Anda di halaman 1dari 25

Skrining kanker serviks dengan metode ispeksi visual asam

asetat (IVA)
Zebriyandi
10-2010-102
E5
18-07-2016
Pendahuluan
Insiden dan prevalensi
Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan di
indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi
yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi
dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.
Di negara maju, angka kejadian dan angka kematian kanker mulut rahim telah menurun
karenan suksesnya program deteksi dini. Akan tetapi, secara umum kanker mulut rahim
menempati posisi kedua terbanyak pada keganasan wanita (setelah kanker payudara)
diperkirakan diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya.

Alamat korespodensi :
Jln. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email : zebriyandi@gmail.com
1

Di indonesia, diperkirakan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahin ditemukan setiap
tahunnya. Di rumah sakit Dr. Cipto mangunkusumo, frekuensi kanker serviks 76,2% di antara
kanker ginekologik. Dari data 17 rumah sakit di jakarta tahun 1977 kanker serviks menduduki
urutan pertama yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.1
Karsinoma serviks uteri
Epidemiologi
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita dan menjadi
penyebab lebih dari 250.000 kematian pada tahun 2005. Kurang lebih 80% kematian tersebut
terjadi di Negara berkembang. Tanpa prenatalaksanaan yang adekuat, diperkirakan kematian
akibat kanker serviks akan meningkat 25% dalam sepuluh tahun mendatang.
Factor etiologi
Factor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human pavilloma virus
(HPV). HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi
prakanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan epiderman
dan mukosa. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksua;.
Factor risiko
Perilaku seksual
Dari studi epidemiologi, kanker serviks skuamosa berhubungan kuat dengan perilaku
seksual, seperti berganti-ganti mitra seks dan usia melakukan hubungan seks yang pertama.
Risiko meningkat lebih dari sepuluh kali bila mitra seks enam atau lebih, atau bila hubungan seks
pertama di bawah umur 15 tahun. Risiko akan meningkat apabila hubungan dengan pria berisiko
tinggi mengidap kandiloma akuminatum. Pria berisiko tinggi adalah pria yang melakukan
hubungan seks dengan banyak mitra seks.
Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
2

hydrocarbons heterocyclic amine yang sangat karsinogenik dan mutagen, sedangkan bila
dikunyah ia menghasilkan nitrosamine. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat
pada getah serviks wanita perokok dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
Ali dkk. Bahkan membuktikan bahwa bahan-bahan tersebut dapat menyebazbkan
kerusakan DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan neoplasma serviks.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah
kanker. Dari beberapa penellitian, ternyata defisiensi terhadap asam folat, vitamin C, E, beta
karotin/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.
Table. Risiko relative kanker serviks dari beberapa factor
Factor risiko
Usia pertama hubungan seks (tahun)

Risiko relative

<16

16

16-19

>19
1
Jarak antara hubungan seks pertama
dengan menarche (tahun)
<1

26

1-5

6-10

>10
Jumlah pasangan seks

1
3,6

>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1 pasangan)


Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun
>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan)
Genital wart

Ada (dibandingkan tidak ada)


Merokok >5 batang perhari

3,2

Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun)

Perubahan system imun


Perubahan system imun dihubungkan dnegan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma
serviks invasive. Hal ini dihubungkan dengan penderita yang terinfeksi dengan human
immunodeficiency virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan
invasive.
Prosedur penentuan diagnosis
1. Anamnesa, untuk mencari factor predisposisi dan keluhan penerita. Keputihan dan
pendarahan abnormal per vaginam merupakan keluhan utama pasien yang dicurigai
menderita kanker serviks invasive.
2. Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologis dan pemeriksaan kelenjar inguinal
3. Pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, BNO-IVP, sitoskopi, retroskopi, CT-scan
optional, MRI, serta bone survey, terutama jika menentukan jauhnya metastase
4. Biopsy serviks untuk menentukan jenis histopatologis
5. Untuk deteksi kanker serviks stadium dini dapat dilakukan beberapa cara mulai dari uji
pap konvensional, IVA, papnet, thin prep, servikografi, uji HPV, dan kolposkopi.
Memeprhatikan permasalahan dalam penangulangangan kanker serviks Indonesia ,
inspeksi visual asam asetat (IVA) dapat menjadi metode alternative untuk skrinning.
Pertimbangan ini dibuat dengan alas an:
1. Mudah dan praktis dilaksanakan
2. Dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan nondokter ginekologi. Bahkan oleh bidan praktik
3.
4.
5.
6.

swasta maupun di tempat-tempat terpencil


Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana hanya untuk pemeriksaan ginekologi dasar
Biaya murah, sesuai untuk pusat pelayanan sederhana
Hasil langsung diketahui dan
Dapat segera diterapi (see and treat)

Pendekatan the screen and threat, based on visual inspection dengan asam asetat sebagai
screening test.2
Perjalanan alamiah
Skrining dan deteksi penyakit dalam populasi

Misi epidemiologi adah untuk menunjang program kesehatan masyarakat. Tujuan ahli
epidemiologi adalah untuk memahami kausalitas dan hubungan penyakit sehingga program
pengendalian penyakit, pencegahan dan program perlindungan dapat dikembangkan dan
diterapkan untuk melindungi populasi. Program skrining merupakan salah satu alat yang
digunakan untuk mencapai misi dan sasaran peidemiologi tersebut. Program skrining dapat
dilakukan secara pasif seperti pemeriksaan mata disekolah dasar atau secara ambisius seperti
skrining multifase yang diadakan di mal perbelanjaan atau bazar kesehatan. Skrining
didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk mengidentifikasi dan
memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan berisiko terkena penyakit, dari
mereka

yang

mungkin

tidak

terkena

penyakit

tersebut.

Skrining

dilakukan

untuk

mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka dapat dikirim untuk
menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti. Skrining multifase adalah
penggunaan suatu kombinasi tes dan diagnostik yang dilakukan secara berurutan oleh tekhnisi
dibawah arahan medis terhadap sekelompok besar orang yang sehat. Skrining multifase
menggunakan

serangkaian

tes

skrining

tersebut

sebagai

upaya

pencegahan

untuk

mengidentifikasi penyakit atau kondisi apa pun pad apopulasi yang kelihatannya sehat.
Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri
merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran tekanan
darah, pap smears, pemeriksaan darah, dan x-rays dada dilakukan pada kelompok besar atau
populasi. Tes skrining memiliki titik potong yang digunakan untuk menentukan mana orang yang
berpenyakit dan mana yang tidak. Diagnosis diberikan kepada pasien secara perorangan oleh
dokter atau institusi perawatan kesehatan berkualitas lainnya. Diagnosis selain menggunakan
hasil tes, juga melibatkan evaluasi tanda dan gejala, dan mungkin melibatkan penilaian yang
subjektif berdasarkan pengalaman dokternya. Diagnosis adalah hak prerogatif dokter. Tes
skrining dapat dilakukan oleh tekhnisi medis di bawah pengawasan dokter. Skrining tidak
ditujukan untuk menyaingi diagnosis, tetapi lebih sebagai proses yang digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan suatu kondisi penyakit sehingga dapat dirujuk untuk diagnosis.
Diagnosis tidak hanya memperkuat atau menyanggah tes skrining, tetapi juga dapat membantu
menetapkan validitas, sensitivitas, dan spesifisitas uji.
Pertimbangan program skrining
5

Wilson dan junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli
epidemiologi saat merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang
ksehatan masyarakat, skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:
1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
terungkap saat proses skrining dilakukan.
3. Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis dan
pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyaraka tumum
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi
10. Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses
yang teratur dan berkelanjutan

Tes skrining
Skrining mengandalkan tes, tidak hanya satu tes, tetapi sederetan tes, oleh karen aitu,
kegiatan skrining hanya akan efektif, bila tes dan pemeriksaan yang digunakan juga efektif.
Dengan demikian, setiap tes skrining memerlukan validitas dan reabilitas yang kuat. Validitas
tes ditunjukkan melalui seberapa baik tes secara aktual mengukur apa yangs emestinya diukur.
Jika ini adalah tes skrining kolesterol, pertanyaannya adalah: dapatkah tes itu memberikan
informasi yang cukup akurat sehingga individu dapat mengetahui tinggi atau rendahnya kadar
kolesterol sekarang? Validitas ditentukan oleh sensitivitas dan spesifisitas uji. Realibilitas
6

didasarkan pada seberapa baik uji dilakukan pada waktu itu dalam hal keterulangannya
(repeatibility). Dapatkah uji memberikan hasil yang dapat dipercata setiap kali digunakan dan
dalam lokasi atau populasi yang berbeda? Yield (hasil) merupakan istilah lain yang terkadang
digunakan untuk menyebut tes skrining. Yield adalah angka atau jumlah skrining yang dapat
dilakukan suatu tes dalam suatu periode waktu- jumlah penyakit yang dapat terdeteksi dalam
proses skrining. Validitas suatu uji dapat dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu
yang diuji. Status penyakit, keparahan, tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan gizi, kebugaran
fisik, dan faktor lain yang mempengaruhi status kesehatan individu juga dapat mempengaruhi
dan berdampak pada respons dan temuan tes.
Sensitivitas dan spesifisitas: uji validitas
Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dnegan benar mereka
yang terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena penyakit
seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang yang benarbenar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi secara tepat terkena
penyakit melalui tes skrining

sensitivitas=

positif benar
=
positif benar +negatif palsu

positif benar
semua orang berpenyakit

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar presentase
mereka yang tidak terkena penyakit- orang yang tidak terkena penyakit dan terbukti tidak terkena
penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas menunjukkan proporsi orang
yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani skrining dan mereka yang
diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena penyakit melalui uji skrining.
spesifisitas=

negatif benar
=
negatif benar + positif palsu

negatif benar
X 100
semua orang berpenyakit

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes
7

melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu. Penggunaan tes dalam
jangka panjang dapat menetapkan reliabilitas, validitas dan mengungkat kelemahan tes tersebut.
Ahli epidemiologi harus mengetahui seberapa baik tes dapat berfungsi dan apakah tes itu cukup
efektif untuk menskrining orang yang sakit dari orang yang sehat dalam populasi umum. Ahli
epidemiologi juga ingin mengetahui kemampuan uji untuk mengetahui positif palsu (positives
false) dan negatif palsu (false negatif). Bagaimana uji sensitifitas tersebut? Hasil tes skrining
dapat dibandingkan dnegan diagnosis yang dibuat oleh dokter, yang akan membantu menetapkan
validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus membantu standardisasi tes tersebut.
Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan bahwa individu terkena penyakit,
tetapi sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru dalam mengidikasikan bahwa
seseorang terkena penyakit sementara pada kenyataanya dia sehat dan tidak berpenyakit. Hasil
tes telah keliru mengatakannya terkena penyakit, mencap orang yang sehat terkena penyakit.
Negatif palsu adalah kebalikan dari positif palsu. Negatif palsu adalah ketika uji skrining
mengindikasikan bahwa seseorang tidak terkena penyakit, tetapi pada kenyataanya orang itu
terkena penyakit. Tes telah keliru dalam mengindikasikan bahwa seseorang sehat sementara dia
sakit atau terkena penyakit. Tes telah keliru mengatakan tidak terkena penyakit, mencap orang
yang sakit sebagai orang yang sehat.
Dikatakan positif benar, jika uji menyatakan seseorang terkena penyakit dan orang itu
memang benar terkena penyakit. Negatif benar adalah jika uji menyatakan seseorang sehat dan
tidak terkena penyakit sementara pada kenyataanya memang sehat dan bebas dari penyakit.
Standardisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu tes telah
digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak digunakan, batasan nilainya sudah pasti, dan
tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam data normatif. Program
skrinning harus menggunakan uji terstandarisasikan karena penting untuk melakukan uji yang
memiliki prediktabilitas, relibialitas validitas yang tinggi, dan fungsi jangka panjang. Ini
biasanya berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-ulangkan untuk membuatnya seelektid dan
seakurat mungkin.
Pemahaman hasil skrining, sensitifitas dan spesifisitas

Dari setiap program skrining, setiap orang diklasifikasikan sebagai negatif (mereka yang
tidak terkena penyakit) atau positif (mereka yang terkena penyakit). Akan tetapi, karena
sensitivitas dan spesifisitas suatu uji sering kali kurang dari 100%, negatif palsu dann positif
palsu akan terjadi. Dengan demikian, ahli epidemiologi mengklasifikasikan partisipasi ke dalam
4 kategori
Negatif palsu (NP)

negatif benar (NB)

Positif palsu (PP)

positif benar (PB)

Keempat kategori itu digunakan untuk memahami dan mengevaluasi hasil program
skrining. Kategori itu juga digunakan untuk mengkaji hasil uji dan untuk analisis data populasi
studi. Agar lebih mudah memahami keempat kategori itu, sebaiknya digunakan presentasi grafik
dari proses skrining dan letakkan masing-masing dari keempat hasil yang mungkin dari suatu uji
pada posisi yang sesuai.
Decision tree yang menyajikan visualisasi penempatan empat hasil yang mungkin (NP<,
PP, NB, PB) . informasi dalam decision tree digunakan bersamaan dengan matriks empat sel 2 X
2 sehingga ahli epidemiologi dapat menentukan tempat dan efek keempat hasil skrining. Baik
decision tree maupun matriks memungkinkan dilakukannya penyajian keempat efek dalam
bentuk gambar guna membantu memahami hasil analisis.
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan ukuran yang sebanding sehingga dapat
dinyatakan dalam presentase. Idealnya, ahli epidemiologi ingin melihat suatu uji yang berfungsi
sangat baik yangs ensitivitas maupun spesifisitasnya mencapai 100%.
%sensitivitas= % orang dengan penyakit yang terdeteksi melalui tes uji
PB
X 100
PB+ NP

% negatif palsu= % orang dnegan penyakit yang tidak terdeteksi uji


NP
X 100
NP+ PB
9

% spesifisitas+ % orang tanpa penyakit yang dengan benar dinyatakan tidak terkena penyakit
melalui uji
NB
X 100
NB+ PP
%positif palsu= % orang tanpa penyakit yang saat uji keliru dinyatakan terkena penyakit
PP
X 100
PP+ NB
Untuk membantu analisis, beberapa observasi tentang sensitivitas dan spesifisitas akan
sangat membantu. Jika presentase negatif benar (NB) dan positif benar (PB) meningkat,
sensitivitas dan spesifisitasnya pun meningkat. Jika presentase negatif palus (NP) dan positif
palsu (PP) meningkat, sensitivitas dan spesifisitas menurun. Singkatnya sensitivitas adalah
kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang terkena penyakit. Spesifisitas
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar mereka yang tidak terkena penyakit.
Hubungan berbanding terbalik terbentuk antara positif benar dan positif palsu. Selain itu,
hubungan berbanding terbalik terbentuk antara negatif palsu dan negatif benar.
Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya, presentase positif
palsu adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang sensitif
sehingga uji itu dapat mengidentigikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka yang terkena
penyakit, dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu. Selain itu, ahli
epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk mendeteksi penyakit, sehingga
dihasilkan respons yang terbatas hanya pada kelompok studi yang memang terkena penyakit dan
beberapa positif palsu. Begitu proses skrining selesai, sebuah diagnosis diperlukan untuk
menegakkan penyakit diantara mereka yang diduga memiliki penyakit dan mengeluarkan mereka
yang diduga terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.
Nilai prediktif suatu tes
Nilai prediktig tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu uji
untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes. Semakin
10

tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh sensitivitas dan
spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka prevalensi suatu
penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin sensitif
suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan negatif
palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika melakukan
sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang yang tidak sakit diantara partisipan
yang memiliki hasil uji negatif.
Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil
ujinya positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit diantara
mereka yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15% sampai 20% dalam
popilasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan untuk
menghitung dan membagi kelompok studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan mereka
yang tidak terkena penyakit.3
Rumus nilai prediktif uji positif
nilai prediktif uji positif =

positif benar
X 100 =
positif benar + positif palsu

Rumus nilai prediktif uji negatif


nilai prediktif uji negatif =

negatif benar
X 100 =
negatif benar+ positif palsu

Contoh :
Tes
(radiologis
Positif
Negatif
Total

skrining Prosedut diagnosa (pemeriksaan lab)


BTA (+)
BTA (-)
75
15
90

50
850
900

Total
125
865
990

Perhitungan
11

1. Sensitivitas dan spesifisitas


Sensitivitas = 75/90 x 100= 83%
Negatif palsu= 15/90 x 100 = 17%
Spesifisitas = 850/900 x 100= 94%
Positif palsu = 50/900 x 100= 6%
2. Nilai prediksi
Nilai prediksi tes (+) = 75/125 = 60%
Nilai prediksi tes (-)= 850/865= 93%
Interpretasi data
1. Sensitivitas dan spesifisitas

Sensitivitas
Sensitivitas dari orang yang positif menderita sakit TBC yang dideteksi oleh tes

skrining adalah 83%


Negatif palsu
Presentase dari orang yang negatif, tetapi sebenarnya menderita sakit TBC adalah

17%
Spesifisitas
Spesifisitas dari orang yang tidak atau negatif menderita sakit yang dideteksi

dengan tes skrining adalah 94%


Positif palsu
Presentase dari orang yang dinyatakan positif tetapi tidak menderita sakit TBC
adalah 6%

2. Nilai prediksi
Menurut perkiraan secara sederhana tanpa melakukan tes skrining maka yang dinyatakan
positif hanya sekitar 60% sedangkan negatif sebesar 93%. 4
Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks
Ada beberapa metode skrinning yang dapat digunakan, tergantung dari ketrsediaan sumber
daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulangi
(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa
metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.
1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional
Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George papanicolau sejak
tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di Negara-negara
12

maju menurun drastic. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang
mudah, murah dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas
pemeriksaan ini berkisar antara 78%-93%, teapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil
positif palsu sekitar 15-37% dan negative palsu 7-40%. Sebagian besar kesalahan
tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan tersebut
disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses
pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.
b. Pemeriksaan sitology cairan (liquid base cytology/LBC)
Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi
hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan cara optimalisasi
tekhnik koleki dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel dikoleksi dengan sikat
khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi.
Keuntungan pengunaan tekhnik monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan
mudah tertangkap dengan fiksasi monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya
adalah butuh waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dna biaya yang lebih
mahal.
1. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai cara
southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot blot, hibridisasi in situ
yang memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara pembesaran sepertyi PCR
(polymerase chain reaction) yang amat sensitive.
2. Metode inspeksi visual
a Inspeksi visual denga lugol iodin (VILI)
b Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan servikografi.
Setiap metode skrinning mempunyai sensitifitas dan spesifisitas berbeda. Sampai saat ini
belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas 100% (absolut). Oleh karena
itu, dalam pemeriksaan skrinning, setiap wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed
consent0.
Berikut adalah tabel perbandingan metode dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Table. Perbedaan beberapa metode skrinning5
metode

prosedur

kelebihan

Kekurangan

Status
13

Sitology

Sampel

konvensio

oleh

nal
Pap)

diambil

tenaga

Metode

Hasil

tes

Telah lama

yang telah

tidak

digunakan

(test kesehatan

dan

lama

didapatkad

di banyak

diperiksa

oleh

dipakai
Diterima

engan

Negara

segera
Diperlukan

sejak tahun

sitotekhnis
laboratorium

di

secara luas
Pencatatan

system
yang

menurunka

pemeriksaa

efektif

n permanen
Training

untuk

kematian

follow

mekanisme
control
kualitas
telah baku
Investasi
yang
sederhana
pada

akibat

wanita

kanker

yang

leher

diperiksa

Rahim

setelah ada

Negara-

hasil

negara

pemeriksaa

maju

di

n
Diperlukan
bahan

yang telah
ada

up

angka

transfort

program

sediaan

dapat

dari tempat

meningkatk

pemeriksaa

an

1950
Terbukti

hasil

dan

pelayanan
Spesifisitas

ke

laboratoriu
m,

tinggi

transport
hasil
pemeriksaa

n ke klinik
Sensitivitas
14

Liquid

Sampel

base

oleh

citology

diambil

tenaga

Jarang

sedang
Hasil tidak

diperlukan

didapat

kesehatan.

pengambila

dengan

Dimasukkan dalam

cairan fiksasi da

ulang

segera
Fasilitas

dikirim

bahan

laboratoriu

di

sediaan

di

tidak

mahan dan

adekuat
Waktu yang

canggih

proses

untuk
dan

periksa
laboratorium

sampel
bila

lebih

dibutuhkan
pembacaan
hasil lebih
singkat
oleh
sitotekhnis
yang
berpengala

man
Sampel
dapat
digunakan
juga untuk
tes
molekuler
(misalnya

Tes DNA Tes


HPV

DNA

HPV

HPV tes)
Penambilan

Hasil

tes

Digunakan

secara molekuler,

sampel

tidak

secara

pengambilan

lebih

didapat

komersial

mudah

dengan

di Negara-

sampel

dapat

15

dilakukan

sendiri

Proses

oleh wanita dan

pembacaan

dibawa

otomatis

ke

laboratorium

oleh

alat

nega maju

segera
Biaya lebih

mahal
Fasilitas

tambahan

Pap

canggih
Perlu
reagen

untuk

meningkatk

an sitology

lebih

mahal dan

dikombinas
dengan tes

pemeriksa

laboratoriu

khusus
Dapat
ikan

sebagai

khusus
Spesifisitas

an

rendah

sensitivitas
Spesifisitas

pada
perempuan

tinggi

muda

terutama

(35

tahun)

pada
perempuan

>35 tahun
Mudah dan
murah
Hasil

rendah.

cukup data

Sehingga

dan

kesehatan

didapat

berisiko

penelitian

terlatih

dengan

overtreatm

yang

segera
Sarana

ent
Tidak

mendukun

Metode

Pemulasan

leher

visual

Rahim

dapat

(IVA
VILI)

dan dilakukan
tenaga
yang

oleh

(bidan/dokter/pera
wat)

Spesifisitas

Belum

ada

yang

g, terutama

dokumenta

dibutuhkan

sehubunga

si

sederhana

pemeriksaa

dapat

efeknya

n
Tidak

terhadap

dikombinas
i

dengan

cocok

hasil

dengan

penurunan
angka
16

tatalaksana

untuk

kejadian

segera

skrining

dan

lainnya

pada

kematian

yang cukup

perempuan

kanker

dengan

pasca

leher

pendekatan

menopause
Rahim
Belum ada Saat ini hanya
standarisasi direkomendasikan
Seringkali
pada
daerah
perlu
proyek
training

sekali
kunjungan
(single visit
approach)

ulang
untuk
tenaga
kesehatan

Tes Pap
Pemeriksaan apusan Pap saat ini merupakan suatu keharusan bagi wanita, sebagai sarana
pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, yang seyogyanya dilaksanakan oleh setiap wanita
yang telah menikah sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun, bila dua kali pemeriksaan apusa
Pap terakhir negative dan tidak pernah mempunyai riwayat hasil pemeriksaan abnormal
sebelumnya.
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali, walaupun
awanita itu tidak mempunyai keluhan pada organ saluran genital, karena kanker serviks pada
stadium dini biasanya tanpa keluhan dan dengan mata biasa tidak mungkin dapat dideteksi.
Pemeriksaan skrining apusan pap secara berkala, diharapkan dapat menemukan kasuskasus kanker serviks dini atau lesi prakanker yang belum menimbulkan gejala secara klinik,
sehingga dapat dilakukan terapi dengan tuntas.

17

Ketepatan diagnosis sitology pada skrinning deteksi kanker serviks terutama sangat
tergantung pada representative tiaknya sediaan apusan Pap yang dibuat, disamping factor-faktor
lain, seperti fiksasi, pulasan sediaan dan kemahiran interpretasi.
Representative tidaknya sediaan apusan Pap sangat dipengaruhi oleh cara/ tenik
pengambilan bahan pemeriksaan, cara pembuatan sediaan dan alat pengambil secret yang
digunakan.
Oleh karena itu sebelum melangkah kepada penilaian sitology apusan pap perlu dipahami
terlebih dahulu mengenai cara pengambilan dan cara pembuatan sediaan sitology apusan pap
yang tepat dan benar dngan cara seksama.
Pemeriksaan skrning deteksi kanker serviks dengan hanya memeriksa sekrt vagina saha
didapatkan hasil negative palsu sebesar 45%, dengan hanya memeriksa secret servikal saja
menurunkan hasil negative palsu menjadi 6%, dan dengan memeriiksa secret endoservikal saja,
yang diambil dengan lid kapas atau aspirator, menurunkan hasil negative palsu menjadi 45. Bila
pemeriksaan skrinning deteksi kanker serviks dilakukan dengan memeriksa sediaan servikal dan
endoserviikal maka tidak didapatkan hasil negative palsu.
Dalam penggunaan apusan Pap untuk tujuan diagnosis dan deteksi dini kanker serviks
sering timbul masalah yaitu apabila iagnosis klinik tidak sesuai dengan diagnosis sitology, dan
hal ini sering terjadi akibat hasil negative palsu dari pemeriksaan sitology apusan pap (palse
negative).
Menurut literature, hasil negative palsu disebabkan oleh kesalahan lokasi pengambilan
secret, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan 9fiksasi0 dan kesalahan dalam intrpretasi
sediaan sitology.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan skrining sitology apusan Pap yang akurat, maka perlu
diperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan sitology menjadi negative
palsu seperti diatas.
Factor kesalahan lokasi pengambilan dapat diatasi dengan memperhatikan lebih cermat
lokasi pengambilan sewaktu mengambil secret, yaitu untuk secret servikal harus diambil seluruh
permukaan portio serviks dan untuk secret endoservikal harus diambil dari permukaan mukosa
18

endoserviks, sedangkan secret vagina tidak bermanfaat sama sekali untuk pemeriksaan skrining,
karena nilai negative palsuunya snagat besar. Hal ini perlu ditekankan pada dokter atau bidan
yang biasa mengambil sediaan Pap.
Kegunaan diagnostic sitology apusan pap:
1. Evaluasi sitohormonal :
Penilaian hormonal pada seorang wanita dapat dievaluasi melalui pemeriksaan sitology
apusan pap yang bahan pemeriksaannya adalah secret vagina yang berasal dari dinding
lateral vagina sepertiga bagian atas.
2. Mendiagnosa peradangan
Peradangan pada vagina dan servciks pada umumya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan sitology apusan Pap, karena baik peradangan akut maupun kronis, sebagian
besar akan memberikan gambaran perubahan sel yang khas pada sediaan apus Pap sesuai
dengan organisme penyebabnya, walaupun kadang-kadang ada pula organisme yang
tidak menimbulkan reaksi yang khas pada sediaan apusan Pap.
3. Identifikasi organisme penyebab peradangan
Dalam vagina ditemukan beberapa macam organisme/kuman yang sebagian merupakan
flora normal vagina yang bermanfaat bagi organ tersebut misalnya bakteri doderlein.
4. Mendiagnosis kelainan prakanker (dysplasia) serviks dan kanker serviks dini atau
lanjutan (karsinoma insitu/invasive)
5. Memantau terapi
Syarat-syarat pengambilan bahan pemeriksaan apusan pap
Dalam penggunaan apusan Pap untuk penilaian hormonal, untuk dapat menghasilkan
interpretasi hormonal yang akurat, diperlukan bahan pemeriksaan secret vaginal yang
representative untuk peniaian hormonal. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
sebelum dilakukan pengambilan bahan pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
1. Secret vaginal harus benar-benar berasal dari dinding vaginal sepertiga bagian atas
2. Pengambilan secret harus dilaksanakan pada keadaan vagina normal tenpa infeksi dan
tanpa pengobatan local paling sedikit dalam waktu 48 jam terakhir
3. Untuk penilaian hormonal siklus menstruasi pada infertilities, pengambilan secret harus
dilaksanakan pada hari siklus tertentu,s esuai dengan fase-fase pada siklus haid. Sediaan
vaginal biasanya harus diambil pada hari ke 8, 14, dan 22 atau hari siklus ke 8, 15 dan 22

19

4. Untuk penilaian pos maturitas, pengambilan secret vaginal dilakukan bila umur
kehamilan telah melewati waktu dua minggu melebihi dari tanggan tafsiran partus dan
ketuban janin harus masih utuh (belum pecah).
5. Dalam pengunaan apusan Pap untuk deteksi dan diagnosis lesi prakanker dan kanker
serviks,6
IVA
A. Definisi
Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka 9asam asetat 2%) dan larutan iosium
lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan.
Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami dysplasia sebagai salah satu metode
skrinning kanker mulut Rahim. Tes ini lebih cocok digunakan di Negara yang
berkembang, misalnya kamboja.
B. Indikasi
Skrinning kanker mulut Rahim
C. Kontraindikasi
Tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional
seringkali terletak di kanalis servikalias dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo.
D. Persiapan dan syarat
Persiapan alat dan bahan
Sabun dan air untuk mencuci tnagan
Lampu yang terang untuk melihat serviks
Speculum dengan desinfeksi tingkat tinggi
Sarung tangan sekali pakai atau desinfeksi tingkay tinggi
Meja ginekologi
Lidi kapas
Asam asetat 3-5% atau anggur putih (white vinegar)
Larutan iodium lugol
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi instrument dan sarung tangan
Format pencatatan
Persiapan tindakan

Menerangkan prosedur tindakan, bagaimana dikerjakan, dan apa artinya hasil test
positif. Yakinkan bahwa pasien telah memahami dan menandatangani informed

consent.
Pemeriksaan inspekulo secara umum meliputi dinding vagia, serviks, dan forniks.
E. Tekhnik prosedur
20

Sesuaikan pencahayaan untuk mendapatkan gambaran terbaik dari serviks


Gunakan lidi kapas untuk membersihkand arah, mucus dan kotoran lain pada

serviks
Identifikasi daerah sambungan skuamo-columnar (zona transformasi) dan area di

sekitarnya.
Oleskan larutan asam cuka atau lugol, tunggu 1-2 menit untuk terjadinya
perubahan warna. Amati setiap perubahan pada serviks, perhatian dengan cermat

daerah di sekitar zona transformasi.


Lihat dengan cermat SCTdan yakinkan area ini dapat semuanya terlihat. Catat bila
serviks mudah berdarah. Lihat adanya plaque warna putih dan tebal atau epitel
acetowhite bila menggunakan larutan asam asetat atau warna kekuningan bila
menggunakan larutan lugol. Bersihkan segala darah dan debris pada saat

pemeriksaan
Bersihkan sisa larutan asam asetat dan larutan lugol dengan lidi kapas atau kasa

bersih
Lepaskan speculum dengan hati-hati
Catat hasil pengamatan, dan gambar denah temuan
F. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
G. Interpretasi
IVA positif bila ditemukan adanya area berwarna putih (cetonwhite) dan permukaannya
meninggi dengan batas yang jelas disekitar zona transformasi.
Tes pelengkap
1. Tes HPV-DNA
a. Definisi
Pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan
lidi kapas atau sikat
b. Indikasi
Kelompok risiko tinggi paparan terhadap infeksi human papiloma virus
c. Kontraindikasi
Tidak ada
d. Persiapan
1. Persiapan alat
Sabun dan air mengalir untuk cuci tangan
Lampu
Meja ginekologi
Spekulum dengan desinfeksi tingkat tinggi (tidak harus steril)
21

Sarung tangan disposabel atau desinfeksi tingkat tinggi


Sikat kecil, lidi kapas
Botol kecil dengan cairan pengawet (alkohol 96%), untuk menyimpan

sampel
Kaleng berisi air hangat untuk menghangatkan spekulum
Formulir pencatatan
Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi intrumen dan sarung tangan
2. Persiapan pasien
Terangkan tentang tes HPV DNA dan menjelaskan arti positif hasil

pemeriksaan dan lakukan informed consent


Sebaiknya tidak dilakukan pada saat menstruasi, tetapi adanya pendarahan

sedikit tidak menghalangi dilakukannya pemeriksaan


Lakukan pemeriksaan inspikulo secara umum
e. Tekhnik/prosedur
Ambil sampel dari bagian atas vagina dan ostium serviks dnegan
menggunakan lidi kapas dan sikat kecil
Masukan lidi kapas atau sikat ke dalam wadah yang berisi cairan pengawet
Tutup spekulum dan keluarkan dengan gentle
Beri label nama, register dan tanggal pemeriksaan
Catat semua kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan inspekulo
f. Komplikasi/efek samping
Tidak ada
g. Interpretasi
Tes HPV DNA lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi.
Pasien dengan hasil tes positif sebaiknya dilakukan pemeriksaan kolposkopi.
Penderita dnegan HPV positif dengan tes Pap menunjukkan adanya displasia
(ASCUS) termasuk kelompok risiko tinggi dan harus dilakukan pemeriksaan
kolposkopi dan bila perlu biopsi.7

Program IVA di puskesmas


Pelaksanaan IVA dan pelatihan tenaga kesehatan
Pemeriksaan IVA dapat dilakukan oleh tenaga perawat yang sudah terlatih, oleh bidan,
dokter umum atau oleh dokter spesialis.
Adapun pelatihannya, telah ada kesepakatan antara pihak yang berpengalaman dan
berkecimpung dalam kegiatan pelatihan deteksi dini dengan metode IVA ini, hingga disepakati
22

IVA selama 5 (lima) hari. Dua hari untuk pembekalan teori dan juga dry workshop. Adapun
tiga hari untuk pelatihan di klinik dan di lapangan bersifat wet workshop dalam artian latihan
dengan memeriksa langsung pada klien. Sangat disarankan setelah pelatihan tersebut tetap
dilanjutkan dengan pendamping atau supervisi, hingga dapat dicapai suatu kemampuan yang
dinilai kompeten jika personil yang bersangkutan telah melakukan pemeriksaan pada 100 orang
klien dan mendapatka 3 (tiga) hasil pemeriksaan yang positif dan benar. (laporan hasil loka karya
penanggulangan kanker rahim balikpapan, 25 juli 2008).
Akurasi pemeriksaan IVA
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa IVA menjadi alternatif metode
skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas. Namun
demikian, akurasi metode ini dalam penerapan klinis masih terus dikaji diberbagai negara
berkembang.
Penelitian universitas zimbabwe dan JHPIEGO cervical cancer project yang melibatkan
2.203 perempuan di zimbabwe melaporkan bahwa skrining dengan metode IVA dapat
mengidentifikasi sebagian besar lesi prakanker dan kanker. Sensitivitas IVA dibanding dengan
pemeriksaan sitologi (tes Pap) berturut-turut adalah 76,7% dan 44,3%. Meskipun begitu,
dilaporkan juga bahwa IVA kurang spesifik, angka spesifisitas IVA hanya 64,1% dibanding
sitologi 90,6%. Penelitian lainnya mengambil sampel 1997 perempuan di daerah pedesaan cina,
dilakukan oleh belinson JL dan kawan-kawan untuk menilai sensitivitas metode IVA pada lesi
prakanker tahap NIS 2 atau yang lebih tinggi, dikkonfirmasi dengan kolposkopi dan biopsi leher
raim. Hasilnya penerlitian menunjukkan bahwa sensitivitas IVA untuk NIS 2 atau yang lebih
tinggi adalah 71% sementara angka spesifisitas 74%.
Skrining kanker leher rahim
Berbagai metode skrining kanker rahim telah dikenal dan diaplikasikan, dimulai sejak
tahun 1960-an dengan pemeriksaan tes Pap. Selain itu dikembangkan metode visual dengan
gineskopi, atau servikografi dan kolposkopi. Hingga penerapan metode yang dianggap murah
yaitu dengan tes IVA (inspeksi visual dengan asam asetat). Skrining DNA HPV juga ditujukan
untuk mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif dan memprediksi seorang
perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks.
23

Interval skrining
Ameran cancer society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun
setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV pertama.
Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali
memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan skrining
tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila menggunakan
pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang pertama. Setelah
perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining dengan hasil negatif,
skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas skrining dapa tdilakukan
tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan hasil yang signifikan.
WHO merekomendasikan :

Bila skrining hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya dilakukan

pada perempuan antara 35-45 tahun


Untuk perempuan usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan skrining

hendaknya dilakukan 3 tahun sekali


Untuk perempuan dengan usia diatas 50 tahun, cukup dilakukan 5 tahun sekali
Bila 2 kali berturut-turut hasil skrining sebelumnya negatif, perempuan usia diatas 65

tahun, tidak perlu menjalani skrining


Tidak semua perempuan direkomendasikan melakukan skrining setahun sekali.8

Daftar pustaka
1. Rasjidin I. Manual prakanker serviks. Jakarta: CV sagung seto; 2008.h.5-54
2. Rasjidi I. Panduan penatalaksanaan kanker ginekologik berdasarkan evidence based.
Jakarta: EGC;2007.h.6-19
3. Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC;2004.h. 337-345
4. Chandra B. Ilmu kedokteran kpencegahan dan komunitas. Jakarta: EGC; 2009.h. 159-160
5. Jurnal : 2008. Skrinning kanker rahim dengan metode inpeksi visual asam asetat (IVA).
Health technology assessment indonesia, departemen kesehatan republik indonesia hal 336.
24

6. Lestadi J. Penuntun diagnostik praktis sitologi ginekologik apusan pap. Jakarta: widya
medika; 2008.h. 1-4, 17
7. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Jakarta: CV sagung seto.2008. H.49-54
8. Jurnal : 2008. Skrinning kanker rahim dengan metode inpeksi visual asam asetat (IVA).
Health technology assessment indonesia, departemen kesehatan republik indonesia hal 336.

25

Anda mungkin juga menyukai