Anda di halaman 1dari 15

REVISI II

09998088455 (Fajrin)

Perawatan Paliatif Psikofarmakologi dan Paliatif Psikorohani Sebagai


Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pada Korban Bencana Alam
yang Mengalami Post Traumatic Stress Disorder
Laporan Kasus
Kepeminatan Perawatan Paliatif
Kelompok III

Oleh :
Akhmad Fajrin Priadinata
1102008270

Tutor :

dr. Nunung Ainur Rahmah Sp.PA

Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI
2011

Abstrak
Latar Belakang :. Bencana alam dapat mengakibatkan terjadinya sebuah tekanan mental yang
dalam dan mengakibatkan seseorang terjatuh dalam sebuah masalah psikis yang berat seperti
depresi berat, kecemasan berlebih dan gangguan psikis lainnya. Salah satunya gangguan mental
yang paling sering ditemukan pada korban pasca bencana gempa yakni Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder)
Presentasi kasus : Gempa bumi besar Hanshin-Awaji adalah gempa bumi yang terjadi di
Jepang pada tanggal 17 Januari 1995 pukul 5:46:42 pagi, Gempa bumi berkekuatan sampai 7,2
pada skala Richter di daerah Hanshin dan pulau Awaji. Gempa bumi memakan korban jiwa
sebanyak 6.433 orang yang sebagian besar merupakan penduduk kota Kobe (Tanida,1996).
Diskusi dan Simpulan : Perawatan paliatif sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup
bagi korban bencana alam. Perawatan paliatif yang bersifat holistik sangat membantu dalam
meningkatkan kualitas hidup. Diantara perawatan paliatif yang dianjurkan yakni perawatan
paliatif psikofarmakologi yang menunjang perbaikan mental, fisik, dan psikis dan
memaksimalkan kemampuan jasmani yang tersisa dan juga sebagai perawatan mental terhadap
keluarga dan lingkungan, selain itu dikenal juga perawatan paliatif psikorohani dalam
menciptakan ketenangan rohani dalam ruang lingkup meningkatkan hubungan pasien dengan
Allah SWT dan ketabahan dalam menghadapi ujian dari Allah.
Keyword : Paliatif, Psikofarmakologi, Psikorohani, PTSD
Latar Belakang
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang kesehatan,
psikis, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu aktivitas
sosial, dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat
tinggal dan kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya
hutan yang melindungi daratan. Salah satu bencana alam yang paling menimbulkan dampak
paling besar, misalnya gempa bumi, selama 5 abad terakhir, telah menyebabkan lebih dari 5 juta
orang tewas, 20 kali lebih banyak daripada korban gunung meletus. Dalam hitungan detik dan
menit, jumlah besar luka-luka yang sebagian besar tidak menyebabkan kematian, membutuhkan
pertolongan medis segera dari fasilitas kesehatan yang seringkali tidak siap, rusak, runtuh karena
gempa. Bencana seperti gempa bumi yang mengakibatkan tanah longsorpun dapat memakan
korban yang signifikan pada komunitas manusia karena mencakup suatu wilayah tanpa ada
peringatan terlebih dahulu dan dapat dipicu oleh bencana alam lain terutama gempa bumi,
letusan gunung berapi, hujan lebat atau topan (Tanida,1996).
Bencana alam juga dapat mengakibatkan terjadinya sebuah tekanan mental yang dalam
dan mengakibatkan seseorang terjatuh dalam sebuah masalah psikis yang berat seperti depresi
2

berat, kecemasan berlebih dan gangguan psikis lainnya. Salah satunya gangguan mental yang
paling sering ditemukan pada korban pasca bencana gempa yakni Gangguan Stres Pasca
Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) (Routhbaum,1998).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan
berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam
keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana
alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Jonathan dan Boa, 2007).
Gangguan stress pascatrauma mempengaruhi setidaknya 8% orang kadangkala sepanjang
hidup mereka, termasuk masa kanak-kanak,salah satunya mengalami peristiwa traumatik akibat
bencana alam yang hebat seperti gempa bumi (Routhbaum,1998).)
Pada korban bencana alam perlu dilakukan perawatan paliatif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup mereka, karena pada korban pasca bencana alam seperti gempa
bumi yang hebat mereka mengalami penurunan kualitas hidup hal ini ditandai dengan kehilangan
semangat, depresi berat dan trauma. Pada saat terjadinya penurunan kualitas hidup seperti
depresi, biasanya seorang psikiatri melakukan pengobatan dengan cara memberikan obat-obatan
kepada korban bencana alam dengan berasumsi memperbaiki abnormalitas neurotransmiter dan
mencegah melakukan hal yang merugikan dan mencegah korban untuk melakukan yang dapat
merugikan dirinya sendiri. Psikiatri melakukan penangan psikofarmakologi bertujuan mencegah
pasien untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya bukan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Oleh karena itu maka saat ini dibutuhkan sebuah penanganan khusus dan
menyeluruh pada pasien korban bencana alam gempa tersebut,salah satunya dengan perawatan
paliatif. Selain itu perawatan paliatif psikorohani bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dengan cara meningkatkan nilai-nilai kerohanian yang dimiliki oleh penderita.
Pendekatan Rohani dan spiritual sangat berperan dalam membangun mental dan kejiwaan korban
paska gempa (B.G Charlton,1998).
Perawatan paliatif psikofarmakologi dan paliatif psikorohani ternyata efektif membantu
meningkatkan kualitas hidup korban bencana alam yang mengalami PTSD.

Persentasi Kasus
Gempa bumi besar Hanshin-Awaji adalah gempa bumi yang terjadi di Jepang pada
tanggal 17 Januari 1995 pukul 5:46:42 pagi dengan episentrum di sebelah utara Pulau Awaji
yang terletak di bagian selatan Prefektur Hyogo. Gempa bumi disebabkan oleh tiga buah
lempeng: lempeng Filipina, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia yang saling bertabrakan.
Gempa bumi yang berlangsung selama 20 detik ini mengakibatkan kerusakan besar kota Kobe
yang terletak sekitar 20 km dari pusat gempa. (City Kobe,2009)
Gempa bumi berkekuatan sampai 7,2
pada skala Richter di beberapa tempat di
daerah
Hanshin
dan
pulau Awaji
(City Kobe, 2009).
Gempa
bumi
mengakibatkan
infrastruktur yang disebut "lifeline", seperti
jalan, jalur kereta ap listrik, air minum, gas,
dan telekomunikasi menjadi lumpuh total
(City Kobe, 2009).
Kebakaran besar menyusul gempa
bumi ditambah terjadinya badai api hampir
memusnahkan semua bangunan rumah
tinggal di distrik Shin-Nagata kota Kobe.
(City Kobe, 2009).
Gempa bumi memakan korban jiwa
sebanyak 6.433 orang yang sebagian besar
merupakan penduduk kota Kobe. Gempa
bumi besar Hanshin-Awaji merupakan
gempa bumi terburuk di Jepang sejak
Gempa bumi besar Kanto 1923 yang
menelan korban jiwa 140.000 orang
(Yoneatsu dan Masumi,2001).
4

Gempa
Hanshin/Gempa
Kobe
menimbulkan keadaan depresi yang
mendalam bagi korban bencana alam yang
cidera berat, korban terbakar, kehilangan
keluarga, timbulnya wabah penyakit dan
sebagainya (Yoneatsu dan Masumi,2001).

Peran dari seorang psikiater juga


sangat dibutuhkan untuk mengobati
permasalahan mental mereka, selain itu
perawatan paliatifpun sangat dibutuhkan
bagi mereka untuk meningkatkan kualitas
hidup mereka melalui penanganan paliatif
psikofarmakologi dan paliatif psikorohani.
Diskusi

Stress pasca traumatik (PTSD) adalah sebuah sindrom yang berkembang setelah
seseorang melihat, terlibat/mengalami atau mendengar suatu stressor traumatik yang sangat
hebat. Orang tersebut akan bereaksi terhadap pengalaman ini, bisa berupa ketakutan dan
perasaan tidak berdaya, yang secara persisten dihindarinya dan mencoba menghindar dari
mengingat kejadian tersebut (Kartono,2002).
Gangguan stress pasca trauma (PTSD) dapat pula ditandai dengan suasana perasaan
murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan
yang menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat
dapat menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial (Kartono,2002).
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pasca trauma sebesar 8%
sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma
sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%.(Norish,2002). Wanita memiliki risiko yang lebih
tinggi (10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita
memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat (Sendro etal,2005).
5

Beberapa faktor yang dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) Jenis
kejadian traumatik, (2) dukungan keluarga yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat
addiktif lainnya (4) Jenis Kelamin. Seseorang yang memiliki faktor-faktor tersebut lebih berisiko
untuk mengalami gangguan stress pasca trauma dengan gejala utamanya berupa depresi (Kaplan
dan Saddock, 1998).
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pasca trauma adalah kembalinya
pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran terutama
terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan tumpulnya
emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala lengkapnya baru
timbul setelah beberapa waktu. Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa dipermalukan kadangkadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri. Adanya penghindaran dan tumpulnya emosi
merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) sebuah asosiasi yang menangani masalah gangguan
kejiwaan seseorang (American Psychiatric Associasion,1994).
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan,
penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-gejala
somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta dapat pula
ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin terdapat gejala
yang lain (WHO,1992).
Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi
dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien berhak
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya, selain itu gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya juga harus diperhatikan,
maka dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan dengan
pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan paliatif (Tchekmedyian,2008).
Perawatan paliatif bertujuan memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang
menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan
nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Anaesth,2005).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan lagi bahwa pelayanan paliatif berpijak
pada pola dasar berikut ini (WHO,2002)
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.

2. Tidak mempercepat atau menunda kematian.


3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana dukacita pada keluarga.
Saat ini perawatan paliatif terhadap korban pasca bencana yang mengalami PostTraumatic Stress Disorder dalam meningkatkan kualitas hidupnya dapat didukung dengan
Paliatif-Psikofarmakologi dan Psikorohani.
Paliatif Psikofarmakologi
Pengobatan medis biasanya menitikberatkan penanganan terhadap diagnosis dan
managemen dari penyakit. Perawatan farmakologi biasanya diberikan oleh seorangd okter
spesialis psikiatri umtuk mencegah terjadinya gangguan psikologikal yang disebut dengan
psikofarmakologi. Tetapi pada pasien dengan gangguan mental pasca trauma bencana alam maka
sebuah perawatan khusus yang disebut paliatif merupakan sebuah solusi perawatan terbaik
karena prinsip dari perawatan paliatif psikofarmakologi adalah meningkatkan kualitas hidup
secara holistic dan membuat seseorang merasakan perasaan yang lebih baik dalam menjalani
kehidupan berikutnya (Ban , 1996).
Perawatan paliatif psikofarmakologi pada pasien dilakukan secara holistic, dengan
tujuan utama adalah memaksimalkan dan meningkatkan kualitas hidup.Permberian obat-obatan
penenang diberikan untuk memberikan kenyamanan selama dilakukannya perawtan
palliative,seperti dopamine. Pendekatan secara persuasif dan intens untuk menciptakan
keterbukaan dan kenyamanan antara pasien dan dokter sangatlah utama, pendekatan terhadap
keluarga, kehidupan sosial bermasyarakat, dan juga pendekatan rohani menjadikan sebuah alasan
yang baik mengapa perawatan paliatif sangat dianjurkan pada korban pasca trauma
(Charlton,2003).
Perawatan paliatif psikofarmakologi pada korban bencana alam yang mengalami PTSD dapat
dilakukan dengan beberapa cara, seperti 1. Pendekatan Perilaku 2. Pendekatan Prilaku Kognitif
3. Pengendalian Kecemasan dan Pendekatan Persuasif untuk memecahkan masalah.
4. Aye Movement Desensitization and Reprocessing (Roses, 2005).
Pembahasan tentang psikoterapi pada PTSD akan dijelaskan sebagai berikut :
1.

Pendekatan Perilaku
7

Terapi pendekatan perilaku adalah intervensi pertama yang digunakan untuk mengobati
PTSD. Intervensi perilaku bergantung pada prinsip bahwa paparan rangsangan dikondisikan
sebagai akibat negatif pada respon emosional. Intervensi paparan PTSD difokuskan kepada
stimulasi lingkungan seperti suara, objek atau tempat spesifik yang dapat mengingatkan
trauma kembali. Perasaan takut pada suatu objek tertentu merupakan memori trauma
individual. Konsep representasi pengalaman internal sebagai bagian penting dari pemahaman
dan mengobati psikologi adalah bagian dari pergeseran yang signifikan dalam teori kejiwaan
yang dikenal dengan revolusi kognitif.
Para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau
emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistis
dalam kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara exposure in the imagination, yaitu
membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena
menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha
mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Penanggulangan situasi
disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang
menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.
2.

Pendekatan Kognitif
Model kognitif komprehensif dari PTSD dikembangkan oleh Foa dan Kozak
mengusulkan bahwa PTSD yang berasal dari rasa takut dimana peristiwa traumatik
digambarkan dalam stuktur mental yang terdiri dari rangsangan jiwa, respon kejadian, dan
kejadian bermakna. Salah satu dari elemen tersebut mungkin diaktifkan oleh informasi yang
berhubungan dengan trauma, yang kemudian mengaktifkan elemen lain pada fear structure.
Pengalaman subjektif dari rasa takut dan trauma berhubungan degan rutinitas perilaku seharihari. Pengolahan teori emosional, yang muncul dari model ini, menyatakan bahwa
kesuksesan terapi terdiri dari 2 komponen. Pertama fear structure atau memori traumatik
teraktifkan. Kedua, adanya informasi baru yang bertentangan dengan elemen patologis dari
fear structure.
Setidaknya salah satu dari terapi, Cognitive Processing Therapy, menggunakan
mekanisme yang terlibat dalam pemulihan trauma dipandu oleh proses kognitif umum dari
asimilasi dan akomodasi. Dalam cognitive prosessing therapy, pemulihan trauma
membutuhkan asimilasi ulangan dari kejadian trauma yang sebenarnya dan akomodasi dari
sistem kepercayaan pada kejadian sebenarnya.
Terapi paparan (exposure) dan kognitif merupakan pendekatan tambahan dari terapi
penekanan yang berbeda dengan keadaan afektif yang merupakan target utama intervensi.
Terapi paparan memfokuskan pada emosi dari rasa takut yang cepat, otomatis, dan evolusi
respon untuk peristiwa traumatik (mengancam) dan bertahan walaupun ancaman telah
8

berakhir. Terapi paliatif psikofarmakologi membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak
rasional yang mengganggu emosional dan mengganggu kegiatan-kegiatannya. Tujuan dari
terapi kognitif adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang meningkatkan kekhawatirannya
akan suatu hal, mengidentifikasi pikiran yang tidak rasional, dimana pasien mengikuti
perawatan untuk mencari pemecahan masalah yang menjadi dasar kekhawatirannya dan juga
mengembalikan pikiran yang lebih realistic untuk mencapai emosi yang lebih seimbang guna
pencapaian prisip paliatif psikofarmakologi yakni meningkatkan kualitas hidup seseorang.
3. Pengendalian Kecemasan dan Pendekatan Persuasif & Holistik untuk memecahkan masalah
Salah satu paket strategi pengendalian adalah Stress Innoculation Treatment (ST) yang
digunakan untuk korban bencana alam yang mengalami PTSD. Paket terdiri atas relaksasi
otot, perlatihan pernafasan , guided-self dialogue, dan pemikiran penghentian kecemasan.
1. Relaxation Training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis
dan merileksasikan kelompok otot-otot utama.
2. Breathing Retraining, yaitu belajar nafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan yang tidak
nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar-debar dan sakit
kepala.
3. Positive Thinking and Self-talk, yaitu belajar untuk mengjilangkan fikiran negative dan
mengganti dengan pikiran positif katika menghadapi hal-hal pencetus stress maupun
tekanan mental.
4. Asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini, dan
emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5. Toughy Stopping, Yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang
memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.
4. Aye Movement Desensitization and Reprocessing (EMRD)
EMRD merupakan terapi paliatif multi-prosedur dan multi-model yang melibatkan
komponen intervensi : 1) Identifikasi dari trauma target, pengaruh yang mengganggu,
keterkaitan kognisi negatif, dan pengembangan kognisi positif untuk menggantikan kognisi
negatif. 2) Pasien mengingat gambaran traumatik yang bersamaan pasein mencari jari terapis
yang bergerak bolak-balik melintasi bidang visual pasien, 3) Instalasi Kognisi Positif 4)
Identifikasi ada atau tidaknya sisa perasaan yang mengganggu atau mempengaruhi.
(Roses,2005)
9

Perawatan Paliatif-Psikorohani Sebagai Solusi Peningkatan Kualitas Hidup Pada Korban


Bencana Alam yang Mengalami Post Traumatic Stress Disorder
Pengaruh peranan agama dalam peningkatan mental kualitas hidup , dan khususnya pada
pasien perawatan paliatif sangat penting hal ini dibuktikan berdasarkan studi kasus yang
dilakukan oleh Ellen L. Idler dimana dia membuktikan pengaruh agama dengan kualitas hidup di
detik-detik akhir kehidupan pasca trauma bencana alam membuktikan bahwa telah terjadinya
peningkatan kualitas hidup yang sangat tinggi ketika seseorang memiliki pendalaman nilai-nilai
agama di akhir kehidupan pasca trauma tersebut (Ellen, 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka selama dilakukan perawatan paliatif sangat dianjurkan
bahwa para terapis sebaiknya mengajak para pasien untuk mendalami agamanya dengan
harapan bahwa akan ada perbaikan kualitas hidup. Dalam paliatif psikorohani ini bertujuan untuk
mendekatkan pasien kepada nilai-nilai agama dengan harapan bahwa pasien dapat memberikan
hal-hal yang terbaik disisa hidupnya dan dapat menerima sebuah kenyataan bahwa sesungguhnya
setiap kejadian yang terjadi dimuka bumi ini sudah ada yang mengaturnya yakni Tuhan semesta
alam (Powel dan Shahibi, 2003).
Agama adalah suatu ajaran dimana setiap pemeluknya dianjurkan untuk selalu berbuat
baik. Untuk itu semua penganut agama yang mempercayai ajaran dan melaksanakan ajarannya
akan senantiasa melaksanakan segala hal yang ada dalam ajaran tersebut. Manusia tidak bisa
dilepaskan dengan agama, oleh karena itu agama dan manusia berhubungan sangat erat sekali.
Ketika manusia jauh dari agama. Maka akan ada kekosongan dalam jiwanya (Jerry etal,2009).
Paliatif psikorohani merupakan salah bukti adanya perhatian khusus para ahli psikorohani
terhadap peran agama dalam kehidupan kejiwaan manusia. Manusia lari kepada agama karena
rasa ketidakberdayaannya menghadapi bencana. Dengan demikian segala bentuk perilaku
keagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari
bahaya dan dapat memberikan rasa aman. Untuk mengatasi hal ini manusia menghadirkan Tuhan
dalam dirinya sebagai pelindung mereka tatkala mereka merasa terancam dan memerlukan
perlindungan terhadap segala macam bentuk ancaman terhadap dirinya (Idler etal,2009).
Di dalam surah al-Mulk, Allah menyatakan bahwa Dia menciptakan hidup dan mati
untuk menguji manusia siapakah dikalangan manusia paling baik amalnya. Dalam hidup manusia
menghadapi berbagai bentuk ujian baik dalam bentuk musibah/kesusahan dan juga ujian dalam
bentuk kesenangan/kemewahan. Seringkali apabila manusia diuji dengan musibah mereka keluh
kesah dan merana. Tapi ketahuilah bahwa dibalik musibah itu ada hikmah yang sangat besar
(Mohammad,2002).

10

Nabi bersabda :
-

Artinya : Sesungguhnya besarnya balasan baik adalah dengan besarnya ujian dan bala
(tahap ganjaran adalah setimpal dengan tahap kesukaran mihna), dan Allah s.w.t apabila
kasihkan satu kaum lalu akan didatangkan baginya ujian, sesiapa yang mampu redha maka ia
beroleh redha Allah dan barangsiapa yang engkar , maka akan beroleh azab Allah. ( Riwayat
At-Tirmizi, 4/601 ; Tuhfatul Ahwazi, 7/65 ; Albani : Hasan Sohih)

Ciri seorang mukmin yang baik ketika menghadapi sebuah ujian misalnya bencana alam
dikatakan sebagaimana sabda Nabi s.a.w :


-





Artinya : Amat dikagumi sifat orang mukmin, iaitu semua urusan yang menimpanya adalah
baik, dan tidaklah seorang mukmin itu kecuali apabila di timpa kebaikan, ia bersyukur lalu
menjadi kebaikan baginya; dan bila ditimpa musibha keburukan ia bersabar dan menjadi
kebaikan baginya apabila ia ditimpa ( Riwayat Muslim)
Berdasarkan pemaparan diatas maka kita temukan bahwa sesunggunya peranan paliatif
psikorohani sangatlah berperan disamping paliatif psikofarmakologi dalam meningkatkan
kualitas hidup pada pasien perawatan paliatif pasca trauma.

11

Simpulan
Perawatan paliatif sangat dibutuhkan dalam meningkatan kualitas hidup bagi pasien
dengan gangguan stress pasca trauma bencana alam tersebut, perawatan paliatif yang bersifat
holistik sangat membantu dalam meningkatkan kualitas hidup. Diantara perawatan paliatif yang
dianjurkan yakni perawatan paliatif psikofarmakologi yang menunjang perbaikan mental,fisik,
dan psikis dan memaksimalkan kemampuan jasmani yang tersisa dan juga sebagai perawatan
mental terhadap keluarga dan lingkungan, selain itu dikenal juga Perawatan paliatif psikorohani
dalam menciptakan ketenangan rohani dalam ruang lingkup meningkatkan hubungan pasien
dengan Allah SWT dan ketabahan dalam menghadapi ujian dari Allah SWT.
Saran
1. Perlunya spesialisasi paliatif psikorohani dan paliatif psikofarmakologi untuk
meningkatkan kualitas hidup korban atau pasien paliatif.
2. Anjuran terhadap pasien pasca trauma bencana alam untuk meningkatkan hubungan
kepada Allah SWT sebagai mahluk ciptaannya dan percaya bahwa sesungguhnya
kematian, sakit, dan nasib merupakan ketentuan Allah SWT dan percaya bahwa
sesungguhnya bencana alam merupakan ujian dari Allah SWT agar kita selalu senantiasa
beribadah kepada Allah SWT.

12

Acknowledgement
Pada bagian ini penulis ingin berterimakasih kepada Rumah Sakit Kanker Dharmais Bagian
Paliatif Care, kemudian penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
ahli perawatan paliatif dr. Maria Astheria Witjaksono, MPALLC (FU) yang telah memberikan
kesempatan untuk berkunjung kerumah pasien yang sedang menjalani perawatan paliatif.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Yanti yang telah
bersedia memberikan ilmunya dan mengucapkan belasungkawa sebesar-besarnya atas kepergian
bu Yanti 5 jam setelah kunjungan , dan juga pak Rudy sekeluarga yang telah memberikan ilmu
tentang kesinergisan antara hati dan logika dalam mengambil keputusan medis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada tutor kelompok III dr.
Nunung Ainur Rahmah Sp.PA, yang telah memberikan bantuan kepada kami dan penuh sabar
menghadapi kami. Penulis juga mmengucapkan terima kasih
Kepada dr. Rita
Murnikusumawatie Sp.M yang telah memberikan bahan diskusi yang cukup membantu dalam
penulisan case report ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Hj. RW. Susilowati, M.Kes, yang telah memberikan amanah yang besar
kepada penulis sebagai ketua umum untuk paliatif-care dan mohon maaf jika ada kekurangan
selama saya diberikan amanah dan juga kepada DR. Drh.Hj Titiek Djannatun sebagai
pengampu blok yang senantiasa memberikan support. Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Hj. Riyani Wikaningrum, DMM, MSc yang telah memberikan
pelajaran materi yang tentang perawatan paliatif dan tentunya sangat bermanfaat bagi kami
semua peserta kepeminatan perawatan paliatif.
Terakhir saya mengucapka terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kelompok paliatif
care III tercinta karna telah koperatif dan bekerja dengan sangat baik selama kunjungan
berlangsung dan juga rekan-rekan sejawat Fakultas Kedokteran Universitas YARSI.

13

Daftar Pustaka

American Psychiatric Association.1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders(DSM-IV), 4th edn.Washington, DC: American Psychiatric Association.
B.G. Charlton. Palliative psychopharmacology: a putative speciality to optimize the subjective
quality of life. Q J Med 2003; 96:375378
Ban TA.1996. They used to call it psychiatry. In Healy D, ed. The Psychopharmacologists, vol. 1.
London, Altman.
Charlton BG.1998. Psychopharmacology and the human condition. J Roy Soc Med ; (91):599
601
Idler, E,L, McLaughlin, J, Kasl, S. (2009). Religion and the quality of life in the last year of
life. J Gerontology: Social Sciences, 10.1093/geronb/gbp028
Jerry W Lee,et all. Cohort Profile: The biopsychosocial religion and health study (BRHS).
International Journal of Epidemiology 2009;38:14701478
Jonathan I. B.2007. Post-traumatic stress disorder: Occupational Medicine;(57):399 403.
Kaplan, H., & Sadock, B. J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Alih Bahasa : Dr, Wicaksono
M Roan. Jakarta : Widya Medika
Kartono, K. 2002. Psikologi Sosial 3 : Gangguan-gangguan kejiwaan. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Mohammad.2002. Dunia Islam, Sabar Menghadapi Ujian November 20, 2011, from
file:///C:/Users/Zha26/Desktop/Jurnal%20Fajrin/Paliatif%20Care/sabar-menghadapi ujian-danmusibah.html
14

Powell LH, Shahabi L.2003. Thoresen CE. Religion and spirituality. Linkages to physical health.
Am Psychol ;(58):3652.
Rose S, Bisson J, Wessely S.2005. Psychological debriefing for preventing post traumatic stress
disorder (PTSD) (Cochrane review). In: Cochrane Library. Chichester: John Wiley.
Rothbaum BO, Foa EB.1998.Subtypes of posttraumatic stress disorder and duration of
symptoms. In: Davidson JRT, Foa EB, eds. Posttraumatic Stress Disorder: DSM-IVand Beyond.
Washington, DC: American Psychiatric Press, Inc., 1993; 2335.
Sandro Galea,Arijit N,David V.2005 The Epidemiology of Post-Traumatic Stress Disorder after
Disasters.Epidemiol Rev;(27):7891
Tanida N.1996. What happened to elderly people in the great Hanshin earthquake. BMJ
(313):11335
The City of Kobe .2009. "STATISTICS" . The Great Hanshin-Awaji Earthquake: Statistics and
Restoration Progress. Retrieved http://www.city.kobe.lg.jp/safety/hanshinawaji/revival/
promote/img/january.2009.pd 2009-11-29. view on November 20, 2011,
World Health Organization.2002. Palliative care. Geneva: World Health Organization.
World Health Organization.1992. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders: Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines. Geneva: World Health Organization.
Yoneatsu O, Masumi M.2001 Factors Associated with Earthquake Deaths in the Great Hanshin
Awaji Earthquake. Am J Epidemiol;(153):1536.

15

Anda mungkin juga menyukai