baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai
proses perkembangan hidup alamiah, sementara , kejahatan, dan persoalan
kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari kecenderungan alamiah.
Teori Rogers didasarkan pada suatu daya hidup yang disebutkecenderungan
aktualisasi. Kecenderungan aktualisasi tersebut diartikan sebagai motivasi yang
menyatu dalam setiap diri makhluk hidup dan bertujuan mengembangkan seluruh
potensinya semaksimal mungkin. Jadi, makhluk hidup bukan hanya bertujuan
bertahan hidup saja, tetapi ingin memperoleh apa yang terbaik bagi
keberadaannya.Dari dorongan tunggal inilah, muncul keinginan-keinginan atau
dorongan-dorongan lain yang disebutkan oleh psikolog lain, seperti kebutuhan
untuk udara, air, dan makanan, kebutuhan akan rasa aman dan rasa cinta, dan
sebagainya.(George 2008)
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik,
namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori
humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat
pada pribadi (person centered),non-directive, klien (client-centered), teori yang
berpusat pada murid (student-centered), teori yang berpusat pada kelompok (group
centered), dan person to person). Namun istilahperson centered yang sering
digunakan untuk teori Rogers.
Asumsi dan Prinsip Dasar Teori
1. Kecenderungan formatif : Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik
tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
2. Kecenderungan aktualisasi: Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak
menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual
mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Ide pokok dari teori-teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam
diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalahmasalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat
mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. (Schultz 1991)
Carl Rogers mengembangkan teorinya dari penelitiannya bersama pasien dan klien
di klinik. Rogers merasa terkesan dengan apa yang ia lihat saat kecenderungan
bawaan individu yang bergerak ke arah pertumbuhan, maturitas, dan perubahan
positif. Ia menjadi yakin bahwa kekuatan dasar yang memotivasi organisme
manusia adalah kecenderungan beraktualisasi suatu kecenderungan ke arah
pemenuhan atau aktualisasi semua kapasitas organisme. Organisme yang tumbuh
mencari cara untuk memenuhi potensinya di dalam batas-batas hereditasnya.
Seseorang mungkin tidak selalu dengan jelas merasakan tindakan mana yang
menyebabkan pertumbuhan dan tindakan mana yang regresif. Tetapi jika jalan itu
jelas, individu memilih untuk tumbuh ketimbang regresi. Rogers tidak menyangkal
bahwa terdapat kebutuhan lain, sebagian darinya adalah biologis., tetapi ia
memandang semuanya itu sebagai patuh kepada motivasi organisme untuk
meningkatkan dirinya. Keyakinan Rogers akan keunggulan aktualisasi membentuk
dasar terapi terpusat klien yang bersifat nondirektif. Metoda psikoterapi ini
berpendapat bahwa semua individu memiliki motivasi dan kemampuan untuk
berubah dan individu adalah orang yang paling berkualifikasi untuk menentukan
arah perubahan tersebut. Peran ahli terapi adalah sebagai papan pantul sementara
individu mengeksplorasi dan menganalisis masalahnya. Pendekatan ini berbeda
dari tipe psikoanalitik, di mana ahli terapi menganalisis pengalaman pasien untuk
menentukan masalah dan menyarankan suatu tindakan pengobatan. Inti dari
konsep dalam teori kepribadian Rogers adalah diri (self). Diri, atau konsep-diri
(Rogers menggunakan keduanya), menjadi inti teotinya. Diri terdiri dari semua ide,
persepsi, dan nilai-nilai yang mengkarakterisasi saya atau aku ; ia mencakup
kesadaran apa saya dan apa yang dapat saya lakukan. Selanjutnya diri yang
dihayati ini mempengaruhi persepsi seseorang tentang dunia dan perilakunya.
Sebagai contohnya, wanita yang merasa dirinya kuat dan kompeten akan
menghayati dan bertindak di dunia dengan cara yang sangat berbeda dari wanita
yang menganggap dirinya lemah dan tidak berguna. Konsep diri tidak selalu
mencerminkan realita : seseorang mungkin sangat berhasil dan terhormat tetapi
masih memandang dirinya sendiri sebagai orang yang gagal.
Detail Teori
Menurut Rogers, individu menilai setiap pengalaman berkaitan dengan konsep diri.
Orang ingin bertindak dalam cara yang konsisten dengan citra-dirinya ;
pengalaman dan perasaan yang tidak konsisten adalah mengancam dirinya dan
tidak diterima oleh kesadaran. Ini pada dasarnya adalah konsep represi freud,
Sebaliknya, orang yang mampu menyesuaikan diri memiliki konsep diri yang
konsisten dengan pikiran, pengalaman, dan perilaku ; diri tidak kaku tetapi
fleksibel, dan dapat berubah saat ia mengasimilasi pengalaman dan ide baru.
Diri lain dalam teori Rogers adalah diri yang ideal. Kita semua memiliki konsepsi
jenis orang yang diri kita inginkan menjadi sepertinya. Semakin dekat diri ideal
dengan diri nyata, semakin penuh dan gembira individu yang bersangkutan.
Ketidaksesuaian yang besar antara diri ideal dan diri nyata menghasilkan orang
yang tidak puas dan tidak gembira.
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai
pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang
bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep
diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau
tidak,
Rogers
mengenalkan
2
konsep
lagi,
yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan
antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan
dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana
pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri
yang utuh, integral, dan sejati. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan
kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain.
Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2
yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak
bersyarat). (Schultz 1991)
Jadi dua jenis ketidaksesuaian dapat terjadi : satu, antara diri dan pengalaman
realita ; dan yang lain antara diri dan diri ideal. Rogers memiliki beberapa hipotesis
tentang bagaimana ketidaksesuaian itu dapat berkembang.
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi
yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai,
dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat
defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):
1.Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman
dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan
mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positip maupun negatip.
2. Kehidupan Eksistensial
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap
pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu
berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman
selanjutnya.
3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap
pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang
dirasanya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat
mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
4. Perasaan Bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya
paksaan paksaan atau rintangan rintangan antara alternatif pikiran dan
tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi
mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya
sendiri, tidak pada peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat meilhat sangat
banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang
ingin dilakukannya.
5. Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka
sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri ciri
bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang
yang nyata sambil menjelaskan alasan mengapa perbuatan memukul tidak dapat
diterima.
Istilah terapi Kognitif biasa digunakan, namun sebenarnya istilah ini menyesatkan karena
mengandung pengertian bahwa seolah-olah pendekatan kognitif merupakan suatu bentuk terapi
tersendiri. Padahal sebenarnya, tidak demikian. Beberapa teknik biasanya telah digunakan oleh
terapis perilaku (behavioral terapi), misalnya pelatihan arstif, pelatihan pengatasan masalah,
pelatihan kemampuan bersosialisasi dan sebagainya. Hanya saja, dalam pendekatan kognitif,
teknik yang sudah biasa digunakan terapis tersebut diperkenalkan kepada pasien.
Dengan cara lain klien menjadi mitra kerja terapis dalam mengatasi masalah. Keterlibatan
klien menunjukan bahwa terapis kognitif merupakan terapi yang aktif. Terapi secara bebas
mencari bentuk-bentuk kerja sama dengan klien, dengan terapi yang dipusatkanpada keadaan
disini dan sekarang. Pengalaman atau kejadian-kejadia masa lalu hanya dipertimbangkan sejauh
kenyataan itu dapatmembantu menerangkan pola-pola piker dan perilaku yang sudah menjadi
kebiasaan pada saat ini.
Meskipun istilah terapi kognitif menyesatkan, namun istilah itu telah digunakan oleh Beck
untuk menggugah kesadaran para terapis supaya menggunakannya. Asumsi yang mendasari teori
kognitif, terutama untuk kasus depresi yaitu bahwa gangguan emosional bersal dari distori
(penyimpangan) dalam berfikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat berlansung lama
kalau di capai perubahan pola-pola berfikir selama prosesperlakuan terapeotik. Tampa perubahan
pola prilaku maka kesembuhan yang terjadi hanya bersifat sementara, dan masirentan kalau klien
menghadapi situasi yang menyesakkan atau menimbulkan akibat negative.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN TERAPI KOGNITIF
A. Pengertian
Kognisi adalah cara manusia berfikir. Sedangkan psikologi kognitif adalah ilmuan yang
mempelajari cara berfikir manusia. Jadi psikologi kogniitif adalah sebuah bidang studi tentang
bagaimana manusia memahami, belajar, mengingat dan berfikir tentang suatu imformasi.[1]
Psikologi kognitif yang memandang psikologi sebagai suatu ilmu tentang prilau dan proses
mental.[2]
Istilah kognitif merujuk kepada aktiviti-aktiviti mental seperti berfikir, menaakul,
menganalisis, membentuk konsep, menyelesaikan masalah dan sebagainya. Pendekatan Kognitif
merupakan pendekatan yang memberi perhatian khusus kepada proses pemikiran individu seperti
kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif, kemahiran belajar dan motivasi yang dipelopori oleh
ahli psikologi Gestalt, Pieget, Vygotsky, Gagne, Bruner dan Ausubel.
Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu
yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini
maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan
mereka tentang dunia.
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Menurut Drever (Kuper & Kuper, 2000) disebutkan bahwa kognisi adalah istilah
umumyang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan
makna, penialain, dan penalaran.
Sedangkan menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa kognitif
adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di
sekitarnya. Pieget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam
menyusunpengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya
walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh
pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi
yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan
konsepsi.
Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa kognisi adalah konsep umum yang mencakup
semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran.
Proses ini meliputi bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan
sebagai pengetahuan. Pengetahuan itu dimunculkan kembali sebagai petunjuk dalam sikap dan
perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan
informasi.
Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental,
dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi
stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental
sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk
memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima,
mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.
Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa kognitif adalah
sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan
seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau
semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari,
memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan
lingkungannya.
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan
berjangka waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya
asietas atau depresi. (Singgih D. Gunarsa, 2003: 227)
B. Aspek-aspek Kognitif
1. Kematangan, yaitu Semakin bertambahnya usia, maka semakin matang atau bijaksana
seseorang dalam menghadapi rutinitas dan masalah yang dihadapinya.
2. Pengalaman merupakan hasil interaksi antar individu dengan orang lain.
3. Transmisi sosial adalah hubungan sosial dan komunikasi yang sesuai dengan lingkungan.
4. Equilibrasi adalah perpaduan dari pengalaman dan proses transmisi sosial.
C. Strategi Perencanaaan dan peran Terapi kognitif
Normalnya terapi kognitif dibatasi antara 15-20 pertemuan, masing-masing pertemuan
membutuhkan waktu 50 menit, sekali seminggu. Meskipun demikian, untuk kasus-kasus depresi
yang lebih para perlu dua kali pertemuan setiap minggunya 4-5 minggu pertama.
Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, karena :
1. Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studistudi psikologi manusia.
2. Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidang-bidang psikologi yang lain.
Misalnya pendekatan kofnitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi
konsumen dan lain-lain.
3. Melalui prinsiprinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan
terorganisasikan dengan baik.
D. Tujuan Utama Dalam teknik Terapi Kognitif
Tujuan dalam terapi kognitif adalah sebagai berikut:
1. Membangkitkan pikiran-pikiran klien, dialog internal atau bicara diri, dan interprestasi
terhadap kejadian-kejadian yang alami
2. Terapis bersama klien mengumpulakan bukti yang mendukung atau menyanggah
interprestasi-interpretasi yang telah diambil.
3. Menyusun desain eksperimen (pekerja rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan
menjaring data tambahan untuk diskusi didalam proses perlakuan terapiutik.
Terapi kognitif khususnya diarahkan untuk memunculkan kesalahan-kesalahan atau
kesesatan dalam berfikir. Contoh kesalahan adalah:
1. Berfikir dikotomik yaitu berfikir yang serba ekstrem tampa penilaian atau pendapat
relativistic ditengah-tengah.
2. Abstrak selektif, pemisahan sebagian kecil dari situasi keseluruhan dengan mengabaikan
sisa bagian yang jauh lebih besar atau penting.
3. Inferensi arbitrer ( sembarangan, tidak semena-mena), yaitu menarik kesimpulan yang
meupakan inferensi dari bukti-bukti yang tidak relevan.
4. Ovaergeneralisasi, yaitu menyimpulkan satu kejadian negative yang khusus, sebagai
kejadia negative secara keseluruhan.
5. Catastrophising, yaitu berfikir hal yang paing buruk dalam suatu situasi.
E. Karakteristik Pertemuan-Pertemuan Terapi
Karakteristik dalam masing-masing pertemuan terapi memberikan struktur bagi setiap
pertemuan.
1. Terapis menyusun agenda
2. Terapis mengatur waktu terapi.
3. Terapis membuat lingkaran secara periodic selama wawancara, kemudian meminta
tanggapan klien terhadap ringkasan yang dibuat.
4. Dominasi pendekatan dengan terapis benyak bertanya. Pertanyaan tentang fakta dan
pemberian nasehat tidak diyakini akan memberikan mamfaat terpeutik yang berarti.
5. Langkah akhir, ada dua tugas terapis:
a. Memberikan tugas rumah yang didasarkan pada topic / masalah yang Nampak muncul
sebagai masalah pokok selama session yang baru dijalani.
b. Meminta klien untuk membuat ringkasan tentang apa yang telah dikerjakan didalam
session yang baru dijalani, dan merincikan apa yang harus dikerjakan dalam
pekerjaan rumah.
F. Aplikasi Terapi Kognitif Untuk kasus Depresi
Teknik dalam terapi kognitif diantaraya adalah:
1. Penangkapan pikiran (though catching)
Teknik ini mempunyai dasar pikiran sebagai berikut:
a) Bahwa hubungan antara fikiran, perasaan, dan perilaku dapat ditunjukan dengan
merekam dan memunculakan pikiran.
b) Bahwa perekaman dan pemunculan pikiran sudah dengan sendirirnya ikut membantu
memecahkan ikatan antara fikiran dengan perasaan dengan membuat fikiran menjadi
Nampak kuranng realistis.
c) Bahwa dengan perekaman dan pemunculan pikiran, maka terapis dank lien
memperoleh data untuk memformulasi hipotesis yang akan dimamfaatkan untuk
testing realitas.
Kegiatan ini menangkap fikiran memungkinkan klien untuk memantau dan merekam
atau memunculkan dialog internal mereka sendiri secara akurat, kapan saja mereka merasa
murung yang disebabkan oleh situasi apapun.
Prosedur teknik penangkapan pikiran adalah sebagai berikut:
1) Menerangka kaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku.
ketidaklogikan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien
tersebut.
2. Teknik Persuasif - Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya kerana pandangan
yang ia kemukakan itu tidak benar. Konselor langsung mencoba meyakinkan,
mengemukakan pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien
itu adalah tidak benar.
3. Teknik Konfrontasi - Konselor menyerang ketidaklogikan berfikir klien dan membawa
klien ke arah berfikir yang lebih logik.
4. Teknik Pemberian Tugas - Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba
melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul
dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau
membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua
aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi
yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana
individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai,
dan memikirkan lingkungannya.
Perkembangan kognitif pada anak-anak disebut tahap praoperasional, yang berlangsung
antara usia 2 sampai 7 tahun. Pada masa ini konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental
muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian melemah, serta terbentuknya keyakinan pada hal
magis. Namun pada masa ni anak masih tetap memikirkan pada peristiwa-peristiwa atau
pengalaman-pengalaman yang dialaminya.
Beck menunjukkan bahwa terapi kognitif harus digunakan didalam konteks pertemuanpertemuan dimana empati, kehangatan dan kelembutan yang akurat harus ditujukan oleh terapis.
Strategi-strategi terapeutik bukanlah perangkat peralatan mekanistik. Hubungan baik antara klien
dan terapis merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dapat dicapai dengan kerja sama dan
saling pengertian antara kedua belah pihak. Tetapi kognitif tidak berpegang kaku pada salah satu
teknik, namun memilih salah satu diantara berbagai teknik yang paling tepat, sesuai dengan
situasi dan masalahnya.
1.
2.
3.
4.
5.
B.
1.
Selain itu secara ringkasnya bahwa konseling behavioral ini berpandangan bahwa manusia itu
memiliki hal-hal berikut :
Lahir dalam mempunyai bawaan netral, artinya manusia itu hak untuk berbuat baik/buruk/jahat.
Lahir dengan membawa kebutuhan dasar dan dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan.
Kepribadian manusia berkembang atas dasar interaksi dengan lingkungannya.
Mempunyai tugas untuk berkembang melalui kegiatan belajar.
Manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan.
(Winkle. 2012 : 420)
Konsep Dasar
Hakikat Tingkah Laku
Konseling behavioral berpandangan, bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya:
a.
Tingkah laku manusia diperoleh melalui belajar dan kepribadian adalah hasil proses belajar.
Belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau
pengalaman
b. Tingkah laku manusia tersusun dari respons-respons kognitif, motorik dan emosional terhadap
stimulus yang datang baik dari internal maupun eksternal.
c. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh variabel-variabel kompetensi, setrategi dan susunan
pribadi, harapan-harapan, nilai stimulus, sistem dan rencana pengaturan diri.
(Alwisol, 2011 : 320)
2.
a.
b.
c.
1)
2)
Prinsip Belajar
Tingkah laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang
menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan consequence.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum
belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon.
Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon.
Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah laku.
Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya perilaku akan
semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan menghilang apabila dikenai hukuman.
Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah laku
melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:
Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan
Tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.
Konseling Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang
berorientas pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Perilaku manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud disini adalah
perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.
Adapun ciri-ciri konseling behavioral sebagaimana digambarkan oleh Eysenk adalah bahwa
konseling behavioral itu :
a. Didasarkan pada teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah kepada
kesimpulan yang dapat diuji.
b. Berasal dari penelaahnan eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk menguji teoriteori dan kesimpulan.
c. Memandam symptom atau gejala sebagai respon bersyarat yang tidak adaptif.
d. Memandang syimptom atau gejala itu sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
e. Memandang bahwa gejala-gejala atau symptom-symptom perilaku itu berdasarkan perbedaaan
individual yang terbentuk secara bersyarat dan otonom
f. Menganggap penyembuhan gangguan neurotik itu sebagai pembentukan kebiasaan yang baru.
g. Penyembuhan gelaja atau symptom itu langsung dengan jalan membasmi respon bersyarat yang
keliru, dan membentuk respon bersyarat yang diharapkan
h. Menganggap bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan neurotik
sekalipun untuk hal-hal tertentu kadang-kadang diperlukan.
(Soeharto, dkk, 2011 : 76)
Perubahan dalam perilaku manusia harus diusahakan melalui proses belajar(learning) atau
belajar kembali (relearning). Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa perilaku konseli
merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan,
Kalau perilaku konseli ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan
situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat(maladjusted), harus dikatakan bahwa baik
tingkah laku salah merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar,
tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat
melalui suatu proses belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku
yang salah.Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai proses belajar yang akan
menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku nyata. (Winkel, 2011 : 421).
Sehingga konseling behavioral merupakan pendekatan yang berorientasi pada pengubahan
perilaku menyimpang dengan mengedepankan prinsip-prinsip belajar.
C. Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling behavioral adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses
belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk
tingkah laku yang maladaptif (salah suai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Konseling
behavioral pada hakikatnya terdiri dari proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respon-respon yang
layak, namun belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri
sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial,
memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self
management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8)
Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif
melalui proses belajar dan lingkungan.
D. Hubungan Konselor Klien
Wolpe (1958, 1969) menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah
salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Peran konselor yang esensial adalah
peran sebagai agen pemberi penguatan, para konselor tidak dicetak untuk memainkan peran yang
dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang terprogram yang
memaksakan teknik-teknik kepada klien yang mirip robot. (Corey, 2010, 206)
Di dalam konseling behavioral harus ada keterlibatan antara konselor dan klien baik
dalam menyepakati tujuan, tingkah laku yang diharapkan, maupun di dalam proses konseling.
Unsur-unsur hubungan personal itu adalah kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan,
empati, dan wajar. (Sutarno, 2003 : 8)
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas seperti kehangatan, antusiasme, sikap
permisif, penerimaan, empati dan wajar memang merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan,
tetapi tidak cukup bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik.Maka
hubungan antara konselor dan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
(1) Konselor memahami dan menerima klien
(2) Keduanya bekerja sama
(3) Konselor memberikan bantuan dari arah yang diinginkan klien.
(Goldstein, 1973 : 220) (Corey, 2010 : 206)
E.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Kegiatan ini dilakukan berulang kali hingga kecemasan itu sendiri berangsur-angsur berkurang.
Sejalan dengan ini Lazarus mengusulkan teknik lain yakni sejenis desensitisasi untuk dicobakan
kepada isteri yang takut diraba oleh suami. Dalam hal ini, mulainya klien disuruh rileks dan
membayangkan suami sekedar mendekatinya. Apabila ia telah dapat tenang dan rileks di saat
membayangkan hal itu, tahap berikutnya klien diminta untuk tetap rileks. Latihan ini diulangulang sampai tanpa adanya kecemasan.Sebaliknya kedua teknik itu direkomendasikan dalam
penggunaannya. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80).
Sehingga pada teknik latihan seksual ini membentuk tingkah laku baru yang tidak takut
ataupun cemas ketika berada di dekat jenis kelamin lain. Teknik ini lebih baiknya untuk
pasangan suami istri yang salah satu diantara keduanya masih memiliki ketakutan atau
kecemasan saat didekati oleh suami atau istrinya.
1. Terapi Aversi (Aversion therapy)
Teknik ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buuk, dimaksudkan untuk
meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi dengan
kebalikan respons terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang merugikan atau tidak
mengenakan dirinya.Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks.Kepada pria homoseks
diperlihatkan foto pria telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak
beralas.Dalam terapi ini, setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria
telanjang) diikuti dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria
telanjang selalu dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria. (Soeharto
dkk, 2011 : hlm 81)
Teknik- teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.Contoh pelaksanaan
penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus
kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak.Jika perkuatan ditarik, tingkah laku
yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekuensinya. Contoh penggunaan hukuman sebagai
cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik ketika tingkah laku
spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang penting adalah bahwa prosedur-prosedur
aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode
sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang
akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010 : hlm 216-217)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku
baru yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai
aturan.