Anda di halaman 1dari 4

TUGAS ANALISIS SOSIO TEKNOLGI

LA ODE MUHAMMAD HERMAN


131322151

Kebijakan Pangan: Menyempitnya Lahan Pangan Dan


Dilema Perluasan Perkebunan Sawit Besar
Pendahuluan
Cikal bakal sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1848 saat empat bibit dibawa dari
Afrika ke Kebun Raya Bogor kemudian dipindahkan ke Deli/Sumatera dan dikembangkan
tahun 1911 oleh pedagang Belanda. Sejarah perkebunan kalapa sawit di Indonesia terutama di
Sumatera Barat di mulai semenjak tahun 1930-an, tahun 1934 perusahaan perkebunan
Belanda / N.V.Cultuur Maatschaappij membuka kebun sawit di Ophir Pasaman.
Ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan pada masa
pemerintahan Presiden Suharto, perluasan perkebunan sawit ini berlanjut hingga
pemerintahan Presiden SBY. Rencana Pembangunan Nasional Tahunan disusun berdasarkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM/2010-2014) yang fokus sektoral
tahunannya disesuaikan dengan rencana besar pemerintah dalam bidang pertanian, yaitu
kelapa sawit.
Luas kebun sawit di Indonesia saat ini mencapai 9,4 juta hektar (sawit watch, 2010) dengan
komposisi kepemilikan kebun rakyat/petani 36 %, kebun milik PTPN 26 % dan kebun milik
perusahaan swasta 38% yang dikuasai 30 group/lebih kurang 700 anak perusahaan, sekitar
60% dari total luas sawit nasional berada di Sumatera dan menurut Gubernur Sumbar tahun
2008 luas kebun sawit di Sumatera Barat mencapai 771.406 ha dari 1,5 juta ha total luas
perkebunan Sumbar.
Total Produksi CPO nasional sampai akhir tahun 2009 sebesar 21,3 juta ton, namun
yang diolah di dalam negeri hanya sekitar 5 juta ton per tahun, artinya sektor perkebunan
kelapa sawit berorientasi ekspor. Pertahunnya Indonesia mengekspor minyak sawit mentah
dengan tujuan China (24,6%), India (17%), Uni Eropa (12%) Pakistan (7%) dan sisanya ke
Bangladesh, Turki serta beberapa negara di Amerika Latin.
Dampak Ekspansi Perkebunan Sawit Besar
Pengembangan dan perluasan kebun kelapa sawit membuat sebagian orang menangguk
rezeki sekaligus menyisakan nestapa bagi sebagian besar lainnya. Ekspansi besar-besaran
perkebunan kelapa sawit mengakibatkan :

1.

Ancaman krisis pangan akibat alih fungsi lahan dan rusaknya sistim irigasi/sumber
air. Penyerobotan tanah oleh perusahaan besar mengakibatkan semakin berkurangan
lahan untuk memproduksi pangan. Contoh kasus bisa di lihat pada daerah Delta Upang
dan Delta Telang II di Banyu Asin, dimana daerah ini semenjak tahun 1969 merupakan
daerah penghasil pangan dan penyubang 50 % beras bagi Sumatera Selatan, setelah
pembukaan akses jalan tahun 2000 tanah diserobot oleh investor sawit. Contoh kasus
alih fungsi lahan lainnya di Kab. Pasaman Barat Sumbar, sebelum tahun 1990 daerah
ini termasuk sentra produksi beras dengan luas sawah tidak kurang dari 27.168 hektar,
terjadi penurunan luas sawah seiring masuknya perkebunan kelapa sawit (mulai 1981).
Pada tahun 2005 luas sawah di Pasaman Barat tercatat 16.127 H, dalam periode tahun
2005-2007 terjadi penurunan komulatif sejumlah 1.287 H, hingga sawah yang tersisa di
tahun 2007 seluas 14.840 H (BPS 2008) dan 4.953 diantaranya di tanami tanaman
jagung. Menurut Dinas Pertanian Pesisir Selatan/Sumbar (Padang Today 2/4/2009)
sekitar 1.293 hektar sawah di Pesisir Selatan juga berkurang dalam lima tahun terakhir
akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan perumahan, sawah yang tersisa hanya 30.466
H dengan kepemilikan lahan 0.36 ha per-rumah tangga petani.Perkebunan sawit juga
mengacaukan sistim irigasi dan sumber air. Daya resapan air yang dimiliki oleh
perkebunan kelapa sawit sangat luar biasa, hal ini akan mempercepat proses perubahan
kondisi permukaan tanah dan secara otomatis akan sangat berpengaruh terhadap
kualitas tanaman pertanian yang berada disekitarnya, terganggunya kebutuhan air bagi
tanaman pangan. Perkebunan sawit juga mengakibatkan langkanya pupuk bagi tanaman
pangan karena pupuk bersubsidi rentan untuk diselewengkan ke perkebunan sawit.
2.
Ekspansi perkebunan sawit bukanlah solusi bagi perubahan iklim, sebaliknya dapat
memperburuk keadaan dengan membabat hutan dan mengkonversi kawasan gambut.
Menjadi penting untuk melihat kembali secara kritis, apakah rencana ekspansi kelapa
sawit atas nama biofuel memang dapat mengurangi dampak perubahan iklim atau malah
mempersulit
kehidupan
mayarakat
dengan
hilangnya
sumber-sumber
penghidupannya. Di satu sisi pemerintah membiarkan hutan di babat oleh perusahaan
perkebunan, sementara disisi lain pemerintah merampas tanah, ribuan hektar ladang dan
sawah digusur dan ribuan petani diusir keluar dari tanahnya atas nama REDD
(perdagangan karbon). Di Manggarai 3040 hektar tanah petani digusur dari daerah yang
akan dijadikan kawasan hutan lindung, di Sulawesi Utara 450 hektar ladang di gusur
dan di Papua hampir 5 juta hektar tanah akan dijadikan kawasan serapan karbon dengan
menggusur masyarakat yang tinggal di dalamnya. Di Ulu Masen, Nangro Aceh
Darusalam sekitar 750.000 hektar tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap
lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi tanah pertanian mereka
seluas 101.000 hektar tanah yang di klaim menjadi kawasan konservasi dalam skema
perdagangan karbon. Sementara pemerintah Sumatera Barat tengah mempersiapkan
untuk pengajuan REDD tahun 2012.
3.
Sengketa agraria dan pelanggaran HAM. Pengadaan tanah bagi perkebunan sawit
besar selain mengakibatkan alih fungsi dan semakin berkurangnya lahan petani juga
menimbulkan sengketa agraria yang berkepanjangan. Untuk melancarkan jalannya
ekspansi perkebunan ini pihak perusahaan dan pemerintah kerab menggunakan aparat
Kepolisian dan TNI bahkan premanisme (Riau) yang berujung pada pemukulan, penjara
dan tidak sedikit korban nyawa (penembakan petani). Hal tersebut dibuktikan dengan
kasus penembakan Yuniar (tewas) dan Disman (dirawat di rumah sakit) dalam
sengketa dengan perusahaan sawit PT Tri Bakti Sari Mas di Kuantan Singingi Propinsi

Riau (8 Juni 2010). Penggusuran, perusakan tanaman, penangkapan dan tindak


kekerasan terhadap petani di Desa Damak Maliho dan Desa Batu Kober Kabupaten Deli
Serdang yang bersengketa dengan PTPN IV Adolina, dan terhadap petani Bandar Pasir
Mandoge Kabupaten Asahan Sumatera Utara yang bersengketa dengan PT Bakri
Sumatera Plantation. Penangkapan petani Lubuk Bandung yang bersengketa dengan
PTPN VII (23 Maret 2010), oleh anggota Polres Lubuk Bandung, Ogan Ilir, dan
penembakan terhadap 20 petani dalam peristiwa di Desa Rengas, Ogan Ilir,Sumatera
Selatan. Kemudian Kasus terbaru yang terjadi di Jambi (Penembakan Petani) dan
penggusuran di Lampung. Di Sumatera Barat sebut saja penembakan Sarimin oleh TNI
dalam sengketa lahan dengan PT PANP di Kinali Kabupaten Pasaman Barat, kemudian
(9 Januari 2010) intimidasi oleh aparat Koramil dan Polsek Sungai Baremas petani di
Simpang Tenggo Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat dan yang terbaru penahanan 3
orang warga dalam sengketa dengan PT Anam Koto Pasaman Barat.
4.
Dampak Sosial. Di saat industri Eropa, Amerika dan negara Asia lainya berlombalomba memenuhi kebutuhan energi dari bahan bakar nabati, mendorong Indonesia
memperluas kebun sawit sebesar-besarnya dengan alasan pemerintah untuk
mempercepat pengurangan kemiskinan, namun hal ini justru menciptakan kemiskinan
baru yang lebih luas. Akibat penurunan harga TBS tahun 2008 yang lalu sebagian
petani terpaksa menjual kebunnya, bahkan ada yang sampai bunuh diri akibat depresi,
serta pemutusan hubungan kerja di mana-mana. Ketika harga sawit membaik, kaum tani
justru dihadapkan pada peningkatan harga minyak goreng yang peningkatannya jauh
lebih tinggi dari pada peningkatan pendapatan yang diterima. Belum lagi harga pangan
lainnya yang ikut-ikutan meningkat. Masyarakat kecil, diantaranya seperti petani,
nelayan pun yang hidupnya langsung bergantung pada alam harus menanggung akibat
paling berat dari dampak perubahan iklim.
Tumpang Tindih Kebijakan Pemerintah Sumatera Barat
Tidak adanya cetak biru dalam pembangunan pertanian tanaman pangan dan
perkebunan yang berkelanjutan di Sumatera Barat semakin menambah peluang pelanggaran
HAM, ganti kepemimpinan berganti kebijakan. Dalam rapat koordinasi Bupati se-Sumbar
awal Juli 2009 disepakati tidak ada lagi penambahan investasi sawit di Sumbar karena tanah
yang tersisa akan di manfaatkan untuk rakyat miskin. Bahkan Gamawan Fauzi kala itu
merupakan satu-satunya Gubernur di Indonesia yang berani mengambil kebijakan pertanahan
yang memihak rakyat miskin (Metrotvnews.com, 3/07/2009). Namun empat bulan
kemudian, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sumbar, Fajaruddin, mengatakan tidak ada
pembatasan luas perkebunan kelapa sawit di Sumbar (Sitinjau News, 30/11/2009).
Pasca pemerintahan Gamawan Fauzi , Marlis Rahman menargetkan luas tanam
perkebunan di Sumatera Barat selama tahun 2010 menjadi 108.098 hektare agar produksi
tanam meningkat, termasuk dalam hal ini kelapa sawit. Kebijakan ini belanjut dengan
keluarnya izin lokasi bagi perusahaan perkebunan sawit oleh Bupati Mentawai walau di
tentang banyak kalangan. Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Judas Sabaggalet kepada
Kompas (28/06/2010) mengakui terbitnya izin untuk pembukaan perkebunan sawit di Pulau
Siberut, Pulau Sipora, dan Pulau Pagai Utara. Izin tersebut mencakup 40.000 hektar di Pulau
Siberut, 15.000 hektar di Pulau Sipora, dan 15.000 hektar di Pulau Pagai Utara.

Sementara Badan Ketahanan Pangan Sumatera Barat menegaskan bahwa Kepulauan


Mentawai Rawan Pangan karena terbatasnya lahan dan produksi serta sulitnya pasokan dari
luar. Angin segar bagi petani untuk meningkatkan taraf hidupnya terutama pangan di
hembuskan oleh Gubernur Irwan Prayitno di awal kepemimpinannya dengan pernyataan akan
membagikan 43 ribu lahan terlantar untuk rakyat miskin, namun ini perlu dicermati lebih
mendalam lagi mengingat Gubernur punya ambisi menjadikan Sumbar sentra Kakao
Nasional.
Pembangunan Sumatera Barat yang berorientasi tanaman perkebunan/ekspor semakin
mengancam kedaulatan pangan Sumbar. Indikasi Sumbar mengalami ancaman krisis pangan
semakin terlihat dengan maraknya alih fungsi lahan dan sengketa agraria berkepanjangan,
dan contoh nyata saat ini setiap bulan Bulog Sumbar mendatangkan beras dari luar 250 300
ton beras per Kabupaten/Kota untuk di bagikan kepada rakyat miskin.
Bahkan secara Nasional, Perum Bulog akan mengimpor 300 ribu ton beras yang akan
didistribusikan di luar pulau jawa (diluar raskin), dan untuk kebutuhan Sumatera Barat dan
sebagian Jambi akan di distribusikan melalui pelabuhan Teluk Bayur. Penataan kembali
struktur agraria yang timpang, pendistribusian tanah kepada petani merupakan jawaban atas
ancaman krisis pangan, yang kemudian diikuti dengan keberpihakan pemerintah pada
pembangunan kedaulatan pangan.
Pembaruan agraria harus dapat memenuhi rasa keadilan,pembaruan agraria harus
dapat menyelesaikan semua konflik dan sengketa agraria yang telah terjadi dari masa lalu dan
yang terjadi saat ini. Pemerintah juga harus berupaya untuk menciptakan peraturan yang tidak
memberikan peluang terjadinya konflik agraria dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Petani.

Anda mungkin juga menyukai