Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung dan dapat timbul
spontan tanpa dapat ditelusuri sebabnya.1 Epistaksis bukanlah suatu penyakit
melainkan suatu tanda atau gejala. Walau pada umumnya epistaksis dapat diatasi
dengan mudah, namun perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim,
sehingga tiap dokter harus siap menangani kasus demikian.2
Epistaksis biasanya ringan dan biasanya dapat berhenti sendiri tanpa
bantuan medis. Akan tetapi, epistaksis dapat terjadi secara berat, yang merupakan
masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal apabila tidak segera
ditangani. Epistaksis seringkali timul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik.1 Salah satu penyebab epistaksis akibat kelainan sistemik adalah
hipertensi.
Isezuo dkk menunjukan ada hubungan yang signifikan antara epistaksis
dan hipetensi pada 62 pasien.3 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang
pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.4
Untuk

mendiagnosis

epistaksis

beserta

penyebabnya

diperlukan

anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan


epistaksis mempunyai tiga prinsip: menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.5
Komplikasi pada epistaksis dapat terjadi akibat dari epistaksis tersebut
atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.1 Komplikasi tersebut
antara lain syok, anemia, infeksi, laserasi palatum mole atau sudut bibir,
hemotimpanum dan air mata berdarah (bloody tears).
KEKERAPAN
Secara global, kejadian yang sebenarnya masih belum diketahui, namun
diperkirakan bahwa 60% dari populasi akan memiliki minimal satu episode
epistaksis dalam hidup mereka, dan 6% dari mereka akan mencari perhatian
medis. Predisposisi pada laki-laki 55% laki-laki dan 45% perempuan telah

dilaporkan. Epistaksis jarang pada neonatus tetapi umum di antara anak-anak dan
dewasa muda, dan puncak pada dekade keenam memberikan usia presentasi bimodal.6
Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazill
tercatat 40 pasien yang terdiagnosis dengna epistaksis dimana 27 pasien (67,5%)
adalah perempuan dan 13 pasien (32,5%) laki-laki. Usia berkisar antara 4 sampai
78 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun, dan usia anak SD. 7 Di
Indonesia sendiri angka kejadian epistaksis belom diketahui, akan tetapi di
Manado didapatkan bahwa insiden penderita epistaksis sebesar 8,07%. Angka
kejadian pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penderita epistaksis
lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 25-44 tahun. Penyebab tersering
epistaksis adalah penyebab sistemik (58,49%).8
Di Arab Saudi tingkat prevalensi hipertensi di antara pasien dengan
epistaksis berkisar 17-67%.9 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang
pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.4
ANATOMI DAN PENDARAHAN RONGGA HIDUNG
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI)
dan karotis eksterna (AKE).10

Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.11

Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.11


Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua
menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar
dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga
hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.10
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung.10
Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina,
palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri
fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Littles area.10,12,13
Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media
terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina,
nasalis posterior dan faringeal asendens.10,12,13

Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis


anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior
dan epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris.10,12,13
DEFINISI
Istilah epistaxis merupakan bahasa Latin, berasal dari bahasa Yunani,
epistazein (epi- di atas, lebih; stazein- menetes).14 Epistaksis adalah perdarahan
yang berasal dari hidung dan dapat timbul spontan tanpa dapat ditelusuri
sebabnya. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.1
ETIOLOGI
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara
lingkungan), kelainan sistemik (kelainan darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan
kongenital, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal),
dan idiopatik. Penyebab tersering adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial,
benda asing, infeksi nasal atau sinus, dan inhalasi udara kering yang
berkepanjangan. Anak kecil biasanya mengalami epistaksis karena iritasi lokal
atau infeksi saluran nafas atas.
1. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung
terus-menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum
anterior. Kejadian ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga
hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan
epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena
benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras.
Trauma akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis.
Pendarahan yang berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya
terbatas. Namun, trauma fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul,

jatuh, kecelakaan lalu lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat yang


memerlukan tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat
menandakan adanya aneurisma traumatik.
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau
trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan
operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan
pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa)
hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar). Spina septum yang
tajam dapat juga menyebabkan epistaksis, pendarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang membengkak.
2. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,
oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca
dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi
mukosa nasal.
3. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke
septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan
epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs),

terutama

aspirin

juga

sering

terlibat

karena

aspirin

menyebabkan asetilasi dari enzim cylooxygenase secara ireversibel


sehingga berdampak pada gangguan agregasi platelet.
4. Kelainan Septum
Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal
sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan
biasanya terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari
perforasi septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi
sumber epistaksis.
5. Inflamasi / Infeksi Lokal

Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan


inflamasi mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini
biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.
Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis
Wegener, tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan
mukosa menjadi kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis
berulang.
Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat
mengalami epistaksis karena inflamasi.
6. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien
yang terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan
rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada
hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal,
walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak
kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat
menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya.
7. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan
riwayat keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari
trauma ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital
adalah hemofilia dan penyakit von Willebrand.
Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit) atau
sekunder (karena perawatannya). Koagulopati didapat yang sering adalah
trombositopenia dan penyakit liver yang disertai pengurangan signifikan
dari faktor-faktor pembekuan darah. Walaupun tanpa penyakit liver,
peminum alkohol sering berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis.
Obat antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis.
8. Kelainan pembuluh darah
Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai
penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.
Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu
Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan
pendarahan berulang dari anomali pembuluh darah. kondisi ini dapat

berdampak pada pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri,


menyebabkan pembentukan telangiektasia dan malformasi arteri-vena.
Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas
atau jaringan muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga
pendarahan dapat terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung
tidak berhenti spontan. Berbagai sistem organ seperti pernafasan,
gastrointestinal, dan alat kelamin-saluran kencing dapat terlibat. Derajat
keparahan epistaksis pada individual tersebut beragam tapi hampir
semuanya berulang.
Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki faktor resiko
epistaksis adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma, nefritis kronis,
sirosis hepatis, diabetes mellitus, dan endometriosis.
9. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus
Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah
terlibat dalam patogenesis migrain.
10. Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami.
Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi.
Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan
kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis.
Hipertensi walaupun demikian, jarang menjadi penyebab langsung
epistaksis. Umumnya, epistaksis disertai kegelisahan menyebabkan
peningkatan akut tekanan darah. Penanganannya, oleh karena itu, harus
difokuskan pada pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan
yang ditujukan untuk menurunkan tekanan darah.
Batuk berlebihan yang menyebabkan hipertensi vena nasal dapat
diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis.
11. Infeksi Sistemik
Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit lainnya adalah
demam tifoid, influensa, dan morbili.
12. Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.

13. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar 10%
pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun setelah
dilakukan evaluasi lengkap.
EPISTAKSIS ET CAUSA HIPERTENSI
Sebuah konsep yang telah berkembang dalam patofisiologi hipertensi
adalah kontribusi perubahan struktur vaskuler (remodelling vaskuler). Sekarang
telah diketahui tonus dapat berubah melalui proses akut dan pembuluh darah
dapat merubah strukturnya melalui proses kronik sebagai respon terhadap kondisi
tertentu.15,16
Remodelling vaskuler adalah suatu proses adaptif sebagai respon terhadap
perubahan kronik pada kondisi hemodinamik atau faktor hormonal. Substansi
vasoaktif dapat meregulasi homeostasis vaskuler melalui efek jangka pendek pada
tonus

vaskuler

dan

efek

jangka

panjang

pada

struktur

vaskuler.

Ketidakseimbangan kedua hal inilah yang menimbulkan vasokonstriksi dan


hipertrofi vaskuler sehingga timbul hipertensi.15,16
Perubahan dalam migrasi sel dan proliferasi, perubahan matriks adalah
kunci terjadinya remodelling vaskuler. Pada hipertensi, perubahan struktur
pembuluh darah adalah yang mungkin bertanggung jawab atas peningkatan
tekanan dan aliran darah, ketidakseimbangan substansi vasoaktif dan disfungsi
endotel.15,16
Pada hipertensi terjadi perubahan struktur pembuluh darah, sebagai
tanggapan terhadap peningkatan tekanan arterial. Dengan perubahan struktur
pembuluh darah demikian maka perbandingan lebar lumen meningkat baik karena
peningkatan massa otot atau karena pengaturan unsur-unsur seluler dan bukan
seluler. Kerusakan vaskuler akibat hipertensi terlihat pada seluruh pembuluh darah
perifer.17
Contoh-contoh klinis bentuk remodelling vaskuler meliputi:17
1) Pelebaran pembuluh darah yang berkaitan dengan kecepatan aliran darah
yang tinggi. Dapat terbentuk fistula arteriovena.

2) Hilangnya

sel

atau

proteolisis

matriks

pembuluh

darah

akibat

pembentukan aneurisma.
3) Pengurangan massa dan ukuran pembuluh darah terjadi karena
pengurangan aliran darah jangka panjang.
4) Mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area kapiler yang menyebabkan
meningkatnya kejadian hipertensi dan iskemia jaringan.
5) Arsitektur dinding pembuluh darah juga berubah yang meliputi trombosis,
migrasi dan proliferasi sel - sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel
- sel inflamasi
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi.4
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah
yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
tekanan darah yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu
bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat
darurat dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165)
mmHg dan tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada hipertensi
stadium 3 (180/110 mmHg).4
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti mempunyai
hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di bagian
hidung yang lain.18 Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan
dengan beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi
perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama
merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis.19
DIAGNOSIS

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,


speculum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung
dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang
dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas
dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari
hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan
pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah
menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral
hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan
sering berulang.

d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI


Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali
neoplasma atau infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.

Gambar 3. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu
tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.
PENALATAKSANAAN
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal
yang penting dicari tahu adalah:
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.

4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya


5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau
ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien. Tindakan yang dapat dilakukan
antara lain:
a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter).

Gambar 4. Metode Trotter

c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang


telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat
penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu.
e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Gambar 5. Tampon rol anterior

f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau


tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm
dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada
sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).

Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat
pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon
posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi.
Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

Gambar 7. Tampon Bellocq

a) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan


balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.

Gambar 8. Tampon posterior dengan Kateter Foley

b) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik.


Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah
sakit.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena
darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum,
serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui
mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan
darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner
dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian
infus atau transfusi darah.

PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat,
sering kambuh dan prognosisnya buruk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131.
2. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of
otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010.
3. Isezuo SA, Segun-Busari S, Ezunu E, Yakubu A, Iseh K, Legbo J, Alabi BS,
Dunmade AE, Ologe FE. Relationship between Epistaxis and Hypertension: a
Study of Patients Seen in the Emergency Units of Two Tertiary Health
Institutions in Nigeria. Niger J Clin Pract 2008;11:379382
4. Herkner H, Laggner AN, Muller M, Formanek M, Bur A et al. Hypertension
in Patients Presenting With Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 2000;
35(2): 126-30.

5. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1]


Available

from:

http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?

attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
6. Saubrabh V, RK Saxena. Epistaxis: A Retrospective clinical study. Indian
Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery 2005; 57: 2.
7. Rabelo FAW, Prado VB, Valera FC, Damrco RC, Tamashiro E, Lima WTA.
Surgical Treatment of Nasal Packing Refractory Epistaxis. Brazilian Journal
of Otohirolaryngology; 2009 Vol. 75 (3).
8. Limen MP, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis di Poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010-Desember 2012.
Jurnal e-Biomedik (eBM); 2013 Vol. 1 (1), 478-483.
9. Olatoke F, Ologe FE, Alabi BS, Dunmade AD, Busari S, Afolabi OA.
Epistaxis. A Five-Year Review. SaudiMed J 2006; 27: 1077-1079.
10. Kanowitz SJ, Citardi MJ, Batra PS. Contemporary Management Strategies for
Epistaxis. In: Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS et al editors. Rhinology and
Facial Plastic Surgery. Berlin: Springer; 2009. p. 139-49.
11. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-9.
12. Dhingra PL. Epistaxis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition.
Noida: Elsivier; 2009. p. 166-70.
13. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 506-14.
14. Swift AC. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist 2012; 5(3): 129132.
15. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et al. Hypertension. Harrisons Manual of
Medicine, 16th edition. New York : McGraw-Hill, 2005. 616-21.
16. Sargowo D. Hypertension and Vascular Molecular Biology Research Review
on Biomolecular Mechanism. In: Suhardjono, Mayza A, Soenarta AA dkk
editors. The 3rd Scientific Meeting on Hypertension. Indonesian Society of
Hypertension. Jakarta: InaSH; 2009. p. 1-23.
17. Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler. Cermin Dunia
Kedokteran 2005; 147: 16-20.

18. Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End Organ
Damage in Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999; 109: 1111-5.
19. Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. Association between Epistaxis
and Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal
Bleeding in Hypertension Patients. International Journal of Cardiology 2009;
134: 107-9.

Anda mungkin juga menyukai