hubungan antara variabel laten dan variabel manifesnya. Dalam hal pemodelan
persamaan struktural dikenal dua model pengukuran, yaitu model pengukuran
reflektif dan pengukuran formatif. Masing-masing memiliki karakteristik yang
berbeda. Penggunaan model reflektif lebih banyak dipakai karena sebagian besar
pengukuran dikembangkan dari penjabaran konsep menjadi indikator. Pada kasus
pengukuran tertentu, indikator-indikator pengukuran memiliki sifat yang unik
yang terpisah antara satu dengan lainnya. Nah, model pengukuran formatif
mengakomodasi kasus ini.
Uji yang dilakukan diatas merupakan uji pada outer model untuk
indikator reflektif. Untuk indikator formatif dilakukan pengujian yang
berbeda. Uji untuk indikator formatif yaitu :
Multicolliniearity.
Uji
multicolliniearity
dilakukan
untuk
mengetahui hubungan antar indikator. Untuk mengetahui
apakah indikator formatif mengalami multicolliniearity dengan
mengetahui nilai VIF. Nilai VIF antara 5- 10 dapat dikatakan
bahwa indikator tersebut terjadi multicolliniearity.
Masih ada dua uji untuk indikator formatif yaitu nomological validity
dan external validity.
Inner Model (Model Structural).
Uji pada model struktural dilakukan untuk menguji hubungan antara
konstruk laten. Ada beberapa uji untuk model struktural yaitu :
Prediction relevance (Q square) atau dikenal dengan StoneGeisser's. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kapabilitas prediksi
dengan prosedur blinfolding. Apabila nilai yang didapatkan 0.02
(kecil), 0.15 (sedang) dan 0.35 (besar). Hanya dapat dilakukan
untuk konstruk endogen dengan indikator reflektif.
Dalam outer model terdapat dua tipe indikator yaitu indikator reflektif
dan indikator formatif.
1. Indikator reflektif. Indikator ini mempunyai ciri-ciri : arah
hubungan kausalitas dari variabel laten ke indikator, antar
indikator diharapkan saling berkorelasi (instrumen harus
memiliki consistency reliability), menghilangkan satu indikator,
tidak akan merubah makna dan arti variabel yang diukur, dan
kesalahan pengukuran (eror) pada tingkat indikator. Sebagai
Referensi
1. Bollen, K. A. (1989). Structural equations with latent variables. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
2. Davy, J. A., & Shipper, F. (1993). Voter behavior in union certification
elections : A longitudinal study. The Academy of Management Journal,
36(1), 187-199. doi: 10.2307/256518.
3. Gewald, H., Wllenweber, K., & Weitzel, T. (2006). The influence of
perceived risks on banking managers intention to outsource business
processes: A study of the german banking and finance industry. Journal of
Electronic Commerce Research, 7(2), 78-96.
4. Hardin, A., Chang, J. C.-J., & Fuller, M. (2008). Clarifying the Use of
Formative Measurement in the IS Discipline: The Case of Computer SelfEfficacy. Journal of the Association for Information Systems (Vol. 9).
Retrieved April 25, 2011, from http://aisel.aisnet.org/jais/vol9/iss9/1.
1. Istilah reflektif dan formatif kebetulan tidak banyak dipakai di FPsi
yang lebih banyak menggunakan istilah konstruk (dg faktor,
komponen, aspek di dalamnya) dan variabel independen. Saya terbiasa
menyesuaikan istilah tersebut di Fakultas lain pada waktu menguji atau
membimbing S3. Trims telah menyampaikan istilah yg memang banyak
dipakai tersebut.
2. Saya sangat setuju bila kita memang harus menggunakan referensi
yang kuat untuk menjelaskan dan menempatkan sesuatu dalam format
reflektif atau formatif. SES seperti yg dicontohkan mas Wahyu dg
mengutip Bolen memang bisa masuk dalam formatif khususnya ketika
Psikologi bisa membuat variabel SES persepsian (perceived SES).
Namun dalam beberapa referensi Sosiologi ketiga hal itu (pendidikan,
pendapatan, dan prestis) masuk sebagai komponen SES sehingga
tergolong dlm format reflektif. Contoh lain ada juga yang
menempatkan serangkaian 'variabel' yang sama tetapi ditempatkan
dalam dua format yang berbeda, tergantung argumen dan teorinya.
3. Untuk menyusun indikator formatif, diperlukan kehati-hatian. Bila
Terima kasih atas masukkan Pak Fatur. Memang faktor formatif tidak
bisa berdiri sendiri tanpa faktor reflektif, karena cenderung akan
menjadi spurious. Supaya tidak menyesatkan pembaca, saya koreksi
gambarnya menjadi gambar di bawah ini. Dengan menambahkan
panah dari konstruk laten ke konstruk lainnya. Artinya harus ada faktor
reflektif ketika melibatkan faktor formatif di dalam model.
Understood... berarti SES dan Prestasi adalah indikator formatif dari Kepuasan
dan menerangkan gejala tersebut, maka teori memiliki fungsi antara lain: 1.
Menyediakan kerangka konsepsi penelitian, dan memberikan pertimbangan
perlunya penyelidikan 2. Melalui teori kita dapat membuat pertanyaan yang
terinci untuk penyidikan. 3. Menunjukkan hubungan antar variable yang diteliti. 4.
Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara sistematis, penemuan, dan
analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
masalah penelitian. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti dalam
menyusun kerangka/ landasan teori, antara lain: 1. Kerangka teori sebaiknya
menggunakan acuan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dan
acuan-acuan yang berupa hasil penelitian terdahulu (bisa disajikan di Bab II atau
dibuat sub-bab tersendiri). 2. Cara penulisan dari subbab ke subbab yang lain
harus tetap mempunyai keterkaitan yang jelas dengan memperhatikan aturan
penulisan pustaka. 3. Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik, studi pustaka
harus memenuhi prinsip kemutakhiran dan keterkaitannya dengan permasalahan
yang ada. Apabila menggunakan literatur dengan beberapa edisi, maka yang
digunakan adalah buku dengan edisi terbaru, jika referensi tidak terbit lagi,
referensi tersebut adalah terbitan terakhir. Dan bagi yang menggunakan Jurnal
sebagai referensi pembatasan tahun terbitan tidak berlaku 4. Semakin banyak
sumber bacaan, maka kualitas penelitian yang akan dilakukan semakin baik,
terutama sumber bacaan yang terdiri dari teks book atau sumber lain misalnya
jurnal, artikel dari majalah, Koran, internet dan lain-lain 5. Pedoman kerangka
teori di atas berlaku untuk semua jenis penelitian 6. Teori bukan merupakan
pendapat pribadi (kecuali pendapat tersebut sudah ditulis di BUKU) 7. Pada akhir
kerangka teori bagi penelitian korelasional disajikan model teori, model konsep
(apabila diperlukan) dan model hipotesis pada subbab tersendiri, sedangkan
penelitian studi kasus cukup menyusun Model teori dan beri keterangan. Model
teori dimaksud merupakan kerangka pemikiran penulis dalam penelitian yang
sedang
9. dilakukan. Kerangka itu dapat berupa kerangka dari ahli yang sudah ada,
maupun kerangka yang berdasarkan teori-teori pendukung yang ada. Dari
kerangka teori yang sudah disajikan dalam sebuah skema, harus dijabarkan jika
dianggap perlu memberikan batasan-batasan, maka asumsi-asumsi harus
dicantumkan. Contoh: Judul : Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan
Perubahan Siklus Menstruasi pada Siswa SMA Masehi Kudus RM : Apakah ada
hubungan antara tingkat kecemasan dengan perubahan siklus menstruasi pada
siswa SMA Masehi kudus ? Ha : Ada Hubungan antara tingkat kecemasan
perubahan siklus menstruasi pada siswa SMA Masehi Kudus Bagaimana cara
membangun atau membuat konstruksi landasan teori? 1. Kita harus memahami
variabel-variabel dalam penelitian. 2. Kita harus mampu menjabarkan variabelvariabel tersebut dalam bentuk konsep yang mendukung terhadap rumusan
masalah yang disusun 3. Kita harus mampu menjabarkan variabel-variabel
tersebut dalam konsep yang sesuai dengan Hipotesa penelitian. Misal : Variabel
penelitian terdiri dari variabel Tingkat kecemasan (X) dan perubahan siklus
menstruasi (Y) Jadi kontruksi Landasan teori dalam penelitian tersebut, sebagai
berikut: Tingkat Kecemasan : 1. Pengertian kecemasan 2. Faktor-faktor yang
sumber bacaan, maka kualitas penelitian yang akan dilakukan semakin baik,
terutama sumber bacaan yang terdiri dari teks book atau sumber lain misalnya
jurnal, artikel dari majalah, Koran, internet dan lain-lain 5. Pedoman kerangka
teori di atas berlaku untuk semua jenis penelitian 6. Teori bukan merupakan
pendapat pribadi (kecuali pendapat tersebut sudah ditulis di BUKU) 7. Pada akhir
kerangka teori bagi penelitian korelasional disajikan model teori, model konsep
(apabila diperlukan) dan model hipotesis pada subbab tersendiri, sedangkan
penelitian studi kasus cukup menyusun Model teori dan beri keterangan. Model
teori dimaksud merupakan kerangka pemikiran penulis dalam penelitian yang
sedang
9. dilakukan. Kerangka itu dapat berupa kerangka dari ahli yang sudah ada,
maupun kerangka yang berdasarkan teori-teori pendukung yang ada. Dari
kerangka teori yang sudah disajikan dalam sebuah skema, harus dijabarkan jika
dianggap perlu memberikan batasan-batasan, maka asumsi-asumsi harus
dicantumkan. Contoh: Judul : Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan
Perubahan Siklus Menstruasi pada Siswa SMA Masehi Kudus RM : Apakah ada
hubungan antara tingkat kecemasan dengan perubahan siklus menstruasi pada
siswa SMA Masehi kudus ? Ha : Ada Hubungan antara tingkat kecemasan
perubahan siklus menstruasi pada siswa SMA Masehi Kudus Bagaimana cara
membangun atau membuat konstruksi landasan teori? 1. Kita harus memahami
variabel-variabel dalam penelitian. 2. Kita harus mampu menjabarkan variabelvariabel tersebut dalam bentuk konsep yang mendukung terhadap rumusan
masalah yang disusun 3. Kita harus mampu menjabarkan variabel-variabel
tersebut dalam konsep yang sesuai dengan Hipotesa penelitian. Misal : Variabel
penelitian terdiri dari variabel Tingkat kecemasan (X) dan perubahan siklus
menstruasi (Y) Jadi kontruksi Landasan teori dalam penelitian tersebut, sebagai
berikut: Tingkat Kecemasan : 1. Pengertian kecemasan 2. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan 3. Kualifikasi kecemasan dll yang berkaitan dengan
kecemasan Perubahan Siklus Menstruasi : 1. Pengertian siklus menstruasi
10. 2. Macam-macam perubahan siklus menstruasi 3. Faktor penyabab
terjadinya perubahan siklus menstruasi dll yang berkaitan dengan perubahan
siklus menstruasi SAMPLE DAN POPULASI Populasi adalah wilayah
generalisasi berupa subjek atau objek yang diteliti untuk dipelajari dan diambil
kesimpulan. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti.
Dengan kata lain, sampel merupakan sebagian atau bertindak sebagai perwakilan
dari populasi sehingga hasil penelitian yang berhasil diperoleh dari sampel dapat
digeneralisasikan pada populasi. Penarikan sampel diperlukan jika populasi yang
diambil sangat besar, dan peneliti memiliki keterbatasan untuk menjangkau
seluruh populasi maka peneliti perlu mendefinisikan populasi target dan populasi
terjangkau baru kemudian menentukan jumlah sampel dan teknik sampling yang
digunakan. B. Ukuran Sampel Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan
perhitungan maupun acuan tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum,
untuk penelitian korelasional jumlah sampel minimal untuk memperoleh hasil
yang baik adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel
minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah
sampel minimum adalah 100. Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006)
memberikan acuan umum untuk menentukan ukuran sampel : 1. Ukuran sampel
lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian 2. Jika
sampel dipecah ke dalam subsampel (pria/wanita, junior/senior, dan sebagainya),
ukuran sampel minimum 30 untuk tiap kategori adalah tepat 3. Dalam penelitian
mutivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran sampel sebaiknya 10x
lebih besar dari jumlah variabel dalam penelitian 4. Untuk penelitian
eksperimental sederhana dengan kontrol eskperimen yang ketat, penelitian yang
sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil antara 10 sampai dengan 20
Besaran atau ukuran sampel ini sampel sangat tergantung dari besaran tingkat
ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti. Namun, dalam hal tingkat
kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat kesalahannya adalah 5%
(0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil jumlah sampel.
Melakukan survei
penelitian (Okhuysen dan Bonardi, 2011). Ada berbagai pertimbangan yang perlu
diperhatikan. Di antaranya adalah kedekatan lensa yang akan digunakan,
termasuk asumsi dasar yang digunakan ketika lensa tersebut dikembangkan .
Sebagai contoh, memasukkan variabel yang didasari oleh teori yang
mengandaikan bahwa manusia selalu rasional, dan lainnya yang didasari oleh
teori yang mengasumsikan bahwa manusia tidak selalu rasional, memerlukan
argumen yang kuat.
Kedua, setiap variabel yang digunakan seharusnya didefinisikan dengan jelas.
Definisi ini akan mempengaruhi dalam tahap operasionalisasinya ke dalam itemitem yang mengukurnya. Kadang saya menemukan antara definisi operasional dan
item-item yang dikembangkan tidak klop. Bisa jadi, masalah ini mungkin
karena praktik membuat montase dari beragam sumber tanpa
mempertimbangkan isu pertama di atas. Item-item tersebut dapat bersumber dari
konsep atau teori yang ada atau dari proses wawancara atau observasi di
lapangan.
Dalam konteks ini, pertimbangkan dengan baik tingkat pengukuran setiap (level
of measurement) variabel (nominal, ordinal, interval atau rasio) dan jika
digunakan, juga poin dalam skala Likert (biasanya ganjil, seperti 5 dan 7). Yang
terakhir ini, sesuaikan dengan derajat variasi jawaban yang Anda harapkan.
Kesalahan fatal lain yang perlu dihindari adalah, jika penelitian Anda ingin
menguji hubungan antarvariable, jangan sekali-kali menanyakan hubungan
variabel ini di dalam kuesiober kepada responden. Ukur setiap variabel secara
terpisah. Kesalahan dapat menentukan tingkat pengukuran akan mempengaruhi
fleksibitas dalam analisis data. Sebagai contoh, regresi ganda tidak bisa digunakan
jika variabel dependen diukur secara dikotomis (nominal). Uji korelasi Spearman,
misal lain, tidak bisa digunakan untuk data nominal, dan seterusnya.
Ketiga, uji instrumen seringkali tidak dilakukan secara memadai. Seharusnya,
sebelum kuesioner didistribusikan secara massal harus sudah diuji dengan baik.
Pengujian dilakukan untuk mengukur validitas dan reliabilitas instrumen.
Instrumen kemudian dapat diperbaiki dengan beragam tindaklanjut: penambahan,
penghapusan, dan/atau pengubahan item. Mengapa pengujian ini penting sebelum
survei massal? Tidak seperti penelitian interpretif yang memungkinkan kita
kembali ke lapangan setiap saat untuk menambah data, penelitian positivis
adalah proses sekali jalan. Ketika kuesioner yang disebarkan salah, maka data
yang didapatkan pun menajdi bermasalah. Memang ketika misalnya, ada
tambahan item yang ditanyakan, bisa dilakukan penyebaran ulang, tetapi apakah
ini dapat menjamin kalau akan didapatkan respon yang sama? Jika distribusi
kuesioner dibuat dalam dua atau lebih bahasa, ada baiknya dilakukan uji potensi
bias dari respons yang didapat.
Keempat, jika populasi responden diketahui dengan daftar yang jelas, maka Anda
patut bersyukur. Namun di lapangan, seringkali tidak demikian halnya. Ini terkait
dengan penelitian sampel dan metode sampling. Apapun metode sampling yang
dipilih, pastikan Anda mempunyai argumen mengapa metode ini dianggap tepat
untuk penelitian Anda. Jumlah sampel yang didapat seringkali juga tidak
sebanyak yang diharapkan karena response rate yang rendah. Untuk ini, metode
analisis statistik juga perlu dipilih dengan tepat.
Kelima, di lapangan seringkali dibutuhkan strategi untuk memperbaiki response
rate. Beragam strategi dapat digunakan, termasuk dengan surat, sebar-dankumpul, wawancara langsung, wawancara telpon, atau online. Pilihan strategi
biasanya tergantung dengan responden yang disasar dan sebarannya.
Sebagai penutup, rumus sederhana untuk setiap isu di atas adalah: untuk setiap
pilihan yang dibuat, berikan argumen yang kuat. Dengan pemikiran demikian,
kesalahan atau stres ketika melakukan penelitian dapat diminimalkan.
Kontribusi teoretis
Apa kontribusi teoretis penelitian ini? Pertanyaan ini adalah salah satu favorit,
tetapi sekaligus yang paling mematikan, bagi saya ketika melakukan penelitian.
Setiap penelitian atau artikel publikasi yang ditulis seharusnya menyiapkan
jawaban atas pertanyaan ini. Secara lugas, Mintzberg (2005:361) menyatakan, If
there is no generalizing beyond the data, no theory. No theory, no insight. And if
no insight, why do research?. Nah lho, benar-benar mematikan kan? Tentu saja,
perlu dicatat di depan, tidak semua disiplin mempunyai tradisi seperti ini. Selain
itu, perlu juga dicermati konsep generalisasi dalam beragam tradisi penelitian,
seperti antara positivis dan interpretif, yang mempunyai pendekatan berbeda.
Merumuskan kontribusi teoretis bukan perkara mudah. Tidak ada satu pun definisi
yang disepakati bersama (Corley & Gioia, 2011). Beragam konseptualisasi
kontribusi teoretis bisa kita temukan dalam literatur. Namun sebelum
mendiskusikan lebih lanjut, ada baiknya kita rujuk kembali apa itu teori? Ada
banyak definisi, salah satunya yang sederhana adalah theory is a statement of
concepts and their interrelationships that shows how and/or why a phenomenon
occurs (Corley & Gioia, 2011:12). Menurut Whetten (1989), teori mempunyai
empat komponen yang saling terkait. Secara ringkas, teori harus menjawab tiga
pertanyaan pokok: apa (what), bagaimana (how), mengapa (why), dan pertanyaan
pendukung: siapa (who), kapan (when), dan di mana (where). Tidak semua teori
mempunyai proposisi (Whetten, 1989).
Maaf, sebelum melanjutkan, teori jangan dimaknai secara peyoratif seperti yang
dipahami banyak orang awam: teori dianggap tidak bermanfaatn dan hanya
omong kosong. Teori dapat dikelompokkan ke dalam beragam kelompok dengan
pendekatan yang berbeda. Berdasar fungsinya teori dapat dikelompok ke dalam
teori untuk (a) menganalisis, (b) menjelaskan, (c) memprediksi, (d) menjelaskan
dan memprediksi, dan (e) desain dan aksi (Gregor, 2006). Ulasan singkat
kategorisasi ini dapat dilirik di sini. Teori juga dapat dikelompokkan berdasar
cakupan fenomena yang dapat dijelaskan. Kita bisa temukan macrolevel theories
seperti new institutional theory, resource dependence theory, contingency theory,
agency theory, dan transaction cost theory; meso theories seperti social capital,
organizational identity, dan organizational learning; dan microlevel theories
seperti equity theory, procedural justice theory, dan prospect theory (Corley &
Gioia, 2011).
Kembali ke kontribusi teoretis. Jangan disalahpahami bahwa kontribusi teoretis
tidak berhubungan dengan kemanfaatan teori dalam praktik. Dalam konteks,
Corley dan Gioia (2011) menawarkan framework untuk memahami kontribusi
teoretis. Ada dua dimensi yang dapat dilihat: orisinalitas (originality) dan
kemanfaatan (utility). Orisinalitas bisa bersifat revelatory (alias menghadirkan
pengetahuan yang sebelumnya menjadi misteri) atau incremental (bertahap;
tambahan tilikan baru). Kemanfaatan bisa bersifat ilmiah (scientific) dan praktis
(practical).
Jika kita dapat menghadirkan teori baru, akan sangat jelas kontribusi kita. Namun,
menghasilkan teori baru bukan hal mudah. Lagi pula, tidak semua penelitian yang
kita lakukan ditujukan untuk mendapatkan hadiah Nobel.
Dalam bahasanya
Corley dan Gioia (2011), kontribusi seperti terkait dengan tingkat orisinalisitas
yang revelatory. Namun, orisinalistas dapat maujud dalam tingkatan yang lebih
rendah yang bersifat bertahap.
Terdapat beragam konseptualisasi kontribusi teoritis di literatur. Ridder et al.
(2009) menyebut perbaikan konstruk dan hubungan antarkonstruk, pengembangan
dan konfirmasi proposisi, dan penggabungan konstruk baru dalam hubungan
antarkontsruk yang sudah ada. Termasuk dalam perbaikan konstruk, menurut saya,
adalah konseptualisasi konstruk yang lebih baik. Lebih baik di sini, bisa berarti
lebih detil dan lebih jelas alias menghilangkan ambiguitas. Hal ini terkait dengan
kemanfaatan teoretis yang memungkinkan konsep atau konstruk
dioperasionalisasikan dan diuji dalam penelitian. Kemanfaatan praktis, di sisi lain,
Share this:
Terkait
Memahami peran teori dalam penelitiandalam "Meneliti"
Menulis penelitian kualitatifDengan 34 komentar