PENDAHULUAN
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
undangan tentang hak asasi perempuan. Disamping itu, dengan banyaknya masalah
yang muncul tentang kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih
sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, seperti
eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah
konflik, prostitusi dan lain-lainnya.
2.2 Hak Asasi Perempuan Pada Tataran Global
Berbagai mitos tentang perempuan pun sering terdengar dalam kehidupan
sehari-hari, yang seolah-olah menjadi pembenar atas apa yang dikatakan oleh
Rehman; bahwa perempuan ternyata dilihat sebagai makhluk manusia kelas dua,
sedangkan tempat pertama diduduki oleh laki-laki, atau perempuan sebagai sumber
ketidakberuntungan dan membawa penyakit, bahkan sebuah bencana yang abadi dan
menarik.
Menurut Mansour Fakih (2003: 23), keadaan yang memprihatinkan
perempuan juga terlihat semasa Orde Baru; tidak ada produk-produk hukum yang
menyinggung kepentingan perempuan misalnya dalam UU Perkawinan, UU
Kewarganegaraan, UU Kesehatan, UU Perpajakan dan lain-lain. Rezim Orde Baru
adalah rezim yang ditegakkan dengan prinsip patriarkhi. Perlindungan terhadap
tenaga kerja perempuan sangat lemah, perdagangan kaum perempuan tidak mendapat
banyak perhatian dari pemerintah, bahkan kaum perempuan kemudian dipersalahkan
mengapa harus bekerja sebagai buruh atau pembantu, mengapa tidak mencari
pekerjaan lain. Kaum perempuan semakin memilukan nasibnya, misalnya dari segi
angka kematian ibu melahirkan di Indonesia, adalah angka tertinggi di ASEAN, yaitu
308 per 10.000 kelahiran, atau rata-rata 15.000 orang meninggal setiap tahun. Dari
segi tingkat pendidikan, menempati angka terendah dibanding laki-laki, 39 persen
perempuan tidak sekolah, 13 persen lulus SLTP dan kurang dari 5 persen lulus
perguruan tinggi, dan 51 persen perempuan yang bekerja adalah bekerja di sektor
informal. Semua fakta ini disebut sebagai sebuah mekanisme penindasan, berarti
bahwa ada penindas, dan ada yang ditindas.
Subedi (dalam Rehman, 2003: 346) mengatakan bahwa salah satu problem
besar yang mengarah kepada dampak negatif terhadap posisi perempuan adalah
keengganan Hukum HAM Internasional untuk mengintervensi atas apa yang disebut
sebagai private matter (masalah privat, sebagai lawan public matters). Usahausaha untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan di ranah privat mendapat
perlawanan yang mendasar. Menurut Byners (dalam Rehman, 2003), intrusi terhadap
kehidupan privat dan keluarga tidak dilihat sebagai sesuatu yang diinginkan dalam
kerangkan penegakan hukum. Intrusi semacam itu dilihat berlawanan dengan nilainilai sosial, budaya dan agama yang hidup dan dianut masyarakat. Itu sebabnya
kemudian perempuan menjadi target kekerasan mental dan fisik, dan dalam struktur
sosial tertentu harus mengalami penolakan, subordinasi dan dipermalukan dalam
kehidupan mereka.
PBB telah mengambil langkah-langkah positif untuk mengatasi diskriminasi
dan kekerasan terhadap perempuan, yang bermuara kepada pengakuan hak asasi
perempuan adalah Hak Asasi Manusia (women rights is human rights). Perlindungan
terhadap perempuan yang lamat-lamat terdengar dalam Konferensi Dunia PBB
tentang Perempuan di Nairobi tahun 1985, menjadi topik penting dalam Konferensi
Sedunia tentang Kaum Perempuan di Beijing tahun 1995. Dalam beberapa konferensi
dunia sebelumnya, seperti di Wina (Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia)
tahun 1986, Kairo (Konferensi Dunia tentang Kependudukan), dan di Kopenhagen
(Konferensi Dunia mengenai Perkembangan Masyarakat), para aktivis hak
perempuan menolak diabaikannya kaum perempuan dan hak-hak mereka di semua
bidang tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perbaikan status perempuan di mana
pun tergantung pada dimajukannya hak-hak mereka di segala bidang. Perkembangan
lainnya, Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menunjuk seorang Pelapor Khusus
tentang Kekerasan terhadap Perempuan; Sidang Umum PBB menyetujui suatu
Deklarasi tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Organisasi Negara-negara
Amerika telah menetapkan suatu konvensi regional baru menentang kekerasan.
Sebagaimana diketahui, PBB juga telah melahirkan deklarasi, dan berbagai
kovenan atau konvensi di dalam mana hak-hak perempuan dihormati dan dilindungi.
Pertama dan yang utama tentu saja Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) tahun 1948.
Dalam kaitannya dengan hak asasi perempuan, maka CEDAW (Convention
on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1979
merupakan tonggak sejarah terpenting. Dalam kovensi ini dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang bertujuan atau berpengaruh
untuk menghalangi atau meniadakan pengarkuan terhadap dinikmatinya atau
dilaksanakannya hak asasi manusia dan kebebasan dasar oleh kaum perempuan, di
bidang politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lain, tanpa memandang status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pada level nasional, Pemerintah Indonesia juga bergerak melakukan sesuatu
dalam rangka perbaikan kondisi hak asasi manusia, termasuk perempuan. Di samping
ikut aktif, langsung atau tidak langsung, dalam berbagai konferensi dunia
sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 tahun 1984.
Berikutnya dibentuk pula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1993,
yang dianggap sebagai sebuah pencapaian penting rezim berkuasa saat itu. Beberapa
tahun kemudian dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan
hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai
dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan,
pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua
pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai
politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan .Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum
perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala
bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan
telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan
perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi
perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum
signifikan.