Anda di halaman 1dari 33

A.

TERAPI OKSIGEN
Pendahuluan
Terapi oksigen adalah upaya pengobatan dengan obat oksigen untuk mencegah
atau memperbaiki hipoksia jaringan, dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke
dalam system respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen dalam sirkulasi dan
meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan atau ekstraksi oksigen jaringan.
Oksigen pertama kali diisolasi oleh Joseph Priestley, kemudian pertama kali
digunakan sebagai obat pada tahun 1974 oleh Thomas Beddoes. Selanjutnya digunakan
dalam pelayanan anesthesia pada tahun 1868 oleh EW Andrews, MD dan dipopulerkan
untuk pengobatan pneumonia pada tahun 1885 oleh GE Holzapple. Seperti halnya
dengan obat-obat yang lain, dalam penggunaan oksigen sebagai obat, tidak bisa lepas dari
kaidah-kaidah umum dalam terapi, yaitu: adanya indikasi, pengaturan dosis, cara
pemberian, dan efek sampingnya.
Pada kondisi normal, system respirasi menghirup udara atmosfir yang
mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHG, selanjutnya sampai di
alveoli tekanan parsialnya akan turun menjadi 103 mmHG akibat pengaruh tekanan uap
air yang terjadi pada jalan nafas. Pada alveoli, oksigen akan segera berdifusi ke dalam
aliran darah paru melalui proses aktif akibat perbedaan tekanan. Di dalam darah sebagian
besar oksigen terikat dengan hemoglobin dengan daya ikat 1,39 ml/g hemog;obin dan
sebagian kecil larut dalam plasma dengan koefisein kelarutan 0,003. Kemudian,
hemodinamik berperan mengedarkannya keseluruh jaringan tubuh untuk keperluan
metabolisme aerob. Apabila terjadi kesenjangan diantara hipoksia, yang pada akhirnya
akan mengubah perangai metabolisme aerob menjadi anaerob.
Seperti telah diuraikan di atas, terapi oksigen meliputi upaya-upaya meningkatkan
masukan oksigen ke dalam system respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik
dan meningkatkan daya ekstraksi oksigen jaringan, maka pada kesempatan ini hanya
dibahas upaya-upaya untuk meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi,
disesuaikan dengan sarana yang tersedia di bangsal.
Oksigen sebagai obat
Oksigen (O2) sebagai obat dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk
gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa dan tidak mudah terbakar tetapi
menunjang proses kebakaran. Di dalam tabung silinder pada suhu 70F mempunyai

tekanan 1800-2400 psig. Berat molekulnya 32.00, berat jenisnya 1.1052, temperatur
kritisnya -118,4Cdan titik didihnya pada tekanan 1 atmosfir adalah -183,0C.
Oksigen yang dikemas dalam tabung dibuat dari proses likuefaksi dan destilasi
fraksi oksigen dalam udara atau dari proses elektrolisis air. Di dalam laboratorium,
oksigen dalam udara atau dari hasil dekomposisi terminal potassium khlorat (KCI3).
Sebelum oksigen dalam tabung silinder digunakan untuk terapi oksigen, perlu
dilengkapi dengan asesoris yang mutlak harus tersedia, artinya tanpa asesoris tersebut,
tindakan terpai oksigen tidak bisa dikerjakan.
Beberapa asesoris yang dimaksud adalah:
1. Pengatur tekanan, yang popular disebut regulator.
Ada dua tipe regulator yang digunakan di klinik yaitu: tipe pipa Thorpe dan Baurdon.
Regulator ini menurunkan tekanan oksigen dalam tabung menjadi 50-100 psig
sehingga siap diberikan kepada pasien.
2. Sistem perpipaan oksigen sentral.
Fasilitas ini pada umumnya tersedia di Instalasi Bedah Sentral, Rawat Darurat dan
Rawat Intensif, sedamgkan untuk bangsal atau ruangan disediakan oksigen tebung
silinder portable.
3. Meter aliran.
Angka petunjuknya bervariasi mulai dari 0-10 atau 15. Jumlah aliran permenit
ditentukan dengan petunjuk rotameter atau skala aliran.
4. Alat humidifikasi.
Oksigen yang keluar dari tabung silinder adalah kering, bisa menimbulkan dehidrasi.
Untuk mencegah kejadian ini perlu proses humidifikasi oksigen sebelum diberikan
kepada pasien. Secara sederhana proses humidifikasi dilakukan dengan cara
mengalirkan oksigen ke dalam air steril, bersamaan dengan alirannya akan terbawa
juga uap air.

5. Alat terapi aerosol.


Adalah alat untuk membuat partikel suspense dalam udara atau gas yang digunakan
untuk tujuan tertentu, misalnya pada terapi inhalasi penderita PPOM. Termasuk
dalam klasifikasi alat ini adalah nebulizer.
6. Pipa atau kanul atau kateter serta alat pemberiannya.

Sangat banyak jenis dan variasi alat ini, pemilihannya tergantung dari target dari
terapi oksigen. Alat ini akan dibahas lebih mendalam pada bahasan berikutnya.
Indikasi terapi oksigen
Pada kondisi normal, konsumsi oksigen tubuh adalah 115-165ml/menit/meter
persegi luas permukaan tubuh, sedangkan penyediaan oksigen sebanyak 560650ml/menit/meter persegi luas permukaan tubuh. Hal ini berarti masih tersedia
sebanyak435-485 ml cadangan oksigen dalam darah yang segera akan habis digunakan
dalam metabolisme apabila selama 3-4 menit pasien tidak bernafas atau tidak diberikan
oksigen.
Keseimbangan

antara

penyediaan

dengan

konsumsi

oksigen

senantiasa

diupayakan oleh tubuh melalui mekanisme fisiologik system respirasi dan system
sirkulasi dalam penyediaan oksigen dan mekanisme kompensasi dalam tubuh untuk
mengatur konsumsi oksigen. Apabila terjadi gangguan keseimbangan dengan dominasi
penurunan penyediaan oksigen atau sebaliknya peningkatan dalam konsumsi akan terjadi
hutang oksigen.
Secara umum indikasi klinis terapi oksigen diberikan pada pasien yang menderita ketidak
adekuatan oksigenasi jaringan yang terjadi akibat:
1. Gagal nafas; akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit saraf otot,
trauma torak atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS.
2. Kegagalan transportasi oksigen; akibat syok (kardiogenik, hipovolemik dan septik).
Infark otot jantung, anemia atau keracunan CO.
3. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan sianida.
4. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka bakar, trauma
ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam dllnya.
5. Pasca anesthesia terutama anesthesia umum dengan gas gelak atau N2O
Dengan demikian tujuan terapi oksigen pada keadaan-keadaan seperti tersebut di
atas adalah untuk:
1. Mengoreksi hipoksemia.
Pada gagal nafas akut, terapi oksigen yang diberikan merupakan upaya penyelamatan
nyawa, sedangkan untuk kasus-kasus yang lain adalah untuk membayar hutang
oksigen pada jaringan, sehingga perangai metabolisme kembali pada status aerob.
2. Mencegah hipoksemia.
3

Terapi oksigen diberikan untuk mempertahankan penyediaan oksigen dalam darah,


misalnya pada tindakan bronkoskopi, perlu tambahan oksigen pada udara
inspirasinya, atau pada kondisi yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen
seperti pada infeksi yang berat, kejang dllnya.
3. Mengobati keracunan karbon monoksida (CO).
Terapi oksigen diberikan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen (PO2) dalam
darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.
4. Fasilitas absorbs gas dari jaringan dan rongga-rongga dalam tubuh.
Pada kondisi seperti ini, terapi oksigen diberikan untuk mempercepat proses
eleminasi obat anesthesia inhalasi pasca anesthesia.
Teknik terapi oksigen.
Sangat banyak teknik dan model alat yang dapat digunakan dalam terapi yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pemilihan teknik dan alat yang akan
digunakan sampai ditentukan oleh kondisi pasien yang akan diberikan terapi oksigen.
Teknik dan alat yang akan digunakan dalam terapi oksigen hendaknya memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2).


Tidak menyebabkan akumulasi CO2.
Tahanan terhadap pernafasan minimal.
Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen.
Diterima dan enak dipakai oleh pasien.

Berdasarakan kriteria tersebut, alat-alat terapi oksigen digolongkan menjadi:


1. Sistem Fixed Peformance.
Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien. Berdasarkan aliran
gasnya alat ini dibagi menjadi:
1.1.
Aliran tinggi, misalnya pada sungkup venture.
1.2.
Aliran rendah, misalnya mesin anesthesia.
2. Sistem Variable Performance.
Fraksi oksigennya tergantung pada aliran oksigennya, faktor alat dan kondisi pasien. Alat
ini ada tiga jenis:
2.1.
Sistem No Capacity, misalnya kanul atau kateter hidung atau trakea.
2.2.
Sistem Small Capacity, misalnya: kateter atau kanul dengan aliran tinggi dan
sungkup semi-rigid seperti sungkup Edinburg, Harris dan lain-lain.
4

2.3.

Sistem Large Capacity, misalnya pneumask dan polymask.


Berdasarkan ada atau tidak adanya hirupan kembali udara ekspirasi pasien selama

terapi oksigen, system pemberian gas dalam terapi oksigen dapat diklasifikasi menjadi:
1. System Nonrebreathing.
Pada system ini kontak antara udara inspirasi dengan udara ekspirasi sangat minimal.
Udara ekspirasi langsung ke luar ke udara atmosfir melalui katup searah yang dipasang
pada hubungan antara pengalir gas dengan mulut atau hidung pasien. Untuk itu harus
diberikan aliran gas yang cukup agar volume semenit dan laju aliran puncak yang
dibutuhkan terpenuhi atau memasang kantong penampung udara inspirasi yang
memungkinkan penambahan sejumlah gas bila diperlukan. Katup searah yang dipasang
tersebut, memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam alat ini sehingga
menambah jumlah aliran gas untuk memenuhi kebutuhan gas, terutama pada system
aliran gas tinggi.
2. Sistem Rebreathing.
Pada system ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong penampung yang terletak
pada pipa jalut ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2 nya diserap oleh penyerap CO2
selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur inspirasi.
Berdasarkan kecepatan aliran, cara pemberian oksigen dibagi menjadi:
1. System aliran oksigen tinggi.
System ini mempergunakan sunkup venti atau venture yang mempunyai kemampuan
menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan aliran oksigen sehingga mampu
memberikan aliran total gas yang tinggi dengan FiO 2 yang tetap. Keuntungan alat ini
adalah: FiO2 yang diberikan stabil dan mampu mengendalikan suhu dan humidifiasi
udara inspirasi, sedangkan kelemahannya adalah: alat ini mahal, mengganti seluruh alat
apabila ingin mengubah FiO2 dan tidak enak bagi pasien.
2. System aliran oksigen rendah.
Sebagian dari volume tidak berasal dari udara kamar. Alat ini memberikan FiO 2 21% 90%, tergantung dari aliran gas oksigen dan tambahan asesoris seperti kantong
penampung. Alat yang umum digunakan dalam system ini adalah: kanul nasal, kateter
nasal dan sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung. Alat ini digunakan pada

pasien dengan kondisi stabil, volime tidalnya berkisar antara 300-700 ml (dewasa) dan
pola nafasnya teratur.
Beberapa alat-alat yang umum digunakan di klinik untuk terapi oksigen adalah:
1. Kanul nasal.
Termasuk pada system Non rebreathing, no capacity, dan aliran rendah. Merupakan
alat sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tergantung dari aliran
oksigen/menit, mampu memberikan FiO2 sebagai berikut:
1.1.
Pada kecepatan aliran 1 liter/menit, FiO2 nya: 24%
1.2.
Pada kecepatan aliran 2 liter/menit, FiO2 nya: 28%
1.3.
Pada kecepatan aliran 3 liter/menit, FiO2 nya: 32%
1.4.
Pada kecepatan aliran 4 liter/menit, FiO2 nya: 36%
1.5.
Pada kecepatan aliran 5 liter/menit, FiO2 nya: 40%
1.6.
Pada kecepatan aliran 6 liter/menit, FiO2 nya: 44%
2. Kateter nasal.
Alat ini mirip dengan kanul nasal, sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya.
Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia dan jenis kelamin pasien. Untuk
anak-anak digunakan kateter noro 8-10 F, untuk wanita digunakan nomor 10 -12 F dan
untuk pria nomor 12-14 F. Fraksi oksigen yang dihasilkan sama seperti kanul nasal.
3. Sungkup muka tanpa kantong penampung.
Alat ini sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia dalam berbagai
ukuran sesuai dengan usia. Sering kali ditolak pasien oleh karena menimbulkan perasaan
tidak enak. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
3.1.
Pada kecepatan aliran 5 6 liter/menit, FiO2 nya = 40%
3.2.
Pada kecepatan aliran 6 7 liter/menit, FiO2 nya = 50%
3.3.
Pada kecepatan aliran 7 8 liter/menit, FiO2 nya = 60%
4. Sungkup muka dengan kantong penampung.
Termasuk kelompok aliran rendah, large capacity dan non rebreathing. Alat ini
sama dengan alat di atas, hanya ditambah kantong penampung oksigen pada muaranya
untuk meningkatkan konstentrasi oksigen udara inspirasi atau FiO 2. Alat ini digunakan
apabila memerlukan FiO2 antara 60% - 90%. Menghasilkan FiO2 sebagai berikut:
4.1.
Pada kecepatan aliran 6 liter/menit, FiO2 nya = 60%
4.2.
Pada kecepatan aliran 7 liter/menit, FiO2 nya = 70%
4.3.
Pada kecepatan aliran 8 liter/menit, FiO2 nya = 80%
4.4.
Pada kecepatan aliran 9 liter/menit, FiO2 nya = 90%
4.5.
Pada kecepatan aliran 10 liter/menit, FiO2 nya = 99%
5. Sungkup muka venturi.
Alat ini relative mahal dibandingkan dengan beberapa alat yang telah disebutkan di atas.
Kelebihan alat ini adalah mampu memberikan FiO2 sesuai dengan yang dikehendaki,
6

tidak tergantung dari aliran gas oksigen yang diberikan. Tersedia dalam ukuran FiO 2
24%, 35%, dan 40%.
6. OEM Mix-O Mask
Alat ini hampir sama dengan sungkup venture. Perbedaannya pada alat ini ditambah
dengan pipa korigated sepanjang 2030 cm dan bisa ditambah adaptor humidifikasi.
7. Sungkup muka tahanan positif.
Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan yang ditara daro 04 cm HO, tali
pengikat kepala, katup searah, kantong dari karet elastic, pipa karet diameter agak besar
dan meter aliran untuk oksigen dalam system perpipaan atau regulator untuk oksigen
dalam silinder. Alat ini digunakan untuk memberikan nafas buatan pada pasien yang
menderita depresi nafas.
8. Kollar trakeostomi.
Digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi. Alat ini mampu memberikan
humidifikasi tinggi dan FiO2 nya dikendalikan dengan mengatur aliran oksigen
permenitnya.
Pedoman Terapi Oksigen
Langkah-langkah baku yang harus diikuti sebelum memberikan terapi oksigen adalah:
1. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan Analisis
gas darah.
2. Pilih system yang akan digunakan, (aliran rendah atau tinggi).
3. Tentukan konsentrasi oksigen yang dikehendaki: tinggi (> 60%), sedang (35-60%) atau
rendah (<35%).
4. Pantau keberhasilan terapi oksigen dengan pemeriksaan fisik pada system respirasi dan
kardiovaskular.
5. Periksa analisis gas darah secara periodic dengan selang waktu minimal 30 menit.
6. Apabila dianggap perlu ubah cara pemberiannya.
Efek samping terapi oksigen.
Seperti halnya terapi dengan obat, pemberian terapi oksigen juga bisa menimbulkan
efek samping, terutama terhadap system pernafasan sendiri, terhadap susunan saraf dan juga
mata terutama pada bayi prematur.
1. Terhadap system respirasi, menimbulkan efek samping:
1.1.
Depresi nafas.

Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOM dengan hipoksia dan
hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOM kendali pusat nafas bukan oleh
kondisi hiperkarbi seperti pada keadaan normal, tetapi oleh kondisi hipoksia,
sehingga apabila kadar oksigen dalam darah meningkat malah akan menimbulkan
depresi nafas. Dianjurkan, terapi oksigen pada penderita PPOM dilakukan dengan
system aliran rendah dan pemberiannya secara intermitten.
1.2.

Keracunan oksigen.
Terjadi akibat pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi (>60%) dalam jangka
waktu lama. Timbul perubahan pada paru dalam bentuk: kongesti paru, penebalan
membrane alveoli, edema, konsolidasi dan atelectasis. Walaupun demikian pada
keadaan hipoksia berat, pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai 100% dalam
waktu 6 12 jam untuk penyelamatan hidup seperti misalnya pada saat resusitasi

masih dianjurkan, setelah keadaan kritis teratasi, segera FiO2 segera diturunkan.
1.3.
Nyeri substernal
Keluhan ini terjadi akibat iritasi pada trakea yang menimbulkan trakeitis. Hal ini
terjadi pada pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan keluhannya akan lebih hebat
lagi apabila oksigen yang diberikan kering tanpa humidifikasi.
2. Terhadap susunan saraf.
Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi akan menimbulkan keluhan
paresthesia dan nyeri pada sendi.
3. Pada mata.
Pada bayi baru lahir terutama bayi premature, hiperoksia menyebabkan kerusakan pada
retina akibat proliferasi pembuluh darah disertai perdarahan dan fibrosis. Kedaan ini
dikenal sebagai retrolental fibrosa.

B. TERAPI INHALASI
Pendahuluan
Terapi inhalasi merupakan salah satu cara pengobatan melalui udara inspirasi
yang semakin banyak dipilih untuk pengobatan penyakit saluran nafas kronik secara
peroral, injeksi intramuscular dan intravena. Pada penderita penyakit saluran nafas
kronik, hampir semua pasien telah menjalani pengobatan melalui beberapa cara yang
lazim seperti tersebut di atas.
Pilihan terapi inhalasi dilandasi oleh pemikiran bahwa: obat-obat yang diberikan
dengan cara ini dapat langsung mencapai area permukaan cabang trakeobronkial dan
alveoli. Selain itu, reaksi obat akan lebih cepat dan dosis yang diberikan lebih kecil
dibandingkan pemberian oral atau intravena, sehingga dapat mengurangi efek samping
sistemik.
Pada umumnya, terapi inhalasi pada kelainan saluran nafas kronik dilakukan
dengan aerosol dan humidifikasi.
Aerosol adalah suspense partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas yang
dapat memasuki saluran nafas melalui proses inspirasi. Aerosol tersebut akan mengalami
desposisi di dalam saluran nafas karena partikel-partikel tersebut mempunyai daya bentur
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Humidifikasi adalah proses melembabkan udara inspirasi agar mukosa jalan nafas
tetap sehat tidak kekeringan atau basah. Secara fisiologis, proses melembabkan udara
inspirasi dilakukan oleh mukosa rongga hidung dan seluruh mukosa saluran nafas atas.
Pada keadaan tertentu, misalnya pada aplikasi jalan nafas artifisial, proses fisiologik ini
terganggu sehingga perlu aplikasi teknik khusus untuk memperoleh udara inspirasi yang
fisiologik.
Alat-alat yang digunakan untuk menghasilkan aerosol dan humidifikasi dirancang
dan dibuat semakin baik dan enak untuk digunakan baik untuk dewasa maupun anakanak, seiring dengan perkembangan IPTEKDOK.
Terapi inhalasi diindikasikan pada penderita penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), setelah gagal diterapi secara konvensional, misalnya pada penderita dengan
gejala asmatik persisten atau sebagai terapi substitusi pada keadaan darurat yang dapat
dilakukan oleh penderita secara mandiri.
PERTIMBANGAN TERAPI AEROSOL
Obat-obat yang dapat diberikan secara aerosol relative sedikit dibandingkan
dengan obat-obatan yang diberikan dengan cara lain. Beberapa obat-obatan yang dapat

diberikan secara inhalasi juga dapat diberikan peroral. Sudah dipahami bahwa; cara
pemberian obat peroral lebih mudah dan murah, sehingga pemberian secara inhalasi perlu
dipertimbangkan secara rasional karena terdapat perimbangan untung-rugi.
Keuntungan terapi aerosol:
1. Efek terapeutik cepat tercapai karena bekerja topical
2. Dosis yang diberikan kecil
3. Efek samping ekstrapulmonal sedikit
4. Titrasi dosis individu dapat diketahui
5. Dapat dimanfaatkan untuk pemberian obat
6. Beberapa obat-obatan tidak dapat diberikan melalui cara lain.
7. Pada pasien dengan trakesotomi dan intubasi, pelembaban bermanfaat pada sebagian
besar penderita penyakit paru.
8. Rasa percaya diri dan keuntungan psikologis bagi penderita.
9. Rangsangan oral-inhalasi dapat menggantikan kebiasaan merokok.
Kelemahan terapi aerosol
1. Membutuhkan peralatan yang khusus dan mahal
2. Penderita harus dapat mengatur nafas dalam
3. Dosis obat yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan atau
4.
5.
6.
7.
8.
9.

kelebihan dosis.
Hanya sebagian kecil obat yang ditahan oleh paru.
Deposisi orofaringeal dapat menyebabkan absobsi sistemik.
Iritasi orofaringeal menyebabkan penyumbatan, nakusea, vomitus dan aerofagi.
Iritasi trakeobronkial menyebabkan bronkospasme, batuk dan trakeobronkhitis.
Zat penyerta pada aerosol dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.
Nebulizer dapat menjadi kotor sehingga efektivitasnya berkurang dan malahan dapat

menjadi sumber infeksi.


10. Pemberian secara aerosol lebih kompleks dibandingkan oral.
SIFAT FISIK AEROSOL
Aerosol adalah suspensi partikel-partikel zat padat atau cairan di dalam gas.
Deposisi aerosol di dalam saluran nafas terjadi karena adanya daya bentur (intertial
impaction) yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: cara inhalasi, sifat
isik aerosol, ukuran partikel dan keadaan saluran nafas penderita.
Ukuran partikel merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan
deposisi partikel aerosol pada saluran nafas. Pada umumnya sebagian besar partikelpartikel aerosol dengan diameter lebih besar dari >5m akan tertahan diatas laring,
10

karena daya benturnya kurang sehingga tidak pernah mencapai paru. Partikel-partikel
yang berukuran 1-5m dapat mengalami deposisi pada saluran nafas besar dan kecil,
selanjutnya sampai pada alveoli akibat daya bentur tinggi dan gravitasinya. Partikel
dengan ukuran <1m tidak selalu mengalami deposisi karena perilakunya seperti gas
yang larut pada udara pernafasan dan ikut keluar diekshalasi.
Ukuran partikel aeroso ditentukan ditentukan oleh diameter aerodinamik dan
dapat diukur dengan berbagai teknik. Ukuran partikel yang digunakan untuk terapi,
biasanya terdiri dari bermaacam-macam ukuran dan ditentukan dalam ukuran MMAD
(mass median aerodynamic diameter). Sebagian aerosol akan berisi partakel-partikel
lebih besar dari MMAD dan sebagian lagi lebih kecil dari ukuran MMAD. Ukuran
partikel yang ideal tepatnya masih belum diketahui, tetapi diperkirakan MMAD tidak
boleh lebih dari 5m agar dapat melalui cabang trakeobronkial dan saluran nafas yang
lebih kecil.
Perlu diperhatikan pula bahwa sebagian besar partikel-partikel aerosol bersifat
higroskopis, dimana partikel-partikel yang diinhalasi akan mengabsorbsi air dalam
lingkungan kelembababan saluran nafas sehingga ukuran partikel menjadi lebih besar dan
mengaburkan sifat aerodinamik partikel aerosol tersebut.
PENGGUNAAN KLINIS DAN JENIS AEROSOL
1. Memperbaiki bronkospasme dan odema mukosa.
Bronkospasme dan odema mukosa sering terjadi bersama-sama dan dapat
diterapi dengan obat-obat yang bersifat bronkodilator dan dekongestan. Bronkodilator
akan melebarkan saluran nafas dengan melemaskan otot polos bronkus yang spasme
akibat iritasi ataupun penyakit paru obstruktif. Dekongestan menyebabkan kontraksi
otot polos arterial dan arteri kecil sehingga mengurangi aliran darah daerah tersebut
dan menurunkan tekanan hidrostatik, dengan demikian menghambat cairan keluar ke
jaringan. Tidak semua bronkodilator juga sebagai dekongestan.
1.1.

Bronkodilator
Beberapa golongan bronkodilator yang sering dipergunakan sebagai aerosol:
a. Bronkodilator adrenergic
- Epinefrin

11

Bersifat sebagai bronkodilator dan dekongestan, diberikan secara aerosol


dalam larutan 1% (1:1000), 2 x inhalasi dan dapat diulang minimal setiap
4 jam. Obat ini merangsang reseptor alfa, beta -1 dan beta -2. Pemakaian
secara aerosol menyebabkan efek topical maupun sistemik karena
sebagian kecil partikel-partikel yang kontak dengan mukosa akan
diabsorbsi oleh pembuluh darah ke dalam mukosa bronkus akan
diabsorbsi oleh pembuluh darah ke dalam mukosa bronkus akan
diabsorbsi oleh pembuluh darah kedalam sirkulasi dan menimbulkan efek
samping. Pemakaiannya harus berhati-hati pada orang tua atau penderita
yang mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular. Pada pemakaian yang
terlalu sering menyebabkan responsnya berkirang sehingga diperlukan
dosis besar untuk mencapai efek terapeutik. Kadang-kadang makin
memperburuk keadaan asma karena timbul reaksi alergi terhadap hasil
-

akhir metabolic dari obat ini.


Isoproterenol
Digunakan untuk terapi jangka pendek dan intermitten sebagai aerosol
pada larutan 1:200, 2-4 x inhalasi dengan interval 4 jam. Pada pemakaian
yang lama dengan ventilator dipakai larutan 1:400 atau 1:600. Khasiatnya
merangsang reseptor

beta -1 dan beta -2 dan mempunyai efek

bronkodilator yang lebih kuat daripada epinefrin, tetapi tidak bersifat


-

dekongestan.
Salbutamol.
Bekerja pada reseptor beta -2 dan efek bronkodilator diperoleh dengan
cara inhalasi bubuk aerosol (aerosolized powder).
Pemakaian bronkodilator adrenergic inhalasi, seringkali hasilnya kurang
memuaskan, disamping efek samping yang timbul lebih banyak. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh:
Rangsangan terhadap reseptor lain
Iritasi mukosa saluran nafas
Hambatan terhadap reseptor beta akibat penimbunan hasil metabolic
adrenergic, terutama pada pemakaian isoproterenol yang terlalu sering
dan lama

12

Pada beberapa larutan aerosol sering dipergunakan zat pelarut propilen

glikol yang bersifat partikel aerosol ke dalam saluran nafas.


b. Bronkodilator antikolinergik: Atropin
Ada 2 macam efek atropine:
- Bronkodilatasi
Mengahambat rangsangan parasimpatis sehingga rangsangan terhadap
beta adrenergic lebih menonjol, disamping itu efek dilatasi tidak begitu
kuat
-

dibandingkan

dengan

epinefrin

dan

isoproterenol

sehingga

pemakaiannya pada penyakit paru perlu dipertimbangkan.


Mengurangi sekresi kelenjar di hidung, mulut, faring dan bronki sehingga
dapat memperberat obstruksi jalan nafas akibat secret yang kental. Larutan
yang dipergunakan berisi 0,2% atropin yang sebanding dengan propilen
glikol dan air, harus berupa mikroaerosol (0,03-0,05 Um) untuk mencegah

efek toksik dan memerlukan alat khusus.


c. Bronkodilator Xanthine: Aminofilin
Didberikan pada bronkospasme yang difus seperti penderita asma bronkial
yang sukar diatasi dan refrakter terhadap simpatomimetik. Pemakaiannya
secara aerosol tidak begitu luas, preparat i.v dapat dipakai sebagai aerosol
dengan nebulisasi kontinyu dengan dosis 0,5-0,7 gram. Bila diberikan dengan
intermittent Positive Pressure Breathing (IPPB) sering dikombinasi dengan
simpatomimetik. Efek samping sangat jarang karena hanya sedikit sekali
diabsorbsi.
1.2.
Adrenokortikosteroid
Obat golongan steroid dipakai untuk pengobatan kelainan saluran nafas karena
mempunyai khasiatnya sebagai antiinflamasi dan anti alergi seperti pada penyakit
paru obstruksif akut maupun kronis dan pada alergi saluran nafas yang resisten.
Mengingat kontraindikasi dan efek sampingnya terhadap organ lain kalau
diberikan sistemik, maka pemakaian secara aerosol merupakan cara yang lebih
aman untuk terapi jangka lama, walaupun dosis yang aman sukar diketahui.
Preparat yang sering digunakan dalam bentuk aerosol adalah deksametason,
prednisone, dan triamsinolon. Obat tersebut tersedia dalam bentuk gas propelled
pressurized capsule dan dapat dikombinasi dengan isoproterenol.
Kromolin sodium
Obat ini bukan golongan bronkodilator, tetapi pemakaian yang regular dapat

1.3.

mencegah atau mengurangi frekuensi dan beratnya serangan asma dengan jalan
13

menghambat pelepasan mediator pada reaksi alergi sehingga pemberian dosis


kortikosteroid dapat diperkecil (3,10,13).
Tersedia dalam bentuk bubuk kapsul 20mg dengan teknik dan cara inhalasi yang
khusus.
2. Mobilisasi secret bronkus
Prinsip kerja jenis obat ini adalah untuk mengubah secret saluran nafas
menjadi lebih cair sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan. Air merupakan zat yang
paling penting untuk mobilisasi sputum, sehingga keadaan hidrasi pasien perlu
mendapat perhatian dalam terapi inhalasi.
Ada 2 ( dua ) jenis obat yang digunakan untuk mobilisasi sputum, yaitu:
mukolitik dan proteolitik. Mukolitik terutama untuk sputum yang mukoid sedangkan
proteolitik untuk sputum yang mengandung protein tinggi.
2.1.

Mukolitik.
Kerja mukolitik adalah memutuskan rantai panjang senyawa organic yang
membentuk mucous sputum sehingga terpecah menjadi molekul yang lebih kecil
dan mudah bergerak.
a. Wetting agents
Bekerja dominan bekerja sebagai muko-evakuen daripada mukolitik. Larutan
mengandung 0,125% cairan wetting agent tyloxapol 2% sodium bikarbonat
dan 5% gliserin. Wetting agent bekerja diantara lapisan mukosa saluran nafas
dengan lapisan mucus sehingga melepaskan perlekatan mucus dari dinding
bronkus.
b. Asetilsistein
Merupakan mukolitik kuat dan mengurangi kekentalan mucus. Konsentrasi
yang efektif 10-20%, konsentrasi yang lebih pekat dapat menyebabkan
bronkospasme dan mungkin terjadi kerusakan surfactant alveoli. Pemberian
asetilsistein aerosol dapat dengan hand-nebulizer, pumpn nebulizer
ataupun IPPB, tetapi tidak boleh diberikan melalui heated nebulizer. Juga
perlu dihindari reaksi kimia yang dapat terjadi antara asetilsistein dengan

komponen-komponen nebulizer.
2.2.
Proteolitik
Efektifitas mukolitik akan sangat berkurang bila secret purulent. Untuk
menghancurkan protein pada sputum yang purulent tersebut perlu ditambah
14

proteinase. Proteolitik aerosol yang sering dipakai adalah tripsin dan dornase.
Pemakaiannya sebagai aerosol terbatas, dosisinhalasi 100.000 U 2-3 x/hari dan
tidak boleh lebih dari 4 hari berturut-turut.
3. Pemberian antibiotik.
Antibiotik yang sesuai untuk digunakan secara aerosol adalah yang bersifat
topical dan tidak diabsorbsi. Pemberian antibiotik aerosol bukan untuk menambah
kadar sistemik tetapi hanya merupakan tambahan pengobatan pada penyakit saluran
nafas dengan sputum purulent yang banyak. Jadi tujuannya adalah mengurangi
jumlah sekresi dan membersihkan saluran nafas dari pertumbuhan bakteri.
Penyebaran infeksi ke tempat yang jauh tetap harus dikontrol dengan
antibiotic sitemik. Antibiotik aerosol sering digunakan untuk pengobatan infeksi
saluran nafas yang kronis oleh pseudomonas aeroginosa terutama pada penderita
dengan trakeostomi atau penghisapan sekret trakeobronkial. Dapat diberikan melalui
simple pump atau gas powder hand nebulizer maupun ultrasonic nebulizer.
Jenis antibiotik yang dapat diberikan secara aerosol:
-

Karbenisisilin
Streptomisin
Kalimisisn M

- Neomisin
- Kanamisin
- Gentamisin

- Basitrasin
- Kloranfenikol
- Polimiksin

Disamping itu juga dapat diberikan antimikotik aerosol seperti ampoterisin dan
mikostatin.
HUMIDIFIKASI DALURAN NAFAS.
Humidifikasi adalah upaya untuk menambah uap air yang cukup pada udara
inspirasi sehingga nyaman untuk dihirup dan untuk menghangatkan gas agar mencapai
kelembabab relative 100% pada suhu tubuh.
1. Teknik humudifikasi:
1.1.
Menambah uap air.
Uap air diberikan untuk mencegah atau memperbaiki kurangnya kelembaban pada
saluran nafas. Pada keadaan normal saluran nafas dapat dipertahankan
kelembaban udara inspirasi pada sushu tubuh dengan jalan evaporasi dari mukosa
yang terjadi pada bagian proksimal dari karina. Udara inspirasi yang mencapai
paru berisis uap air dengan tekanan parsial 47 mmHG.
15

1.2.

Aerosol air (bland aerosol).


Berfungsi menambah cairan kepada permukaan mukosa sehingga dapat
melarutkan secret yang kental sehingga mudah untuk dikeluarkan. Larutan
mengandng 3% propilen glikol dan NaCl atau hanya NaCl saja. Dapat diberikan
melalui jet atau ultrasonic nebulizer.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada humudifikasi adalah:


-

Alat humidifikasi (humidifier) dapat merupakan sumber infeksi.


Bolus air dapat memadat sehingga menyumbat pipa yangmenyebabkan ventilasi

terganggu.
Dapat mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh.
Humidifikasi yang berlebihan dengan NaCl dapat menyebabkan kerusakan paru
karena surfactant menjadi hilang, complain menurun, edema intertisial dan

perubahan mikroskopis lainnya.


2. Humidifiers
Humidifiers adalah alat pemberi gas yang dapat meninggikan uap air. Faktorfaktor yang mempengaruhi efisiensi alat ini adalah: waktu kontak antara gas dan air,
area permukaan dan suhu. Ada beberapa jenis humidifies:
2.1.

Simple humidifier.
Alat ini tidak mempergunakan panas, tetapi hanya menambah kelembababn
sehingga gas yang di inhalasi nyaman dipakai. Ada 4 (empat) jenis:
- Pass-over atau blow-by humidifier: Gas akan melalui permukaan air kemudian
-

dialirkan pada penderita.


Bubble humidifier: Gas dialirkan ke bawah permukaan air dan menghasilkan

gelembung udara yang naik keatas.


Jet humidifier: menghasilkan partikel-partikel aerosol dan membutuhkan
baffle system dimana partikel-partikel akan digerakkan dan diuapkan

sebelum meninggalkan unit.


Underwater jet humidifier: gas langsung mengalir kedalam tabung jet yang
terletak di bawah permukaan air dan menggerakkan aerosol, gas yang berisi

gelembung-gelembung aerosol akan keluar melalui permukaan


2.2.
Heated humidifier.
Alat ini mempergunakan panas untuk menambah efisiensi humidifier.
Kelembaban relative 100% pada suhu tubuh sangat penting untuk kelembaban gas
yang di inhalasi bila saluran nafas dalam keadaan by-pass. Biasanya
16

humidifikasi terjadi pada hidung, akan tetapi proses ini akan hilang bila penderita
mengalami trakeostomi atau intubasi sehingga humidifikasi harus diberikan
melalu alat. Dengan menaikkan suhu, kapasitas gas untuk membawa uap air juga
bertambah dan ini terjadi pada waktu gas melalui humidifier yang dipanaskan.

TEKNIK PEMBERIAN TERAPI INHALASI.


1. Metered Dose Inhalaler (MDI).
Aerosol berupa suspense dari Kristal obat yang halus atau cairan obat yang
dicampur dengan bahan bakar hidrofluorokarbon. Bahan bakar tersebut mempunyai
tekanan uap yang tinggi 400 kps yang menjaga tetap dalam bentuk cairan di dalam
tempatnya. Bila aerosol dipakai, isi dari tabung akan dilepaskan dengan cepat
didahului olrh penguapan dari bahan bakar yang mrnyebabkan cairan berubah
menjadi titik-titik kecil (droplet).
Ternyata hanya 10% dari dosis yang diberikan dapat mencapai paru, sebagian
besar partikel-partikel menggumpal di orofaring. Cara inhalasi yang lambat dan
menahan nafas selama 10 detik dapat meningkatkan masukan obat. Kegagalan
disebabkan karena penderita tidak mengetahui caranya.
2. Dry Powder Inhaler. (DPI)
Cara ini pertama kali dicoba untuk memberi obat sodium kromoglikat.
Selanjutnya dicoba pula untuk pemberian obat salbutamol dan beklometason
dipropionat. Preparatnya tersedia dalam bentuk kapsul gelatin yang berisi obat,
setelah memecahkan kapsul penderita disuruh menghisap melalui suatu alat agar
bubuk tidak jatuh dari tempatnya. Cara ini lebih mudah daripada metered dose inhaler
(MDI). Jumlah obat yang mencapai paru hanya 5% dan biasanya diberikan pada
penderita yang kurang dapat memakai MDI.
Teknik inhalasi yang lebih baik dari cara ini masih belum ditemukan, akan
tetapi inhalasi yang cepat lebih dari 60 l/menit menyebabkan isi kapsul akan cepat
terpakai dan penyebaran bubuk yang baik pada udara inhalasi.
3. Nebulizer
Nebulizer adalah alat yang dipergunakan untuk menghasilkan partikel-partikel
aerosol. Cairan nebulisasi mengandung obat yang larut yang encer. Tenaga yang

17

dibutuhkan untuk menghasilkan tetesan-tetesan kecil inhalasi berasal dari udara yang
bertekanan atau dari gelombang ultrasonic. Ada dua jenis nebulizer yang lazim
digunakan di klinik:
3.1.
Jet nebulizer
Mekanisme kerjanya adalah: dengan mengalirkan tekanan negative pada tabung
jet. Pada tekanan atmosfir, permukaan air akan turun sehingga air akan naik
kedalam pipa kecil. Pada waktu air meninggalkan pipa kapiler akan mengadakan
kontak dengan aliran gas dan terpecah menjadi partikel-partikel aerosol akibat
kekuatan tekanan aliran gas dari tabung jet.
3.2.
Ultrasonic Nebulizer
Prinsip kerja adalah: aliran listrik akan menghasilkan gelombang suara frekuensi
tinggi yang dapat memecah air menjadi partikel-partikel aerosol.
4. Intermittent Positive Pressure Breathing (IPPB)
IPPB dapat dipertimbangkan untuk inhalasi bronkodilator pada PPOK dengan tujuan
meningkatkan tekanan agar obat dapat masuk ke dalam nafas perifer.
Perbedaan efek IPPB dengan metodelainnya:
- Pemakaian IPPB jangka pendek lebih efektif daripada aerosol bertekanan
-

(pressurized aerosol)
Pada status asmatikus, IPPB lebih efektif daripada pemberian intravena beta-2

agonist
Selama pemakaian jangka panjang pada PPOK atau dibandingkan dengan
simple continuous nebulization, IPPB tidak memberi efek yang lebih baik.

KESIMPULAN
Terapi inhalasi mempunyai keuntungan karena pemberian obat dapat langsung
mencapai saluran nafas dan alveoli serta reaksinyacepat. Pemberian obat secara topical
dalam jumlah dosis yang kecil memberikan konsentrasi local yang tinggi sehingga efek
terapeutik yang baik dapat dicapai dengan efek samping yang sedikit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada terapi inhalasi agar dapat mencapai efek
yang memuaskan adalah:
1. Mengetahui factor-faktor yang dapat mempengaruhi deposisi aerosol pada saluran
nafas.
2. Indikasi yang tepat serta pemilihan obat yang dapat diberikan secara aerosol.
3. Teknik pemberian harus disesuaikan dengan keadaan penderita.

18

4. Keadaaan system organ non repsirasi harus diusahakan optimal agar mampu
mendukung program terapi inhalasi yang dilakukan.

C. APLIKASI ALAT BANTU NAFAS MEKANIK


Pendahuluan

19

Ventilasi mekanik adalah upaya bantuan nafas dengan alat bantu nafas mekanik
(ABNM) atau ventilator sebagai alat pengganti fungsi pompa dada tang mengalami
kelelahan atau kegagalan.
Aplikasi ventilasi mekanik di klinik sudah dikenal sejak tahun 1950 khususnya di
bebebrapanegara Eropa. Pada saat itu terjadi wabah poliomielitits yang menyebabkan
penderita mengalami gagal nafas.
Pada perkembangannya dewasa ini, alat bantu nafas mekanik bukan saja sebagai
pengganti fungsi pompa dada, namun lebih luas lagi yaitu mengatasi gangguan ventilasiperfusi paru, sehingga dengan demikian alat bantu nafas ini disepakati sebagai alat
penyelamat kehidupan pasien yang kriti yang mengancam nyawa yangmemerlukan terapi
intensif.
Tujuan utama tunjangan ventilasi mekanik adalah untuk:
(1)
(2)
(3)

Menjamin ventilasi oksigen yang adekuat


Mengurangi kerja nafas ata Work of Bretahing dan
Memperbaiki gangguan pertukaran oksigen di alveoli.
Dibalik harapan yang menjnjikan bahwa alat bantu nafas mekanik ini dianggap

sebagai alat penyelamat kehidupan pada pasien kritis, terdapat kekhawatiran yang sangat
mendasar, berkaitan dengan aplikasinya. Pada setiap aplikasi ABNM, diperlukan analisis
terhadap ketepatan indikasi, ketetpatan pasien, ketetpatan metode aplikasinya dan selalu
waspada terhadap penyulit yang akan terjadi. Di samping itu, pada setiap aplikasi
ABNM, seorang operator ABNM harus memahami fisiologis pernafasan dan paling tidak
sudah mempunyai pengalaman dalam memberikan bantuan hidup dasar tanpa lat bantu.
Apabila hal ini tidak dipenuhinya, dikhawatirkan aplikasi ABNM justru akan
menjerumuskan penderita pada keadaan yang fatal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dewasa ini telah
menhasilkan banyak variasi dan spesifikasi ABNM yang lebih menjanjikan keberhasilan
terutama berkaitan dengan kemudahan-kemudahan dalam aplikasinya. Namun dibalik
kemudahan yang disediakan, tetapi masih memerlukan sentuhan tangan halus operator
ABNM untuk menghantarkan pasien pada kondisi yang lebih baik dari hari ke hari dalam
perawatannya.
Sarana penunjang yang mutlak harus tersedia dalam aplikasi ABNM adalah alat
pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD). Hasil pemeriksaan AGD pada tahap awal

20

digunakan untuk menegakkan diagnosis gagal nafas, kemudian setelah aplikasi ABNM,
AGD digunakan untuk memantau keberhasilan aplikasi atau sekrang-kurangnya dalam
waktu 30 menit hasil AGD harus sudah dinilai untuk menentukan langkah aplikasi
selanjutnya.
Akhir dari setiap aplikasi ABNM adalah penyapihan, penyapihan adalah usaha
untuk melepaskan penderita dari ketergantungannya dengan ABNM. Antisipasi penyulis
penyapihan harus sudah dianalisis sebelum ABNM diaplikasikan. Pada beberapa kasus
tidak jarang djumpai operator ABNM sulit untuk melakukan penyapihan. Penderita
sangat tergantung dengan ABNM.
INDIKASI
Tujuan ventilasi mekanik diberikan pada penderita:
(1) Kegagalan fungsi pompa dada akibat depresi pusat nafas, misalnya: intoksikasi,
trauma kepala, infeksi intracranial, stroke dan tumor otak.
(2) Depresi pada dada, misalnya: trauma thoraks. Lesi medula spinalis, penyakit sarafotot, distensi abdomen, pasca laparatomi, pasca torakotomi dan lain-lainnya.
(3) Kegagalan fungsi pertukaran gas di aveoli misalnya pada edema paru, pneumoni,
atelectasis dan lain-lainnya.
(4) Pasca ischemia otak, akibat henti jantung.
Kriteria Aplikasi Ventilasi Mekanik.
Kriteria untuk membrikan tunjangan ventilasi mekanik, mengacu pada parameter
mekanik dan parameter kimiawi pernafasan yang meliputi: lihat table (dikutip dari buku
intensive Care Manual oleh OH TE Hal 155).

Table. Kriteria Aplikasi Ventilasi Mekanik.


PARAMETER
Mekanik.
-

Frekuensi nafas
Volume tidal
Kapasitas vital

APLIKASI

HARGA NORMAL

>35x/menit

10-20x/menit

<5 ml/kb BB

5-7 ml/kg BB
21

Kekuatan inspirasi
maksimum ( cm H2O)

<15 ml/kg BB

65-75 ml/kg BB

<25

75-100

<60 (FiO2 0,6)

75-100 (udara)

>350

25-65 (FiO2 1,0)

>60

35-45

>0,6

0,3

Oksigenasi
-

PaO2 (mmHg)
P (A-aDO2)

Ventilasi
-

PaCO2 (mmHg)
VD:VT

Fisiologi Ventilasi Mekanik.


Pada saat inspirasi pernafasan normal spontan, terjadi kontraksi diafragma dan
otot pernafsan yang lain, sehingga dada mengembang dan terajadilah tekanan negative
dalam rongga dada. Hal ini menyebabkan udara mengalir dari luar melalui jalan nafas
dan selanjutnya ,asuk ke paru. Aliran udara ini kan berhenti setelah diafragma dan otot
pernafasan kembali pada keadaan semula dan terjadilah proses ekspirasi karena tekanan
di dalam rongga dada lebih tinggi dari udara luar.
Pada pemberian nafas buatan, aliran udara ke dalam paru terjadi karena tekanan
positif yang dibuat oleh ventilator (ABNM), selanjutnya fase ekspirasi terjadi secara
pasif. Perbedaan pola tekanan baik pada proses inspirasi maupun pada proses ekspirasi,
menimbulkan dampak terhadap kondisi homeostatis yang fisiologik.
1. Efek pada kardiovaskular.
Tekanan positif di dalam rongga dada menyebabkan penururnan aliran darah
balik ke jantung sehingga curah jantung akan menurun. Penderita dengan status
hemodinamik yang masih baik, akan mengkompensasi keadaan ini dengan refleks
venokonstriksi untuk meningkatkan aliran darah balik ke jantung, sedangkan pada
penderita dengan gangguan saraf simpatis dab hipovolemik, refleks ini sangat
terganggu sehingga aliran darah balik sangat menurun pada penderita jatuh pada
keadaan syok.
2. Efek pada paru.
Perubahan pada paru sangat bervariasi, tergantung pada keadaan paru itu
sendiri. Tekanan inflasi yang tinggi dan lama menyebaban menurunnya daya regang
22

paru, bisa terjadi kerusakan membrane kapiler paru, kerusakan surfaktan, atelectasis,
barotrauma, maldistribusi gas, perubahan ratioV/Q dan penururnan kapasitas residu
fungsional.
3. Efek pada keseimbangan asam basa.
Penggunaan volume ventilasi yang besar, menyebabkan hipokarbia dan
alkasosis respiratorik. Keadaan ini menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
peningkatan afinitas oksigen hemoglobin. Hipokarbia tersebut dapat diatasi dengan
menggunakan ruang rugi tambahan.
4. Efek pada organ lain.
Penurunan curah jantung menyebabkan aliran darah ke hati dan ginjal
menurun. Penururnan aliran darah ke ginjal akan merangsang sekresi ADH dan
aldosterone sehingga terjadi retensi air dan natrium sehingga terjadi penurunan
produksi urin.
Tipe Ventilasi Mekanik
Ada dua tipe ventilasi mekanik yang umum diaplikasikan:
1. Negative Pressure Tank respiratory Support.
Pertama kali diperkenalkan oleh: Dr Philip Drinker di Boston pada tahun
1928, kemudian dimodifikasi oleh Emerson pada tahun 1931.
Mekanismenya.
Penderita diletakkan di dalam sebuah silinder yang bertekanan udara sub-atmosfer
(tekanan negative) sehingga mengakibatkan dada mengembang dan tekanan jalan
nafas negative. Keadaan ini menyebabkan udara luar masuk ke dalam paru-paru
secara pasif sampai tekanan udara luar sama dengan di dalam paru.
Keuntungan cara ini tidak memerlukan pemasangan pipa endotrakhea, akan tetapi
kelemahannya adalah alatnya terlalu besar volume semenit tidak pasti dan kesulitan
dalam perawatan penderita, seperti misalnya membersihkan secret dan kebersihan
penderita, segingga dengan demikian alat ini kurang popular aplikasinya di klinik.
2. Positive Pressure Ventilation.,
Ventilator tipe ini akan memberikan tekanan positif diatas tekanan atmosfer
sehingga dada dan paru mengembang pada fase inspirasi , selanjutnya pada akhir

23

inspirasi tekanan kembali sama dengan tekanan atmosfer sehingga udara keluar
secara pasif pada fase ekspirasi. Metode ini merupakan pengembangan dari metode
nafas buatan klasik yaitu dari mulut ke mulut seperti pada resusitasi jantung paru.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, ventilator jenis ini dibagi menjadi beberapa jenis:
2.1.

Pressure limited/pressure cycled


Mekanisme kerja ventilator ini diatur berdasarkan pembatasan tekanan yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Fase inspirasi akan disesuaikan dengan
kondisi pasien. Fase inspirasi akan berlangsung sampai mencapai tekanan
inspirasi secara pasif. Dalam aplikasinya alat ini lebih mudah dipacu oleh usaha
nafas pasien, namun pada peningkatan tahanan jalan nafas atau penurunan daya

regang dada atau paru, akan terjadi penuruanan volume tidal dan volume semenit.
2.2.
Timed cycled
Mekanisme kerja ventilator ini diatur berdasarkan waktu hantaran tekanan dari
ventilator kepada pasien, sesuai dengan periode inspirasi dan ekspirasi.
Dewasa ini kedua jenis ventilator tersebut diatas, penggunaannya lebih terbatas
terutama pada kasus gawat darurat dan hanya digunakan dalam waktu singkat.
Volume cycled ventilator
Ventilator jenis ini dapat menghasilkan volume tertentu yang disesuaikan dengan

2.3.

kebutuhan penderita. Apabila volume yang ditentukan sudah tercapai, fase


inspirasi akan berakhir.
Ventilator jenis ini mulai diperkenalkan padatahun 1960 dan pada perkembangan
selanjutnya sudah dilengkapi alat pantau tekanan jalan nafas, model ventilasi dan
system alarem sehingga aplikasinya lebih aman untuk pemakaian jangka lama.
Metode Ventilasi Mekanik
Metode ventilasi mekanik yang diberikan pada pasien tergantung pada kondisi
pasien praventilasi dan sasaran yang ingin dicapai. Aplikasi satu jenis metode ventilasi
mekanik tidak bisa menjamin keberhasilan terapi yang sedang diprogramkan. Perubahanperubahan dari satu metode ke metode yang lain setiap saat bisa dilakukan tergantung
dari tanggapan pasien. Oleh karena itu dalam aplikasi ventilasi mekanik, sangat
diperlukan pemantauan ketat oleh Dokter spesialis yang paham dan mampu
mengoperasikan alat bantu nafas tersebut.

24

Metode-metode aplikasi mekanik adalah:


1. Controlled Mechanical Ventilation (Nafas Kendali)
Teknik ini merupakan cara yang paling umum diaplikasikan terutama pada
Unit Terapi Intensif dan dikamar operasi untuk fasilitas anesthesia. Pola nafas
penderita secara keseluruhan diambil alih oleh ABNM, pusat nafas dilumpuhkan
dengan hiperventilasi,

sedative dan narkotik,

sedangkan otot pernapasan

dilumpuhkan dengan obat pelumpuh otot. Aplikasi metode ini memberikan


kesempatan otot pernapasan istirahat, namun aplikasinya tidak dianjurkan lebih dari
48 jam. Kelemahan dari aplikasi ini adalah apabila terjadi diskoneksi antara
penderita dengan ABNM tanpa adanya system alarm akan berakibat fatal bagi
penderita, disamping itu sering terjadi ketidak serasian antara mesin dan penderita
apabila penderita mulai ada reaksi nafas spontan. Penurunan aliran darah balik dan
curah jantung, penurunanan aliran limpe paru, oligouri, kerusakan surfaktan, fibrosis
paru, perubahan rasio V/Q dan atropi otot nafas, merupakan risiko atau penyulit
berikutnya dari aplikasi ventilasi mekanik. Oleh karena itu aplikasinya dibatasi
hanya pada keadaan tertentu yang sangat khusus sesuai dengan indikasi, antara lain
pada pasien yang mengalami henti nafas akibat depresi pusat nafas, gangguan saraf
otot dan pada keadaan tertentu misalnya untuk homeostasis ekstra kranial pasca
iskhemik otak global.
2. Assist-Controlled Ventilation (Nafas Bantu)
Merupakan pilihan lain setelah nafas kendali. Pada metode ini penderita sudah
menunjukkan tanda-tanda pemulihan aktivitas nafas spontan yang diharapkan mampu
merangsang (mentrigger) ABNMr untuk membantu nafas penderita. Rangsangan
terhadap ABNM dilakukan oleh daya/kekuatan inspirasi penderita dengan kepekaan
antara minus 1 sampai 25 cm H2O. Pada saat awal tarikan udara inspirasi penderita,
terjadi tekanan negative yang mentrigger ventilator untuk memberikan tekanan
positif sampai batas yang ditentukan sesuai dengan tipe ventilator. Selanjutnya proses
ekspirasi terjadi secara pasif. Frekuensi nafas yang diberikan, mengikuti frekuensi
nafas penderita. Apabila penderita tidak bernafas atau tidak mampu mentrigger,
maka ventilator akan mengambil alih pernafasan penderita dengan frekuensi sesuai
dengan frekuensi yang ditentukan.
3. Intermitten Mandatory Ventilation (IMV)

25

Metode ini memberikan kesempatan penderita untuk bernafas spontan,


sedangkan mesin hanya memberikan sejumlah frekuensi yang telah ditentukan.
Apabila keadaan membaik, frekuensi mandat diturunkan secara bertahap, sehingga
penderita lebih banyak bernafas spontan sampai akhirnya lepas dari mesin. Pada
perkembangan selanjutnya, metode IMV dimodifikasi menjadi Synchronized IMV,
sehingga antara mesin dan penderita senantiasa padu setiap mandat ventilasi mesin.
Keterpaduan ini diatur dengan menerapkan sensor trigger seperti pada nafas bantu
diatas. Apabila tidak ada trigger dari penderita dalam periode yang telah
ditentukan, maka secara otomatis mesin memberikan mandat ventilasi. Pada
umumnya metode ini digunakan untuk proses penyapihan (weaning) penderita
ABNM.
Metode ini bisa digunakan sebagai alternatif lain dari nafas kendali, karena
ada berbagai keuntungan, antara lain: tidak memerlukan sedtiva maupun pelumpuh
otot, mengurangi barotrauma karena frekuensi rendah, otot-otot pernafasan dilatih
dan hemodinamik relative stabil. Apabila digunakan sebagai alternatif nafas kendali,
dimulai dengan volume semenit 100 ml/kgBB dan frekuensi 8-10/menit, selanjutnya
diatur berdasarkan hasil evaluasi analisis gas darah dan respons pasien. Metode ini
bisa dikombinasi dengan aplikasi metode PEEP atau Pressure Support Ventilation
(PSV).
4. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)
Metode ini mempertahankan tekanan akhir ekspirasi positif dengan
mempergunakan katup yang tekanannya bisa diatur. Tekanan positif akhir ekspirasi
meningkatkan kapasitas residu fungsional dan mencegah mikro-atelaktasis alveolus
sehingga ventilasi alveolar dan proses difusi bisa ditingkatkan atau selisish O 2 alveolikapiler paru (A-aDO2) bisa diturunkan.
Metode PEEP diaplikasikan apabila dengan FiO2 sampai 60% tidak mampu
mencapai PaO2 > 60 mmHg, misalnya pada kasus edema paru akut, untuk melawan
tekanan hidrostatik atau mendorong cairan dari alveoli ke kapiler. Tekanan yang biasa
digunakan antara 5 - 15 cmH2O, lebih tinggi dari 15 cmH2O akan meningkatkan
tekanan intratoraks, menyebabkan aliran darah balik menurun dan drainase cairan

26

liquor terhambat. Oleh karena itu aplikasinya perlu dipertimbangkan pada kasus
hipovolemik dan pada hipertensi intrakranial.
Pada setiap aplikasi PEEP, sangat diperlukan pemantauan tekanan udara
inspirasi. Tekanan intratoraks yang tinggi yang terjadi secara mendadak akibat
aplikasi PEEP yang tinggi disertai dengan usaha perlawanan penderita, dapat
menimbulkan barotrauma. Aplikasi metode ini dapat dikombinasi dengan metode
ventilasi yang lain atau nafas spontan (spontaneous PEEP)
5. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
Metode ini mempertahankan tekanan jalan napas tetap positif sepanjang siklus
pernafasan. Mekanismenya hamper sama dengan PEEP, hanya aplikasinya berbeda.
Metode CPAP hanya digunakan pada penderita dengan nafas spontan dan hanya dapat
dikombinasikan dengan IMV. Efek fisiologik pada paru dan kerugian CPAP, mirip
dengan PEEP.
Pengelolaan Penderita dengan Ventilator.
1. Intubasi endotrakeal dan trakeostomi.
Penderita yang akan diberikan ventilasi mekanik harus dilakukan intubasi
endotrakeal baik oral maupun nasal dengan pipa endotrakea yang mempunyai balon
bertekanan rendah. Bahkan pada kasus yang diperkirakan diberikan tunjangan
ventilasi mekanik lebih dari 5-7 hari, dilakukan trakeostomi primer.
2. Penataan (setting) awal ventilator.
Setelah pipa endotrakea atau trakeostomi terpasang baik, dilanjutkan
pemberian nafas buatan dengan pompa manual, sambil manila masalah sistem organ
yang lain. Kemudian dilanjutkan dengan metode nafas kendali dengan penataan
ventilator:
-

Volume tidal awal 10-15 ml/kg BB, volume ini 50% lebih besar dari ukuran
normal. Tujuannya adalah untuk membuka alveoli yang sempat kolaps atau

atelektasis agar pertukaran gas lebih baik.


Frekuensi ditentukan 12-15 menit pada orang dewasa, relative lebih lambat untuk

mencegah kenaikan rasio VD/VT (volume ruang rugi/volume tidal).


Rasio waktu inspirasi (I)/ekspirasi (E) = I/E = 1:2 menit.
Fraksi inspirasi oksigen (FiO2) = 100% selama 15-30 menit.
Tekanan inflasi <35-40 cmH2O untuk mencegah barotrauma atau goncangan
fungsi kardiovaskular.
27

Pemberian volume inspirasi sekitar 2X atau lebih dikenal dengan istilah Sigh
pada periode tertentu untuk mencegah atelaktasis paru. Biasanya tidak digunakan
bila sudah mempergunakan volume tidal besar.
Setelah 15-30 menit aplikasi dilakukan, periksa analisis gas darah. Berdasarkan
hasil analisis gas darah, ditentukan metode ventilasi mekanik yang akan
diberikan, tata kembali parameter tersebut diatas dan apakah perlu aplikasi PEEP
atau tidak. Setiap perubahan penataan ABNM, 15-30 menit kemudian periksa
analisis gas darah untuk menilai kondisi yang pantas bagi penderita.

3. Pemantauan
Pemantauan dilakukan secara ketat dan kontinyu, baik pada pasien maupun
pada kerja ABNM. Parameter respirasi dan non respirasi pasien, keterpaduan gerak
nafas antara penderita dengan mesin, aktivitas pasien dan otomatisasi mesin selalu
diperhatikan serta system alarm mesin harus selalu on. Pantau beberapa penyulit
yang mungkin terjadi, misalnya barotrauma yang bisa menyebabkan keadaan
memburuk. Pada penderita sadar, komunikasi perlu dilakukan terutama untuk
tindakan-tindakan yang dilakukan padanya.
Kejadian penyulit yang berhubungan dengan masalah ventilasi, paling sering
disebabkan karena diskoneksi antara penderita dan mesin atau kebocoran pada sirkuit
pernafasannya.
4. Kebersihan saluran nafas.
Pipa endotrakea yang dipasang dan aplikasi ventilasi mekanik menimbulkan
hipersekresi kelenjar jalan nafas. Apabila tidak bisa dikeluarkan, timbunan sekresi ini
dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan atelaktasis, menyebabkan timbulnya
gangguan pertukaran gas serta bisa merupakan media infeksi. Oleh karena itu,
tindakan asepsis dan kebersihan jalan nafas selalu harus diperhatikan.
Upaya cuci bronkus baik secara buta maupun mempergunakan fasilitas
bronkoskopi merupakan tindakan rutin dalam upaya pemeliharaan kebersihan jalan
nafas.
Cara membersihkan jalan nafas:
Lakukan hiperinflasi manual dengan oksigen 100% memakai alat bantu nafas
manual selama 2-3 menit. Masukkan kateter secara hati-hati ke dalam trakhea lewat

28

pipa endotrakheal atau trakeotomi, kemudian Tarik pelan-pelan sambil memutar dan
lakukan penghisapan. Prosedur ini jangan lebih dari 15 detik, kemudian lakukan
hiperinflasi manual kembali dengan oksigen 100%. Prosedur ini lebih efektif apabila
disertai vibrasi atau perkusi dinding dada.
Pada penderita dengan aplikasi PEEP tinggi, prosedur ini menyebabkan
penurunan FRC dan desaturasi oksigen. Untuk mencegah hal ini, digunakan adaptor
endotrakheal yang bisa menutup sendiri (self sealing).
Spuntum dibiakkan dan dilakukan uji sensitivitas antibiotika minimal seminggu
sekali.
5. Penderita melawan mesin (Fighting)
Pasien melawan mesin berarti antara pasien dan mesin tidak padu lagi.
Ketidakpaduan ini bisa disebabkan oleh karena pasien tidak nyaman, nyeri,
hipoksemia, hiperkarbia, pneumotoraks, dan kemungkinan kerusakan pada ventilator.
Perlawanan pasien menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan risiko komplikasi
meningkat. Upaya penanggulangannya adalah: ambil alih ventilasi sementara
dengan pompa nafas manual oleh tenaga terampil dan berikan oksigen 100% sambil
mencari penyebabnya. Apabila yakin tidak ada masalah pada komponen respirasi,
berikan sedativa atau narkotik dan kalau perlu berikan pelumpuh otot apabila
disebabkan oleh faktor respirasi, analisis masalah pada pasien dan tata ulang
parameter ABNM yang telah ditentukan terdahulu dengan tuntunan analisis gas
darah.

6. Waspada penyulit.
6.1.
Infeksi nosocomial
Risiko infeksi nosocomial pada aplikasi ventilasi mekanik sangat tinggi.
Resiko ini sangat berkaitan dengan lamanya aplikasi dan manipulasi lain yang
tidak mempertahankan kriteria asepsis.
Dilaporkan insidensi infeksi nosocomial pneumonia bakteri adalah 7-14%
dengan angka mortalitas sampai 50-80%. Kejadian pneumonia makin meningkat
dengan bertambahnya hari aplikasi, hari ke sepuluh mencapai 6,5% hari ke dua
puluh 19%, hari ke tiga puluh 28%. Pasien usia lanjut lebih besar resikonya. Jenis

29

kuman penyebab yang terbanyak pseudomonas aerugonisa, asinetobakter dan


stapilokokkus aureus.
6.2.
Penumotoraks.
Pneumotoraks tension merupakan keadaan yang mengancam nyawa
yang memerlukan diagnosis dan tindakan yang cepat dan tepat. Kecurigaan
terhadap pneumotoraks ini apabila penderita mulai melawan mesin, bentuk dan
gerak dada tidak simetris, suara nafas tidak sama antara paru kanan dan kiri dan
adanya hipotensi tanpa sebab yang jelas.
Uji diagnostic dilakukan dengan semprit yang telah diambil pistonnya dan
diisi cairan normal saline, ditusukkan pada sela iga II tepat pada garis tengah
klavikula. Apabila keluar gelembung udara, berarti ada pneumotoraks, selanjutnya
segera dipasang pipa toraks.
6.3.
Atelektasis.
Penyulit ini terjadi karena sumbatan sputum dalam waktu cukup lama dan
imobilisasi dalam waktu yang lama. Untuk mencegah kejadian ini perlu dilakukan
mobilisasi, fisioterapi dada, drainase postural dan penghisapan sputum. Apabila
belum berhasil bisa dihisap dengan bantuan bronkoskop lewat pipa endotracheal
atau trakheostomi.
Luka decubitus.
Disebabkan oleh karena imobilisasi yang lama. Kejadian ini bisa dihindari

6.4.

dengan ssering-sering merubah posisi penderita dan memakai asur anti decubitus.
7.

Tunjangan nutrisi.
Penderita dengan ventilasi mekanik tidak bisa makan sendiri. Tetapi mungkin
boleh makan karena fungsi saluran cernanya masih normal. Oleh karena itu
kebutuhan nutrisinya harus dipenuhi dengan cara alternative melalui pipa naso-gatrik.
Pada penderita yang tidka boleh makan karena fingsi saluran cerna tidak berfungsi
normal, diberikan tunjangan nutrisi melalui parenteral. Kebutuhan kalori perhari
berkisar antara 30-4-kal/kb BB, protein 1-2 gr?kg BB dan kebutuhan elemen-elemen
lain seperti mineral dan vitamin.
Keadaan kelaparan menyebabkan otot mengecil, enzim-enzim sebagai
katalisator berkurang dan immunoglobulin serta fraksi protein juga menurun. Hal ini
menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah kena infeksi, penyembuhan

30

luka terhambat dan akan mendapat kesukaran pada waktu penyapihan karena otot
nafas yang lemah.
Penyapihan (Weaning).
Program penyapihan sudah harus dicanangkan pada saata mulai aplikasi ventilasi
mekanik, semakin cepat penyapihan dilakukan pasien akan terhindar dari petaka ventilasi
mekanik berkepanjangan.
1. Kriteria penyapihan.
Penyapihan bisa dimulai apabila kriteria berikut ini dipenuhi:
(1) Penyakit primer sebagai penyebab telah membaik.
(2) Tonus otot pernafasan masih cukup kuat.
(3) Memenuhi kriteria yang berlawanan dengan kriteria untuk aplikasi ventilasi
mekanik seperti table diatas yang dianggap sebagai faktor respirasi.
(4) Kondisi faktor non respirasi, seperti kesadaran, perangai hemodinamik. Metabolic
dan suhu tubuh, keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa serta normalisasi
system organ lain.
Apabila salah satu parameter tersebut belum optimal, proses penyapihan
belum bisa dilaksanakan.
2. Syarat-syarat penyapihan.
Proses penyapihan dilakukan apabila memenuhu syarat-syarat sbb:
(1) Memenuhi kriteria tersebut di atas.
(2) Pasien bebas dari pengaruh sisa obat pelumpuh otot atau sedativa atau narkotik.
(3) Sebaiknya dimulai pada siang hari.
(4) Dipantau oleh dokter spesialis yang terkait.
(5) Disiapkan alat atau obat untuk mengantisipasi kegagalan proses penyapihan.
3. Prosedur penyapihan.
Prosedur penyapihan dilakukan secara bertahap, terutama pada penderita yang
diberikan ventilasi mekanik dalam jangka waktu lama.
Metode yang dipergunakan untuk program penyapihan adalah:
(1) IMV/SIMV, yang frekuensinya diturunkan secara bertahap.
(2) PSV, yang tekanannya diturunkan secara bertahap.
(3) CPAP, secara bertahap tekanan positif diturunkan.
(4) T piece, dengan humidifier.
Selama proses penyapihan dipantau hal-hal berikut: keluhan umum, tanda vital
respirasi dan non respirasinya antara lain tanda-tanda aktivitas simpatis misalnya
berkeringat, gelisah, takikardia, dan tekanan darah. Perhatikan perubahan pola pernafasan
31

selama penyapihan. Secara periodic dilakukan pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
untuk mengetahui perubahan kimia darah. Koreksi segera faktor-faktor yang mengarah
pada kegagalan penyapihan.
Periode nafas spontan secara bertahap diperpanjang terutama pada siang hari,
sebaliknya pada malam hari kondisi akhir pada siang hari dipertahankan dengan
ventilator.
Apabila dalam dua hari berturut-turut pasien sudah mampu bernafas spontan dan
hasil gas darahnya normal, aplikasi ventilasi mekanik dihentikan, dilanjutkan dengan
oksigenasi dengan fasilitas Nebulizer.
Apabila sekresi tidak banyak dan kemampuan batuk memadai, setelah 2-3 hari
berikutnya dilakukan dekanulasi kanul trakeostomi bila selama aplikasi dilakukan
trakeostomi.
Kegagalan penyapihan pada umumnya disebabkan oleh ketidaksiapan psikis
pasien untuk bernafas spontan setelah dalam jangka waktu lama dibantu. Selain itu faktor
perubahan fisik juga berperan, seperti misalnya demam dan pemulihan tonus otot
pernafasan belum sempurna.
Kesimpulan
System respirasi merupakan system penting dalam kehidupan, yang berfungsi
mengadakan pertukaran gas antara dunia luar dengan tubuh makhluk hidup. Kehidupan
memerlukan tunjangan oksigen yang memadai untuk dimetabolisme normal. Sebaliknya
hasil metabolismenya yang berupa CO2 akan dikeluarkan melalui system respirasi ke
dunia luar.
Apabila fungsi respirasi mengalami gangguan atau kegagalan, tunjangan oksigen
untuk metabolisme akan berubah dari aerob ke anaerob, menyebabkan gangguan
keseimbangan asam basa.
Kegagalan akut fungsi respirasi secara garis besar bisa disebabkan oleh 2 (dua)
sebab utama yaitu: depresi dan obstruksi atau bisa juga digolongkan menjadi kegagalan
fungsi pompa dan kegagalan ventilasi-perfusi. Kedua jenis kegagalan yang terakhir ini
sangat memerlukan tunjangan ventilasi mekanik sebagai upaya penyelamat pasien yang
dalam keadaan kritis akibat gagal nafas.
32

Ventilasi mekanik bisa dilakukan mulai ditempat kejadian peristiwa, selama


transportasi dan di tempat perawatan akhir yaitu di Unit Terapi Intensif.
Aplikasi ventilasi mekanik mengacu pada kriteria-kriteria baku yang telah disusun
sesuai dengan pengalaman klinis dan telah dibukukan. Dalam aplikasinya, diperlukan
personil yang terampil, sarana penunjang diagnostic yang memadai, paling tidak harus
ada alat analisis gas darah.
Aplikasi ventilasi mekanik bukan saja bisa membantu menyebabkan penderita
dari keadaan kritis, malah apabila aplikasinya salah justru akan membuat keadaan kritis.
Oleh karena itu dalam aplikasinya memahami fisiologi respirasi dan fisiologi alat
ventilasi mekanik.

33

Anda mungkin juga menyukai