1.
Ancaman krisis pangan akibat alih fungsi lahan dan rusaknya sistim irigasi/sumber
air. Penyerobotan tanah oleh perusahaan besar mengakibatkan semakin berkurangan
lahan untuk memproduksi pangan. Contoh kasus bisa di lihat pada daerah Delta Upang
dan Delta Telang II di Banyu Asin, dimana daerah ini semenjak tahun 1969 merupakan
daerah penghasil pangan dan penyubang 50 % beras bagi Sumatera Selatan, setelah
pembukaan akses jalan tahun 2000 tanah diserobot oleh investor sawit. Contoh kasus
alih fungsi lahan lainnya di Kab. Pasaman Barat Sumbar, sebelum tahun 1990 daerah
ini termasuk sentra produksi beras dengan luas sawah tidak kurang dari 27.168 hektar,
terjadi penurunan luas sawah seiring masuknya perkebunan kelapa sawit (mulai 1981).
Pada tahun 2005 luas sawah di Pasaman Barat tercatat 16.127 H, dalam periode tahun
2005-2007 terjadi penurunan komulatif sejumlah 1.287 H, hingga sawah yang tersisa di
tahun 2007 seluas 14.840 H (BPS 2008) dan 4.953 diantaranya di tanami tanaman
jagung. Menurut Dinas Pertanian Pesisir Selatan/Sumbar (Padang Today 2/4/2009)
sekitar 1.293 hektar sawah di Pesisir Selatan juga berkurang dalam lima tahun terakhir
akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan perumahan, sawah yang tersisa hanya 30.466
H dengan kepemilikan lahan 0.36 ha per-rumah tangga petani.Perkebunan sawit juga
mengacaukan sistim irigasi dan sumber air. Daya resapan air yang dimiliki oleh
perkebunan kelapa sawit sangat luar biasa, hal ini akan mempercepat proses perubahan
kondisi permukaan tanah dan secara otomatis akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas tanaman pertanian yang berada disekitarnya, terganggunya kebutuhan air bagi
tanaman pangan. Perkebunan sawit juga mengakibatkan langkanya pupuk bagi tanaman
pangan karena pupuk bersubsidi rentan untuk diselewengkan ke perkebunan sawit.
2.
Ekspansi perkebunan sawit bukanlah solusi bagi perubahan iklim, sebaliknya dapat
memperburuk keadaan dengan membabat hutan dan mengkonversi kawasan gambut.
Menjadi penting untuk melihat kembali secara kritis, apakah rencana ekspansi kelapa
sawit atas nama biofuel memang dapat mengurangi dampak perubahan iklim atau malah
mempersulit
kehidupan
mayarakat
dengan
hilangnya
sumber-sumber
penghidupannya. Di satu sisi pemerintah membiarkan hutan di babat oleh perusahaan
perkebunan, sementara disisi lain pemerintah merampas tanah, ribuan hektar ladang dan
sawah digusur dan ribuan petani diusir keluar dari tanahnya atas nama REDD
(perdagangan karbon). Di Manggarai 3040 hektar tanah petani digusur dari daerah yang
akan dijadikan kawasan hutan lindung, di Sulawesi Utara 450 hektar ladang di gusur
dan di Papua hampir 5 juta hektar tanah akan dijadikan kawasan serapan karbon dengan
menggusur masyarakat yang tinggal di dalamnya. Di Ulu Masen, Nangro Aceh
Darusalam sekitar 750.000 hektar tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap
lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi tanah pertanian mereka
seluas 101.000 hektar tanah yang di klaim menjadi kawasan konservasi dalam skema
perdagangan karbon. Sementara pemerintah Sumatera Barat tengah mempersiapkan
untuk pengajuan REDD tahun 2012.
3.
Sengketa agraria dan pelanggaran HAM. Pengadaan tanah bagi perkebunan sawit
besar selain mengakibatkan alih fungsi dan semakin berkurangnya lahan petani juga
menimbulkan sengketa agraria yang berkepanjangan. Untuk melancarkan jalannya
ekspansi perkebunan ini pihak perusahaan dan pemerintah kerab menggunakan aparat
Kepolisian dan TNI bahkan premanisme (Riau) yang berujung pada pemukulan, penjara
dan tidak sedikit korban nyawa (penembakan petani). Hal tersebut dibuktikan dengan
kasus penembakan Yuniar (tewas) dan Disman (dirawat di rumah sakit) dalam
sengketa dengan perusahaan sawit PT Tri Bakti Sari Mas di Kuantan Singingi Propinsi