Anda di halaman 1dari 7

Dalam suatu perceraian antara suami dan istri, terdapat beberapa hal yang menjadi akibat

dari perceraian tersebut yang termaktub dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam yaitu
sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani
dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bila terjadi
perceraian maka hak asuh anak yang belum mumayyiz akan menjadi hak ibu. Dengan kata
lain, suami selaku ayah dari anak yang belum mumayyiz tidak memiliki kesempatan untuk
memiliki hak asuh anak, suami hanya berkewajiban menanggung biaya hadhanah. Namun,
sebagai orang tua yang juga memiliki kasih sayang dan mengkhawatirkan perkembangan
anaknya, seorang ayah juga merasa berhak atas pengasuhan anaknya sehingga terkadang
terjadi perebutan hak asuh anak yang selanjutnya menjadi tugas dari pengadilan untuk
menentukan siapa yang berhak memperoleh hak asuh anak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 huruf a memaparkan


sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusannya;
Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156 huruf e menyatakan bahwa:
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d).
Sedangkan, yang termaktub dalam huruf a memaparkan sebagai berikut:
Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka hakim apabila diperhadapkan dengan


permasalahan hadhanah seyogyanya memberikan hak asuh anak kepada ibunya. Namun,
dalam perkara perebutan hak asuh anak antara Erick Kokasim bin Roby dengan Hasriani
binti Sance yang tertuang dalam putusan No. 339/Pdt.G/2010/PA Mks memenangkan
suami sebagai pemegang hak asuh anak sehingga perlu dipertanyakan hal-hal yang
menjadi dasar pertimbangan hakim sehingga memutuskan demikian.

Hak asuh anak jika terjadi perceraian menurut ketentuan baik dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam seharusnya
merupakan hak ibunya (istri). Akan tetapi, dimungkinkan hak asuh anak merupakan
hak ayahnya (suami) apabila suami cukup bisa membuktikan sifat/akhlak buruk yang
dimiliki istri sehingga tidak layak untuk memelihara anak. Selain itu, jika dapat
dibuktikan bahwa istri selingkuh ataukah istri menelantarkan anak (Mahmuddin
sebagai Hakim di Pengadilan Agama Makassar, wawancara pada tanggal 21,
Februari 2013).

Meskipun memang telah diatur dengan jelas mengenai ketentuan pemeliharaan anak
jika terjadi perceraian, namun dimungkinkan hakim menerapkan lain. Hal ini
didasarkan pada asas ius contra legem. Hal ini juga dikemukakan oleh M. Yahya
Harahap

(2011:

858)

bahwa

apabila

ketentuan

undang-undang

yang

ada

bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan,


hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem yakni mengambil
keputusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan.
Dalam perkara ini, hakim melakukan tindakan contra legem karena dianggap istri
tidak dapat memberi contoh yang baik untuk anaknya dan demi kepentingan serta
masa depan anak maka hak asuh anak diberikan kepada suami sebagai ayahnya.

Dalam proses beracara, gugatan lebih diidentikkan dengan gugatan kontentiosa. Seseorang
mengajukan gugatan pada dasarnya dikarenakan sengketa hak dari masing-masing pihak.
Pihak yang mengajukan gugatan disebut sebagai penggugat dan pihak yang digugat
disebut sebagai tergugat. Sengketa hak yang dimaksud dapat berupa sengketa hak dalam
hal perkawinan, tanah, dan lain-lain. Sengketa hak dalam perkawinan lazimnya
diwujudkan dalam gugatan perceraian baik diajukan oleh suami maupun istri. Gugatan
perceraian dapat diajukan dengan alasan-alasan yang dijabarkan dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2) sebagai
berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
mernbahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Dalam mengajukan gugatan perceraian, jika antara penggugat dan tergugat memiliki anak,
maka hal yang juga merupakan bagian daripada tuntutannya adalah tuntutan hak asuh anak
atau pemeliharaan anak. Namun, perebutan atas siapa yang berhak memelihara anak
tersebut semestinya tidak perlu terjadi karena hal tersebut telah diatur secara hukum.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 41 huruf a
dinyatakan bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan
kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, disimpulkan bahwa pengadilan berhak
memberikan keputusan bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak. Selain
itu, Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 105 mengatur bahwa:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Meskipun telah diatur dengan jelas dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, namun dalam praktik di
pengadilan sering hakim memutuskan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah
hak ayahnya. Salah satu contohnya adalah perkara perceraian antara Erick Kokasim bin
Roby 4

dengan Hasriani binti Sance di Pengadilan Agama Makassar yang mana hakim
memutuskan untuk memberikan hak pemeliharaan anak kepada suami.
Hal-hal inilah yang menjadikan peneliti ingin mengkaji masalah tuntutan hak asuh anak
oleh suami yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
339/Pdt.G/2010/PA Mks, yang mengabulkan tuntutan hak asuh anak oleh suami dengan
mengesampingkan ketentuan Kompilasi Hukum Islam mengenai pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz

Anda mungkin juga menyukai