Epistaksis adalah perdarahan yang berasal dari hidung dan dapat timbul
spontan tanpa dapat ditelusuri sebabnya.1 Epistaksis bukanlah suatu penyakit
melainkan suatu tanda atau gejala. Walau pada umumnya epistaksis dapat diatasi
dengan mudah, namun perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim,
sehingga tiap dokter harus siap menangani kasus demikian.2
Epistaksis biasanya ringan dan biasanya dapat berhenti sendiri tanpa
bantuan medis. Akan tetapi, epistaksis dapat terjadi secara berat, yang merupakan
masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal apabila tidak segera
ditangani. Epistaksis seringkali timul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik.1 Salah satu penyebab epistaksis akibat kelainan sistemik adalah
hipertensi.
Isezuo dkk menunjukan ada hubungan yang signifikan antara epistaksis
dan hipetensi pada 62 pasien.3 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang
pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.4
Untuk
mendiagnosis
epistaksis
beserta
penyebabnya
diperlukan
dilaporkan. Epistaksis jarang pada neonatus tetapi umum di antara anak-anak dan
dewasa muda, dan puncak pada dekade keenam memberikan usia presentasi bimodal.6
Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazill
tercatat 40 pasien yang terdiagnosis dengna epistaksis dimana 27 pasien (67,5%)
adalah perempuan dan 13 pasien (32,5%) laki-laki. Usia berkisar antara 4 sampai
78 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun, dan usia anak SD. 7 Di
Indonesia sendiri angka kejadian epistaksis belom diketahui, akan tetapi di
Manado didapatkan bahwa insiden penderita epistaksis sebesar 8,07%. Angka
kejadian pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penderita epistaksis
lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 25-44 tahun. Penyebab tersering
epistaksis adalah penyebab sistemik (58,49%).8
Di Arab Saudi tingkat prevalensi hipertensi di antara pasien dengan
epistaksis berkisar 17-67%.9 Sedangkan Herkner dkk melaporkan dari 213 orang
pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan epistaksis, ditemukan 33 orang
pasien (15,5%) dengan peningkatan tekanan darah.4
ANATOMI DAN PENDARAHAN RONGGA HIDUNG
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI)
dan karotis eksterna (AKE).10
terutama
aspirin
juga
sering
terlibat
karena
aspirin
13. Idiopatik
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar 10%
pasien epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun setelah
dilakukan evaluasi lengkap.
EPISTAKSIS ET CAUSA HIPERTENSI
Sebuah konsep yang telah berkembang dalam patofisiologi hipertensi
adalah kontribusi perubahan struktur vaskuler (remodelling vaskuler). Sekarang
telah diketahui tonus dapat berubah melalui proses akut dan pembuluh darah
dapat merubah strukturnya melalui proses kronik sebagai respon terhadap kondisi
tertentu.15,16
Remodelling vaskuler adalah suatu proses adaptif sebagai respon terhadap
perubahan kronik pada kondisi hemodinamik atau faktor hormonal. Substansi
vasoaktif dapat meregulasi homeostasis vaskuler melalui efek jangka pendek pada
tonus
vaskuler
dan
efek
jangka
panjang
pada
struktur
vaskuler.
2) Hilangnya
sel
atau
proteolisis
matriks
pembuluh
darah
akibat
pembentukan aneurisma.
3) Pengurangan massa dan ukuran pembuluh darah terjadi karena
pengurangan aliran darah jangka panjang.
4) Mikrosirkulasi yang jarang atau hilangnya area kapiler yang menyebabkan
meningkatnya kejadian hipertensi dan iskemia jaringan.
5) Arsitektur dinding pembuluh darah juga berubah yang meliputi trombosis,
migrasi dan proliferasi sel - sel vaskuler, produksi matriks dan infiltrasi sel
- sel inflamasi
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis
dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi.4
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah
yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
tekanan darah yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu
bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.
Herkner mendapatkan dari 213 orang pasien yang datang ke unit gawat
darurat dengan epistaksis, mempunyai tekanan darah sistolik 161 (157-165)
mmHg dan tekanan darah diastolik 84 (82-86) mmHg serta pada hipertensi
stadium 3 (180/110 mmHg).4
Padgham melaporkan pada hipertensi ringan dan sedang, terbukti mempunyai
hubungan dengan kejadian epistaksis di meatus medius, tapi tidak di bagian
hidung yang lain.18 Knopfholz dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan
dengan beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat
kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi
perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama
merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis.19
DIAGNOSIS
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi
perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat
pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon
posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan
melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi.
Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena
darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum,
serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui
mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan
darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner
dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian
infus atau transfusi darah.
PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat,
sering kambuh dan prognosisnya buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131.
2. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of
otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010.
3. Isezuo SA, Segun-Busari S, Ezunu E, Yakubu A, Iseh K, Legbo J, Alabi BS,
Dunmade AE, Ologe FE. Relationship between Epistaxis and Hypertension: a
Study of Patients Seen in the Emergency Units of Two Tertiary Health
Institutions in Nigeria. Niger J Clin Pract 2008;11:379382
4. Herkner H, Laggner AN, Muller M, Formanek M, Bur A et al. Hypertension
in Patients Presenting With Epistaxis. Annals of Emergency Medicine 2000;
35(2): 126-30.
from:
http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?
attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
6. Saubrabh V, RK Saxena. Epistaxis: A Retrospective clinical study. Indian
Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery 2005; 57: 2.
7. Rabelo FAW, Prado VB, Valera FC, Damrco RC, Tamashiro E, Lima WTA.
Surgical Treatment of Nasal Packing Refractory Epistaxis. Brazilian Journal
of Otohirolaryngology; 2009 Vol. 75 (3).
8. Limen MP, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis di Poliklinik THT-KL BLU
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010-Desember 2012.
Jurnal e-Biomedik (eBM); 2013 Vol. 1 (1), 478-483.
9. Olatoke F, Ologe FE, Alabi BS, Dunmade AD, Busari S, Afolabi OA.
Epistaxis. A Five-Year Review. SaudiMed J 2006; 27: 1077-1079.
10. Kanowitz SJ, Citardi MJ, Batra PS. Contemporary Management Strategies for
Epistaxis. In: Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS et al editors. Rhinology and
Facial Plastic Surgery. Berlin: Springer; 2009. p. 139-49.
11. Schlosser RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-9.
12. Dhingra PL. Epistaxis. In: Disease of Ear, Nose and Throat, 4th Edition.
Noida: Elsivier; 2009. p. 166-70.
13. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT et al editors.
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 506-14.
14. Swift AC. Epistaxis. The Otorhinolaryngologist 2012; 5(3): 129132.
15. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et al. Hypertension. Harrisons Manual of
Medicine, 16th edition. New York : McGraw-Hill, 2005. 616-21.
16. Sargowo D. Hypertension and Vascular Molecular Biology Research Review
on Biomolecular Mechanism. In: Suhardjono, Mayza A, Soenarta AA dkk
editors. The 3rd Scientific Meeting on Hypertension. Indonesian Society of
Hypertension. Jakarta: InaSH; 2009. p. 1-23.
17. Idham I, Sanjaya W. Angiotensin-II dan Remodelling Vaskuler. Cermin Dunia
Kedokteran 2005; 147: 16-20.
18. Lubianca JF, Fuchs FD, Facco Sr et al. Is Epistaxis Evidence of End Organ
Damage in Patients With Hypertension? Laryngoscope 1999; 109: 1111-5.
19. Knopfholz J, Lima JE, Neto DP, Faria NJR. Association between Epistaxis
and Hypertension: A one year Follow-up After an Index Episode of Nasal
Bleeding in Hypertension Patients. International Journal of Cardiology 2009;
134: 107-9.