Anda di halaman 1dari 90

KARYA TULIS ILMIAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Y.M.M dan Tn. N.B YANG


MENGALAMI HIV/AIDS DENGAN KECEMASAN
DI RUANG MUTIARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MGR. GABRIEL MANEK, SVD
ATAMBUA

OLEH
JULIANUS HERMAN KLARAN
5306. 12. 1158

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAH KABUPATEN BELU
ATAMBUA
2015

KARYA TULIS ILMIAH


ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn.Y.M.M dan Tn. N.B YANG
MENGALAMI HIV/AIDS DENGAN KECEMASAN
DI RUANG MUTIARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
MGR. GABRIEL MANEK, SVD
ATAMBUA
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Ahli Madya
Keperawatan (A.Md.Kep) pada Akademi Keperawatan
Pemerintah Kabupaten Belu

OLEH
JULIANUS HERMAN KLARAN
NIM 5306 12 1158

AKADEMI KEPERAWATAN
PEMERINTAHAN KABUPATEN BELU
ATAMBUA
2016

SURAT PERNYATAAN

Karya Tulis Ilmiah ini merupakan hasil karya saya sendiri


dan belum pernah dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh
gelar akademik.

Nama

: Julianus Herman Klaran

NIM

: 5306. 12. 1158

Tanda tangan

Tanggal

LEMBAR PERSETUJUAN
KARYA TULIS ILMIAH
Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang Mengalami HIV/AIDS
dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara RSUD
Mgr. Gabriel Manek, SVD
Atambua
Telah disetujui pada tanggal : 29 Juni 2016
Oleh

Pembimbing I

Rufinus Rame, S.Kep., Ns


NIP. 19760330 200904 1 001

Pembimbing II

Ike Christine T. Klau, S.Kep., Ns


NIDN. -

Mengetahui
Direktur Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Belu,

Djulianus Tes Mau, S.Kep., Ns., M.Kes


NIP. 19670729 198903 1 010

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI


KARYA TULIS ILMIAH

Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang Mengalami HIV/AIDS
dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara RSUD
Mgr. Gabriel Manek, SVD
Atambua
Telah Diuji dan Dipertahankan Pada
Hari/Tanggal : 01 Juli 2016
Dan dinyatakan : LULUS
Oleh :

Penguji I
Penguji II
Penguji III

: Imelda Manek Laku, S.Kep., Ns


NIP. 19860918 201001 2 003
: Rufinus Rame, S.Kep., Ns
NIP. 19760330 200904 1 001
: Ike Christine T. Klau, S.Kep., Ns
NIDN : -

Menetapkan
Direktur Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Belu,

Djulianus Tes Mau, S.Kep., Ns., M.Kes


NIP. 19670729 198903 1 010

MOTTO

MELALUI KEGAGALANLAH SAYA BISA SUKSES KARENA DISITU


SAYA BISA BELAJAR DAN MERAIH KEBAHAGIAAN
KARENA SAYA YAKIN BAHWA YANG BISA MENCIPTAKAN
KEBAHAGIAAN UNTUK HIDUP SAYA,
ITU SEMUA KEMBALI DARI DIRI SAYA SENDIRI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan penyertaan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang
Mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara RSUD Mgr.
Gabriel Manek, SVD Atambua ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, banyak
mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang ikut terlibat secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan limpah terima kasih kepada :
1. Wilibrodus Lay, SH, selaku Bupati Belu;
2. Theresia M.B. Saik, SKM., M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan
Pemerintah Kabupaten Belu;
3. dr. Joice Manek, MPH, selaku Direktur RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD
Atambua;
4. Djulianus Tes Mau, S,Kep., Ns., M.Kes, selaku Direktur Akademi
Keperawatan Pemerintah Kabupaten Belu;
5. Pak Rufinus Rame, S.Kep., Ns., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

meluangkan

waktu

dengan

rela

membimbing

penulis

dalam

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dari awal hingga akhir penyusunan.
6. Ibu Ike Christine T. Klau, S.Kep., Ns., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah meluangkan waktu dengan rela

membimbing penulis dalam

menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dari awal hingga akhir penyusunan;
7. Para dosen dan staf Akademi Keperawatan Kabupaten Belu;
8. Kedua orang tua Bapak Alexander Klaran, Mama Hilaria Tey Seran dan
Kakak King, adik Berto Klaran, adik Intan Tey Seran, yang selama ini

mendukung penulis baik secara moril maupun material demi kelancaran


proses perkuliahan;
9. Istri tercinta Desi Eka Selvia Bogo dan anak tercinta Carissa Eveline Meo
Tey Seran yang telah mendukung dan memotivasi penulis dalam
menyusun Karya Tulis Ilmiah ini;
10. Bapak Mertua Severinus D. Bogo dan Ibu Mertua Marthina Da Costa
yang selalu mendukung penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.
11. Teman teman seperjuangan khususnya Agustinus Klau, Jefri Bere,
Nocken Makleat dan Mas Izza yang telah membantu dan mendukung
penulis dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhir kata, semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Atambua,

Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM------------------------------------------------------------

SURAT PERNYATAAN------------------------------------------------------

ii

LEMBARAN PERSETUJUAN PEMBIMBING-----------------------

iii

LEMBARAN PENETAPAN PENGUJI ----------------------------------

iv

MOTTO ------------------------------------------------------------------------

KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------

vi

DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------------

viii

DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------

xi

DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------

xii

DAFTAR LAMPIRAN ------------------------------------------------------

xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ---------------------------------------------------1.2 Batasan Masalah--------------------------------------------------1.3 Rumusan Masalah -----------------------------------------------1.4 Tujuan Penelitian-------------------------------------------------1.4.1. Tujuan Umum --------------------------------------------1.4.2. Tujuan Khusus --------------------------------------------1.5 Manfaat -----------------------------------------------------------1.5.1. Manfaat Teoritis ------------------------------------------1.5.2. Manfaat Praktis -------------------------------------------1.6 Metode Penulisan ------------------------------------------------1.7 Sistematika Penulisan --------------------------------------------

1
4
4
4
4
5
6
6
6
7
7

BAB II TINJAUAN TEORITIS


2.1. Konsep Dasar HIV/AIDS ---------------------------------------

2.1.1. Pengertian---------------------------------------------------

2.1.2 Etiologi ------------------------------------------------------

2.1.3 Patofisiologi ------------------------------------------------

2.1.4 Manifestasi klinis -----------------------------------------

12

2.1.5 Stadium -----------------------------------------------------

13

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang-----------------------------------

14

2.1.7 Pencegahan -------------------------------------------------

16

2.1.8. Penatalaksanaan ------------------------------------------

18

2.1.9 Komplikasi -------------------------------------------------

20

2.1.10 Proses Keperawatan --------------------------------------

23

1.
2.
3.
4.
5.

Pengkajian Keperawatan------------------------------Diagnosa Keperawatan --------------------------------Perencanaan Keperawatan-----------------------------Pelaksanaan Keperawatan ----------------------------Evaluasi Keperawatan ----------------------------------

23
28
31
66
67

2.2. Konsep Dasar Kecemasan---------------------------------------

68

2.2.1 Pengertian --------------------------------------------------

68

2.2.2 Etiologi -----------------------------------------------------

69

2.2.3 Tingkat Kecemasan ---------------------------------------

71

2.2.4 Tanda dan Gejala ------------------------------------------

75

2.2.5 Mekanisme Koping ---------------------------------------

77

2.2.6 Rentang Respon -------------------------------------------

80

2.2.7 Pengkajian--------------------------------------------------

81

2.2.8 Diagnosis Keperawatan-----------------------------------

83

2.2.9 Tindakan Keperawatan -----------------------------------

83

2.2.10 Evaluasi---------------------------------------------------

86

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian--------------------------------------------------

87

3.2 Batasan Ilmiah-----------------------------------------------------

87

3.2.1 Konsep HIV/AIDS ----------------------------------------

87

3.2.2 Konsep Kecemasan ----------------------------------------

88

3.3 Partisipan ----------------------------------------------------------

88

3.4 Lokasi dan Waktu -------------------------------------------------

89

3.5 Pengumpulan Data -----------------------------------------------

89

3.6 Uji Keabsahan Data-----------------------------------------------

90

3.7 Analisis Data ------------------------------------------------------

90

3.8 Etik Penelitian -----------------------------------------------------

92

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil ----------------------------------------------------------------

94

4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data -------------------

94

4.1.2 Pengkajian --------------------------------------------------

95

4.1.3 Analisa Data -----------------------------------------------

102

4.1.4 Diagnosa----------------------------------------------------

103

4.1.5 Intervensi----------------------------------------------------

103

4.1.6 Implementasi -----------------------------------------------

106

4.1.7 Evaluasi -----------------------------------------------------

111

4.2 Pembahasan -------------------------------------------------------

112

4.2.1 Pengkajian --------------------------------------------------

112

4.2.2 Diagnosa Keperawatan------------------------------------

114

4.2.3 Perencanaan ------------------------------------------------

115

4.2.4 Tindakan ----------------------------------------------------

117

4.2.5 Evaluasi -----------------------------------------------------

119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan --------------------------------------------------------

122

5.1.1 Pengkajian --------------------------------------------------

122

5.1.2 Diagnosa ----------------------------------------------------

122

5.1.3 Perencanaan ------------------------------------------------

122

5.1.4 Pelaksanaan ------------------------------------------------

123

5.1.5 Evaluasi -----------------------------------------------------

123

5.1.6 Dokumentasi -----------------------------------------------

123

5.2 Saran ----------------------------------------------------------------

124

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Gambar Rentang Respon Kecemasan -----------------------

80

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale ----------

75

Tabel 4.1 Identitas Rumah Sakit ---------------------------------------------

94

Tabel 4.2 Identitas Klien ------------------------------------------------------

95

Tabel 4.3 Riwayat Penyakit ---------------------------------------------------

96

Tabel 4.4 Perubahan Pola Kesehatan ----------------------------------------

96

Tabel 4.5 Pemeriksaan Fisik --------------------------------------------------

97

Tabel 4.6 Tingkat Kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale ----------

98

Tabel 4.7 Hasil Pemeriksaan Diagnostik ------------------------------------

100

Tabel 4.8 Analisa Data ---------------------------------------------------------

101

Tabel 4.9 Diagnosa -------------------------------------------------------------

103

Tabel 4.10 Intervensi ----------------------------------------------------------

102

Tabel 4.11 Implementasi ------------------------------------------------------

105

Tabel 4.12 Evaluasi ------------------------------------------------------------

110

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I

: Pathway

Lampiran II

: Lembaran Konsul

Lampiran III : Format Pengkajian Studi Kasus Keperawatan Jiwa


Lampiran IV : Surat Ijin Penelitian
Lampiran V

: Surat Pengambilan Data Awal

Lampiran VI : Surat Penjelasan Penelitian


Lampiran VII : Surat Permohonan Menjadi Responden
Lampiran VIII : Lembar Persetujuan Responden (Informed Consent)
Lampiran IX : Surat Keterangan Selesai Penelitian

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
HIV merupakan suatu virus yang tidak pandang bulu dan dapat menyerang
siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, status, ras maupun tingkat sosial.
Individu yang terinfeksi HIV/AIDS dikenal dengan sebutan ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS). Setelah dilakukan pemeriksaan darahnya baik dengan test
ELISA maupun Western Blot. Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu
setelah terinfeksi HIV/AIDS, penyakit yang mereka derita ini mempengaruhi
kehidupan

pribadi,

sosial,

belajar,

karier

dan

kehidupan

keluarga

(http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor).
Perubahan yang terjadi dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka
memiliki

persepsi

yang

negatif

tentang

dirinya

dan

mempengaruhi

perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk bentuk


sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan ODHA
menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini diperburuk
dengan anggapan bahwa ODHA tidak bisa disembuhkan. Beberapa masalah
yang dialami ODHA baik secara fisik maupun psikologis, antara lain : muncul
stress, penurunan berat badan, gangguan kulit, frustrasi, bingung, kehilangan
ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan,
kecemasan, depresi bahkan kecenderungan untuk bunuh diri (http://ejournal.
unp.ac.id/index.php/konselor).

Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari


seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan yang membuat seseorang
tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa tingkatan. Jadi, cemas berkaitan
dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya (Kusumawati, 2012)
Menurut WHO sampai pada tahun 2013 HIV telah menginfeksi 50-60 juta
orang dan menyebabkan kematian pada orang dewasa dan anak-anak lebih dari
22 juta orang, dimana 90% diantaranya terdapat di negara berkembang.
Berdasarkan surat Ditjen PP & PL Kemenkes RI dilaporkan bahwa
perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia 3 (tiga) tahun terakhir ini
mengalami peningkatan yaitu : bahwa yang terinfeksi HIV pada tahun 2011
sebanyak 21.031 orang, tahun 2012 meningkat menjadi 21.511 orang, tahun
2013 sebanyak 29.037 orang dan kasus HIV Triwulan II (Juli-September) tahun
2014 jumlah infeksi HIV yang baru dilaporkan sebanyak 7.335 orang, sedangkan
kasus AIDS pada tahun 2011 sebanyak 7.312 orang, tahun 2012 meningkat
menjadi 8.747 orang, tahun 2013 sebanyak 6.266 orang dan Triwulan II (Juli
September) tahun 2014 jumlah AIDS yang dilaporkan baru sebanyak 176 orang.
Berdasarkan laporan Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilapor s/d
September 2014 (Cases of HIV/AIDS in Indonesia Reported thru' September
2014) Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Provinsi, yaitu pada
propinsi Nusa Tenggara Timur terdapat1,751 kasus HIV dan 496 kasus AIDS.
Untuk Kabupaten Belu sendiri, berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam
Medik RSUD MGR. Gabriel Manek, SVD Atambua, kasus HIV/AIDS pada
tahun 2014 sebanyak 50 kasus (48 pasien meninggal), pada Tahun 2015

sebanyak 95 kasus (15 pasien meninggal) dan pada tahun 2016 Triwulan I
Januari Maret terdapat 15 kasus (3 pasien meninggal).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Jurusan
Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNP dalam Konsep Diri
dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS pada tahun 2012, dari 39
responden, terdapat 16 orang (41,02%) yang mengalami masalah cemas atau
khawatir menghadapi sesuatu yang baru, belum mampu merencanakan masa
depan, terlanjur melakukan sesuatu perbuatan yang salah, atau melanggar nilainilai moral atau adat dan keluarga banyak mengeluh tentang keadaan
keuangan(http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor ).
Dampak emosi, mungkin berupa stress dan kekecewaan berlebihan,perasaan
gelisah memikirkan perjalanan penyakit, merasa tidak bertenaga dan kehilangan
kontrol, tidak mengetahui apa yang akan terjadi, merasa terjadi perubahan
kepribadian, kehilangan ingatan, bingung, depresi, ketakutan dan kecemasan dan
merasa berdosa (http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor).
Solusi psikologis yang dilakukan pada pasien dengan masalah cemas, yaitu
membina hubungan saling percaya, membantu klien untuk mengenal
kecemasannya dan mengajarkan klien teknik relaksasi seperti pengalihan situasi,
relaksasi napas dalam dan teknik hipnotis lima jari (Budi Anna Keliat, dkk,
2011 : 61).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan


studi kasus dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M Dan Tn. N.B

yang Mengalami HIV/AIDS Dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara Rumah Sakit


Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua
1.2.

Batasan Masalah
Penulis membatasi pada Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M Dan Tn. N.B
yang Mengalami HIV/AIDS Dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara Rumah Sakit
Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.

1.3.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah
bagaimana cara memberikan Asuhan Keperawatan Pada Tn.Y.M.M Dan Tn. N.B
yang Mengalami HIV/AIDS Dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara Rumah Sakit
Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua melalui pendekatan proses
keperawatan?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Umum
Untuk mengembangkan pola pikir ilmiah dalam memberikan Asuhan
Keperawatan Pada Tn.Y.M.M Dan Tn. N.B yang Mengalami
HIV/AIDS Dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara Rumah Sakit
Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.4.2. Khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang
mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan di Ruang Mutiara Rumah
Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.

2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang


mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan di Ruang Mutiara Rumah
Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B
yang mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan di Ruang Mutiara
Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B
yang mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan di Ruang Mutiara
Rumah Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang
mengalami HIV/AIDS dengan Kecemasan di Ruang Mutiara Rumah
Sakit Umum Daerah Mgr. Gabriel Manek, SVD Atambua.

1.5.

Manfaat
1.5.1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan tentang penerapan Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan HIV/AIDS melalui pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta memperoleh pengalaman
nyata dalam merawat pasien dengan HIV/AIDS.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan HIV/AIDS dengan Kecemasan yang meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi
2. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan gambaran tentang kemampuan mahasiswa/ mahasiswi


dalam penerapan teori dan mampu menganalisa peserta didik dalam
melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan HIV/AIDS
dengan Kecemasan.
3. Bagi Penulis
Memberikan acuan tentang bagaimana perawatan pada pasien dengan
HIV/AIDS dengan Kecemasan menggunakan proses keperawatan
yang meliputi : pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi.
1.6.

Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam Karya Tulis Ilmiah ini, yaitu studi

kepustakaan dan studi kasus.


1.7.
Sistematika Penulisan
BAB I

PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat, metode

BAB II

penulisan dan sistematika penulisan.


TINJAUAN TEORITIS
Menguraikan tentang konsep dasar HIV/AIDS, proses

BAB III

keperawatan dan konsep dasar kecemasan.


METODE PENELITIAN
Menguraikan tentang desain penelitian, batasan ilmiah,
partisipan, lokasi dan waktu, pengumpulan data, uji

BAB IV

BAB V

keabsahan data, analisis data dan etik penelitian.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Menguraikan tentang hasil dan pembahasan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Menguraikan tentang kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.

Konsep Dasar HIV/AIDS


2.1.1. Pengertian
1. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
HIV adalah virus yang dapat menyebar dari satu orang ke
orang lainnya dalam cara yang spesifik dan dapat menyebabkan sistem
imun seseorang terinfeksi sampai rusak atau tidak berfungsi sama
sekali (Gregorius dkk, 2008 : 11).
2. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
AIDS adalah suatu sindrom penyakit defisiensi imunitas
seluler yang didapat, yang pada penderitanya tidak dapat ditemukan
penyebab defisiensi tersebut (Hendra Utama, 2005 : 425)
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

adalah

sekumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya


kekebalan

tubuh

akibat

infeksi

oleh

virus

HIV

(Human

Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae (Amin


Huda Nurarif, 2015 : 10).
2.1.2. Etiologi
Ada beberapa hal atau tindakan atau praktek hidup yang menyebabkan
8

atau melaluinya HIV dapat tertular kepada satu sama lain. Ada 4 hal mendasar
yang menyebabkan atau menularkan HIV, antara lain :

1. HIV dapat tertular dengan melakukan hubungan seksual yang tidak


terlindung, melalui hubungan vagina atau oral dengan seseorang yang
terinfeksi.
2. HIV tertular melalui pemakaian bersama jarum suntik dengan orang
yang terinfeksi.
3. HIV tertular melalui transfusi darah atau transplantasi organ dari
seseorang yang terinfeksi.
4. HIV juga tertular melalui ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya
sebelum atau setelah lahir.
(Gregorius dkk, 2008 :13)
2.1.3. Patofisiologi
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler
dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas
biasanya diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi
oportunistik serta penyakit keganasan (Depkes RI, 2003, dalam Nursalam,
2007 Hal : 45-47). Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup
akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas
infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare atau batuk pada 3 6 minggu setelah infeksi (Sudoyo 2006 dalam
Nursalam, 2007 Hal : 45-47). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali
masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan
terjadi respon imun berupa peningkatan aktivasi imun, yaitu pada tingkat
seluler (HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin,

neopterin, CD8,IL-R) dan antibodi upregulation (gp 120, anti p24; IgA)
(Hoffmann, Rockstroh, Kamps, 2006 dalam Nursalam, 2007 Hal : 45-47).
Induksi sel T-helper dan sel sel lain diperlukan untuk mempertahankan
fungsi sel sel faktor system imun agar tetap berfungsi baik. Infeksi HIV
akan menghancurkan sel sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan
induksi kepada sel sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper,
sel sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B
tidak dapat berfungsi secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien
jatuh ke dalam stadium lebih lanjut. Saat ini, darah pasien menunjukkan
jumlah virus yang sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam
darah. Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milliliter mencapai 1
(satu) juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan sindrom
retroviral akut. Tanda dan gejala dari sindrom retroviral akut ini meliputi :
panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat di malam hari
dan sering salah terdeteksi sebagai influenza atau infeksi mononucleosis.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan
thymus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV
akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan
thymus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan
Enzym Linked Imunoabsorbent Assay (ELISA) yang akan menunjukkan hasil
positif.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8 10 tahun. Tetapi ada

sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2


tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat.
Seiring dengan semakin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan,
demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi,
jamur, herpes dan lain lain. Pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi,
dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif
berupa antibodi terhadap proliferasi sel T. Adanya supresif pada sel T
tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin. Sehingga sel T tidak
mampu memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang
ditandai dengan penurunan kadar CD4+, sitokin (IFN; IL-2; IL-6); antibodi
down regulation (gp120; anti p24); TNF ; antinef.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan
tuberculosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih
cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T
sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif. (Nursalam, 2007 Hal : 4547).
2.1.4. Manifestasi Klinis
Menurut Firdaus J. Kunoli (2013 : 116), gejala klinis pada stadium AIDS
dibagi antara lain :
1. Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang tidak khas, seperti :
a. Diare kronis
b. Kandidiasi mulut yang meluas.
c. Pneumoytis Carini.
d. Pneumonia Interstisialis Lifositik.
e. Ensefalopati Kronik.
2. Gejala Utama / Mayor

a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.


b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus
menerus.
c. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam 3 bulan.
d. TBC.
3. Gejala Minor
a. Batuk kronis lebih dari satu bulan.
b. Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida
Albicans.
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh
tubuh.
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak bercak gatal di
seluruh tubuh
4. Gejala Lainnya
a. Sarkoma Kaposi
b. Meningitis kriptokokal
2.1.5

Stadium
Menurut Nursalam (2007:47), stadium HIV dibagi dalam 4 stadium, yaitu :
1. Stadium Pertama (HIV)
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya
perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah
dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke
dalam sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut
window period. Lama window period antara satu sampai tiga bulan,
bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.
2. Stadium Kedua ( Asimptomatik)
Assimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV
tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala gejala. Keadaan ini dapat
berlangsung rata rata selama 5 10 tahun. Cairan tubuh pasien
HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV
kepada orang lain.

3. Stadium Ketiga
Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (Persistent
Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu
tempat saja dan berlangsung lebih dari satu bulan.
4. Stadium Keempat (AIDS)
Keadaan ini disertai adanya bermacam macam penyakit, antara
lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyait infeksi
sekunder.
2.1.6

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dan sampel. Umumnya dengan
menggunakan mikroskop electron dan deteksi antigen virus. Salah satu
cara deteksi antigen virus adalah dengan Polymerase Chain Reactin
(PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk :
a. Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi
sehingga menghambat pemeriksaan serologis.
b. Menetapkan status infeksi pada individu seronegatif.
c. Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d. Tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV-2
rendah.
2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respons zat anti spesifik
tes, misalnya :
a. ELISA, sensitivitasnya tinggi (98,1 100 %). Biasanya
memberikan hasil positif 2 3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif
harus dikonfirmasi dengan Western Blot.
b. Western blot, spesifitas sangat tinggi (99,6 100%). Namun,
pemeriksaan ini cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA positif.

c. Immunofluorescent Assay (IFA).


d. Radioimmunopraecipitation (RIPA).
(Arif Mansjoer dkk 2004 :165)
3. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA (positif; hasil tes yang positif dipastikan dengan Western
Blood).
b. Western Blood (positif).
c. Kultur HIV (positif; kalau dua kali uji kadar secara berturut turut
mendeteksi enzim reserve transcriptase atau antigen p24 dengan
kadar yang meningkat). (Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar,
2013:303)
4. Tes untuk deteksi gangguan sistem imun
a. LED (normal namun perlahan lahan akan mengalami
penurunan).
b. CD4 limfosit (menurun; mengalami penurunan kemampuan untuk
bereaksi terhadap antigen).
c. Rasio CD4/CD8 limfosit (menurun).
d. Serum mikroglobulin B2 (meningkat

bersamaan

dengan

berlanjutnya penyakit).
e. Kadar immunoglobulin (meningkat).
(Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:303)
5. Pemeriksaan laboratorium ada 3 (tiga) jenis, yaitu :
a. Pencegahan donor darah, dilakukan satu kali oleh PMI. Bila positif
disebut reaktif.
b. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,
dilaksanakan dua kali pengujian reagen yang berbeda.
c. Diagnosis, untuk menegakkan diagnosis dilakukan tiga kali
pengujian seperti yang sudah diterangkan di atas, WHO kini
merekomendasikan pemeriksaan dengan Rapid Test (Dipstick)
sehingga hasilnya bisa segera diketahui. (Widoyono, 2012:87).
2.1.7

Pencegahan
1. Upaya pencegahan

Program pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan


dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi utnuk
mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penularan
HIV. Upaya pencegahan meliputi :
a. Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat
harus menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti

ganti

serta

penggunaan

obat

suntik

bergantian

dapat

meningkatkan risiko terkena infeksi HIV.


b. Tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks
dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi.
c. Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang
akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula program Harm
reduction yang menganjurkan para pengguna jarum suntikuntuk
menggunakan

metode

dekontaminasi

dan

menghentikan

penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.


d. Menyediakan fasilitas konseling HIV di mana idenritsa penderita
dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan
tempat tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Konseling,
tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan
secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin,
klinik bagi kaum homo dan terhadap komunitas dimana
seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi
disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita
Penyakit Menular Seksual (PMS).

e. Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan


untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar
perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi
untuk

memperkirakan

kebutuhan

mereka

terhadap

terapi

zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus


dan perinatal.
f. Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk
mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah
yang akan didonor harus diuji antibodi HIV.
(Firdaus J. Kunoli, 2013 : 118-119)
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Pengobatan suporatif:
Tujuan :
a. Meningkatkan keadaan umum pasien
b. Pemberian gizi yang sesuai
c. Obat sistomatik dan vitamin
d. Dukungan psikologis
2. Pengobatan infeksi oportunistik
Infeksi :
a. Kandidiasis esophagus
b. Tuberculosis
c. Toksoplasmosis
d. Herpes
e. Pcp
f. Pengobatan yang terkait AIDS, limfoma malignum, sarcoma
Kaposi dan sarcoma servic disesuaikan dengan standar terapi
penyakit kanker.
Terapi Infeksi oportunistik meliputi :
a.
b.
c.
d.
e.

Flikonasol
Rifampisin, INH, etambutol, pirazinamid, stereptomisin
Pirimetamin, sulfadiazine, asam folat
Asiklofir
Kotrimoksasol

f. Didanosin (ddl)
g. Zidovudin ( ZDV)
h. Lamivudine ( 3TC)
i. Stavudin ( d4T)
3. Pengobatan anti retro virus ( ARV)
Obat ini bisa memperlambat progresifiatas penyakit dan dapat
memperpanjang daya tahan tubuh.
Tujuan:
a) Mengurangi kematian dan kesakitan
b) Menurunkan jumlah virus
c) Meningkatkan kekebalan tubuh
d) Mengurangi resiko penularan (Padila, 2012 : ).
4. Nonfarmakologi
Prinsip diet pada pasien dengan HIV/AIDS adalah diet Tinggi
Kalori Tinggi Protein (TKTP) seperti tempe, kelapa, wortel,
kembang kol, sayuran dan kacang-kacangan. Tujuannya :
a. Meningkatkan status gizi dan daya tahan tubuh.
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
c. Memberi asupan zat gizi makro dan mikro sesuai dengan
kebutuhan.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
e. Menjaga interaksi obat dan makanan agar penyerapan obat
lebih optimal.
2.1.9 Komplikasi
1. Penyakit kulit dan mulut
Penyakit ini umum terjadi dan bervariasi mulai dari yang ringan
hingga yang menunjukkan infeksi diseminata atau keganasan yang
mengancam nyawa.Sebagian besar pasien terkena pada saat tertentu
dan jenis serta keparahan seringkali bergantung pada tingginya hitung
CD4.

a. Masalah kulit utama adalah dermatitis seboroik, xeroderma,


folikulitis yang gatal, scabies, tinea, herpes zoster dan infeksi
papilomavirus.
b. Lesi oral atau mukokutan yang sering adalah kandidiasis oral
atau vagina, OHL, ulkus aftosa, herpes simpleks dan gingivitis.
c. Pada HIV yang lebih lanjut, Sarkoma Kaposi (kutan dan oral),
moluskum kongtangiosum, herpes simpleks mukokutan kronik
dan berat dan ulkus CMV (oral) sering terjadi. Angiomatosis
basiler bersifat unik untuk HIV dan disebabkan oleh infeksi
Bartonella.
2. Penyakit Gastrointestinal
Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal.
Penurunan berat badan dan selera makan merupakan gejala umum
apapun patologinya.
a. Penyakit Esofagus
Biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan
disfagia. Kandidiasis merupakan penyebab pada 80% kasus.
Plak pseudomembranosa tampak saat pemeriksaan barium
meal sebagai defek pengisian dan saat endoskopi.
b. Penyakit usus halus
Sering berhubungan dengan diare cair bervolume banyak, nyeri
perut dan malabsorpsi. Bila terdapat imunodefisiensi sedang
(100 200 CD4 sel/mm3), Cryptosporidium, mycrosporidium,
dan Giardia merupakan penyebab yang mungkin.
c. Penyakit usus besar
Timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume sedikit yang
disertai dengan nyeri perut. Suatu pathogen enteric bacterial

standar mungkin berperan seperti Clostridum difficile. Kolitis


CMV merupakan diagnosis penting pada pasien dengan hitung
CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5%.
3. Penyakit Hepatobilier
a. Penyakit Bilier
Dapat menyebabkan komplikasi pada

infeksi

CMV,

Cryptosporidium atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis


sklerosans atau kolesistitis akalkulia. Manifestasinya adalah
nyeri kuadran kanan atas, muntah dan demam; ikterus jarang
terjadi.
b. Penyakit Hati
Disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV atau obat
obat ARV. Koinfeksi hepatitis B atau C menjadi masalah yang
meningkat pada HIV.
(B.K. Mandal, 2006: 204 205)
4. Respirasi
Pneumocyctic Carinii, gejala napas yang pendek, sesak napas
(dispnea), batuk batuk, nyeri dada, hipoksia, keletihan dan demam
akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang disebabkan
oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), Cytomegalovirus, virus
influenza pneumococcus dan strongyloides.
5. Sensorik
a) Pandangan : sarcoma Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata :
retinitis sitomegalovirus berefek kebutaan.
b) Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan
mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi obat obat.
(Taqiyyah Bararah & Mohammad Jauhar, 2013:302 303).
2.1.10 Proses Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses dari pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer
dkk dalam Nursalam, 2008)
Hal hal yang perlu dikaji pada pasien dengan HIV/AIDS menurut
Doengoes (1999 : 833 836), antara lain :
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas,
progresi kelelahan/malaise, perubahan pola tidur.
Tanda : kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologis
terhadap aktivitas seperti perubahan dalam TD, frekuensi jantung,
pernapasan.
b. Sirkulasi
Gejala : proses penyembuhan luka lambat (bila anemia), perdarahan
lama pada cedera (jarang terjadi).
Tanda : takikardia, perubahan TD postural, menurunnya volume nadi
perifer, pucat atau sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c. Integritas ego
Gejala : faktor stress yang berhubungan dengan kehilangan, misalnya
dukungan keluarga, hubungan dengan orang lain, penghasilan, gaya
hidup tertentu dan distress spiritual. Mengkhawatirkan penampilan :
alopesia, lesi cacat dan menurunnya berat badan. Mengingkari
diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa
bersalah, kehilangan kontrol diri dan depresi.
Tanda : mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri. Perilaku
marah, postur tubuh mengelak, menangis dan kontak mata yang

kurang. Gagal menepati janji atau banyak janji untuk periksa dengan
gejala yang sama.
d. Eliminasi
Gejala : diare yang intermiten, terus menerus, sering dengan atau
tanpa disertai kram abdominal. Nyeri panggul, rasa terbakar saat
miksi.
Tanda : feses encer dengan atau tanpa disertai mucus atau darah.
Diare pekat yang sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,
perianal, perubahan dalam jumlah, warna dan karakteristik urin.
e. Makanan / Cairan
Gejala : Tidak ada napsu makan, perubahan dalam kemampuan
mengenali makanan, mual/muntah, disfagia, nyeri retrosternal saat
menelan, penurunan berat badan yang cepat / progresif.
Tanda : dapat menunjukkan adanya bising usus hiperaktif, penurunan
berat badan, perawakan kurus, menurunnya lemak subkutan/massa
otot, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih
dan perubahan warna, kesehatan gigi/gusi yang buruk, adanya gigi
yang tanggal, edema (umum, dependen)
f. Hygiene
Gejala : tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : memperlihatkan penampilan yang tidak rapi, kekurangan
dalam banyak atau semua perawatan diri, aktivitas perawatan diri.
g. Neurosensori
Gejala : pusing/pening, sakit kepala. Perubahan status mental,
kehilangan ketajaman atau kemampuan diri untuk mengatasi masalah,
tidak mampu mengingat dan konsentrasi menurun. Kerusakan sensasi
atau indera posisi dan getaran. Kelemahan, otot, tremor dan

perubahan

ketajaman

penglihatan.

Kebas,

kesemutan

pada

ekstremitas (kaki tampak menunjukkan paling awal).


Tanda : perubahan status mental dengan rentang antara kacau mental
sampai demensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran
menurun, apatis, retardasi psikomotor/respon melambat. Ide paranoid,
ansietas yang berkembang bebas, harapan yang tidak realistis. Timbul
refleks tidak normal, menurunnya kekuatan otot dan gaya berjalan
ataksia. Tremor pada motorik kasar/halus, menurunnya motorik
fokalis; hemiparesis, kejang. Hemoragi retina dan eksudat (retinitis
CMV).
h. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : nyeri umum/lokal, sakit, rasa terbakar pada kaki. Sakit kepala
(keterlibatan SSP), nyeri dada pleuritis.
Tanda : pembengkakan pada sendi, nyeri pada kelenjar, nyeri tekan.
Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan/pincang, gerak
otot melindungi bagian yang sakit.
i. Pernapasan
Gejala : ISK sering menetap. Napas pendek yang progresif. Batuk
(timbul daris edang sampai parah), produktif/non-produktif sputum
(tanda awal dari adanya PCP mungkin batuk spasmodic saat napas
dalam). Bendungan atau sesak pada dada.
j. Keamanan
Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka yang lambat proses
penyembuhannya, riwayat menjalani transfuse darah yang sering atau
berulang (hemophilia, operasi vascular mayor, insiden traumatis).
Riwayat penyakit defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut, riwayat

berulangnya infeksi dengan PHS. Demam berulang : suhu rendah,


peningkatan suhu intermiten/memuncak, : berkeringat malam.
Tanda : perubahan integritas kulit : terpotong, ruam misalnya eczema,
eksantem, psoriasis, perubahan warna, perubahan ukuran/warna mola;
mudah terjadi memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Luka
luka perianal atau abses. Timbulnya nodul nodul, pelebaran kelenjar
limfe pada dua area tubuh atau lebih, misalnya leher, ketiak, paha.
Menurunnya kekuatan umum, tekanan otot, perubahan pada gaya
berjalan.
k. Seksualitas
Gejala : riwayat perilaku berisiko tinggi yakni mengadakan hubungan
seksual dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual
multiple, aktivitas seksual yang tidak terlindung dan seks anal.
Menurunnya libido, terlalu sakit untuk melakukan hubungan seks,
penggunaan kondom yang tidak konsisten. Menggunakan pil
pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan virus terhadap wanita
yang

diperkirakan

dapat

terpajan

karena

peningkatan

kekeringan/friabilitas vagina).
Tanda : kehamilan atau resiko terhadap kehamilan. Genitalia
:manifestasi kulit (misalnya herpes, kutil); rabas.

l. Interaksi Sosial
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, misalnya
kehilangan kerabat/orang terdekat, teman, pendukung. Rasa takut
untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut akan penolakan /

kehilangan pendapatan, isolasi, kesepian, teman dekat ataupun


pasangan seksual yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan
kemampuan untuk tetap mandiri, tidak mampu membuat rencana.
Tanda : perubahan terhadap interaksi keluarga/orang terdekat.
Aktivitas yang tidak terorganisasi, perubahan penyusunan tujuan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitis dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga
status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah
(Carpenito dalam Nursalam, 2008 ).
Menurut Dongoes (1999 : 838 856), diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien dengan HIV/AIDS, antara lain :
a. Resiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis / awitan
infeksi oportunistik) berhubungan dengan pertahanan primer tak
efektif; depresi sistem imun; teknik invasif.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan yang berlebihan : diare berat, berkeringat,
muntah; status hipermetabolisme; pembatasan pemasukan : mual,
anoreksi letargi.
c. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan ketidakseimbangan muskuler (melemahnya otot otot

pernapasan, penurunan ekspansi paru); menahan sekresi (obstruksi


trakheobronkhial); ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan akibat cedera
berhubungan dengan penurunan absorpsi vitamin K, perubahan
pada fungsi hepar, munculnya antibodi antiplatelet autoimun,
keganasan; dan/atau sirkulasi endotoksin (sepsis).
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk
mencerna, mengunyah dan/atau nutrisi metabolisme: mual/muntah,
gangguan intestinal; Peningkatan laju metabolisme/kebutuhan
nutrisi (demam/infeksi).
f. Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan inflamasi / kerusakan
jaringan; Neuropati perifer; Kejang abdomen.
g. Aktual dan/ resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan defisit imunologis; Penurunan tingkat
aktivitas; Malnutrisi, penurunan status hipermetabolisme.
h. Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit
imunologis, timbulnya lesi penyebab pathogen; Kesehatan oral
tidak efektif; Efek samping dari obat obatan, kemoterapi.
i. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi
metabolisme,
hipermetabolik);

peningkatan
Tuntutan

kebutuhan

energi

psikologis/emosional

(status
berlebihan;

Perubahan kimia tubuh, efek samping obat obatan, kemoterapi.


j. Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi
SSP oleh HIV, malignansi otak; Perubahan metabolisme.
k. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi,
ancaman

kematian,

perubahan

pada

satus

kesehatan/status

sosioekonomi, fungsi peran; Transmisi dan penularan interpersonal;


Pemisahan dari sistem pendukung; Ketakutan penularan penyakit
pada keluarga yang dicintai.
l. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
perubahan pada penampilan fisik, perubahan status mental; Persepsi
tentang tidak dapat diterima dalam masyarakat; Sumber sumber
pribadi tidak adekuat/sistem pendukung; Isolasi fisik.
m. Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit
terminal, proses berduka yang belum selesai;
n. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat:
kesalahan interpretasi informasi; Keterbatasan kognitif; Tidak
mengenal sumber informasi.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah masalah yang di
identifikasi pada diagnosa keperawatan (Iyer dkk dalam Nursalam, 2008 ).
Menurut Doengoes (1999 : 838 856), perencanaan keperawatan
yang dilakukan pada pasien dengan HIV/AIDS, yaitu :
a. Resiko tinggi terhadap infeksi (progresi menjadi sepsis / awitan infeksi
oportunistik) berhubungan dengan pertahanan primer tak efektif;
depresi sistem imun; teknik invasif.
Hasil yang diharapkan : mengidentifikasi/ikut serta dalam perilaku
yang mengurangi resiko infeksi, mencapai
masa penyembuhan luka/lesi, tidak demam

dan bebas dari pengeluaran/ sekresi purulen


dan tanda tanda lain dari kondisi infeksi.
Rencana tindakan :
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan.
Instruksikan pasien/orang terdekat untuk mencuci tangan sesuai
indikasi.
R/Mengurangi resiko kontaminasi silang.
2) Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa
pengunjung/staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan
sesuai indikasi.
R/Mengurangi patogen

pada

sistem

imun

dan

mengurangi

kemungkinan pasien mengalami infeksi nosokomial.


3) Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan

dan

mempertahankan kesehatan pribadi.


R/Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup dan berusaha
mengurangi rasa terisolasi.
4) Pantau tanda tanda vital, termasuk suhu.
R/Memberikan informasi data dasar.
5) Selidiki keluhan sakit kepala, kaku leher, perubahan penglihatan. Catat
perubahan mental dan tingkah laku
R/Ketidaknormalan neurologis umum dan mungkin dihubungkan
dengan HIV atau infeksi sekunder.
6) Periksa kulit/membran mukosa oral terhadap bercak putih/lesi.
R/Kandidiasis oral, KS, Herpes, CMV dan Cryptococcus adalah
penyakit yang umum terjadi dan memberi efek pada membran kulit.
7) Bersihkan kuku setiap hari. Dikikir, lebih baik daripada dipotong dan
hindari memotong kutikula.
R/Mengurangi resiko transmisi bakteri pathogen melalui kulit.Catatan
: infeksi jamur sepanjang punggung kuku sering terjadi.
8) Pantau keluhan nyeri ulu hati, disfagia, sakit retrosternal pada waktu
menelan, peningkatan kejang abdominal, diare hebat.

R/ Esofagitis mungkin terjadi sekunder akibat kandidiasis oral maupun


herpes. Kriptosporidiosis adalah infeksi parasit yang menyebabkan
diare encer (seringkali lebih besar dari 15 L/hari).
9) Periksa adanya
luka/lokasi invasif, perhatikan tanda tanda
inflamasi/infeksi lokal.
R/ Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat mencegah
terjadinya sepsis.
10) Gunakan sarung tangan dan skort selama kontak langsung dengan
sekresi.ekskresi atau kapnpun terdapat kerusakan pada kulit tangan
perawat. Gunakan masker dan kacamata pelindung untuk melindungi
hidung, mulut, dan mata dari sekresi selama prosedur (misalnya :
penghisapan ataupun ketika terjadi percikan darah).
R/ Penggunaan masker, skort dan sarung tangan dilakukan oleh OSHA
(1992) untuk kontak langsung dengan cairan tubuh, misalnya sputum,
darah/zat zat darah, serum, sekresi vaginal.
11) Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan
menggunakan wadah tersendiri.
R/ Mencegah inokulasi tak disengaja dari pemberi perawatan.Gunakan
pemotong jarum dan ujung jarum tersebut tidak boleh ditutup. Catatan
: inokulasi/pungsi yang tidak disengaja harus dilaporkan sesegera
mungkin dan evaluasi tindak lanjut dilakukan per protocol.
12) Beri label pada tabung darah, wadah cairan tubuh, pembalut / linen
yang kotor dan dibungkus dengan layak untuk pembuangan setiap
protocol isolasi.
R/ Menghindari kontaminasi silang dan mewaspadakan personel/
departemen dengan layak untuk latihan prosedur material berbahaya
khusus.

13) Bersihkan percikan cairan tubuh/darah dengan larutan pemutih (1:10).


R/ Mengontrol mikroorganisme pada permukaan keras.
14) Kolaborasi : pantau studi laboratorium : JDL dan periksa kultur/
sensitivitas lesi, darah, urine dan sputum.
R/ Pemindahan diferensial dan perubahan pada jumlah SDP
mengindikasikan proses infeksi dan menentukan metode perawatan
yang sesuai.
15) Kolaborasi : berikan antibiotic antijamur/agen antimikroba.
R/ Menghambat proses infeksi.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan yang berlebihan : diare berat, berkeringat, muntah;
status hipermetabolisme; pembatasan pemasukan : mual, anoreksi
letargi.
Hasil yang diharapkan : mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh
membran mukosa lembab, turgor kulit
baik, tanda tanda vital stabil, haluaran
urine adekuat secara pribadi.
RencanaTindakan :
1) Pantau tanda tanda, termasuk CVP bila terpasang.
R/ Indikator dari volume cairan sirkulasi.
2) Catat peningkatan suhu dan durasi demam, beri kompres hangat sesuai
indikasi.
R/ Meningkatkan kebutuhan metabolisme dan diaporesis yang
berlebihan dapat dihubungkan dengan demam ; kehilangan cairan
tidak kasatmata.
3) Kaji turgor kulit, membran mukosa dan rasa haus.

R/ Indikator tidak langsung dari status cairan.


4) Ukuran haluaran urine dan berat jenis urine. Ukur jumlah kehilangan
diare dan catat kehilangan tidak kasatmata.
R/ Peningkatan BJU/penurunan haluaran urine menunjukan perubahan
perfusi ginjal.
5) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ Fluktuasi tiba tiba menunjukkan status hidrasi.
6) Pantau pemasukan oral dan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari.
R/ Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus dan
melembabkan membran mukosa.
7) Buat cairan mudah diberikan pada pasien.
R/ Meningkatkan pemasukan cairan.
8) Hilangkan makanan yang potensial menyebabkan diare yakni yang
pedas/makanan berkadar lemak tinggi, kacang, kubis, susu. Mengatur
kecepatan/konsentrasi makanan yang diberikan per selling jika
diperlukan.
R/ Mungkin dapat mengurangi diare.
9) Kolaborasi : berikan cairan/elektrolit melalui selang pemberi
makanan/IV.
R/ Mungkin diperlukan untuk mendukung/memperbesar volume
sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tidak adekuat, mual/muntah
terus menerus.
10) Kolaborasi : Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
misalnya :
a) Hb / Ht : bermanfaat dalam memperkirakan kebutuhan cairan.

b) Elektrolit serum/urine : mewaspadakan kemungkinan adanya


gangguan elektrolit dan menentukan kebutuhan elektrolit tersebut.
c) BUN/Kr. : mengevaluasi perfusi/fungsi ginjal.
11) Kolaborasi : berikan obat sesuai indikasi : antiemetik, antidiarea,
antipiretik.
R/ Antiemetik untuk mengurangi insiden muntah. Antidiarea untuk
menurunkan jumlah dan keenceran feses. Antipiretik untuk membantu
mengurangi demam dan respon hipermetabolisme.
12) Pertahankan selimut hipotermia bila digunakan.
R/ Mungkin diperlukan bila tindakan lain gagal mengurangi demam
yang berlebihan.
c. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan ketidakseimbangan muskuler (melemahnya otot otot
pernapasan, penurunan ekspansi paru); menahan sekresi (obstruksi
trakheobronkhial); ketidakseimbangan perfusi ventilasi.
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan pola napas efektif. Tidak
mengalami sesak napas/sianosis, dengan
bunyi napas dan sinar X bagian dada yang
bersih/meningkat dan GDA dalam batas
normal pasien.
Rencana Tindakan :
1) Auskultasi bunyi napas, tandai daerah paru yang mengalami
penurunan/kehilangan ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius,
misalnya : krekels, mengi, ronki.
R/ Memperkirakan adanya perkembangan
pernapasan.

komplikasi/infeksi

2) Catat kecepatan/kedalaman pernapasan, sianosis, penggunaan otot


aksesori/peningkatan kerja pernapasan dan munculnya dispnea,
ansietas.
R/ Merupakan tanda kesulitan pernapasan dan adanya kebutuhan
untuk meningkatkan pengawasan.
3) Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan pasien untuk berbalik, batuk,
menarik napas sesuai kebutuhan.
R/ Meningkatkan fungsi pernapasan yang optimal dan mengurangi
aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis.
4) Hisap jalan napas sesuai kebutuhan, gunakan teknik steril dan lakukan
tindakan pencegahan misalnya menggunakan masker, pelindung mata.
R/ Membantu membersihkan jalan napas, sehingga memungkinkan
terjadinya pertukaran gas dan mencegah komplikasi pernapasan.
5) Kaji perubahan tingkat kesadaran.
R/ Hipoksemia dapat terjadi akibat adanya perubahan tingkat
kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan mental sampai kondisi
tidak responsif.
6) Selidiki tentang keluhan nyeri dada.
R/ Nyeri dada pleuritis daapt menggambarkan adanya pneumonia
nonspesifik atau efusi pleura berkenaan dengan keganasan.
7) Berikan periode istirahat yang cukup diantara waktu aktivitas
perawatan. Pertahanan lingkungan yang tenang..
R/Menurunkan konsumsi O2
Kolaborasi :
8) Pantau / buat kurva hasil pemeriksaan GDA/nadi oksimetri.
R/ Menunjukkan status pernapasan, kebutuhan perawatan/ keefektifan
pengobatan.
9) Tinjau ulang Sinar X dada
R/Adanya infiltrasi meluas memungkinkan terjadinya pneumonia atau
PCP

10) Kolaborasi beri tambahan O2 yang dilembabkan melalui yang sesuai.


R/

Mempertahankan

ventilasi/oksigenasi

efektif

untuk

mencegah/memperbaiki krisis pernapasan.

d. Resiko tinggi terhadap perubahan faktor pembekuan akibat cedera


berhubungan dengan penurunan absorpsi vitamin K, perubahan pad
afungsi

hepar,

munculnya

antibodi

antiplatelet

autoimun,

keganasan; dan/atau sirkulasi endotoksin (sepsis).


Hasil yang diharapkan : menunjukkan homeostasis

yang

ditunjukkan dengan tidak adanya


perdarahan mukosa dan bebas dari
ekimosis.
Rencana Tindakan :
1) Lakukan pemeriksaan darah pada cairan tubuh untuk mengetahui
adanya darah pada urine, feses dan cairan muntah.
R/ Mempercepat deteksi adanya pedarahan/penentuan awal dan terapi
mungkin dapat mencegah perdarahan kritis.
2) Amati/laporkan epitaksis, hemoptisis, hematuria, perdarahan vaginal
non menstruasi atau pengeluaran darah melalui lesi/ orifisium
tubuh/daerah penusukan terapi intravena.
R/ Perdarahan spontan mengindikasikan perkembangan KID atau
trombositopenia imun.
3) Pantau perubahan tanda tanda vital dan warna kulit misalnya :
tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, pucat kulit/perubahan warna.
R/ Timbulnya perdarahan/hemoragi dapat menunjukkan kegagalan
sirkulasi/syok.
4) Pantau perubahan tingkat kesadaran dan gangguan penglihatan.
R/ Perubahan dapat menunjukkan adanya perdarahan otak.

5) Hindari injeksi IM, pengukuran suhu rectal/supositoria, selang rektal.


R/ Melindungi pasien dari prosedur berkenaan dengan penyebab
perdarahan.
6) Mempertahankan lingkungan yang aman misalnya menjaga agar
seluruh benda yang diperlukan dan bel pemanggil berada dalam
jangkauan pasien dan menjaga agar tempat tidur tetap rendah.
R/ Mengurangi cedera yang tidak disengaja, yang dapat menyebabkan
pendarahan.
7) Pertahankan istirahat di tempat tidur/kursi apabila trombosit di bawah
10.000.
R/ Mengurangi kemungkinan cedera, meskipun aktivitas harus tetap
dipertahankan.
Kolaborasi
8) Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium misalnya PT, PTT, waktu
pembekuan.
R/ Mendeteksi gangguan kemampuan pembekuan, mengidentifikasi
kebutuhan terapi.
9) Berikan produk darah sesuai indikasi.
R/ Transfusi mungkin diperlukan pada waktu terjadi perdarahan terus
menerus/perdarahan spontan massif.
10) Hindari penggunaan produk aspirin.
R/ Mengurangi agregasi trombosit, ketidakseimbangan/ perpanjangan
proses koagulasi.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan atau perubahan pada kemampuan untuk
mencerna, mengunyah dan/atau nutrisi metabolisme: mual/muntah,
gangguan intestinal; Peningkatan laju metabolisme/kebuthan nutrisi
(demam/infeksi).

Hasil yang diharapakan : mempertahankan berat badan atau


memperlihatkan peningkatan berat
badan yang mengacu pada tujuan
yang diinginkan. Mendemonstrasikan
keseimbangan nitrogen positif, bebas
dari tanda tanda malnutrisi dan
menunjukan perbaikan tingkat energi.
Rencana Tindakan
1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.
R/ Lesi mulut, tenggorok dan esofagus dapat menyebabkan
disfagia, penurunan kemampuan pasien untuk mengolah makanan
dan mengurangi keinginan untuk makan.
2) Auskultasi bising usus
R/ Hipermotilitas saluran

intestinal

umum

terjadi

dan

dihubungkan dengan muntah dan diare.


3) Timbang berat badan sesuai kebutuhan.
R/ Indikator kebutuhan nutrisi/pemasukan yang adekuat.
4) Hilangkan perangsangan lingkungan yang berbahaya atau kondisi
yang memperburuk refleks gag.
R/ Mengurangi stimulus pusat muntah di medula.
5) Beri perawatan mulut terus menerus, awasi tindakan pencegahan
sekresi.
R/ Mengurangi
makan.

ketidaknyamanan

dan

meningkatkan

napsu

6) Rencanakan diet dengan pasien/orang terdekatnya.


R/ Melibatkan pasien dalam rencana memberikan perasaan
kontrol lingkungan dan mungkin meningkatkan pemasukan.
7) Kaji obat obatan terhadap efek samping nutrisi.
R/ Prifilaktik dan obat obatan terapeutik mungkin memiliki efek
samping nutrisi.
8) Batasi makanan yang menyebabkan mual/muntah mungkin kurang
ditoleransi oleh pasien karena luka pada mulut/disfagia. Hindari
menghidangkan makanan

yang sangat panas. Sajikan makanan

yang mudah untuk ditelan.


R/ Rasa sakit pada mulut atau ketakutan akan mengiritasi lesi mulut
mungkin akan menyebabkan pasien enggan untuk makan. Tindakan
ini mungkin berguna dalam meningkatkan pemasukan makanan.
9) Jadwalkan obat obatan diantara makan (jika memungkinkan) dan
batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan
memiliki nilai gizi.
R/ Lambung yang penuh akan mengurangi napsu makan dan
pemasukan makanan.
10) Dorong aktivitas sebanyak mungkin.
R/ Dapat meningkatkan napsu makan dan perasaan sehat.
11) Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang
melelahkan saat mendekati waktu makan.
R/ Mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan energi untuk
aktivitas makan.
12) Catat pemasukan kalori.
R/ Mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau alternatif
metode pemberian makanan.
Kolaborasi
13) Tinjau ulang pemeriksaan laboratorium.

R/ Mengindikasikan status nutrisi dan fungsi organ dan


mengidentifikasikan kebutuhan pengganti.
14) Pertahankan status puasa jika diindikasikan.
R/ Mungkin diperlukan untuk menurunkan muntah.
15) Pasang/pertahankan status NGT sesuai petunjuk.
R/ Mungkin diperlukan untuk mengurangi mual/muntah atau untuk
pemberian makanan per selang.
16) Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.
R/ Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute
yang tepat.
17) Berikan NPT (hiperalimentasi/intralipid) sesuai petunjuk.
R/ Kadang kadang nutrisi parenteral diperlukan apabila
pemberian

makanan

melalui

oral/enteral

tidak

mungkin

dilakukakan.
18) Berikan obat obatan sesuai petunjuk: antiemetik, suplemen
vitamin.
R/ Mengurangi insiden muntah, meningkatkan fungsi gaster.
Kekurangan vitamin terjadi akibat penurunan pemasukan makanan
dan/ atau kegagalan mengunyah dan absorpsi dalam sistem
gasatrointestinal.
f. Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan inflamasi / kerusakan
jaringan; Neuropati perifer; Kejang abdomen.
Hasil yang diharapkan : keluhan hilangnya/terkontrolnya rasa sakit.
Menunjukkan posisi/ekspresi wajah rileks.
Dapat tidur/beristirahat adekuat.
Rencana Tindakan :
1)

Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (Skala 1-10),


frekuensi, waktu. Menandai gejala non-verbal misalnya gelisah,
takikardia, meringis.

R/Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda


tanda perkembangan/resolusi komplikasi.
2)

Dorong pengungkapan perasaan.


R/Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi
persepsi akan intensitas rasa sakit.

3)

Berikan atifitas hiburan, misalnya membaca, berkunjung dan


menonton televisi.
R/Memfokuskan kembali perhatian; mungkin dapat meningkatkan
kemampuan untuk menanggulangi.

4)

Lakukan tindakan paliatif. Misalnya pengubahan posisi,


masase, rentang gerak pada sendi yang sakit.
R/Meningkatkan relaksasi/menurunkan tengangan otot.

5)

Beri kompres hangat/lembab pada sisi injeksi pentamidin/IV


selama 20 menit setelah pemberian.
R/Injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa sakit dan abses steril.

6)

Instruksikan pasien untuk menggunakan visualisasi/ bimbingan


imajinasi, relaksasi progresif, teknik napas dalam.
R/Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat.

7)

Kolaborasi beri analgesik/antipiretik sesuai indikasi.


R/Memberikan penurunan nyeri/tidak nyaman dan mengurangi
demam.

g. Aktual dan/ resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit


berhubungan dengan defisit imunologis; Penurunan tingkat
aktivitas; Malnutrisi, penurunan status hipermetabolisme.
Hasil yang diharapkan :menunjukkan tingkah laku/teknik untuk
mencegah kerusakan kulit/meningkatkan
kesembuhan.

Menunjukkan

kemajuan

pada luka/penyembuhan luka.


Rencana Tindakan :
1) Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi.
Gambarkan lesi dan amati perubahan.
R/ Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
2) Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengeringkannya dengan berhati hati dan melakukan
masase dengan menggunakan losion atau krim.
R/ Mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat
menjadi barier infeksi. Pembasuhan kulit kering sebagai ganti
menggaruk menurunkan resiko trauma dermal pada kulit yang
kering/rapuh.

Masase

meningkatkan

sirkulasi

kulit

dan

meningkatkan kenyamanan.
3) Secara teratur ubah posisi, ganti seprei sesuai kebutuhan. Dorong
pemindahan berat badan secara periodik. Lindungi penonjolan
tulang dengan bantal, bantalan tumit/sikut.
R/ Mengurangi stress pada titik tekanan, meningkatkan aliran darah
ke jaringan dan meningkatkan proses penyembuhan.
4) Pertahankan seprei bersih, kering dan tidak berkerut.

R/ Friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.
5) Dorong untuk ambulasi/turun dari tempat tidur jika memungkinkan.
R/ Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat
tidur.
6) Bersihkan area perianal dengan membersihkan feses dengan
menggunakan air mineral. Hindari penggunaan kertas toilet jika
timbul vesikel. Berikan krim pelindung.
R/ Mencegah maserasi yang disebabkan oleh diare dan menjaga
agar lesi perianal tetap kering. Penggunan kertas toilet akan
membuat lesi abrasi.
7) Gunting kuku secara teratur.
R/ Kuku yang panjang/kasar meningkatkan resiko kerusakan
dermal.
8) Tutup luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau
barrier protektif.
R/ Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses
penyembuhan.
Kolaborasi
9) Berikan matras atau tempat tidur busa/flotasi.
R/ Menurunkan iskemia jaringan, mengurangi tekanan pada kulit,
jaringan dan lesi.
10) Dapatkan kultur dari lesi terbuka.
R/ Mengidentifikasi bakteri pathogen dan pilihan perawatan yang
sesuai.
11) Gunakan/berikan obat obatan topical/sistemik sesuai indikasi.
R/ Digunakan pada perawatan lesi kulit.
12) Lindungi lesi/ulkus dengan balutan basah/salep antibiotic dan
balutan nonstick.
R/ Melindungi area ulserasi dari kontaminasi dan meningkatkan
penyembuhan.

h. Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan defisit


imunologis, timbulnya lesi penyebab pathogen; Kesehatan oral
tidak efektif; Efek samping dari obat obatan, kemoterapi.
Hasil yang diharapkan : menunjukkan membran mukosa utuh,
berwarna merah jambu, basah dan
bebas

dari

Menunjukkan

inflamasi/ulserasi.
teknik

/mempertahankan

memperbaiki

keutuhan

mukosa

oral.
Rencana Tindakan :
1) Kaji membran mukosa/catat seluruh lesi oral. Perhatikan keluhan
nyeri, bengkak, sulit mengunyah/menelan.
R/ Edema, lesi, membran mukosa oral dan tenggorok kering
menyebabkan rasa sakit dan sulit mengunyah/ menelan.
2) Berikan perawatan oral setiap hari dan setelah makan, gunakan
sikat gigi halus, pasta gigi non-abrasif, obat pencuci mulut non
alkohol dan pelembab bibir.
R/Mengurangi rasa tidak nyaman, meningkatkan rasa sehat dan
mencegah pembentukan asam yang dikaitkan dengan partikel
makanan yang tertinggal.
3) Cuci lesi mukosa oral

dengan

menggunakan

hydrogen

peroksida/salin atau larutan soda kue.


R/Mengurangi penyebaran lesi dan krustasi dari kandidiasis dan
meningkatkan kenyamanan.
4) Anjurkan permen karet/permen tidak mengandung gula.
R/Merangsang saliva untuk menetralkan asam dan melindungi
membran mukosa.

5) Rencanakan diet untuk menghindari garam, pedas, gesekan dan


makanan/minuman asam. Periksa toleransi makanan. Tawarkan
makanan yang dingin/segar.
R/ Makanan yang pedas akan membuka lesi yang telah
disembuhkan
6) Dorong pemasukan oral sedikitnya 2500 ml/hari.
R/Mempertahankan hidrasi, mencegah pengeringan rongga mulut.
7) Dorong pasien untuk tidak merokok.
R/Rokok akan mengeringkan dan mengiritasi membran mukosa.
Kolaborasi
8) Dapatkan spesimen kultur lesi.
R/ Menunjukkan agen penyebab dan mengidentifikasi terapi yang
sesuai.
9) Berikan obat obatan sesuai petunjuk.
R/ Obat khusus pilihan tergantung pada organism infeksi.
10) Rujuk untuk konsultasi gigi, jika diperlukan.
R/ Mungkin membutuhkan terapi tambahan untuk mencegah
kehilangan gigi.
i. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi
metabolisme,
hipermetabolik);

peningkatan
Tuntutan

kebutuhan

energi

psikologis/emosional

(status
berlebihan;

Perubahan kimia tubuh, efek samping obat obatan, kemoterapi.


Hasil yang diharapkan : melaporkan peningkatan energi.
Melaksanakan AKS. Berpartisipasi
dalam aktivitas yang diinginkan
pada tingkat kemampuannya.
Rencana Tindakan :
1) Kaji pola tidur dan catat perubahan dalam proses berpikir/ perilaku.

R/ Berbagai faktor dapat meningkatkan kelelahan, termasuk kurang


tidur, penyakit SSP, tekanan emosi dan efek samping obat
obatan/kemoterapi.
2) Rencanakan perawatan untuk menyediakan fase istirahat. Atur
aktivitas pada waktu pasien sangat berenergi. Ikutsertakan
pasien/orang terdekat pada penyusunan rencana.
R/ Periode istirahat yang sering sangat dibutuhkan dalam
memperbaiki/menghemat energi. Perencanaan akan membuat
pasien menjadi aktif pada waktu dimana tingkat energi lebih tinggi,
sehingga dapat memperbaiki perasaan sehat dan control diri.
3) Tetapkan keberhasilan aktivitas yang realistis dengan pasien.
R/ Mengusahakan kontrol diri dan perasaan berhasil. Mencegah
timbulnya perasaan frustrasi akibat kelelahan karena aktivitas
berlebihan.
4) Bantu memenuhi kebutuhan perawatan pribadi; pertahankan tempat
tidur dalam posisi rendah dan tempat lalu lalang bebas dari
perabotan; bantu dengan ambulasi.
R/ Rasa lemas akan membuat AKS hamper tidak mungkin bagi
pasien untuk menyelesaikannya. Melindungi pasien dari cedera
selama melakukan aktivitas.
5) Dorong pasien untuk melakukan apapun yang mungkin misalnya
perawatan diri, duduk di kursi, berjalan, pergi makan siang.
Meningkatkan tingkat aktivitas sesuai petunjuk.
R/ Memungkinkan penghematan energi, peningkatan stamina dan
mengizinkan pasien untuk lebih aktif tanpa menyebabkan
kepenatan dan rasa frustrasi.

6) Pantau respons psikologis terhadap aktivitas, misalnya perubahan


tekanan darah, frekuensi pernapasan atau jantung.
R/ Toleransi bervariasi tergantung pada status proses penyakit,
status nutrisi, keseimbangan cairan dan jumlahnya penyakit dimana
pasien menjadi subyeknya.
7) Berikan O2 tambahan sesuai petunjuk.
R/ Adanya anemia/hipoksemia mengurangi persedian O2 untuk
ambilan seluler dan menunjang kelelahan.
8) Rujuk pada terapi fisik/okupasi.
R/ Latihan setiap hari terprogram dan aktivitas yang membantu
pasien mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan tonus otot,
meningkatkan rasa sejahtera.
j. Perubahan proses pikir berhubungan dengan hipoksemia, infeksi
SSP oleh HIV, malignansi otak; Perubahan metabolisme.
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan orientasi realita umum
dan fungsi kognitif optimal.
Rencana Tindakan :
1) Kaji status mental dan neurologis dengan menggunakan alat yang
sesuai.
R/ Menetapkan tingkat fungsional pada waktu penerimaan dan
mewaspadai

perawat

pada

perubahan

status

yang

dapat

dihubungkan dengan infeksi/kemungkinan penyakit SSP.


2) Pertimbangkan efek dari tekanan emosional.
R/Dapat menunjang penurunan kewaspadaan, kekacauan mental,
menarik diri, hipoaktivitas dan kebutuhan lebih lanjut akan evaluasi
dan intervensi.
3) Pantau aturan penggunaan obat obatan.
R/ Aksi dan interaksi dari berbagai obat obatan akan
memperpanjang obat obatan penyambung hidup/perubahan

ekskresi, mengakibatkan efek kumulatif, risiko potensial dari risiko


toksisitas.
4) Pantau adanya tanda tanda infeksi SSP, misalnya sakit kepala,
muntah dan demam.
R/ Gejala SSP dihubungkan dengan meningitis, ensefalitis
diseminata

mungkin

memiliki

jangkauan

dari

perubahan

kepribadian yang tidak kelihatan sampai kekacauan mental, peka


rangsang, mengantuk, pingsan, kejang dan demensia.
5) Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dengan rangsang
auditorius, visual dan kognitif yang tepat.
R/ Memberikan rangsang lingkungan normal akan membantu dalam
mempertahankan orientasi realitas.
6) Berikan isyarat untuk orientasi, misalnya radio, televisi, kalender,
jam, ruangan dengan pemandangan luar.
R/ Reorientasi sering terhdap tempat dan waktu mungkin
diperlukan, terutama selama terjadi demam hebat/akut yang
melibatkan SSP. Perasaan kontinuitas dapat mengurangi ansietas
yang menyertai.
7) Diskusikan penggunaan buku data, daftar, perlengkapan lain untuk
tetap berada pada jalur aktivitas.
R/ Teknik teknik ini akan membantu pasien mengatasi masalah
pelupa.
8) Dorong keluarga/orang terdekat untuk bersosialisasi dan berikan
reorientasi dengan berita aktual, kejadian kejadian di dalam
keluarga.
R/ Hubungan yang biasa seringkali akan berguna dalam membantu
mempertahankan orientasi realita, terutama jika pasien mengalami
halusinasi.

9) Dorong pasien melakukan kegiatan sebanyak mungkin.


R/ Membantu mempertahankan kemampuan mental untuk utnuk
periode yang lebih panjang.
10) Berikan bantuan orang terdekat.

Dorong

diskusi

masalah

perhatian/rasa takut.
R/ Perilaku aneh/penyimpangan kemampuan mungkin sangat
menakutkan bagi orang terdekat dan mempersulit penatalaksanaan
keperawatan/situasi.
11) Kurangi rangsang provokatif/mencemaskan. Pertahankan tempat
tidur pada ruangan yang gelap dan tenang jika diindikasikan.
R/ Jika pasien memiliki kecenderungan agitasi, ada perilaku
bermusuhan/menyerang, maka pengurangan rangsang eksternal
mungkin akan berguna.
12) Kurangi kebisingan, terutama pada malam hari.
R/ Meningkatkan waktu tidur, mengurangi gejala kognitif dan
kurang tidur.
13) Susun batasan pada perilaku maladaptif/menyiksa hindari pilihan
pertanyaan terbuka.
R/ Memberikan

rasa

aman/stabil

pada

situasi

yang

membingungkan.
14) Pertahankan lingkungan yang aman.
R/ Menurunkan kemungkinan pasien terhadap cedera.
15) Berikan informasi mengenai perawatan secara terus menerus.
R/ Dapat menurunkan ansietas dan ketakutan tentang
ketidaktahuan; berusaha meningkatkan pemahaman pasien dan
keikutsertaan/kerja sama dalam perawatan jika memungkinkan.
16) Diskusikan penyebab/harapan di masa depan dan perawatan jika
demensia telah terdiagnosa.

R/ Mendapatkan informasi bahwa AZT telah muncul untuk


memperbaiki kognisi dapat memberikan harapan dan control
terhadap kehilangan.
Kolaborasi
17) Bantu dengan pemeriksaan diagnostik.
R/ Pilihan tes atau pemeriksaan tergantung pada manifestasi klinis
dan indeks ,kecurigaan sesuai dengan perubahan status mental.
18) Berikan obat obat sesuai petunjuk.
R/ Penggunaan dengan waspada dapat membantu pada masalah
tidak dapat tidur, emosi labil, halusinasi, curiga dan agitasi.
19) Berikan lingkungan/manajemen perilaku terkontrol.
R/ Pendekatan tim akan diperlukan untuk melindungi pasien pada
waktu ketidakseimbangan mental mengancam keselamatan pasien.
20) Rujuk pada konseling sesuai petunjuk.
R/ Dapat membantu pasien meningkatkan kontrol terhadap
timbulnya gangguan berpikir atau simtomatologi psikotik.
k. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada konsep pribadi,
ancaman

kematian,

perubahan

pada

status

kesehatan/status

sosioekonomi, fungsi peran; Transmisi dan penularan interpersonal;


Pemisahan dari sistem pendukung; Ketakutan penularan penyakit
pada keluarga yang dicintai.
Hasil yang diharapkan : Menyatakan tentang perasaan dan cara
sehat

untuk

Menunjukkan
perasaan

dan

menghadapinya.

rentang

normal

berkurangnya

dari
rasa

takut/ansietas.Menunjukkan kemampuan
untuk mengatasi masalah. Menggunakan
sumber sumber dengan efektif.

Rencana Tindakan :
1) Jamin pasien tentang kerahasiaan dalam situasi tertentu.
R/ Memberikan penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan bagi
pasien untuk memecahkan masalah pada situasi yang diantisipasi.
2) Pertahankan hubungan yang sering dengan pasien. Berbicara dan
berhubungan dengan pasien. Batasi penggunaan baju pelindung dan
masker.
R/ Menjamin bahwa pasien tidak akan sendiri atau ditelantarkan;
menunjukkan rasa menghargai, dan menerima orang tersebut,
membantu meningkatkan rasa percaya.
3) Berikan informasi akurat dan konsisten mengenai prognosis.
Hindari argumentasi mengenai persepsi pasien terhadap situasi
tersebut.
R/ Dapat mengurangi ansietas dan ketidakmampuan pasien untuk
membuat keputusan/pilihan berdasarkan realita.
4) Waspada terhadap tanda tanda penolakan/depresi, misalnya
menarik diri, marah, ucapan ucapan yang tidak tepat. Tentukan
timbulnya ide bunuh diri dan kaji potensialnya pada skala 1 10.
R/ Pasien mungkin akan menggunakan mekanisme bertahan dengan
penolakan dan terus berharap bahwa diagnosanya tidak akurat. Rasa
bersalah dan tekanan spiritual mungkin akan menyebabkan pasien
menarik diri dan percaya bahwa bunuh diri adalah salah satu
alternatif.
5) Berikan lingkungan terbuka di mana pasien akan merasa aman
untuk mendiskusikan perasaan atau menahan diri untuk berbicara.

R/ Membantu pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang


tanpa perasaan dihakimi dan meningkatkan perasaan harga diri dan
kontrol.
6) Izinkan pasien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa
tanpa konfrontasi. Berikan informasi bahwa perasaannya adalah
normal dan perlu diekspresikan.
R/ Penerimaan perasaan akan membuat pasien dapat menerima
situasi.
7) Kenali dan dukung tahap pasien/keluarga pada proses berduka.
R/ Pilihan intervensi ditentukan oleh tahap berduka, perilaku
koping, misalnya marah/menarik diri, pengingkaran.
8) Jelaskan prosedur, berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab
dengan jujur. Tetap berada besama pasien selama prosedur dan
konsultasi yang menimbulkan ansietas.
R/ Informasi yang akurat akan membuat pasien dapat lebih efektif
dalam menghadapai realita situasi, sehingga dapat mengurangi
ansietas dan rasa takut akan ketidaktahuan.
9) Identifikasi dan dorong interaksi pasien dengan sistem pendukung.
Dorong pengungkapan/interaksi dengan keluarga/orang terdekat.
R/ Mengurangi perasaan terisolasi. Jika sistem pendukung keluarga
tidak tersedia, bantuan dari luar mungkin dibutuhkan dengan
segera.
10) Berikan informasi yang dapat dipercaya dan konsisten, juga
dukungan untuk orang terdekat.
R/ Menciptakan interaksi interpersonal yang lebih baik dan
menurunkan ansietas dan rasa takut.
11) Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan
keputusan bersifat mayor.

R/ Menjamin adanya sistem pendukung bagi pasien dan


memberikan kesempatan orang terdekat untuk berpartisipasi dalam
kehidupan pasien.
12) Kolaborasi : Rujuk pada konseling psikiatri (misalnya : perawat
spesialis klinis, psikiater, pekerja sosial)
R/ Mungkin diperlukan bantuan lebih lanjut dalam berhadapan
dengan diagnosa/prognosis, terutama jika timbul pikiran untuk
bunuh diri.
l. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
perubahan pada penampilan fisik, perubahan status mental; Persepsi
tentang tidak dapat diterima dalam masyarakat; Sumber sumber
pribadi tidak adekuat/sistem pendukung; Isolasi fisik.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan perasaan harga
diri.

Berpartisipasi

dalam

aktivitas/

program pada tingkat kemampuan/hasrat.


Rencana Tindakan :
1) Tentukan persepsi pasien tentang situasi.
R/ Isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut
penolakan/reaksi orang lain.
2) Berikan waktu untuk berbicara dengan pasien selama dan diantara
aktivitas perawatan. Tetap memberi dukungan, mengusahakan
verbalisasi.

Perlakukan

dengan

penuh

pernghargaan

dan

menghormati perasaan pasien.


R/ Pasien mungkin akan mengalami isolasi fisik
3) Batasi/hindari penggunaan masker, baju dan sarung tangan jika
memungkinkan.

R/ Mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menciptakan


hubungan sosial yang positif yang dapat meningkatkan rasa percaya
diri.
4) Identifikasi sistem pendukung yang tersedia bagi pasien, termasuk
adanya/hubungan dengan keluarga kecil dan besar.
R/ Jika ,pasien mendapat bantuan dari orang terdekat, perasaan
kesepian dan ditolak akan berkurang.
5) Jelaskan prosedur/petunjuk isolasi pada pasien/orang terdekat.
R/ Sarung tangan, pakaian pengaman, masker secara tidak rutin
diperlukan pada diagnosa AIDS kecuali pada waktu dicurigai
adanya kontak dengan sekresi/ekskresi.
6) Dorong kunjungan terbuka (jika memungkinkan), hubungan telepon
dan aktivitas sosial dalam tingkat yang memungkinkan.
R/ Partisipasi orang lain dapat meningkatkan rasa kebersamaan.
7) Waspadai gejala gejala verbal/nonverbal. Misalnya menarik diri,
putus asa, perasaan kesepian.
R/ Indikasi bahwa putus asa dan ide untuk bunuh diri sering muncul
: ketika tanda tanda ini diketahui oleh pemberi perawatan, pasien
umumnya ingin berbicara mengenai perasaan ingin bunuh diri,
terisolasi dan putus asa.
Kolaborasi
8) Rujuk pada sumber sumber misalnya pelayanan sosial.
R/ Adanya sistem pendukung dapat mengurangi perasaan terisolasi.
m. Ketidakberdayaan berhubungan dengan konfirmasi diagnosa sakit
terminal, proses berduka yang belum selesai;
Hasil yang diharapkan: Menyatakan perasaan dan cara yang sehat
untuk

berhubungan

dengan

mereka.

Mengungkapkan rasa kontrol terhadap


situasi sekarang.Membuat keputusan yang

berhubungan dengan perawatan dan ikut


serta dalam perawatan diri.
Rencana Tindakan :
1) Identifikasi faktor yang berhubungan dengan perasaan tak berdaya.
R/ Pasien penderita AIDS umumnyan menyadari literatur dan
prognosis terbaru. Rasa takut akan AIDS (pada populasi umum dan
juga pada keluarga pasien/orang terdekat) adalah kasus paling
umum ditemukan pada isolasi pasien.
2) Kaji tingkat perasaan tidak berdaya.
R/ Menentukan status individual pasien dan mengusahakan
intervensi yang sesuai pada waktu pasien imobilisasi karena
perasaan depresi.
3) Dorong peran aktif pada perencanaan aktivitas, menetapkan
keberhasilan harian yang realistis/dapat dicapai.
R/ memungkinkan peningkatan perasaan kontrol dan menghargai
diri sendiri dan tanggung jawab diri.
4) Dorong harapan hidup dan kekuatan bertahan lama dari dokumen
pengacara, dengan instruksi khusus dan tepat mengenai prosedur
prosedur yang dapat dan tidak dapat diterima untuk memperpanjang
hidup.
R/ Banyak faktor yang berkenaan dengan faktor perawatan yang
digunakan pada ketidakmampuan ini dan sering menempatkan
proses penyakit fatal pasien di dalam kekuasaan personel medis dan
orang lain yang tak dikenal yang mungkin membuat keputusan dan
tentang pasien tanpa menghargai kehilangan kemandirian pasien.
n. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat:

kesalahan interpretasi informasi; Keterbatasan kognitif; Tidak


mengenal sumber informasi.
Hasil
yang
diharapkan:

Mengungkapkan

perasaannya

tentangkondisi/proses dan perawatan


dari penyakit tersebut. Mengidentifikasi
hubungan antara tanda tanda/gejala
gejala

pada

proses

penyakit

dan

hubungan gejala gejala dengan faktor


penyebab. Memulai perubahan gaya
hidup yang perlu dan ikut serta dalam
aturan perawatan.
Rencana Tindakan :
1) Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa
depan.
R/ Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkan informasi.
2) Tentukan tingkat ketergantungan dan kondisi fisik.
R/ Membantu merencanakan jumlah perawatan dan kebutuhan
penatalaksanaan gejala dan juga kebutuhan akan sumber tambahan.
3) Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R/ Mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan
keamanan bagi pasien/orang lain.
4) Instruksikan pasien dan pemberi perawatan mengenai kontrol
infeksi.
R/ Mengurangi penularan penyakit; meningkatkan kesehatan pada
masa berkurangnyakemampuan sistem imun untuk mengontrol
tingkat flora.

5) Tekankan perlunya kebutuhan perawatan kulit harian, termasuk


memeriksa lipatan kulit, titik tekanan dan perineum dan
menyediakan pembersih serta tindakan perlindungan adekuat.
R/ Kulit yang sehat memberikan barrier yang terhadap infeksi.
6) Pastikan bahwa pasien/orang terdekat dapat menunjukkan
perawatan oral dan gigi yang baik.
R/ Mukosa oral dapat dengan cepat menunjukkan komplikasi hebat
dan progresif.
7) Tinjau ulang kebutuhan akan diet (protein dan kalori tinggi) dan
cara untuk meningkatkan pemasukan pada waktu anoreksia, diare,
lemas, depresi yang mengganggu pemasukan.
R/ Meningkatkan nutrisi adekuat yang

diperlukan

untuk

penyembuhan dan mendukung sistem imun.


8) Diskusikan aturan obat obatan, interaksi dan efek samping.
R/ Meningkatkan kerja sama dengan/peningkatan kemungkinan
untuk sukses dengan aturan terapeutik.
9) Berikan informasi mengenai penatalaksanaan

gejala

yang

melengkapi aturan medis.


R/ Memberi pasien peningkatan kontrol, mengurangi resiko rasa
malu dan meningkatkan kenyamanan.
10) Tekankan pentingnya istirahat adekuat.
R/ Mencegah/mengurangi kepenatan, meningkatkan kemampuan.
11) Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat ditoleransi oleh
pasien.
R/ Merangasang pelepasan endorfin pada otak, meningkatkan rasa
sejahtera.
12) Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi.
R/ Memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi
kebutuhan perubahan/individual.
4. Pelaksanaan Keperawatan

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk


mencapai tujuan yang spesifik (Iyer dkk dalam Nursalam, 2008).
Tahap pelaksanaan dimulai dari setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing olders untuk membantu pasien mencapai
tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang
spesifik

dilaksanakan

untuk

memodifikasi

faktor-faktor

yang

mempengaruhi masalah kesehatan pasien.


Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan
kesehatan,

pencegahan

penyakit,

pemulihan

kesehatan

dan

memfasilitasi koping. Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat


dilaksanakan dengan baik jika pasien mempunyai keinginan untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan tindakan keperawatan. Selama tahap
perencanaan perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih
tindakan perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien
(Nursalam, 2008)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya. Tahap evaluasi memungkinkan
perawat untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisis, perencanaan dan implementasi intervensi
(Ignatavicius & Bayne dalam Nursalam, 2008).

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien


dalam mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan mengadakan
hubungan dengan pasien berdasarkan respon pasien terhadap tindakan
keperawatan yang diberikan. Klien akan menunjukkan tanpa adanya
tanda tanda infeksi, Klien akan mempertahankan hidrasi yang
adekuat, tidak terjadinya Resiko ketidakefektifan pola napas, tidak
terjadinya Resiko tinggi terhadap perubahan factor pembekuan akibat
cedera, tidak terjadinya nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, tidak
terjadinya Aktual atau resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit,
tidak terjadinya Perubahan membran mukosa oral, tidak terjadinya
Kelelahan, tidak terjadinya perubahan pola proses pikir, tidak
terjadinya Ansietas/ Ketakutan, tidak terjadinya Isolasi sosial
(Nursalam,2008).

2.2. Konsep Dasar Kecemasan


2.2.1. Pengertian
Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman
subjektif dari seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan
yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa
tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan
tidak berdaya. (Farida Kusumawati, 2012 : 60).
Ansietas merupakan pengalaman sehari hari yang dihadapi
oleh individu. Ansietas menjadi masalah apabila individu menjadi tidak

mampu mengendalikannya sehingga berdampak pada penurunan


produktivitas sosial dan ekonomis. (Budi Anna Kelliat, 2011 : 59).
Ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar,
yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.Keadaan
emosi ini tidak memiliki objek spesifik. (Stuart 1995 dalam Ade Herman
Surya Direja 2011 : 41).
Ansietas adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan
dan tidak dapat dibenarkan yang disertai gejala fisiologis, sedangkan
pada gangguan ansietas terkandung unsur penderitaan yang bermakna
dan gangguan fungsi yang disebabkan oleh kecemasan tersebut. (David
A. Tomb 1993 dalam Ade Herman Surya Direja 2011 : 41).
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
cemas adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang sering
dialami

oleh

individu

dan

lama

kelamaan

akan

menurunkan

produktivitas individu tersebut.


2.2.2. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Pandangan Psikoanalitik
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara 2 elemen
kepribadian id dan super ego. Id mewakili dorongan insting
dan impuls primitive, sedangkan super ego mencerminkan hati
nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma norma budaya
seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen
yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah meningkatkan ego
bahwa ada bahaya.
b. Pandangan Interpersonal

Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya


penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan
dengan

perkembangan

trauma,

seperti

perpisahan

dan

kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang


mengalami harga diri rendah terutama mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan Perilaku
Ansietas merupakan produk frustrasi, yaitu segala sesuatu yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini
dihadapkan pada ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan
ansietas dalam kehidupan selanjutnya.
d. Kajian Keluarga
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada
tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan
ansietas dengan depresi.
e. Kajian Biologis
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine yang
membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan
utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas
sebagaimana halnya dengan endorphin. Ansietas mungkin
disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan
kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi :

a. Ancaman

terhadap

integritas

seseorang

meliputi

ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya


kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri seseorang yang

dapat

membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang


terintegrasi dalam diri seseorang.
(Ade Herman Surya Direja 2011 : 42-43)
2.2.3. Tingkat Kecemasan
Stuart dan Sundeen (1995) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan
yaitu :
1.

Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan

peristiwa kehidupan sehari hari. Pada tingkat ini lahan persepsi


melebar dan individu akan berhati hati dan waspada. Individu
terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas.
a. Respon Fisiologis
1) Sesekali nafas pendek
2) Nadi dan tekanan darah naik
3) Gejala ringan pada lambung
4) Muka berkerut dan bibir bergetar
b. Respon Kognitif
1) Lapang persegi meluas
2) Mampu menerima ransangan yang kompleks
3) Konsentrasi pada masalah
4) Menyelesaikan masalah secara efektif
c. Respon perilaku dan Emosi
1) Tidak dapat duduk tenang
2) Tremor halus pada tangan
3) Suara kadang kadang meninggi
2. Kecemasan sedang

Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun/


individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan
mengesampingkan hal lain.
a. Respon Fisiologis
1) Sering nafas pendek
2) Nadi ekstra systole dan tekanan darah naik
3) Mulut kering
4) Anoreksia
5) Diare/konstipasi
6) Gelisah
b. Respon Kognitif
1) Lapang persepsi menyempit
2) Rangsang luar tidak mampu diterima
3) Berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya
c. Respon Prilaku dan Emosi
1) Gerakan tersentak sentak (meremas tangan)
2) Bicara banyak dan lebih cepat
3) Perasaan tidak nyaman
3. Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu
cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal
hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan
membutuhkan banyak pengarahan/tuntutan.
a. Respon Fisiologis
1) Sering nafas pendek
2) Nadi dan tekanan darah naik
3) Berkeringat dan sakit kepala
4) Penglihatan kabur
b. Respon Kognitif
1) Lapang persepsi sangat menyempit
2) Tidak mampu menyelesaikan masalah
c. Respon Perilaku dan Emosi
1) Perasaan ancaman meningkat
2) Verbalisasi cepat
3) Blocking

4. Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu
sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat
melakukan apa apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.
a. Respon Fisiologis
1) Nafas pendek
2) Rasa tercekik dan berdebar
3) Sakit dada
4) Pucat
5) Hipotensi
b. Respon Kognitif
1) Lapang persepsi menyempit
2) Tidak dapat berfikir lagi
c. Respon Perilaku dan Emosi
1) Agitasi, mengamuk dan marah
2) Ketakutan, berteriak teriak, blocking
3) Persepsi kacau
4) Kecemasan yang timbul dapat diidentifikasi melalui
respon yang dapat berupa respon fisik, emosional, dan
kognitif atau intelektual.
d. Respon Fisiologis
1) Kardiovaskuler : Palpitasi berdebar, tekanan darah
meningkat/menurun, nadi meningkat/menurun.
2) Saluran Pernafasan : Nafas cepat dangkal, rasa tertekan di
dada, rasa seperti tercekik.
3) Gastrointestinal : Hilang nafsu makan, mual, rasa tak
enak pada epigastrium, diare.
4) Neuromuskuler : Peningkatan refleks, wajah tegang,
insomnia, gelisah, kelelahan secara umum, ketakutan,
tremor.
5) Saluran Kemih : Tak dapat menahan buang air kecil.

6) Sistem Kulit : Muka pucat, perasaan panas/dingin pada


kulit, rasa terbakar pada muka, berkeringat setempat atau
seluruh tubuh dan gatal gatal.
7) Respon Kognitif : konsentrasi menurun, pelupa, raung
persepsi berkurang atau menyempit, takut kehilangan
kontrol, obyektifitas hilang.
8) Respon emosional : Kewaspadaan meningkat, tidak
sadar, takut, gelisah, pelupa, cepat marah, kecewa,
menangis dan rasa tidak berdaya.
2.2.4. Tanda dan Gejala
Tingkat Kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
No
1

Pertanyaan
Perasaan Cemas

2
Ketegangan

3
Ketakutan
4
Gangguan tidur
5
Gangguan kecerdasan
6
Perasaan depresi
7

Gejala Somatik (otot otot)

Jawaban
Firasat Buruk
Takut Akan Pikiran Sendiri
Mudah tersinggung
Mudah emosi
Merasa tegang
Lesu
Mudah terkejut
Tidak dapat beristirahat dengan tenang
Mudah menangis
Gemetar
Gelisah
Pada gelap
Ditinggal sendiri
Pada orang asing
Pada kerumunan orang banyak
Sukar memulai tidur
Terbangun malam hari
Mimpi buruk
Mimpi yang menakutkan
Daya ingat buruk
Sulit berkonsentrasi
Sering bingung
Banyak pertimbangan
Kehilangan minat
Sedih
Berkurangnya kesukaan pada hobi
Perasaan berubah ubah
Nyeri otot
Kaku

8
Gejala sensorik
9
Gejala kardiovaskular
10
Gejala pernapasan
11
Gejala gastrointestinal
12

Gejala urogenitalia

13
Gejala otonom
14
Apakah anda merasakan

Kedutan otot
Gemertak
Suara tak stabil
Telinga berdengung
Penglihatan kabur
Muka merah dan pucat
Merasa lemah
Denyut nadi cepat
Berdebar debar
Nyeri dada
Rasa lemah seperti mau pingsan
Rasa tertekan di dada
Perasaan tercekik
Merasa napas pendek/ sesak
Sering menarik napas panjang
Sulit menelan
Mual muntah
Perut terasa penuh dan kembung
Nyeri lambung sebelum dan sesudah makan
Sering kencing
Tidak dapat menahan kencing
Mulut kering
Muka kering
Mudah berkeringat
Sakit kepala
Bulu roma berdiri
Gelisah
Tidak tenang
Mengerutkan dahi / muka tegang
Napas pendek dan cepat

Jumlah Skor

Penilaian derajat kecemasan :


Skor < 5
: Tidak ada kecemasan
Skor 6 14
: Kecemasan ringan
Skor 15 27 : Kecemasan sedang
Skor 28 36 : Kecemasan berat
Skor > 36
: Kecemasan berat sekali / panik

2.2.5. Mekanisme Koping


Menurut Farida Kusumawati (2012 : 60), ada dua sistem koping yang
digunakan pada seseorang yang mengalami kecemasan, yaitu :
1. Task Oriented Reaction : individu menilai secara objektif .
2. Ego Oriented Reaction : melindungi diri sendiri,
menggunakan secara realitas.

tidak

Sedangkan untuk mekanisme pertahanan ego bila digunakan terus


menerus akibatnya ego bukannya mendapat perlindungan, melainkan
lama kelamaan akan mendapat ancamaan/bencana. Oleh karena
mekanisme ini tidak realistic, mengandung banyak unsure penipuan diri
sendiri dan distorsi realitas (pemutarbalikan realitas) meliputi hal hal
berikut ini :
1. Kompensasi
Menonjolkan kelebihan untuk menutupi kekurangan
2. Penyangkalan (denial)
Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas
3. Pemindahan (displacement)
Pengalihan emosi yang ditujukan pada seseorang atau benda yang
netral/tidak mengancam dirinya.
4. Disosiasi
Pemisahan dari setiap proses mental atau perilaku dari kesadaran
atau identitas.
5. Identifikasi
Ingin menyamai seorang figure yang diidealkan, dimana salah satu
ciri atau segi tertentu dari figure itu ditransfer pada dirinya. Dengan
demikian ia merasa harga dirinya bertanbah tinggi.
6. Intelektualisasi
Alasan atau logika yang berlebihan.
7. Introjeksi
Bentuk sederhana dari identifikasi, dimana nilai nilai, norma
norma dari luar diikuti atau ditaati sehingga ego tidak lagi
terganggu oleh ancaman dari luar.
8. Proyeksi
Berlawanan dengan introjeksi, dimana menyalahkan orang lain atas
kelalaian dan kesalahan kesalahan atau kekurangan diri sendiri,
keinginan keinginan serta impuls impuls sendiri.
9. Rasionalisasi

Member keterangan bahwa sikap/tingkah lakunya menurut alas an


yang seolah olah rasional sehingga tidak menjatuhkan harga
dirinya.
10. Reaksi Formasi
Bertingkah laku berlebihan yang langsung bertentangan dengan
keinginan keinginan, perasaan yang sebenarnya.
11. Regresi
Kembali ke tingkat perkembangan terdahulu (tingkah laku yang
bersifat primitf)
12. Represi
Penyingkiran unsur psikis (sesuatu afek, pemikiran, motif, konflik)
sehingga menjadi hal yang dilupakan/ tidak dapat diingat lagi.
13. Sublimasi
Mengganti keinginan atau tujuan yang terhambat dengan cara yang
dapat diterima oleh masyarakat. Impuls yang berasal dari Id yang
sukar

disalurkan

oleh

karena

mengganggu

individu

atau

masyarakat.
Contoh : impuls agresif disalurkan ke olahraga, usaha usaha yang
bermanfaat.
14. Supresi
Menekan hal atau pikiran yang tidak menyenangkan, dapat
mengarah ke represi.
15. Undoing
Meniadakan pikiran pikiran, impuls yang tidak baik, seolah olah
menghapus sebuah kesalahan.
Contoh : seoramg ibu yang telah memukul anaknya akan segera
memperlakukan anaknya dengan penuh kasih sayang.
Untuk mekanisme koping terhadap kecemasan meliputi hal hal
sebagai berikut :

1. Menyerang
Pola konstruktif : berupa memecahkan masalah secara efektif
Pola destruktif : marah dan bermusuhan
2. Menarik Diri
Menjauhi sumber stress
3. Kompromi
Mengubah cara bekerja atau cara penyelesaian, menyesuaikan
tujuan atau mengorbankan salah satu kebutuhan pribadi.
2.2.6. Rentang Respon
2.2.6.1. Gambar Rentang Respon Kecemasan
Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Antisipasi
Ringan
Sedang
Berat
Panik
Sumber : Ade Herman Surya Direja, 2011 : 42
2.2.7. Pengkajian
1.
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (1998) terdapat beberapa teori yang
dapat menjelaskan anisetas, di antaranya sebagai berikut :
a. Faktor Biologis
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine yang
membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga
berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan
dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endorphin.
Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi
stressor.
b. Faktor Psikologi
a. Pandangan Psikoanalitik
Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara 2
elemen kepribadian id dan super ego. Id mewakili
dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan super
ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan

oleh norma norma budaya seseorang. Ego berfungsi


menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan
fungsi ansietas adalah meningkatkan ego bahwa ada
bahaya.
b. Pandangan Interpersonal
Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya
penerimaan
berhubungan

dan

penolakan

dengan

interpersonal.

perkembangan

Ansietas

trauma,

seperti

perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan


spesifik. Orang yang mengalami harga diri rendah terutama
mudah mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan Perilaku
Ansietas merupakan produk frustrasi, yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Individu yang terbiasa dengan
kehidupan dini dihadapkan pada ketakutan berlebihan lebih
sering menunjukkan ansietas dalam kehidupan selanjutnya.
c. Sosial Budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga.
Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara
gangguan ansietas dengan depresi.
2.
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi Faktor presipitasi dibedakan menjadi :
a. Ancaman
terhadap
integritas
seseorang

meliputi

ketidakmampuan fisiologis yang akan dating atau menurunnya


kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari hari.

b. Ancaman

terhadap

sistem

diri

seseorang

yang

dapat

membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang


terintegrasi dalam diri seseorang.
(Ah. Yusuf dan Fitryasari, 2015 : 86 87)
2.2.8. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan untuk pasien ini pasien ini dirumuskan menjadi :
1. Ansietas
2. Koping individu tidak efektif
2.3.8. Tindakan Keperawatan
Tujuan tindakan keperawatan untuk pasien ansietas :
1. Pasien mampu mengenal ansietas.
2. Pasien mampu mengatasi ansietas melalui teknik relaksasi.
3. Pasien mampu memeragakan dan menggunakan teknik relaksasi
untuk mengatasi ansietas.
Tindakan yang dilakukan pada pasien :
1. Bina hubungan saling percaya. Dalam membina hubungan saling
percaya,

perlu

dipertimbangkan

kenyamanan

pasien

dan

kenyamanan saat berinterkasi. Tindakan yang harus dilakukan


dalam membina hubungan saling percaya adalah :
a. Ucapkan salam terapeutik.
b. Berjabat tangan.
c. Jelaskan tujuan interaksi.
d. Buat kontrak, topik , waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien.
2. Bantu pasien mengenal ansietasnya :
a. Bantu
pasien
mengidentifikasi

dan

menguraikan

perasaannya.
b. Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan
ansietas.
c. Bantu pasien mengenal ansietas.
d. Bantu klien menyadari perilaku akibat ansietas.

3. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan


rasa percaya diri :
a. Pengalihan situasi
b. Latihan relaksasi :
1) Tarik napas dalam
2) Mengerutkan dan mengendurkan otot otot
c. Hipnotis teknik lima jari. Motivasi pasien untuk melakukan
teknik relaksasi setiap kali muncul pasien ansietas.
(Budi Anna Keliat, dkk, 2011 : 60 61)
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengenal masalah ansietas pada anggota
keluarganya.
b. Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah
ansietas.
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami
ansietas.
d. Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan
ansietas.
e. Keluarga mampu mampu merujuk anggota keluarga yang
mengalami ansietas.
2. Tindakan Keperawatan
a. Diskusikan maslah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
b. Diskusikan tentang proses terjadinya masalah ansietas.
c. Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari ansietas.
d. Dsikusikan cara merawat pasien dengan ansietas dengan cara
mengajarkan teknik relaksasi.
1) Mengalihkan situasi.
2) Latihan relaksasi dnegan napas dalam, mengerutkan dan
mengendurkan otot.
3) Menghipnotis diri sendiri (latihan lima jari).

e. Diskusikan dengan keluarga perilaku pasien yang perlu dirujuk


dan bagaimana merujuk pasien.
2.3.9. Evaluasi
1. Menyebutkan penyebab ansietas.
2. Menyebutkan situasi yang menyertai ansietas.
3. Menyebutkan perilaku terkait ansietas.
4. Melakukan teknik pengalihan situasi, yaitu tarik napas dalam,
mengerutkan dan mengendurkan otot dan teknik lima jari.
5. Keluarga menyebutkan pengertian ansietas.
6. Keluarga menyebutkan tanda dan gejala ansietas.
7. Keluarga mengajarkan ke pasien teknik pengalihan situasi, tarik
napas dalam, relaksasi otot dan teknik lima jari.
(Ah. Yusuf dan Fitryasari, 2015 : 89)

BAB III
METODE PENELITIAN

Bab

ini

membahas

pendekatan

yang

digunakan

dalam

menyelenggarakan studi kasus

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan
penelitian atau untuk menguji kesahihan hipotesis (Sastroatmojo & Ismail,
2008). Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah
deskripsi eksplorasi dengan studi kasus.
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah Asuhan
Keperawatan Pada Tn.Y.M.M dan Tn. N.B yang Mengalami HIV/AIDS
dengan Kecemasan Di Ruang Mutiara RSUD Mgr. Gabriel Manek, SVD
Atambua.

3.2. Batasan Ilmiah


3.2.1. Konsep HIV/AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency virus yang menyerang sel
darah putih di dalam tubuh ( limfosit ) yang mengakibatkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus
HIV dapat tampak sehat dan belum tentu membutuhkan pengobatan.

Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain


bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagai alat suntik
dengan orang lain.
AIDS atau Aquired Immune Deficiency Syndrome adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh. AIDS di sebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya
kekebalan tubuh pada seseorang
maka orang tersebut sangat mudah
86
terkena penyakit seperti TBC, Kandidiasis, berbagai radang pada kulit,
paru,

saluran

pencernaan,

otak

dan

kanker. Stadium AIDS

membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan


jumlah virus di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali. ( Komisi
Penanggulangan HIV/AIDS, 2014 ).

3.2.2. Konsep Kecemasan


Cemas (ansietas) adalah sebuah emosi dan pengalaman
subjektif dari seseorang. Pengertian lain cemas adalah suatu keadaan
yang membuat seseorang tidak nyaman dan terbagi dalam beberapa
tingkatan. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan
tidak berdaya. (Farida Kusumawati, 2012)

3.3. Partisipan
Pada jenis penelitian ini, pengamat (observer) benar benar
mengambil bagian dalam kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh sasaran

pengamatan (observee). Dengan kata lain, peneliti ikut aktif berpartisipasi


pada aktivitas dalam kontak sosial yang tengah diteliti. Dalam hal
intensitasnya partisipasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu : partisipasi
partial (sebagian), yang hanya mengambil bagian pada kegiatan kegiatan
tertentu saja dan partisipasi penuh , dengan ikut serta pada semua kegiatan
sosial yang ada (Notoatmodjo, 2005 : 95 96).
Dalam penelitian ini, ada dua metode penelitian yang peneliti gunakan,
yaitu metode penelitian partisipasi penuh, di mana peneliti ikut serta pada
semua kegiatan yang dilakukan oleh sasaran penelitian dan partisipasi partial
(sebagian) yang artinya hanya mengambil bagian pada kegiatan kegiatan
tertentu saja, di mana tingkah laku tingkah laku yang akan diamati timbul.

3.4. Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di ruang Mutiara RSUD Mgr. Gabriel
Manek,SVD Atambua dengan lama waktunya 3 (tiga) hari pada setiap klien.
Untuk klien, penelitian dilakukan dari tanggal 24 Februari 26 Februari
2016. Sedangkan untuk klien 2, penelitian dilakukan dari tanggal 03 Maret
05 Maret 2016.

3.5. Pengumpulan Data


Pada bab ini dijelaskan terkait metode pengumpulan data yang di gunakan :

1. Wawancara ( hasil, anamnesis berisi tentang identitas pasien, keluhan


utama, riwayat penyakit sekarang dahulu keluarga dll ). (sumber data
dari klien, keluarga, perawat lainnya ).
2. Observasi dan pemeriksaan fisik (dengan pendekatan IPPA : Inspeksi,
Palpasi, Perkusi, Auskultasi ) pada sistem tubuh klien.
3. Studi dokumentasi dan angket ( hasil pemeriksaan diagnostik dan data
lain yang relevan ).

3.6. Uji Keabsahan Data


Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data/
informasi yang diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data
dengan validitas tinggi. Disamping integritas peneliti (karena peneliti
menjadi instrumen utama ), uji keabsahan data dilakukan

dengan : 1)

Memperpanjang waktu pengamatan / tindakan, dan 2) Sumber informasi


tambahan menggunakan triangulasi dari tiga sumber data utama yaitu pasien,
perawat dan keluarga klien yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

3.7. Analisis Data


Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu
pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data
dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan
dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.
Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban jawaban

dari penelitian yang diperoleh dari hasil interprestasi wawancara mendalam


yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik analisis
digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang
menghasilkan data untuk selanjutnya diinterpretasikan oleh peneliti
dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk memberikan rekomendasi
dalam intervensi tersebut. Urutan dalam analisis adalah :
1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil WOD ( Wawancara, Obsevasi, Dokumen ).
Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam
bentuk transkrip (catatan terstruktur ).
2. Mereduksi data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data
subyektif dan obyektif. Dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan
diagnostik kemudian dibandingkan nilai normal.
3. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun
teks naratif. Kerahasiaan dari respoden dijamin dengan jalan
mengaburkan identitas dari klien.
4. Kesimpulan
Dari data disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan
hasil hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku
kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi.

Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis,


perencanaan, tindakan, dan evaluasi.

3.8. Etik Penelitian


Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam
pelaksanaan sebuah penelitian mengingat penelitian keperawatan akan
berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus
diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan
penelitian.
Setelah mendapat persetujuan barulah dilaksanakan penelitian dengan
memperhatikan etika etika dalam melakukan penelitian yaitu:
1. Informed consent (persetujuan menjadi klien )
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan, dengan
memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed consent
tersebut diberikan sebelum penelitian dilaksanakan agar partisipan
mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika
partisipan bersedia maka mereka harus menandatangani lembar
persetujuan.
2. Anonimity ( tanpa nama )
Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dengan cara tidak
memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil
penelitian yang disajikan.

3. Confidentiality ( kerahasiaan )
Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin kerahasiaan dari
hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua
partisipan yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti,
hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai