Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks merupakan penyakit yang memiliki insiden tinggi,
dibuktikan dengan menempati urutan ke dua jenis kanker pada wanita terbanyak di
dunia dan menempati urutan pertama jenis kanker terbanyak di negara berkembang.
Menurut WHO, kanker serviks menyebabkan 266.000 kematian di dunia dengan
85% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2014). Didukung dengan
estimasi International Agency for Research on Cancer, angka kejadian kanker
serviks sebanyak 17 per 100.000 perempuan (IARC, 2012). Kanker serviks dan
kanker payudara merupakan penyakit kanker tertinggi pada perempuan di
Indonesia. Penyakit kanker serviks menempati peringkat ke empat di Jawa Barat
(Depkes, 2014).
Menurut data dari instalasi rekam medis pusat RSUP Dr. Hasan Sadikin,
kanker serviks menduduki peringkat pertama kasus kanker pada tahun 2013-2014.
Jumlah pasien kanker serviks dalam dua tahun terakhir terhitung Januari 2013
sampai dengan Oktober 2014 di bagian instalasi rawat jalan poliklinik kandungan
ginekologi dan onkologi sebanyak 1193 pasien. Jumlah pasien kanker serviks di
instalasi rawat inap gedung kemuning dalam dua tahun terakhir sebanyak 595
pasien.
Ketika seseorang didiagnosis menderita kanker serviks, maka terdapat
beberapa rangkaian penatalaksanaan yang harus dijalani sesuai dengan stadium

kanker, seperti pembedahan atau histerektomi, radioterapi, dan kemoterapi dalam


waktu yang panjang (Devi, 2009). Rangkaian penatalaksanaan yang panjang akan
menyebabkan pasien kanker sangat sulit untuk menerima dirinya karena perubahan
kondisi tubuh dan penatalaksanaan yang dapat menimbulkan stres terus-menerus,
hal ini tentu akan mempengaruhi penyesuaian fisik dan juga psikologis individu
(Susanti & Achir Yani S. Hamid, 2011). Pasien kanker serviks dalam menghadapi
perubahan kondisi, baik fisik maupun psikologis membutuhkan kekuatan dalam
penyesuaian fisik dan psikologis pada pasien kanker, yang sebenarnya pasien
kanker masih memiliki kekuatan dalam dirinya untuk membantu mereka bertahan
dengan stres yang dirasakan dan memaknai hidupnya meskipun berada dalam
situasi stres yang tinggi (Lubis, 2009; Loprinzi, 2011).
Calista Roy (1964, dalam Asmadi, 2008) melihat mekanisme koping untuk
menilai kemampuan beradaptasi seseorang dalam setiap stresor yang dihadapi.
Stresor sangat erat hubungannya dengan ansietas, secara umum mekanisme koping
terhadap ansietas diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu strategi pemecahan
masalah (problem solvng strategic) dan mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism). Kekuatan dalam bentuk ketahanan yang dimiliki seorang pasien
kanker serviks dapat dilihat sebagai mekanisme resiliensi yang dapat menjadikan
pasien berkembang dalam menghadapi kesulitan. Meningkatkan resiliensi juga
merupakan kemampuan yang dibutuhkan dalam proses pengobatan, pencegahan,
perlindungan, dan pertahanan individu. Resiliensi merupakan kemampuan individu
untuk bertahan dengan mengatasi kesulitan, rasa frustasi, ataupun permasalahan
yang dialami oleh individu secara sadar untuk mengubah pola pikir, sehingga dapat
berkembang menempatkan diri dengan baik dan tidak putus asa terhadap

pengalaman yang tidak menyenangkan selama kehidupannya (Janas, et al., 2002


dalam Dewi & Vonny Djonaina, 2005). Menurut Connor dan Davidson (2003)
resiliensi memiliki lima aspek yaitu kompetensi personal, standar yang tinggi, dan
kegigihan; kepercayaan terhadap nalurinya, toleransi terhadap hal-hal negatif, dan
kekuatan menghadapi stres; penerimaan positif terhadap perubahan dan hubungan
dengan orang lain; kontrol diri; dan pengaruh spiritual.
Seorang pasien kanker dapat memiliki resiliensi yang tinggi atau rendah
disebabkan oleh berbagai faktor. Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi
resiliensi seseorang, yang pertama faktor risiko seperti kehilangan dan status
ekonomi yang membuat resiliensi seseorang rendah, kedua faktor protektif seperti
karakteristik individu, keluarga, dan lingkungan sosial yang dapat membangun
resiliensi, dan ketiga faktor penghambat yang dilihat berdasarkan stresor dari
keadaan yang dihadapi (Neill dan Dias, 2001 dalam Bastian, 2012; Meichenbanum
& Distinguished, 2008). Respon atau perilaku adaptasi seseorang terhadap
perubahan atau kemunduran, menurut teori adaptasi Roy, bergantung pada stimulus
yang masuk dan tingkat atau kemampuan adaptasi orang tersebut. Tingkat atau
kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal, yaitu masukan (input),
control, dan keluaran (output) (Asmadi, 2008). Semakin tinggi resiliensi pasien
maka akan meningkatkan tingkat self-esteem, self-confidence, dan disiplin yang
tinggi; keberanian dan optimisme dalam menghadapi kegagalan; kapasitas kognitif
diatas rata-rata; dan memiliki kemungkinan yang lebih besar utuk terbebas dari
penyakit (Portzky, et al., 2010).
Resiliensi dalam perawatan kanker memberikan dampak klinis yang positif
pada kesehatan fisik maupun mental pasien (Manuela Eicher, et al., 2015). Hasil

penelitian Min, Yoon, dan Lee, (2013) yang menggambarkan resiliensi


berkonstribusi terhadap distres emosional pada pasien kanker, terdapat 49,2 %
pasien memiliki resiliensi rendah yang berkonstribusi terhadap distres pasien
kanker sebesar 34%. Kondisi ketika pasien kanker serviks tidak memiliki resiliensi
yang tinggi, mungkin akan terjadi sindrom penurunan moral (demoralisasi) yang
terindikasi dengan adanya distress, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan
kehilangan makna tujuan hidupnya (Lee, Fang, & Yang, 2012). Upaya dalam
mencegah terjadinya demoralisasi maka dibutuhkan resiliensi yang tinggi, seperti
yang dikatakan oleh Min, Yoo, dan Lee, (2013) bahwa resiliensi secara psikologis
dapat berkontribusi terhadap terjadinya distres emosional pada pasien kanker.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa wanita selama diagnosis kanker ginekologi
memiliki kualitas resiliensi yang tinggi, karena mereka masih mampu
mengekspresikan emosinya secara positif dan memaknai tujuan hidup mereka,
sedangkan pada stadium lanjut resiliensi pasien kanker cenderung lebih rendah, hal
ini berhubungan dengan keadaan distres yang meningkat (Manne, Myers-Virtue,
Kashy, et al., 2015; Min, Yoo, & Lee, 2013).
Rangkaian proses penatalaksanaan dalam jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan masalah baik fisik, psikologis, dan sosial (Misgiyanto & Susilawati,
2014). Penatalaksanaan kanker serviks akan memberikan dampak fisik terutama
pada perubahan fisiologis vaginanya dan menyebabkan distress yang cukup besar,
sehingga timbul kelelahan karena stresor yang muncul selama proses
penatalaksanaan seperti efek samping, lamanya pengobatan, dan tingginya biaya
pengobatan. Beberapa penelitian lain menyatakan bahwa, pasien kanker dapat
mengalami kelelahan selama menerima kemoterapi adjuvan. Kelelahan juga

merupakan masalah penting pada pasien yang menjalani radioterapi, kelelahan


pasien setidaknya timbul diawal radioterapi. Stresor yang muncul selama proses
penatalaksanaan kanker akan menyebabkan ketidakpatuhan pasien dalam
menjalani penatalaksanaan kanker (Vrzackova et al., 2010; Sekse et al., 2014;
Pertwi et al., 2011; Beyer, 2009; Strauss et al., 2007). Selain itu, rangkaian proses
penatalaksanaan yang panjang dapat menyebabkan perubahan pada kehidupan
pribadi pasien di lingkungan sosial seperti dalam menjalani aktivitas sehari-hari,
pekerjaan, hubungan, dan peran dalam keluarga (Sand, Olsson, & Strang, 2009).
Stres yang tinggi dan berkepanjangan dapat menimbulkan berbagai masalah
psikologis pada pasien kanker serviks seperti stres, cemas, dan depresi. Beberapa
hasil penelitian menunjukan tingkat stres, cemas, dan depresi pada pasien kanker
serviks, yaitu: (10%) pasien mengalami stres sedang dan (2,86%) pasien mengalami
stres berat; (30%) menunjukan gejala kecemasan ringan, (20%) menunjukan gejala
kecemasan sedang, dan (10%) menunjukan gejala kecemasan berat; (50%) depresi
berat dan (50%) yang mengalami depresi sedang (Bintang, 2011; Yolanda &
Karwur, 2013; Rosviantika 2013). Berdasarkan berbagai dampak yang timbul pada
kasus kanker serviks, resiliensi menjadi penting karena keinginan, keyakinan, dan
usaha untuk beradaptasi terhadap keadaan stres, cemas, dan depresi yang muncul
akan sangat berpengaruh pada kemajuan, proses, dan hasil pengobatan.
Berdasarkan data dari instalasi rekam medis pusat RSUP Dr. Hasan Sadikin,
pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi dalam satu tahun terakhir
sebanyak 105 pasien dan 244 pasien kanker serviks menjalani kemoterapi. Tiga
bulan terakhir terhitung Oktober 2014 sampai Desember 2014 terdapat 54 pasien
menjalani kemoterapi dan 13 pasien tidak melanjutkan kemoterapi, serta 42 pasien

menjalani radioterapi dan 9 pasien tidak melanjutkan radioterapi. Rata-rata pasien


per bulan dalam tiga bulan terhitung November 2014 sampai dengan Januari 2015
sebanyak 33 pasien yang menjalani histerektomi, kemoterapi, dan radioterapi.
Hasil wawancara yang dilakukan pada 20 Januari 2015, 10 Februari 2015,
dan 16 Februari 2015 terhadap 6 orang pasien kanker serviks dan 1 orang perawat
di ruang kemuning lantai 3, didapatkan informasi pada pasien dengan stadium I
menyatakan bahwa pasien gelisah dan tidak bisa menerima akan keadaannya saat
ini, meskipun begitu pasien memiliki semangat yang baik untuk menjalani operasi,
karena informasi dari orang-orang sekitar bahwa kanker serviks stadium I masih
bisa diatasi dengan operasi. Pasien dengan stadium II merasa lelah akan proses
kemoterapi dan ingin menyudahi proses kemoterapi, pasien hampir merasa putus
asa karena khawatir dengan keluarga yang ada di rumah terutama anak, sehingga
peran ibu sudah tidak lagi terlaksana dalam keluarga. Terdapat juga pasien yang
menyatakan dia harus bertahan dalam menjalani kemoterapi karena yakin bahwa
kemoterapi dapat membuat kondisi kesehatannya menjadi lebih baik meskipun
banyak sekali efek samping yang dirasakan.
Pasien dengan stadium III yang akan menjalani radioterapi menyatakan
bahwa merasa sudah lelah sekali dan perasaan cemas terus menerus yang dirasa
percuma dengan prosedur pengobatan terlebih dengan biaya yang tidak murah.
Pasien dengan stadium IV di ruang kemoterapi lantai 3 gedung eykman, pasien
merasakan takut akan kematian dan masih belum bisa menerima keadaan tentang
penyakitnya. Terkadang pasien menangis dengan sendirinya karena rasa sakit,
merasa sudah tidak ada yang bisa dilakukan, dan ketakutan yang ada dalam
pikirannya. Saat ini yang bisa dia lakukan hanya terus berdoa agar tetap dapat

melewati setiap prosedur pengobatan yang dilakukan meskipun rasa lelah sangat
terasa dan ingin terus menghabiskan waktu bersama keluarga. Perawat ruangan
mengatakan bahwa terdapat seorang pasien yang menolak untuk dilakukan
kemoterapi, beberapa keluhan yang pernah didengar oleh perawat dari pasien
adalah rasa lelah, capek dengan efek samping yang harus dirasa setelah kemoterapi,
dan biaya yang dikeluarkan. Pasien meninggal dunia dua hari setelah jadwal
kemoterapi yang ditentukan oleh dokter.
Hal-hal yang pasien kanker serviks rasakan terkadang menjadi beban
pikiran yang membuat mereka menjadi menangis, gelisah, sulit tidur, dan sering
melamun. Tidak jarang bagi pasien kanker serviks memiliki keinginan untuk
menyudahi prosedur terapi yang dijalani. Tanda-tanda dari yang sudah dikatakan
oleh para pasien kanker serviks menunjukan gejala stres, cemas dan depresi. Ketika
mereka mengalami rasa lelah akan keadaan, mereka mengatakan mereka hanya bisa
berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan, ada juga yang mengatakan pasrah saja
dengan keadaan yang ada, dan ada juga yang ingin terus berusaha untuk menjalani
prosedur pengobatan kanker serviks meskipun tahu bahwa pada stadium lanjut
kemungkinan sembuhnya kecil.
Keadaan pasien kanker serviks selama menjalani perawatan di rumah sakit
akan mengalami distres yang merupakan dampak dari proses penatalaksanaan
kanker dan kondisi tubuh sesuai dengan stadium kanker (Min, Yoon, Lee, 2013).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Elizabeth Kubler Ross, (1969, dalam Bastable,
2002) menunjukan bahwa reaksi awal pasien ketika diberi tahu bahwa seseorang
menderita penyakit kronis yang parah maka akan menerapkan mekanisme
pertahanan yang dikatakan sebagai penolakan, sehingga dibutuhkan ketahanan diri

dari dalam diri pasien. Hal ini tidak terlepas dari peran perawat yang
bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan pasien kanker secara holistic atau
menyeluruh. Sejalan dengan teori keperawatan Virginia Henderson (1966, dalam
Asmadi, 2008) yang melihat pasien dari bio-psycho-socio-culture-spiritual dengan
memenuhi keempatbelas kebutuhan dasar pasien kanker.
Oleh karena itu resiliensi pasien kanker serviks perlu diteliti untuk
mengetahui bagaimana kemampuan bertahan pasien kanker serviks pada kondisi
stres, cemas, dan depresi dalam melanjutkan prosedur penatalaksanaan yang
berlangsung dalam waktu yang lama dan panjang. Berdasarkan fenomena di atas
peneliti merasa penting dan tertarik untuk meneliti gambaran resiliensi pasien
kanker serviks di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

1.2 Identifikasi Masalah


Insiden kanker serviks yang tinggi baik di dunia, Indonesia, maupun di Jawa
Barat membutuhkan perhatian khusus. Prosedur penatalaksanaan yang panjang
memberikan dampak bagi fisik, psikologi, dan kehidupan sosial pasien kanker.
Dampak yang timbul dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam prosedur
penatalaksanaan kanker, sehingga dibutuhkan gambaran resiliensi dari pasien
kanker serviks untuk bertahan dalam mencapai tujuan penatalaksanaan.
Berdasarkan latar belakang yang menjadi rumusan penelitian ini adalah bagaimana
gambaran resiliensi pasien kanker serviks di RSUP Dr. Hasan Sadikin?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran resiliensi pasien kanker serviks di RSUP Dr.
Hasan Sadikin.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian antara lain:
1.

Mengetahui gambaran kompetensi personal, standar yang tinggi, dan


kegigihan pasien kanker serviks di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

2.

Mengetahui gambaran kemampuan pasien dalam percaya terhadap nalurinya,


toleransi terhadap hal-hal negatif, dan kekuatan menghadapi stres pada pasien
kanker serviks di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

3.

Mengetahui gambaran penerimaan dirinya terhadap perubahan dan hubungan


antara pasien kanker serviks dengan orang lain di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

4.

Mengetahui gambaran kontrol diri pasien kanker serviks di RSUP Dr. Hasan
Sadikin.

5.

Mengetahui gambaran pengaruh spiritual pasien kanker serviks di RSUP Dr.


Hasan Sadikin.

1.4 Kegunaan Penelitian


1.4.1. Bagi Profesi Keperawatan
Penelitian ini dapat membantu perawat di ruangan rawat inap dalam
mengidentifikasi sejauh mana resiliensi pasien kanker serviks yang menjalani
penatalaksanaan kanker sehingga dapat memberikan dukungan emosional yang

10

tepat bagi pasien serta dapat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas dalam
memberikan asuhan keperawatan.
1.4.2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan informasi berupa data kepada rumah sakit sebagai data awal
dalam mengkaji status kesehatan secara piskologis pada pasien kanker serviks yang
akan melakukan penatalaksanaan kanker dengan menerapkan manajemen resiliensi
pasien dalam upaya pencegahan timbulnya masalah psikososial pada pasien kanker
serviks.
1.4.3. Bagi Peneliti
Penelitian ini menambah wawasan peneliti tentang gambaran resiliensi pasien
kanker serviks yang menjalani penatalaksanaan kanker.
1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi awal
untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait faktor-faktor yang mempengaruhi
resiliensi pasien kanker serviks di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

1.5 Kerangka Pemikiran


Kanker atau dalam bahasa medisnya disebut karsinoma merupakan
sekelompok penyakit yang ditandai oleh terjadinya proliferasi (pembelahan dan
pertumbuhan) sel-sel yang tidak terkendali dan tidak normal secara cepat.
(Dunleavey, 2009). Sel-sel kanker kemudian menginvasi dan menghancurkan
jaringan sekitar yang masih sehat. Apabila pertumbuhan dan perkembangan sel
terus berlanjut, maka akan menimbulkan tanda dan gejala kanker pada pasien.

11

Untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat perkembangan kanker


serviks maka diperlukan suatu penatalaksanaan seperti histerektomi, radioterapi,
dan kemoterapi. Secara umum kanker serviks invasif ditangani dengan histerektomi
(pembedahan jaringan yang terinfeksi) atau radioterapi, dan terkadang dilakukan
kombinasi keduanya. Pasien yang terdiagnosis pada stadium awal (satadium IA dan
stadium IB) dapat diberikan terapi histerektomi (Devi, 2009). Radioterapi
merupakan penatalaksanaan yang difokuskan untuk kemungkinan survive setelah
penatalaksanaan yang ditujukan untuk keganasan dengan menggunakan sinar
pengion berupa sinar gamma dan sinar X untuk menghancurkan sel-sel kanker.
Namun, efek samping radioterapi memungkinkan timbulnya dampak negatif secara
fisik maupun psikologi bagi pasien kanker serviks (Fitriana & Ambarini, 2012;
Erfina, 2010). Kemoterapi merupakan terapi dengan memberikan zat kimia dalam
bentuk obat-obatan sitostatik yang bertujuan untuk menghancurkan atau
memperlambat pertumbuhan sel-sel kanker.
Proses penatalaksanaan seperti pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi
akan menimbulkan masalah baik fisik, psikologis dan sosial (Misgiyanto &
Susilawati, 2014). Sementara itu, dibutuhkan resiliensi yang tinggi untuk
beradaptasi pada keadaan stres, cemas, dan depresi. Menurut Connor dan Davidson
(2003) resiliensi merupakan kemampuan bertahan terhadap stresor yang timbul
akibat kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada dirinya atau dapat dikatakan
sebagai indikator yang menentukan bahwa seseorang telah berhasil mengatasi stres,
kecemasan, dan depresi. Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor risiko yang menyebabkan seseorang
memiliki resiliensi rendah, faktor protektif yang mempertahankan individu agar

12

bertahan dalam mengahadapi masalah dalam kehidupan, dan faktor penghambat


yang menghambat pembentukan resiliensi (Bastian, 2012; Meichenbanum, 2008).
Connor dan Davidson (2003) menyebutkan terdapat lima aspek yang dimiliki
oleh individu yang resilien. Kelima aspek resiliensi yaitu: (1) kompetensi personal,
standar yang tinggi, dan kegigihan menunjukan kemampuan seseorang agar tetap
tenang dan tidak putus asa dalam mencapai tujuan hidupnya; (2) kepercayaan
terhadap nalurinya, toleransi terhadap hal-hal negatif, dan kekuatan menghadapi
stres adalah kemampuan untuk percaya pada nalurinya dengan toleransi terhadap
hal negatif dan kuat atau tegar dalam menghadapi tekanan; (3) penerimaan positif
terhadap perubahan dan hubungan dengan orang lain adalah kemampuan dalam
beradaptasi ketika menghadapi perubahan dan menjalin hubungan dengan orang
lain dengan mengapresiasikan tujuan dan makna dari pengalaman yang pernah
terjadi; (4) kontrol diri merupakan kemampuan pengendalian diri seseorang dalam
mencapai tujuan dan mendapatkan bantuan orang lain dengan usaha dan kerja
keras, serta harapan; dan (5) pengaruh spiritual merupakan kepercayaan terhadap
Tuhan dan takdir dalam hidupnya.

13

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran


Gambaran Resiliensi Pasien Kanker Serviks
di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Pasien Kanker Serviks


Stadium (IA, IB, IIA, IIB,
IIIA, IIIB, IIIC, IV)

Menjalani penatalaksanaan
(Histerektomi, Kemoterapi,
Radioterapi)

Faktor
Resiko

Dampak
1. Fisik
2. Psikologi
3. Sosial

Stres,
Cemas,
Depresi

Faktor
Protektif

Faktor
Penghambat

Resiliensi
Kompetensi personal, standar yang
tinggi, dan kegigihan;
Percaya pada nalurinya, toleransi
terhadap hal-hal negatif, dan kuat
menghadapi tekanan
Penerimaan positif terhadap
perubahan dan hubungan baik
Kontrol diri
Pengaruh spiritual

Tinggi

Keterangan:
= yang diteliti,
= yang tidak diteliti
Sumber : CD-RISC, Connor dan Davidson (2003)

Sedang

Rendah

Anda mungkin juga menyukai