Anda di halaman 1dari 5

DAFTAR PUSTAKA

1. Francesconia F, Lupi O. Myiasis. Clinical Microbiology Reviews. Journal ASM Volume


25, no 1. Brazil. 2012.p.81-105
2. Wu C J.Nasal Myiasis in a Bedridden Patient and Literature Review. Journal Medical
Science. Taiwan.2012.p.39-41
3. Widyaningsih I, Supriyono B. Miasis. Surabaya; Universitas Wijaya Kusuma..p.1-5
4. Lee T Y, et al. Nosocomial Nasal Myiasis in an Intubated Patient. Journal of the Chinese
Medical Association. A Case Report.2011.p.369-71
5. Zuleika P. Penatalaksanaan Tiga Kasus Miasis Hidung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan,
Volume 2, no. 3. Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Palembang. 2015.p.325-31
6. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2011. p.118-22,143
7. Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of
otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.1997. p.174, 240-247
8. Ranga R K, et al. Endoscopic Management of Nasal Myiasia : A 10 Years Experience. A
Case series.2013.p.58-60
9. Wardhana A H. Chrysomya Bezziana; Penyebab Myiasis pada Hewan dan Manusia :
Permasalahan dan Penanggulangannya. Bogor; Balai Penelitian Veteriner.2006.p.146-59
10. Myiasis. Manual Penyakit Hewan Mamalia.p 418 -430
11. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm Fly. Australia ;
Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8
12. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis : Case Report and Literature Review. Acces on : Mei
14th 2014. Available at http://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?
id=409
13. Arora S, et al.Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade Period-Interval Study.
Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. An Original Article.2009.p.356-61

14.
15.

4. Francesconi F, Lupi O. Myiasis. Clinical Microbiology Reviews.


2012.p.79-98
5. Wardhana A H. Chrysomya Bezziana; Penyebab Myiasis pada Hewan dan Manusia :
Permasalahan dan Penanggulangannya. Bogor; Balai Penelitian Veteriner.2006.p.146-59
6. Arora S, et al.Clinical Etiology of Myiasis in ENT: a Retrogade PeriodInterval Study. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology. An Original
Article.2009.p.356-61
7. Burgess I F. Myiasis : Maggots Infestasion. Cambridge.2003.p.51-3
8. Rangan R K, et al. Endoscopic Management of Nasal Myiasia : A 10 Years Experience. A Case
series.2013.p.58-60
9. Spradbery J C.Life Cycle. In A Manual for the Diagnosis of Srew-worm
Fly. Australia ; Commonwealth of Australia. 2002.p.4-8
17
10. Netter F H, Machado C A G. Netters Atlas of Human Anatomy. Acceson : March 14 th
2014.Available at : www.netterart.com.
11. Dhillon D S, East.Ear,Nose and Paranasal Sinuses C A. In Ear,Nose,and Throat,and Head and
Neck surgery. Second Edition. Toronto : Harcourt Publishers Limited.2000. p.30-1
12. Soepardi F A,et al. Sumbatan Hidung. In Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi keenam. Jakarta; FKUI.2006. p.118-22,143
13. S Vikash et al.Nasal Myasis. Journal Rhinol.An Original Article. India;
2006. p. 120-3
14. Manfirm A M, et.al. Nasal Myiasis : Case Report and Literature Review.
Acces on : March 14
th
2014. Available at :
http://www.internationalarchivesent.org/conteudo/acervo_eng.asp?id=409
18
Adams, George L. Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals of
otolaryngology). Edisi ke-6. Jakarta: EGC, hal; 174, 240-247, 1997.

1-2
2-3
3-4
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang
tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian yakni : tulang yang tak dapat digerakkan, kartilago yang sedikit dapat
digerakkan dan lobules hidung yang mudah digerakkan. Bentuk luar hidung seperti pyramid
dengan struktur dari atas ke bawah : pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi),
puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior)

halus intersegmental yang akan mengikis jaringan dan melukai pembuluh darah sekitar serta
membuat terowongan di dalam jaringan sehingga akan memperparah kerusakan. Larva
menghasilkan toksin yang dapat merusak jaringan hostnya. Sekresi enzim proteolitik oleh bakteri
di sekitarnya akan menguraikan jaringan menjadi jaringan nekrotik termasuk allantoin, amonia,
dan kalsium karbonat yang kemudian akan dimakan oleh larva. Interaksi dari enzim dan toksin
bakteri-larva dapat pula menyebabkan erosi pada tulang. Efektivitas dari aktivitas larva tampak
dari hasil stimulasi jaringan granulasi oleh aktivitas fisik larva yang selalu bergerak untuk
mendapatkan makanan dari jaringan nekrotik. Terdapat peningkatan eksudat serosa, yang juga
didorong oleh efek iritan dari aktivitas larva. Nekrosis jaringan terus berlangsung diikuti dengan
invasi dan pertumbuhan larva hingga membentuk lesi berbentuk gua yang besar. Dapat timbul
tanda klinis 2 hari setelah infestasi seperti pendarahan dari lesi, jaringan sekitarnya menjadi
tegang , edema dan bau busuk yang menyengat. 8,14,8,13
VI. DIAGNOSIS
VI.1. Anamanesis 1,8,12,13

Tanda-tanda myiasis hidung biasanya berkaitan dengan keberadaan dan pergerakan larva,
yang meliputi sensasi adanya benda asing, dengan atau tanpa sensasi gerakan, hidung dan wajah
menjadi edema dan eritem yang dapat meluas ke dahi dan bibir, adanya noda darah atau cairan
hidung mukopurulen, berbau busuk, dan anosmia. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas
melalui mulut dan suara sengau. Dapat menjadi epistaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari
hidung. Jika belatung jatuh ke dalam tenggorokan dapat bermanifestasi sebagai batuk,
laringospasme, dispnea, dan stridor.
VI.2. Pemeriksaan Fisis
1. Rhinoskopi Anterior
5,8,12
VII. PENATALAKSANAAN
Pengobatan ini sebagian besar konservatif yang bertujuan mengeluarkan parasit dan membatasi
kerusakan jaringan. Untuk mengobati infeksi sekunder yang menyertai myiasis (bakteri), yaitu
dengan pemberian antibiotik spectrum luas atau antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur
bakteri yang berasal dari luka myiasis dan resistensi kuman. Belatung muda lebih sulit untuk
dikeluarkan karena perlekatan yang lebih kuat dibandingkan belatung dewasa. Minyak terpentin
dan parafin cair digunakan dalam semua kasus pada hari pertama. Terpentin mengiritasi belatung
dan kemudian akan keluar dari sarangnya sementara paraffin cair mencegah akses oksigen pada
belatung dan kemudian akan mati lemas akibat kekurangan oksigen yang dilanjutkan dengan
ekstraksi larva secara manual menggunakan forcep. Larva yang terletak di dalam dan tidak dapat
dijangkau dapat dikeluarkan lebih mudah dengan menggunakan nasal endoskopi dengan
pembiusan. Pengobatan lokal dilakukan dengan menggunakan kloroform dan minyak turpentin
(1 : 4).1,2,12

Rongga hidung diolesi nasal antiozaena digunakan dua kali sehari yang mengandung
kloramfenikol 90 mg%, estradiol dipropionat 0.64 mg%, vitamin D2 900 I.U dan propilena
gliserol . Kloramfenikol bertindak khususnya pada flora bakteri proteodik, dimana estrogen telah
merangsang mukosa hidung yang atropi untuk meningkatan produksi kelenjar dan meningkatkan
turgur dari mukosa, vitamin D2 terutama aktif pada trophism mukosa hidung yang dipengaruhi
oleh proses organik. Pasien juga diberikan campuran 25% glukosa dan gliserin sebagai tetes
hidung dan digunakan 2-3 kali sehari. 2,13
Glukosa berfungsi mencegah pertumbuhan bakteri proteolitik sementara gliserin
membuat mukosa tetap lembab. Penderita akan bersih dari larva dalam waktu dua hingga tiga
hari dan diijinkan meninggalkan rumah sakit dalam waktu lima sampai tujuh hari. Bila terjadi
komplikasi lebih berat, tindakan pembedahan harus dilakukan. 1,13
radiasi dan pengembangan pemikat lalat (attraktan) juga masih dilakukan dan
menunjukkan hasil yang cukup memuaskan.
2,5,8

Anda mungkin juga menyukai