Moisture content yang rendah menyebabkan berkurangnya kelarutan
nutrien di dalam substrat, derajat pertumbuhan rendah, dan tegangan air tinggi.
Sedangkan level moisture content yang lebih tinggi dapat menyebabkan berkurangnya
yield enzim yang dihasilkan karena dapat mereduksi porositas (jarak interpartikel) pada
matriks padatan, sehingga menghalangi transfer oksigen. (Md. Zahangir Alam dkk,
2005)
II.6 Uji Benedict
Uji benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula (karbohidrat) pereduksi.
Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan beberapa disakarida seperti laktosa dan
maltosa.
Nama Benedict merupakan nama seorang ahli kimia asal Amerika, Stanley Rossiter
Benedict (17 Maret 1884-21 Desember 1936). Benedict lahir di Cincinnati dan studi di
12
University of Cincinnati. Setahun kemudian dia pergi ke Yale University untuk mendalami
Physiology dan metabolisme di Department of Physiological Chemistry.
Pada uji Benedict, pereaksi ini akan bereaksi dengan gugus aldehid, kecuali aldehid dalam
gugus aromatik, dan alpha hidroksi keton. Oleh karena itu, meskipun fruktosa bukanlah gula
pereduksi, namun karena memiliki gugus alpha hidroksi keton, maka fruktosa akan berubah
menjadi glukosa dan mannosa dalam suasana basa dan memberikan hasil positif dengan pereaksi
benedict.
Satu liter pereaksi Benedict dapat dibuat dengan menimbang sebanyak 100 gram sodium
carbonate anhydrous, 173 gram sodium citrate, dan 17.3 gram copper (II) sulphate pentahydrate,
kemudian dilarutkan dengan akuadest sebanyak 1 liter. Untuk mengetahui adanya monosakarida
dan disakarida pereduksi dalam makanan, sampel makanan dilarutkan dalam air, dan
ditambahkan sedikit pereaksi benedict. Dipanaskan dalam waterbath selama 4-10 menit. Selama
proses ini larutan akan berubah warna menjadi biru (tanpa adanya glukosa), hijau, kuning,
orange, merah dan merah bata atau cokelat (kandungan glukosa tinggi).
Sukrosa (gula pasir) tidak terdeteksi oleh pereaksi benedict. Sukrosa mengandung dua
monosakrida (fruktosa dan glukosa) yang terikat melalui ikatan glikosidic sedemikian rupa
sehingga tidak mengandung gugus aldehid bebas dan alpha hidroksi keton. Sukrosa juga tidak
bersifat pereduksi.
Uji benedict dapat dilakukan pada urine untuk mengetahui kandungan glukosa. Urine yang
mengandung glukosa dapat menjadi tanda adanya penyakit diabetes. Sekali urine diketahui
mengandung gula pereduksi, tes lebih jauh mesti dilakukan untuk memastikan jenis gula
pereduksi apa yang terdapat dalam urine. Hanya glukosa yang mengindikasikan penyakit
diabetes.
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk memproduksi enzim selulase menggunakan Aspergillus oryzae dengan substrat
serbuk kayu melalui proses sistem fermentasi padat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Penyiapan bahan baku
Bahan baku berupa serbuk kayu. Sebelum digunakan sebagai medium fermentasi,
serbuk kayu dipilih dengan struktur lembut agar lebih mudah dilakukan proses fermentasi.
Pemilihan serbuk kayu juga bisa dengan cara digerus atau dihaluskan. Aspergillus oryzae
diperoleh dari Laboratorium Bioproses Politeknik Negeri Malang.
2. Penyiapan inokulum
Penyiapan inokulum dilakukan dalam media cair yang ditutup dengan kapas
kemudian diinkubasi pada suhu 30C selama 4 hari di ruang aseptik.
3. Produksi enzim selulase
Produksi enzim ini dimulai dengan mencampur serbuk kayu dengan nutrien yang ada
dalam media cair padat. pH fermentasi diatur lalu media disterilkan di dalam autoclave
kemudian didinginkan. Suspensi spora ditambahkan dan disebar merata pada media
tersebut. Kemudian diinkubasi pada suhu 30C dengan waktu fermentasi selama 5 hari
(120 jam).
4. Pengambilan enzim
14
Fermentasi
Pembenihan inokulasi
inokulum
Penyiapan inokulum
sentrifugasi
Pengambilan enzim ekstraselular
Analisa hasil
Variabel
15
1
2
3
4
Autoclave
Api bunsen
Centrifuge
Cuvet
Inkubator
Timbangan
Screen/ayakan
Beaker glass
Tabung reaksi
Kertas pH
Pengaduk
Pipet
Corong
Erlenmeyer
16
Labu takar
Cawan petri
Kawat ose
Lemari aseptis
HCl
NaOH
Spiritus
Sodium potassium tartrat
BSA (bovine serum albumin)
glukosa standart
alkohol 96%
PDA (Potato Dextrose Agar)
Bahan
Jerami
Aquadest
KH2PO4
MgSO4.7H2O
Na2CO3
CuSO4.5H2O
Folin phenol
KOH
Urea
17
III.3 Prosedur Percobaan
III.3.1. Pemilihan Mikroba
Mikroba yang digunakan dalam pembuatan enzim adalah Aspergillus oryzae
dari Politeknik Negeri Malang.
III.3.2. Pembenihan Inokulasi
100 ml media cair (terdiri dari sukrosa 12,5%, (NH 4)2SO4 0,25%, KH2PO4 0,2%),
ose lalu dicelupkan beberapa saat pada media cair hingga tampak keruh.
Media cair ditutup dengan kapas dan diinkubasi pada suhu 30C selama 96 jam.
Pekerjaan ini dilakukan di ruang aseptik.
Aspergillus oryzae
b. Penyiapan Inokulum
Media cair
Pindahkan dengan ose
tutup dengan
Serbuk kayu
kapas
Inkubasi
padamlsuhu 30oC selama 120 jam
Beaker
glass 250
Inokulum
Media steril
d. Pengambilan Enzim
Hasil
fermentasi diekstrak
sentrifuge dengan
selama 15 menit
BAB IV
Penelitian ini dilakukan dengan variabel tetap nutrien dalam media (urea 30
mg, MgSO4.7H2O 5 mg, KH2PO4 2,3 mg), pH awal fermentasi 5, dan temperatur fermentasi
30C. Uji enzim ini dilakukan untuk mengetahui banyaknya selulosa yang bisa dihidrolisis
secara enzimatis menjadi glukosa. Berikut ini adalah jumlah variabel tetap pada percobaan
serta hasil analisa uji enzim selulase yang disajikan pada tabel 4.1. dan tabel 4.2.
ar
ir
MgSO
.7H2O
(mg)
Subs
KH2
trat
PO4
Awal
(mg)
(gra
m)
1
0
0
3
0
2,3
2,3
2,3
2,3
10
l
1
0
0
3
0
l
1
0
l
1
0
0
m
l
3
0
Tabel 4.1. Jumlah Variabel Tetap saat Pembuatan Media
Substr
at
Substrat saat
Uji Enzim
Awal
(gram)
(gram)
2
3
5
10
0,3
0,3
0,3
0,3
3
3
2
1
*Keterangan:
Uji enzim selulase dimulai dengan meneteskan larutan benedict sebagai tolak ukur
apakah pada ekstrak yang dibuat mengandung selulase atau tidak. Dari literatur, untuk
mengetahui adanya monosakarida dan disakarida pereduksi dalam makanan, sampel makanan
dilarutkan dalam air, dan ditambahkan sedikit pereaksi benedict. Selanjutnya dipanaskan
dalam waterbath selama 4-10 menit. Selama proses ini larutan akan berubah warna menjadi
biru (tanpa adanya glukosa), hijau, kuning, orange, merah dan merah bata atau cokelat
(kandungan glukosa tinggi).
pembuatan substrat awal. Pengambilan enzim sebanyak 2,5 ml. Jumlah ini disesuaikan
dengan jumlah enzim hasil sentrifugasi yang memang terbatas. Pengambilan enzim dengan
jumlah tersebut juga dimaksudkan agar substrat yang nantinya akan diuji dengan enzim yang
telah kami buat dengan beberapa tetesan larutan benedict tenggelam sempurna di bawah
enzim agar mudah dilakukan pengamatan perubahan warna.
Dari literatur yang kami peroleh keadaan pH 5 dan temperatur 30C. Dari
sampel yang kami uji sebelumnya, pH yang terlihat dari kertas uji pH adalah 8. Karena itu
ditambahkan HCl sesuai prosedur, ini dimaksudkan agar pH menjadi lebih asam. Untuk
menjadikan pH menjadi 5 perlu ditambahkan 5 tetes HCl 0,1 M. Sedangkan pengaturan suhu
mencapai 30oC dengan cara memasukkan tabung reaksi berisi enzim ke dalam waterbath.
Waterbath diatur sesuai SOP dengan suhu sekitar 30oC. Enzim di waterbath selama 90 menit.
Dari uji enzim yang kami lakukan, terlihat tetesan larutan benedict berubah warna
dari biru menjadi cokelat. Jadi dapat disimpulkan bahwa enzim selulase yang kami buat dari
serbuk
kayu
melanjutkan
yang
kami
buat
mengandung
enzim
selulase.
Kami
digunakan. Enzim pertama dibuat dari 2 gram enzim dengan 100 ml air dengan nutrisi dan
media yang sama. Enzim yang telah disentrifuge diambil supernatannya 2,5 ml. Dari 2,5 ml
ditambahkan 0,03 gram serbuk kayu sebagai substrat, ditetesi pula larutan benedict. Setelah
dilakukan
pada
(gambar
secara
4.1).
manual,
substrat
yang
terlihat.
1.5
1
0.5
0
1
10
11
Gambar 4.5. Grafik hubungan jumlah serbuk kayu (gram) terhadap jumlah enzim selulase yang
dihasilkan.
Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa semakin banyak substrat yang
digunakan, semakin sedikit enzim yang dihasilkan. Dilihat jumlah enzim tertinggi dihasilkan
pada variabel 2 gram. Sedangkan jumlah enzim paling sedikit terdapat pada variable
tertinggi, yaitu 10 gram.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Substrat serbuk kayu dapat digunakan untuk memproduksi enzim selulase oleh
Aspergillus oryzae.
Enzim selulase yang dihasilkan dari Aspergillus oryzae dengan substrat kayu terbukti
gram.
Semakin banyak media serbuk kayu yang digunakan, semakin sedikit enzim yang
dihasilkan.
V.2 Daftar Pustaka
Abdul Aziz Darwis, Illah Sailah, Tun Tedja Irawadi, Safriani. 1995. Kajian Kondisi
Fermentasi pada Produksi Selulase dari Limbah Kelapa Sawit (Tandan Kosong dan
Sabut) oleh Neurospora sitophila. J. Teknologi Industri Pertanian vol. 5 (3) 199-207.
Fowler M.W. 1998. Enzym Technology in Biotechnology Engineers, Biological
System in Technological Processes, Edited : Scragg, A. H., John Wiley & Sons, New
York.
Gandjar, Indriwati. 2006. Mikrobiologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Lonsane. B.K., N.P. Ghildyal, S. Budiatman dan S.V. Khrisna. 1985. Engineering
Kependidikan Jakarta.
Villena, Gretty K. And Marcel Gtierrez Correa 2007. Production of lignocellulolytic
enzymes by Aspergillus niger biofilms at variable water activities. Electronic journal of