Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah

yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat


dan kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini sungguh sangat
menakjubakan karena biarpun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda
suku bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Sebuah lingkungan masyarakat di manapun keberadaannya pasti memiliki
aturan yang menggariskan perilaku anggota masyarakat tersebut. Berbicara mengenai
aturan maka kita akan berbicara mengenai sanksi. Aturan tanpa adanya sanksi adalah
sia-sia. Karena fungsi sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap
aturan tersebut. Tanpa ada sanksi peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap aturan (hukum) mencerminkan kesadaran
hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Semakin tinggi kesadaran masyarakat maka
semakin rendah tingkat pelanggaran hukumnya. Bahkan jika kesadaran yang dimiliki
sangat tinggi masyarakat tidak membutuhkan aparat penegak hukum seperti di Swiss.
Sebuah aturan hukum akan ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat apabila
aturan tersebut memberikan jaminan bagi mereka akan hak dan kewajiban secara
proporsional. Ketika seseorang merasakan suatu aturan yang melingkupinya
memberikan kenyamanan maka individu tersebut akan tunduk dan patuh pada aturan
hukum tersebut. Dalam kenyataannya dalam masyarakat hidup aturan yang tidak
tertulis, yang lebih dikenal dengan hukum adat. Walaupun aturan-aturan tersebut
tidak tertulis tetapi masyarakat (adat) mematuhi aturan tersebut.

Hukum tidak tertulis adalah juga hukum kebiasaan, salah satu contoh hukum
tidak tertulis adalah hukum adat Indonesi. Menurut R. Soepomo, Hukum Adat adalah
hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh
pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan
tersebut mempunyai kekuatan hukum. Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum
yang tertua, sumber dari mana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di luar
undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya.
Perkembangan hukum tertulis dan tidak tertulis sebagai sumber hukum di
dalam suatu tatanan hukum, terus berkembang pesat seiring semakin dinamisnya
kehidupan bermasyarakat dan berkembangnya peradaban umat manusia. Hakim harus
memeriksa dan memutuskan perkara sekalipun hukumnya tidak jelas, tidak lengkap.
Ini berarti bahwa ia tidak terikat pada undang-undang, sehingga dalam hal ini
kebiasaan mempunyai peranan yang penting.
Dengan demikian dinegara kita kebiasaan merupakan sumber hukum. Kalau
pembentukan peraturan itu selalu dilakukan dalam pengadilan, maka terdapat hukum
kebiasaan di samping undang-undang.
B.

Identifikasi Masalah
Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tertulis akan tetapi didukung oleh

rasa ketaatan dan kepatuhan yang luar biasa dari masyarakat di mana hukum itu
berlaku. Mendasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan yang timbul adalah:
1.

Bagaimana Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945?

2.

Bagaimana Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan?

3.

Bagaimana Pengakuan Adat oleh Hukum Formal?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Adat


Pengertian Hukum adat lebih sering diidentikkan dengan kebiasaan atau
kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak
masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi bagian dari
sistem hukum nasional Indonesia, sehingga pengertian hukum adat juga telah lama
menjadi kajian dari para ahli hukum.Pengertian hukum adat dewasa ini sangat mudah
kita jumpai di berbagai buku dan artikel yang ditulis oleh para ahli hukum di tanah
air.
Secara histori, hukum yang ada di negara Indonesia berasal dari 2 sumber,
yakni hukum yang dibawa oleh orang asing (belanda) dan hukum yang lahir dan
tumbuh di Negara Indonesia itu sendiri. Mr. C. Vollenhoven adalah seorang peneliti
yang kemudian berhasil membuktikan bahwa negara Indonesia juga memiliki hukum
pribadi asli.
B. Pengertian Hukum Adat menurut Para Ahli
Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma mendefinisikan hukum adat sebagai aturan
kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari
berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan
dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan negara.
Menurut Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan
tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (sebab itu disebut hukum)
dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (sebab itu disebut dengan adat).
Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, pengertian hukum adat adalah hukum yang
tidak bersumber kepada peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda

dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri
oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven hampir sama dengan pengertian hukum adat
yang dikemukakan oleh Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum
adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.
Menurut Bushar Muhammad menerangkan bahwa untuk memberikan definisi atau
pengertian hukum adat sangat sulit sekali oleh karena hukum adat masih dalam
pertumbuhan. Ada beberapa sifat dan pembawaan hukum adat, yakni: tertulis atau
tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum rakyat dan lain
sebagainya.
Menurut Soerjono Soekanto memberikan pengertian hukum adat sebagai kompleks
adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasi) bersifat pemaksaan (sehingga
mempunyai akibat hukum).
Menurut Supomo dan hazairin membuat kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum
yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain.
Hubungan yang dimaksud termasuk keseluruhan kelaziman dan kebiasaan dan
kesusilaan yang hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh
masyarakat. Termasuk juga seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap
pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat
adalah mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan memberi
keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa adat, antara lain
keputusan lurah atau penghulu atau pembantu lurah atau wali tanah atau kepala adat
atau hakim dan lain sebagainya.
C. Istilah Hukum Adat
Istilah Hukum Adat baru dipergunakan secara resmi dalam peraturan
perundang-undangan pada tahun 1929. Proses perkembangannya adalah sebagai
berikut : Tahun 1747 Pada waktu VOC (zaman Van Imhoff) menyusun buku
perundang-undangan yang berlaku untuk Landraad-nya di Semarang dipergunakan

istilah Undang-undang Jawa sejauh dapat kita terima (de Javaanse wetten,
voorzover ze bij ons tollerabel zijn). Tahun 1754 William Marsden memakai di
Sumatra sampai tahun 1836 istilah customs of the country dan customs and
manners of the native inhabitants. Istilah Hukum Adat itu sendiri semula masih
asing bagi bangsa Indonesia. Sebabnya adalah bahwa ternyata dalam masyarakat
Indonesia dahulu (zaman Mataram, Mojopahit, Pajajaran, Sriwijaya dan lain
sebagainya) tidak ada suaru golongan tertentu yang khusus mencurahkan
perhatiannya terhadap pengistilahan-pengistilahan hukum ini.Dan akhirnya pada
tahun 1929 pemerintah kolonial Belanda mulai memakai istilah Hukum Adat
(Adatrecht) dengan resmi di dalam peraturan perundang-undangannya.
D. Istilah Hukum Adat menurut Para Ahli
Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje
seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat
berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam
bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-8194 menyatakan hukum rakyat
Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.
Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat
sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat
Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum
Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.
Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah
ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri
Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2)
yang berlaku pada tahun 1929.
Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya.
Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis
saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan

oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan
yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan
sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato
Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan
kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk
sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia
kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah
dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu
tahun masehi.
Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa
istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh
Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun
1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh
Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum
yang baik.
E. Sifat Hukum Adat
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa
Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme realisme artinya mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum
adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada
hukum adat sebagai 3 C adalah:
1.

Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada


individu);

2.

Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara
tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.

3.

Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara
kongkritbentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan
plastis

1.

Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,

2.

Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang

3.

Plastis/Fleksibel,

kelenturan

hukum

adat sesuai

kebutuhan

dan

kemauan masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan : Dengan perspektif perbandingan, maka
ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau
pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono
sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun
dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di
luar Indonesia.
F. Manfaat Mempelajari Hukum Adat
1.

Hukum Adat sebagai Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia. Di dalam
meningkatkan hidup itu dibutuhkan petunjuk-petunjuk hidup. Salah satu petunjuk
hidup itu adalah norma hukum, termasuk norma hukum adat.
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan pada umumnya, maka hukum adat
mempunyai:

Obyek adalah sasaran yang harus dipelajari yaitu kebiasaan-kebiasaan yang


berkonsekuensi hukum.

Metode adalah cara untuk mempelajari, meneliti dan menganalisis hukum adat.

Sistematis adalah disusun sedemikian rupa sehingga orang mudah untuk


mempelajarinya

Dengan demikian hukum adat dipelajari untuk memenuhi tugas Pengajaran dan
Penelitian
2.

Dalam rangka pembinaan atau pembentukan hukum Nasional


Pembentukan hukum nasional

menuju unifikasi

hukum tidak

bisa

mengabaikan hukum adat yang ada di masyarakat. Zhukum adat merupakan sumber
penting untuk memperoleh bahan-bahan, karena hukum adat mempunyai asas-asas
atau nilai-nilai yang universal dan lembaga. Asas-asas hukum adat yang dapat dipakai
sebagai bahan pembentukan hukum nasional adalah :
a. Asas kebersamaan dan kekeluargaan artinya mengutamakan kepentingan bersama dan
kekeluargaan dalam pembentukan berbagai perundang-undangan
b. Asas gotong royong Asas ini dapat berbentuk gotong royong secara organis /
konvensional, yaitu spontanitas saling membantu menolong yang membutuhkan.Dan
juga ada yang gotong royong secara organisatoris, yaitu, tolong menolong melalui
organisasi tertentu.
c. Asas fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat manusia dikatakan berguna
apabila dapat membantu sesamanya.Demikian pula hak milik bukan berarti milik
pribadi semata-mata namun juga untuk kepentingan umum. Contoh fungsi sosial hak
milik telah diakomodir dalam pasal 6 UUPA.
d. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum. Kekuasaan dari mulai desa hingga
pemerintah pusat dibentuk dari persetujuan warga, baik dengan pemilu langsung
maupun pemilu tidak langsung.
Lembaga-lembaga hukum adat yang dapat berfungsi secara analog dengan
cara-cara perdagangan modern , yaitu :
a. Lembaga Panjar, Panjar adalah tanda permulaan seseorang yang berkeinginan
membeli barang orang lain. Di dalam perdagangan modern dikenal lembaga yang
mirip dengan lembaga panjar, yaitu commitmen feedan down payment (DP). CF
biasa di pungut oleh penjual pada saat penandatangan kontrak sebagai tanda jadi, CF

ini tidak mengurangi harga barang. Sedangkan DP akan mempengaruhi atau


mengurangi harga barang.
b. Lembaga Maro, diambil dari kata separo. Orang yang mempunyai tanah namun tidak
mampu untuk mengerjakannyannya dapat bekerja sama dengfan orang lain untuk
mengerjakannya dan melakukan perjanjian bagi hasil dengan orang tersebut. dalam
hukum nasional lembaga ini sudah diangkat dalam UU No.2/1960 yang mengatur
pula tentang bagi hasil pertanian dan UU No.2/1964tentang bagi hasil perikanan.
Dalam perdagangan modern disebut sebagai production sharing contract
c.

Lembaga jual oyodan atau jual tahuanan, Diambil dari kata oyot atau akar dalam
bahasa jawa. Jual oyodan adalah pemilik tanah menyewakan tanahnya untuk
beberapa kali musim tanam atau bisa juga menyewakan tanahnya untuk beberapa
tahun. Lembaga ini mirip dengan sewa-menyewa kapal kosong (bare boat/tanpa
ABK) untuk melayani beberapa kali trayek tertentu.

d. Lembaga tanggungan, Seseorang yang membutuhkan pinjaman uang dengan


tanggungan / jaminan tanahnya. Dalam dunia modern sudah menjelma menjadi UU
Hak Tanggungan dan juga jaminan dalam pengambilan kredit di bank atau lembagalembaga keuangan lainnya.
3.

Mengembalikan dan Memupuk Kepribadian Bangsa


Kepribadian

atau

karakter

bangsa

Indonesia

yang

cinta

dengan

kebudayaannya semakin luntur oleh modernisasi dan westernisasi. Dengan


mempelajari hukum adat yang mengandung nilai-nilai luhur, diharapkan rasa
nasionalisme / kepribadian bangsa menjadi tumbuh-kembang kembali.
4.

Agar mengetahui Fungsi dari Hukum Adat


Hukum adat mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pedoman dan pengawasan
(sociual control) . Sebagai pedoman, maka hukum adat berfungsi sebagai pedoman
dalam bertingkah laku, bertindak, berbuat di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai
pengawasan, hukum adat melalui petugas-petugas adat akan mengawasi segala

tingfkah laku anggota masyarakat agar sesuai dengan hukum adat. Apabila ada
pelanggaran maka akan dikenakan sanksi untuk memulihkan keseimbangan

BAB III
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945
Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada
kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat
disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung
nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan
hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilainilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan azas kekeluargaan.
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser
hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat,
Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi
segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut
hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan
sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial
manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan
dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai
primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat,
berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini
sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan
pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan
perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam
menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam
hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang
memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan
harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai
penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa
manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat
memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang
menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie
menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :
1) Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang
dimilikinya;
2) Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.
Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan
karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
3) Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
4) Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
5) Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran
kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan
bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan
tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan
sentimentil;
6) Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai
suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie,
2003: 32-33)

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:


1.

Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya;

2.

Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;

3.

Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

4.

Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5.

Diatur dalam undang-undang


Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan
penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:

1.

Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan
masyarakat;

2.

Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia,
dan keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung
perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan
Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih
jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam
ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan
ayat 2 yang berbunyi :

1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam
masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat
dan pemerintah.
2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi,
selaras dengan perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat
(1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung
tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi
dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak
Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan
dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang
berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa
hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi
sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan
terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat
setempat
B.

Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan


Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1.

Undang-undang Dasar 1945;

2.

Undang-undang/ Perpu

3.

Peraturan Pemerintah;

4.

Peraturan Presiden

5.

Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber
hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat
yang secara formal diakui dalam perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau
atau pendapat para sarjana.
Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di
Yogyakarta tahun 1975 telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan
hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut

dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam
sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum
adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di
Indonesia.

Hasil

seminar

diatas

diharapkan

dapat

menjadi

acuan

dalam

pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata
hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam
sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam
putusan hakim.
C. Pengakuan Adat Oleh Hukum Formal
Mengenai

persoalan

penegak hukum

adat Indonesia,

ini

memang

sangat prinsipilkarena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan
identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku
Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat
mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana
proses adat itu membutuhkankepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual
adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim
pada Pengadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman
mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004.
Dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat
dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat
setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan
tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan
dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah
penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan


terhadap hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi:
1.

Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat (Pasal 1)

2.

Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

3.

Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)


Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum,

dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam
prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk
mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam
menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui
keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU
dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam
kepemilikan tanah.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.

Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945 setelah amandemen


konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar
1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

2.

Mengenai kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan sesuai dengan UU


No. 10 Tahun 2004, hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat
sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud
sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundang-undangan,
kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.

3.

Pengakuan Hukum Adat oleh Hukum Formal di tinjau secara preskripsi (dimana
hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan
perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.
Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui
keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
B. SARAN

1.

Diharapkan aparat yang berwewenang tetap menghormati eksistensi dan pengakuan


adanya masyarakat adat dan hak-haknya yang secara jelas tertuang dalam UndangUndang Dasar 1945 pada pasal 18 B ayat (2), yang menyebutkan bahwa Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan
dalam pasal 28 I ayat (3) yang menyebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2.

Apabila Hukum adat tidak diakui secara formil, maka berlakunya suatu sistem
hukum itu harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada di dalam
masyarakat. Kenyataan di dalam masyarakat merupakan hukum yang hidup (Hukum
Adat) dan sebagai salah satu sumber hukum yang sangat penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan Hukum Nasional yang menuju kearah unifikasi
hukum yang terutama melalui pembuatan peraturan perundang undangan.

3.

Diharapkan adanya pembaharuan UUPA, sehingga hukum adat tidak sekedar di


akui keberadaannya tetapi juga harus didukung peranannya dan keberlakuannya
dalam hukum nasional

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Soedjono Dirdjosisworo, 2010, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Univ Atma Jaya,
Yogyakarta.
Soerojo Wignjodipuro. 1982. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung
Agung, Jakarta.

Sumber Lainnya :
http://etiscahyaningputri.blogspot.com/2013/06/peranan-hukum-tidak-tertulisdalam.html
http://ketutwirawan.com/adat-recht-dan-hukum-adat/
http://yotoprivate.blogspot.com/2013/03/makalah-hukum-adat.html

Anda mungkin juga menyukai