Anda di halaman 1dari 12

Drug Eruption dengan Efek Samping Steven Johnson Syndrome

Daniel Hosea
102011358 / D5
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Danielhosea7@yahoo.com

Pendahuluan
Kulit merupakan bagian tubuh yang rentan karena setiap saat terpapar dengan
lingkungan luar. Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui penyakit-penyakit yang bisa
mengenai kulit manusia, penyakit itu bisa terjadi lewat gigitan binatang, alergi terhadap suatu
obat ataupun komplikasi dari suatu penyakit yang lain. Obat adalah senyawa atau produk
yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan
tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis, terapi, maupun
profilaksis. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang
disebut reaksi simpang obat. Rekasi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain
paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi tersering.1
Efek samping obat (ESO) adalah reaksi yang bersifat merugikan pemakai obat atau
reaksi yang tidak diinginkan, yang timbul pada saat penggunaan obat dengan dosis yang bisa
digunakan untuk diagnosis, terapi maupun profilaksis. Setiap obat dapat menyebabkan efek
samping, mungkin hanya berbeda dalam kualitas dan kuantitas kejadiannya. Reaksi ESO
adalah reaksi yang tidak dapat dicegah tapi dapat diusahakan agar reaksi yang timbul
seminimal mungkin. ESO dapat bermanifestasi pada organ-organ dalam, kulit maupun
mukosa. ESO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa disebut erupsi obat (drug eruption).
Pada makalah ini akan dibahas tentang efek samping obat sulfa sehingga menimbulkan
steven johnson syndrome.

Pembahasan
A. Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu langkah yang sngat penting untuk mengetahui apakah
penyakit dari pasien karena anamnesis merupakan tiang pertama untuk menegakkan
diagnosis. Dari anamnesis perlu digali secara mendalam sehingga dokter bisa
menegakkan diagnosis dengan tepat. Pertama yang perlu ditanyakan ialah keluhan utama
dari pasien sehingga menyebabkan pasien datang kedokter untuk berobat. Pada skenario
ini keluhan utama dari pasein ialah laki-laki datang dengan keluhan lepuh pada kedua
lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah makan obat sulfa. Setelah mengetahui
keluhan utama pasien, dokter juga perlu mengetahui tentang riwayat penyakit
sekarangnya secara mendalam, begitu juga dengan riwayat penyakit dahulu dari pasien
apakah dulu pasien pernah mengalami sakit yang serupa, termasuk dari riwayat
pemakain obat yang bisa menimbulkan alergi.
Anamnesis mengenai riwayat penyakit keluarga juga penting karena ada beberapa
penyakit yang disebabkan oleh keturunan. Lingkungan hidup dan sosial ekonomi pasien
juga harus diketahui oleh dokter sehingga dapat menunjang diagnosis seoranhg dokter
karena lingkungan yang tidak bersih bisa mencetuskan timbulnya penyakit. Sosial
ekonomi termasuk gaya hidup juga perlu ditanyakan terhadap pasien misalnya apakah
pasien merokok atau tidak, pasien minum minuman alkohol ataupun tidak. Setelah
mendapatkan banyak data dari anamnesis maka sebagian penyakit sudah bisa ditegakkan
diagnosisnya cukup dari diagnosis saja, namun ada juga yang perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat memastikan dengan pasti
penyakit dari pasien.
Pada skenario ini dari anamnesis pasien mengalami alergi obat sulfa sehingga
membuat kulit pasien melepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan juga pada
kedua paha. Obat sulfa bisa menimbulkan beberapa efek samping apalagi pada orang
yang alergi sehingga perlu diketahui dengan baik apakah efek samping tersebut.
B. Pemeriksaan Fisik
Untuk mengetahui bagaimana caranya mendeteksi seseorang alergi terhadap obat
ialah dengan pemeriksaan fisik. Pasien alergi obat biasanya lebih gampang mendteksi
alergi terhadap obat dengan pemeriksaan fisik. Biasanya ada riwayat dari pengunaan
obat-obatan yang mudah menyebabkan alergi terhadap antibiotika golongan penisilin,
seperti amoksisilin, ampisilin dan kotrimoksazole.

Pemeriksaan untuk menunjang diagnosis alergi obat dapat dilakukan berupa


pemeriksaan penunjang seperti skin test. Pada test ini obat diberikan dalam jumlah
sedikit dan aman pada pasien untuk menilai adanya reaksi alergi atau tidak yang
dinamakan dengan tes provokasi. Namun sekarang ini lebih sering dilakukan
pengeliminasian obat karena pada tes provokasi dapat memicu timbunya kembali reaksi
alergi pada paisen. Sedangkan pada pengeliminasian obat yaitu dengan cara
mengeliminasi satu persatu obat yang mungkin sedang dikonsumsi oleh pasien. Cara ini
lebih aman dibandingkan dengan tes provokasi.
Alergi obat sebaiknya jangan disepelekan, meski kerap dianggap sebagai gangguan
yang enteng, kelainan alergi juga bisa mengakibatkan efek yang berat seperti Steven
Johnson Syndrome (SJS). Penyakit SJS ini merupakan bentuk parah dari alergi dan
termasuk penyakit kulit yang darurat, yang salah satunya dapat disebabkan oleh obat.
Kulit pasien menjadi melepuh seperti terbakar dan dapat pula mengenai mukosa tubuh,
seperti pada bibir, kemaluan dan saluran nafas. Penyakit ini dapat berakhir dengan
kematian.
Istilah alergi obat memang tidak sefamiliar alergi lainnya karena minimnya
pengetahuan terhadap kasus alergi obat,terlebih jika mengakibatkan efek berat semisal
SJS kerap menjadi bahan aduan malpraktik pada sang dokter. Padahal tidak ada seorang
pun dokter yang bisa benar-benar mengetahui apakah pasien mempunyai alergi obat
tertentu ataupun tidak. Selain itu kurangnnya komunikasi yang baik antara dokter dengan
pasiennya juga bisa menjadi salah satu penyebabnya. Dokter sebelum memberikan obat
perlu menggali informasi dari pasien tentang riwayat alergi baik terhadap obat maupun
terhadap bahan lain. Apabila ditemukan adanya riwayat alergi, dokter harus lebih berhatihati dalam memberikan obat pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium pada kasus ini tidak terdapat pemeriksaan yang
khas. Bila tedapat leukositosis, ini menunjukan kemungkinan penyebabnya adalah
infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu dilakukan kultur darah untuk
menentukan jenis kumannya. Bila ditemukan eosinofilia, kemungkinan penyebabnya
dalah aleergi obat. Disamping itu, juga ditemukan adanya peningkatan enzim
transaminase serum, albuminuria dan gangguan elektrolit serta adanya gambaran
gangguan fungsi organ tubuh yang terkena.

C. Diagnosis
Dari anamnesis dan juga pada pemeriksaan fisik diagnosis kerja yang akan dipilih
adalah sindrom steven johnson. Sedangkan diagnosis banding yang dipilih adalah
exantema fikstum multipel dan juga nekrotik epidermal toksik. Pada penyakit exantema
fikstum multipel memilik persamaan dengan steven johnson syndrome yaitu adanya
kelainan dengan ditemukannya eritem, vesikel maupun bula. Sedangkan perbedaannya
ialah pada exantema fisktum selalu timbul ditempat yang sama dan tidak mengenai
seluruh tubuh. Dan bila menyembuh, akan meninggalkan hiperpigmentasi yang menetap.
Kemudian perbedaan secara umum yang dapat digunakan untuk membedakan
steven Johnson syndrome dengan nekrosis epidermal toksik adalah diantaranya SJS
terjadi pada pasien anak sampai dengan yang dewasa sedangkan pada NET umumnya
pada orang dewasa. Kemudian keadaan umum pasien SSJ biasanya mulain dari ringan
sampai berat namun pada NET keadaan umunya cenderung berat. Pada SSJ juga
kesadaran pasien kompos mentis dan pada NET kesadaran pasien menurun. Pada tes
nikolsky positif pada NET sedangkan negatif pada SJS. Prognosis lebih baik pada SSJ
sedangkan pada NET biasanya buruk karena NET merupakan bentuk penyakit yang lebih
buruk daripada SSJ.
Steven Johnson Syndrome merupakan sindrom (kumpulan gejala) yang mengenai
kulit, selaput lendir di orifisium (muara/lubang) dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun kelainan dapat berupa eritema (kemerahan
pada kulit karena pelebaran pembuluh darah), vesikel/bula (gelembung pada kulit yang
berisi cairan) dan dapat disertai dengan purpura (bercak-bercak perdarahan pada
kulit/selaput lendir).
SJS

memiliki

bentuk

eritema

multiforme

fatal

(kemerahan

yang

banyak/menyeluruh) yang timbul dengan prodormal (gejala awal) seperti flu, ditandai
dengan adanya lesi sistemik (kerusakan sistemik) dan mukokutan yang berat. Temuan
hisopatologis yang khas untuk SJS ini adalah sel inflamasi dermal yang infiltrat dan
nekrosis yang tebal pada pada epidermis
Pemeriksaan histopatologi kulit juga dapat ditemukan hal-hal berikut infiltra sel
mononuclear disekitar pembuluh darah dermis superfisisal, edema dan ekstra vasasi sel

darah merah di dermis popular, degenarasi hidropik lapisan basialis smapai terbentuk
vesikel subepidermal, nekrosis sel epiddermal dan kadang-kadang ditemukan di adneksa,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis dan apoptosis keratinosit dan juga CD4 +
limfosit T yang mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi di
epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar terdapat infiltrat
oleh CD8 + T limfosit.2
D. Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Tapi banyak faktor
etiologi yang dikaitkan dengan SJS ini, yang merupakan etiologi utamanya ialah alergi
obat yang diberikan secara sistemik. Hal lain yang juga bisa menyebabkan SJS ini yaitu
infeksi maupun keganasan. Faktor genetik juga diduga bisa menyebabkan SJS. Yang
paling sering terjadi adalah akibat alergi obat dan juga keganasan pada orang dewasa.
Pada pediatri lebih sering oleh akibat infeksi.
Penyakit akibat virus yang dilaporkan bisa mnyebabkan SJS antara lain
HSV(masih diperdebatkan), AIDS, coxsackie viral infections, influenza, hepatitis dan
mumps. Pada anak-anak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah teridentifikasi. Lebih
dari setengah pasien yang menderita SJS dilaporkan mengalami infeksi traktus
respiratorius.
Obat antibiotik merupakan penyebab utama dari SJS, kemudian diikuti oleh obat
analgetik, batuk dan juga antipiretik, NSAID,dll. Obat tersering yang dilaporkan
menyebabkan SJS adalah antiboitik, penicilin dan juga sulfa, begitu juga dengan
ciprofloxsasin. Antikonvulsan yang juga terlibat bisa menyebabkan SJS adalah pheniton,
carbamazepin, oxcabarzepine,dl. SJS juga dilaporkn pada pasien yang mengkonsumsi
obat antiretroviral yaitu alopurinol, sertralin, tramadol, dll. 3
Pada kasus terjadi SJS akibat dari pemberian obat sulfa. Obat sulfa merupaka obat
dengan spektrum luas banyak digunakan terhadap banyak penyakit oleh baik kuman
gram-positif dan gram-negatif. Efek samping yang terpenting ialah kerusakan parah pada
sel-sel darah yang berupa agranulositosis dan anemia hemolitis, efek samping lainnya
ialah Steven Johnson Syndrome meskipun agak jarang terjadi.4

E. Epidemiologi
Steven Johnson Syndrome biasa disebut juga sebagai penyakit eritema multiforme
mayor. Insidensi penyakit ini sebenarnya sangat jarang, tercatat hanya sekitar 2-3% per
juta populasi di Negara Eropa dan Amerika. Lebih sering diderita oleh manusia di usia
dewasa dibandingkan anak-anak. Kasus SJS ini cenderung terjadi pada awal musim semi
dan dingin. Di amerika serikat dan negara-negara barat lainnya obat oxciman, NSAID
dan sulfonamid palng sering terlibat dengan terjadinya kasus SJS. Dalam sebuah studi
dari jerman dilaporkan bahwa hanya 1,1 kasus terjadi per 1 juta orang per tahun. Berbeda
dengan obat yang paling sering terlibat dalam negara-negara Barat, allopurinol
merupakan obat yang paling umum yang menjadi agen penyebab terjadinya SJS di
negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong.
Sindrom Stevens-Johnson telah ditemukan di seluruh dunia dalam semua ras,
meskipun mungkin lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Menariknya, penyakit ini
tidak terbatas pada manusia, kasus telah dilaporkan pada anjing, kucing, dan monyet.
Prevalensi terjadinya SJS pada perempuan diperkirakan sekitar 33-62%. Pada penelitian
tahap besar, rata-rata usia pasien yang menderita sindrom Stevens-Johnson adalah 25
tahun. Dalam penelitian yang lebih kecil, rata-rata usia pasien yang menderita sindrom
Stevens-Johnson dilaporkan sebagai 47 tahun. Namun, juga dilaporkan ada kasus yang
terjadi pada anak berumur 3 bulan.

F. Patofisiologi
Patogenesis penyakit ini belum diketahui secara jelas. Diduga terjadinya kelainan
ini diperankan oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikro-presipitasi sehingga
aktivasi sistem komplemen. Akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan
lizozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi
akibat sel limfosit T yang telah tersensitisasi terkontak ulang dengan antigen yang sama,
lalu sel T tersebut melespaskan limfokin dan menimbulkan reaksi radang.

Reaksi hipersensitivitas yang lambat juga diduga terlibat dalam patofisiologi


terjadinya SJS. Kelompok populasi tertentu lebih rentan untuk menderita sindrom
Stevens-Johnson daripada populasi umum. Pasien yang immunocompromised (terutama
mereka yang terinfeksi HIV, asetilator lambat dan pasien dengan tumor otak yang
menjalani radioterapi dengan antiepileptics secara bersamaan memiliki resiko yang
sangat tinggi.
Asetilator lambat adalah orang yang pada organ hatinya tidak bisa sepernuhnya
mendetoksifikasi metabolit obat reaktif. Sebagai contoh, pasien dengan sulfonamideinduced TEN telah terbukti memiliki genotipe asetilator lambat yang menghasilkan
peningkatan produksi hidroksilamin sulfonamide melalui jalur P-450
Pada tahun 1997, Inachi et al mendemonstrasikan tentang perforin-dimediasi
apoptosis pada pasien dengan sindrom Stevens-Johnson. Perforin, granula monomer
pori- dilepaskan dari sel-sel pembunuh alami dan limfosit T sitotoksik, membunuh sel
target dengan membentuk polimer dan struktur tubular yang tidak mirip seperti kompleks
attack membran dari sistem komplemen.
Apoptosis keratinosit juga dapat terjadi sebagai akibat dari ligasi reseptor kematian
permukaan mereka dengan molekul yang tepat. dapat memicu aktivasi sistem caspase,
yang menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel. Apoptosis keratinosit dapat
dimediasi melalui interaksi langsung antara sel-reseptor kematian Fas dan ligan.
Keduanya dapat timbul pada permukaan keratinosit atau, sel T yang diaktivasi dapat
melepaskan ligan Fas yang mudah larut dan interferon-gamma, yang menginduksi
ekspresi Fas oleh keratinosit. Para peneliti telah menemukan peningkatan kadar ligan Fas
larut dalam sera pasien dengan SJS / TEN sebelum detasemen kulit atau timbulnya lesi
mukosa.
Kematian keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis dari dermis. Setelah
apoptosis terjadi kemudian, sel-sel mati menyebabkan perekrutan kemokin yang lebih
banyak. Hal ini dapat memperpanjang proses inflamasi, yang mengarah ke nekrolisis
epidermal yang luas. Dosis yang tinggi dan pemberian secara cepat allopurinol dan
lamotrigin juga dapat meningkatkan risiko mengembangkan SJS / TEN. Risiko
berkurang jika kita memulai ini pada dosis rendah dan titrasi secara bertahap. Diduga
bahwa systemic lupus merupakan faktor risiko juga terjadinya SJS.

G. Gejala Klinis
Kelainan ini dapat diderita oleh anak-anak dan orang dewasa. Namun sindrom ini
jarang diderita oleh anak dibawah 3 tahun. Keadaan umum bervariasi mulai dari yang
ringan hingga yang berat. Kesadaran juga bervariasi mulai dari yang compos mentis
sampai koma. Timbulnya penyakit ini akut dengan gejala prodormal berupa demam
tinggi, malaise dan nyeri.5

Gambar 1. Steven Johnson Syndrome.

Pada sindrom ini terdapat trias kelainan, yaitu kelainan kulit, berupa eritem, papel,
vesikel dan bula. Vesikel dan bula ini kemudian pecah sehingga menimbulkan erosi,
erosi ini dapat setempat dan meluas. Selain itu juga dapat ditemukan purpura, biasanya
prognosis penyakit menjadi buruk. Pada kasus berat ditemukan secara generalisata.
Selanjutnya kelainan selaput lendir di orifisium. Kelainan selaput lendir yang paling
sering yaitu sebesar 100 % ditemukan di mukosa mulut. Kemudian disusul oleh kelainan
di orifisium genital eksterna yaitu sbesar 50%. Sedangkan pada lubang hidung dan anus
sebnayak 8% dan 4 %. 5
Lesi awal berupa vesikel di mukosa bibir, lidah dan bukal yang kemudian pecah
dan menjadi erosi, eksoriasi, eksudasi, ulserasi dan membentuk pseudomembran, krusta
hemoragik yang berwarna kehitaman yang tebal serta timbul hipersaliva. Akibat kelainan
ini, pasien mengalami kesulitan menelan. Kelainan ini juga mengenai laring dan saluran
pernafasan bagian atas dengan gejala gangguan pernafasan serta esofagus. Kelainan pada
hidung berupa rhinitis disertai dengan epistaksis dan pembentukan krusta. Kelainan anus
jarang ditemukan.

Gambar 2. Konjuntivitis Kataralis.

Kemudian kelainan pada selaput mata dan mata, 80 % kasus SJS ditemukan
kelainan selaput lendir mata. Kelainan ini paling sering ditemukan adalah konjunctivitis
kataralis. Disamping itu juga dapat terjadi konjungtivitas pururlen. Kelainan dapat
mengenai kornea yang menimbulkan erosi, perforasi, ulkus, kekeruhan dan
mengakibatkan terjadinya kebutaan. Selain itu dapat juga menimbulkan irirtis, uveitis,
kekeruhan dan disertai dengan iridosiklitis dan udem palpebra.5
Disamping kelainan-kelainan diatas , juga ditemukan kelainan pada kuku berupa
onikulosis, kelainan organ tubuh lain seperti saluran pencernaan, ginjal berupa nefritis
dan hati.
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari SJS ini adalah bronkopneumonia
yang dapat mengakibatkan kematian dan ditemukan sebanyak 16 %. Komlplikasi lain
yang dapat timbul adalah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan
elektrolit, sepsis, syok, simblefaron, ektropion, kekeruhan kornea dan kebutaan.
H. Prognosis
Lesi individu biasanya akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu, kecuali terjadi
infeksi sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Kematian ditentukan
terutama oleh tingkat peluruhan kulit. Ketika luas permukaan tubuh (BSA) yang melepuh
kurang dari 10%, tingkat kematian adalah sekitar 1-5%. Namun, ketika lebih dari 30%
BSA , angka kematian adalah antara 25% dan 35%, dan mungkin setinggi 50%.
Bakteremia dan sepsis tampaknya memainkan peran utama dalam peningkatan
mortalitas.
Bila pengobatan dilakukan cepat dan tepat, biasanya prognosis cukup memuaskan .
prognosis buruk bila keadaan umum pasien buruk dan terdapat purpura dan
bronkopneumonia.
I. Penatalaksanaan
Manajemen pasien dengan sindrom Stevens-Johnson biasanya diberikan dalam unit
perawatan intensif atau unit untuk pasien luka bakar. Tidak ada pengobatan spesifik
sindrom Stevens-Johnson, karena itu kebanyakan pasien diobati sesuai gejala. Pada

prinsipnya, pengobatan gejala pasien dengan sindrom Stevens-Johnson tidak berbeda


dari pengobatan pasien dengan luka bakar yang luas.
Paramedis harus menyadari bahwa pasien SJS mengalami kehilangan cairan parah
dan harus diperlakukan seperti halnya pasien dengan luka bakar termal. Kebanyakan
pasien datang dengan tanda-tanda awal yang jelas yaitu kompromi hemodinamik. Satu
peran paling penting bagi dokter dari departemen emergensi adalah untuk mendeteksi
dini sindrom Stevens-Johnson / TEN dan memulai pengobatan dan penanganan yang
tepat dan memanajemen rawat inap.
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, luka / perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri. Perawatan di
UGD harus diarahkan untuk penggantian cairan tubuh yang hilang dan koreksi elektrolit.
Pengobatan terutama suportif dan simptomatik. Beberapa telah menganjurkan
kortikosteroid, siklofosfamid, plasmapheresis, hemodialisis, dan imunoglobulin.
Anestesi topikal berguna dalam mengurangi rasa sakit dan memungkinkan pasien
untuk menerima cairan. Lesi kulit diperlakukan sebagai luka bakar. Area kulit yang
hilang harus ditutupi dengan kompres salin atau larutan Burow.
Sedangkan untuk pengobatan medika mentosa pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian kotikosteroid, pemberian pengobatan dengan kortikosteroid merupakan
tindakan life saving. Jenias KS yang biasa digunakan ialah dexametason dengan dosis
20-30 mg/hari secara intravena. Dosis ini diberikan sampai tidak muncul lesi baru.
Penurunan dosis dilakukan secara cepat yaitu 5 mg/hari. Setelah dosis mencapai 5
mg/hari, maka pengobatan dilanjutkan dengan pemberian prednisolone 20 mg/hari secara
oral. Setelah itu dosis prednisolon diturunkan secara bertahap lalu dihentikan.5
Kemudian juga bisa dengan pemebrian antibiotika, tujuan pemberian antibiotika
ialah mencegah terjadinya infeksi sekunder seperti bronkopneumonia. Ini dapat terjadi
karena imunitas pasien yang menurun akibat pemberian kortikosteroid dosis tinggi.
Antibiotika yang digunakan ialah antibiotika yang jarng menimbulkan alergi,
berspektrum luas dan bakterisisdal, sperti gentamisin 2 x60 mg/hari, secara i.m atau i.v.
sefotaxim 3 x 1 gr/hari secara i.v, dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Pemberian AB
dihentikan bila dosis dexametason telah mencapai 5 mg/hari dan tidak terdapat tandatanda infeksi.5
Infus dengan cairan dextrosa 5%, NaCl 0,9 % dan ringer laktat dengan
perbandingan 1:1. Tujuan pemberian infus adalah mengatur dan mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan juga pemberian nutrisi dan obat. Selanjutnya
ialah pengobatan topikal. Pasien dimandikan dengan larutan permanganas kalikus 1 :
10.000. lesi pada bibir dioleskan dengan kanalog in orabase.

Konsultasi ke disiplin ilmu lain seperti THT, mata, penyakit dlam, gigi mulut, dll.
Bisa juga dengan memberikan KCL 3 x 500 mg/hari secara oral guna mencegah
terjadinya hipokalemia. Perlu juga dilakukan diet tinggi protein dan rendah garam dan
bila perlu dilakukan transfusi darah.
Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan gejala-gejala serta pemeriksaan fisik dari pasien yang
datang dengan keluhan lepuh pada beberapa bagian badannya maka diagnosis yang dipilih
pada keadaan pasien ini adalah terjadinya erupsi obat sulfa yang menyebabkan Steven
Johnson Syndrome

Daftar Pustaka
1. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2002.h.19-28.

2. Vera LS, Gueudry J, Delcampe A, et al. In vivo confocal microscopic evaluation of


corneal changes in chronic Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis. Cornea. May 2009;28(4):401-7.

3.

Hllgren J, Tengvall-Linder M, Persson M, Wahlgren CF. Stevens-Johnson syndrome


associated with ciprofloxacin: a review of adverse cutaneous events reported in Sweden
as associated with this drug. J Am Acad Dermatol. Nov 2003;49(5 Suppl):S267-9.

4.

Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga; 2005.h.81

5. Djuanda A (editor), et al. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI,
2013.h.163-5

Anda mungkin juga menyukai