Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan
yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum
reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri
dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM
pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah
tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil tema Hak Asasi Manusia
(HAM) dan pembahasan secara khusus ditujukan pada judul makalah ini yaitu Hak
Asasi Perempuan .

1.2 Rumusan Masalah


Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Hak Asasi Perempuan
2. Penjelasan Hak Asasi Perempuan Pada Tataran Global
3. Apa saja contoh-contoh pelanggaran Hak Asasi Perempuan

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Asasi Perempuan


Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. penegakan
hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan Hak Asasi Manusia. Sesuai
dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan,
pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua
pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun partai
politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan . Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum
perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala bidang
kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah
memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan perempuan.
Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi perempuan
dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum signifikan.
Mengatasi hal ini, diperlukan berbagai instrumen nasional tentang
perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan. Di level Perserikatan BangsaBangsa masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah sangat dipahami antara lain
melalui Deklarasi Beijing Platform, pada tahun 1995 yang melahirkan program
program penting untuk mencapai keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah
cukup banyak perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk
peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara.
Namun hak asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal. (dikutip dari
http://dety2104.wordpress.com/hak-asasi-perempuan/)
Bila dicermati dengan seksama , sesungguhnya banyak kondisi kondisi
rawan terhadap kemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia. Dengan
struktur masyarakat patriarkhi, secara sosio- kultural kaum laki-laki lebih diutamakan
dari kaum perempuan, bahkan meminggirkan perempuan. Perilaku budaya yang
menetapkan perempuan pada peran ibu dan isteri merupakan hambatan besar dalam
pemajuan hak asasi perempuan. Disamping itu, interpretasi keliru dari ajaran agama
tentang gender telah mengurangi universalitas hak asasi perempuan di Indonesia.
Dengan lambatnya pemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia,
maka nampaknya diperlukan upaya-upaya disamping kegiatan sosialisasi yang
optimal mengenai hak asasi perempuan, juga penambahan Peraturan Perundang-

undangan tentang hak asasi perempuan. Disamping itu, dengan banyaknya masalah
yang muncul tentang kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih
sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, seperti
eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah
konflik, prostitusi dan lain-lainnya.
2.2 Hak Asasi Perempuan Pada Tataran Global
Berbagai mitos tentang perempuan pun sering terdengar dalam kehidupan
sehari-hari, yang seolah-olah menjadi pembenar atas apa yang dikatakan oleh
Rehman; bahwa perempuan ternyata dilihat sebagai makhluk manusia kelas dua,
sedangkan tempat pertama diduduki oleh laki-laki, atau perempuan sebagai sumber
ketidakberuntungan dan membawa penyakit, bahkan sebuah bencana yang abadi dan
menarik.
Menurut Mansour Fakih (2003: 23), keadaan yang memprihatinkan
perempuan juga terlihat semasa Orde Baru; tidak ada produk-produk hukum yang
menyinggung kepentingan perempuan misalnya dalam UU Perkawinan, UU
Kewarganegaraan, UU Kesehatan, UU Perpajakan dan lain-lain. Rezim Orde Baru
adalah rezim yang ditegakkan dengan prinsip patriarkhi. Perlindungan terhadap
tenaga kerja perempuan sangat lemah, perdagangan kaum perempuan tidak mendapat
banyak perhatian dari pemerintah, bahkan kaum perempuan kemudian dipersalahkan
mengapa harus bekerja sebagai buruh atau pembantu, mengapa tidak mencari
pekerjaan lain. Kaum perempuan semakin memilukan nasibnya, misalnya dari segi
angka kematian ibu melahirkan di Indonesia, adalah angka tertinggi di ASEAN, yaitu
308 per 10.000 kelahiran, atau rata-rata 15.000 orang meninggal setiap tahun. Dari
segi tingkat pendidikan, menempati angka terendah dibanding laki-laki, 39 persen
perempuan tidak sekolah, 13 persen lulus SLTP dan kurang dari 5 persen lulus
perguruan tinggi, dan 51 persen perempuan yang bekerja adalah bekerja di sektor
informal. Semua fakta ini disebut sebagai sebuah mekanisme penindasan, berarti
bahwa ada penindas, dan ada yang ditindas.
Subedi (dalam Rehman, 2003: 346) mengatakan bahwa salah satu problem
besar yang mengarah kepada dampak negatif terhadap posisi perempuan adalah
keengganan Hukum HAM Internasional untuk mengintervensi atas apa yang disebut

sebagai private matter (masalah privat, sebagai lawan public matters). Usahausaha untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan di ranah privat mendapat
perlawanan yang mendasar. Menurut Byners (dalam Rehman, 2003), intrusi terhadap
kehidupan privat dan keluarga tidak dilihat sebagai sesuatu yang diinginkan dalam
kerangkan penegakan hukum. Intrusi semacam itu dilihat berlawanan dengan nilainilai sosial, budaya dan agama yang hidup dan dianut masyarakat. Itu sebabnya
kemudian perempuan menjadi target kekerasan mental dan fisik, dan dalam struktur
sosial tertentu harus mengalami penolakan, subordinasi dan dipermalukan dalam
kehidupan mereka.
PBB telah mengambil langkah-langkah positif untuk mengatasi diskriminasi
dan kekerasan terhadap perempuan, yang bermuara kepada pengakuan hak asasi
perempuan adalah Hak Asasi Manusia (women rights is human rights). Perlindungan
terhadap perempuan yang lamat-lamat terdengar dalam Konferensi Dunia PBB
tentang Perempuan di Nairobi tahun 1985, menjadi topik penting dalam Konferensi
Sedunia tentang Kaum Perempuan di Beijing tahun 1995. Dalam beberapa konferensi
dunia sebelumnya, seperti di Wina (Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia)
tahun 1986, Kairo (Konferensi Dunia tentang Kependudukan), dan di Kopenhagen
(Konferensi Dunia mengenai Perkembangan Masyarakat), para aktivis hak
perempuan menolak diabaikannya kaum perempuan dan hak-hak mereka di semua
bidang tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perbaikan status perempuan di mana
pun tergantung pada dimajukannya hak-hak mereka di segala bidang. Perkembangan
lainnya, Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menunjuk seorang Pelapor Khusus
tentang Kekerasan terhadap Perempuan; Sidang Umum PBB menyetujui suatu
Deklarasi tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Organisasi Negara-negara
Amerika telah menetapkan suatu konvensi regional baru menentang kekerasan.
Sebagaimana diketahui, PBB juga telah melahirkan deklarasi, dan berbagai
kovenan atau konvensi di dalam mana hak-hak perempuan dihormati dan dilindungi.
Pertama dan yang utama tentu saja Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia) tahun 1948.
Dalam kaitannya dengan hak asasi perempuan, maka CEDAW (Convention
on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1979

merupakan tonggak sejarah terpenting. Dalam kovensi ini dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan diskriminasi adalah setiap pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang bertujuan atau berpengaruh
untuk menghalangi atau meniadakan pengarkuan terhadap dinikmatinya atau
dilaksanakannya hak asasi manusia dan kebebasan dasar oleh kaum perempuan, di
bidang politik, sosial, budaya, sipil, atau bidang lain, tanpa memandang status
perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pada level nasional, Pemerintah Indonesia juga bergerak melakukan sesuatu
dalam rangka perbaikan kondisi hak asasi manusia, termasuk perempuan. Di samping
ikut aktif, langsung atau tidak langsung, dalam berbagai konferensi dunia
sebagaimana disebutkan di atas, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Penghapusan
segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 tahun 1984.
Berikutnya dibentuk pula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1993,
yang dianggap sebagai sebuah pencapaian penting rezim berkuasa saat itu. Beberapa
tahun kemudian dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas

Perempuan), berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998 untuk

memperjuangkan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di


Indonesia. Lantas pada tahun 1999 disahkan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia, disusul dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Terakhir juga dilakukan amandemen UUD 1945, yang di dalam amandemen
IV menempatkan lebih banyak pasal mengenai hak asasi manusia.
UU lain yang perlu disebut adalah UU Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan UU No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT). UU ini merupakan satu jawaban atas kondisi
buruk yang dialami perempuan dalam ranah domestic (rumah tangga). Pada saat yang
sama masyarakat internasional juga memberikan perhatian yang luar biasa terhadap
semakin meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, terlepas dari
agama, suku bangsa, dan letak geographis negara itu, sehingga mau tidak mau
Indonesia harus ikut serta pada tingkat hukum untuk mengkampanyekan
antikekerasan terhadap perempuan di dalam ranah domestic. (dikutip dari
http://www.acehinstitute.org)

2.3 Pelanggaran Hak Asasi Perempuan


Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan
kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok
masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti:
a. pembunuhan;
b. penganiayaan;
c. penculikan;
d. pemerkosaan;
e. pengusiran;
f. hilangnya mata pencaharian;
g. hilangnya rasa aman, dll.
Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi,
walaupun Perserikatan Bangsa- Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia
yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak
akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit,
keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah
bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan
terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk;
a. Kekerasan berbasis gender bersifat fisik, seksual atau psikologis seperti
penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan.
b. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
c. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
d. Perdagangan wanita.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan
hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai
dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan,
pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua
pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai
politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan .Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum
perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala
bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan
telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan
perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi
perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum
signifikan.

Anda mungkin juga menyukai