Anda di halaman 1dari 23

TEORI HUMANISME

Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia.


Pendekatan ini melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun
dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak
positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang
beraliran humanism biasanya memfokuskan pengajarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi adalah karakterisitik
yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi dan
dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Teori humanisme ini
cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis
terhadap fenomena sosial.
Tokoh pencetus aliran humanisme adalah Arthur Combs, Abraham
Maslow, Carl Rogers, Erich Fromm daan Viktor Frankl.
B. Carl Roger
Carl Ransom Rogers lahir pada tanggal 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinios,
Chicago. Rogers meninggal dunia pada tanggal 4 Februari 1987 karena serangan
jantung. Latar belakang: Rogers adalah putra keempat dari enam bersaudara.
Rogers dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan dan menganut aliran
protestan fundamentalis yang terkenal keras, dan kaku dalam hal agama, moral dan
etika. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis, ide ide dan konsep
teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman -pengalaman terapeutiknya.
(Schultz 1991)
Carl Rogers adalah seorang psikolog yang terkenal dengan pendekatan terapi klinis
yang berpusat pada klien (client centered) (Clifford 1986). Rogers kemudian
menyusun teorinya dengan pengalamannya sebagai terapis selama bertahun-tahun.
Teori Rogers mirip dengan pendekatan Freud, Namun pada hakikatnya Rogers
berbeda dengan Freud karena Rogers menganggap bahwa manusia pada dasarnya

baik atau sehat. Dengan kata lain, Rogers memandang kesehatan mental sebagai
proses perkembangan hidup alamiah, sementara , kejahatan, dan persoalan
kemanusiaan lain dipandang sebagai penyimpangan dari kecenderungan alamiah.
Teori Rogers didasarkan pada suatu daya hidup yang disebutkecenderungan
aktualisasi. Kecenderungan aktualisasi tersebut diartikan sebagai motivasi yang
menyatu dalam setiap diri makhluk hidup dan bertujuan mengembangkan seluruh
potensinya semaksimal mungkin. Jadi, makhluk hidup bukan hanya bertujuan
bertahan hidup saja, tetapi ingin memperoleh apa yang terbaik bagi
keberadaannya.Dari dorongan tunggal inilah, muncul keinginan-keinginan atau
dorongan-dorongan lain yang disebutkan oleh psikolog lain, seperti kebutuhan
untuk udara, air, dan makanan, kebutuhan akan rasa aman dan rasa cinta, dan
sebagainya.(George 2008)
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif (kebermaknaan)
2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik,
namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori
humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat
pada pribadi (person centered),non-directive, klien (client-centered), teori yang
berpusat pada murid (student-centered), teori yang berpusat pada kelompok (group
centered), dan person to person). Namun istilahperson centered yang sering
digunakan untuk teori Rogers.
Asumsi dan Prinsip Dasar Teori
1. Kecenderungan formatif : Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik
tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
2. Kecenderungan aktualisasi: Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak
menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual
mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Ide pokok dari teori-teori Rogers yaitu individu memiliki kemampuan dalam
diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalahmasalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat
mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri. (Schultz 1991)

Carl Rogers mengembangkan teorinya dari penelitiannya bersama pasien dan klien
di klinik. Rogers merasa terkesan dengan apa yang ia lihat saat kecenderungan
bawaan individu yang bergerak ke arah pertumbuhan, maturitas, dan perubahan
positif. Ia menjadi yakin bahwa kekuatan dasar yang memotivasi organisme
manusia adalah kecenderungan beraktualisasi suatu kecenderungan ke arah
pemenuhan atau aktualisasi semua kapasitas organisme. Organisme yang tumbuh
mencari cara untuk memenuhi potensinya di dalam batas-batas hereditasnya.
Seseorang mungkin tidak selalu dengan jelas merasakan tindakan mana yang
menyebabkan pertumbuhan dan tindakan mana yang regresif. Tetapi jika jalan itu
jelas, individu memilih untuk tumbuh ketimbang regresi. Rogers tidak menyangkal
bahwa terdapat kebutuhan lain, sebagian darinya adalah biologis., tetapi ia
memandang semuanya itu sebagai patuh kepada motivasi organisme untuk
meningkatkan dirinya. Keyakinan Rogers akan keunggulan aktualisasi membentuk
dasar terapi terpusat klien yang bersifat nondirektif. Metoda psikoterapi ini
berpendapat bahwa semua individu memiliki motivasi dan kemampuan untuk
berubah dan individu adalah orang yang paling berkualifikasi untuk menentukan
arah perubahan tersebut. Peran ahli terapi adalah sebagai papan pantul sementara
individu mengeksplorasi dan menganalisis masalahnya. Pendekatan ini berbeda
dari tipe psikoanalitik, di mana ahli terapi menganalisis pengalaman pasien untuk
menentukan masalah dan menyarankan suatu tindakan pengobatan. Inti dari
konsep dalam teori kepribadian Rogers adalah diri (self). Diri, atau konsep-diri
(Rogers menggunakan keduanya), menjadi inti teotinya. Diri terdiri dari semua ide,
persepsi, dan nilai-nilai yang mengkarakterisasi saya atau aku ; ia mencakup
kesadaran apa saya dan apa yang dapat saya lakukan. Selanjutnya diri yang
dihayati ini mempengaruhi persepsi seseorang tentang dunia dan perilakunya.
Sebagai contohnya, wanita yang merasa dirinya kuat dan kompeten akan
menghayati dan bertindak di dunia dengan cara yang sangat berbeda dari wanita
yang menganggap dirinya lemah dan tidak berguna. Konsep diri tidak selalu
mencerminkan realita : seseorang mungkin sangat berhasil dan terhormat tetapi
masih memandang dirinya sendiri sebagai orang yang gagal.
Detail Teori
Menurut Rogers, individu menilai setiap pengalaman berkaitan dengan konsep diri.
Orang ingin bertindak dalam cara yang konsisten dengan citra-dirinya ;
pengalaman dan perasaan yang tidak konsisten adalah mengancam dirinya dan
tidak diterima oleh kesadaran. Ini pada dasarnya adalah konsep represi freud,

walaupun Rogers menganggap represi tersebut tidak diperlukan atau permanen.


(Freud mengatakan bahwa represi tidak dapat dihindari dan sebagian aspek
pengalaman individu selalu tetap berada dibawah sadar.
Semakin banyak pengalaman yang disangkal oleh seseorang karena tidak konsisten
dengan konsep dirinya, semakin lebar jurang antara dirinya dan realita dan
semakin besar kemungkinan timbulnya ketidakmampuan menyesuaikan diri.
Seorang individu yang konsep dirinya tidak sejalan dengan perasaan dan
pengalaman pribadi harus melindungi dirinya sendiri dari kebenaran karena
kebenaran akan menyebabkan kecemasan. Jika ketidaksesuaian itu menjadi terlalu
besar, pertahanan mungkin runtuh, menyebabkan kecemasan yang berat atau
gangguan emosional lain.

Sebaliknya, orang yang mampu menyesuaikan diri memiliki konsep diri yang
konsisten dengan pikiran, pengalaman, dan perilaku ; diri tidak kaku tetapi
fleksibel, dan dapat berubah saat ia mengasimilasi pengalaman dan ide baru.
Diri lain dalam teori Rogers adalah diri yang ideal. Kita semua memiliki konsepsi
jenis orang yang diri kita inginkan menjadi sepertinya. Semakin dekat diri ideal
dengan diri nyata, semakin penuh dan gembira individu yang bersangkutan.
Ketidaksesuaian yang besar antara diri ideal dan diri nyata menghasilkan orang
yang tidak puas dan tidak gembira.
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai
pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang
bukan aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep
diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau
tidak,
Rogers
mengenalkan
2
konsep
lagi,
yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence adalah ketidakcocokan
antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual disertai pertentangan
dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi di mana
pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri
yang utuh, integral, dan sejati. Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan
kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain.
Kebutuhan ini disebut need for positive regard, yang terbagi lagi menjadi 2
yaitu conditional positive regard (bersyarat) dan unconditional positive regard (tak
bersyarat). (Schultz 1991)

Jadi dua jenis ketidaksesuaian dapat terjadi : satu, antara diri dan pengalaman
realita ; dan yang lain antara diri dan diri ideal. Rogers memiliki beberapa hipotesis
tentang bagaimana ketidaksesuaian itu dapat berkembang.
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi
yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai,
dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat
defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
Lima sifat khas orang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):
1.Keterbukaan pada pengalaman
Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman
dengan fleksibel sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian ia akan
mengalami banyak emosi (emosional) baik yang positip maupun negatip.
2. Kehidupan Eksistensial
Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap
pengalamannya sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru, dan selalu
berubah dan cenderung menyesuaikan diri sebagai respons atas pengalaman
selanjutnya.
3. Kepercayaan terhadap organisme orang sendiri
Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap
pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang
dirasanya benar (timbul seketika dan intuitif) sehingga ia dapat
mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.
4. Perasaan Bebas
Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya
paksaan paksaan atau rintangan rintangan antara alternatif pikiran dan
tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan berkuasa secara pribadi
mengenai kehidupan dan percaya bahwa masa depan tergantung pada dirinya
sendiri, tidak pada peristiwa di masa lampau sehingga ia dapat meilhat sangat
banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang
ingin dilakukannya.
5. Kreativitas
Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan kepada organisme mereka
sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri ciri
bertingkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh, dan berkembang

sebagai respons atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di


sekitarnya. (Schultz 1991)
Kedudukan Pengasuhan dalam Teori
Rogers mengatakan bahwa orang-konsep diri sering tidak sama persis dengan
kenyataan. Sebagai contoh, seseorang mungkin menganggap dirinya sangat jujur
tetapi sering berbohong kepada atasannya tentang mengapa ia terlambat untuk
bekerja. Rogers menggunakan istilahketidaksesuaian untuk mengacu pada
kesenjangan antara konsep diri dan realitas.Kesesuaian, di sisi lain, adalah
pertandingan yang cukup akurat antara konsep diri dan realitas. Menurut Rogers,
orangtua mempromosikan ketidaksesuaian jika mereka memberi anak-anak mereka
cinta bersyarat. Jika orang tua menerima anak hanya bila anak berperilaku dengan
cara tertentu, anak kemungkinan untuk memblokir pengalaman yang dianggap
tidak dapat diterima. Di sisi lain, jika orang tua menunjukkan kasih tanpa syarat,
anak dapat mengembangkan kongruensi. Orang dewasa yang orang tuanya dalam
pengasuhan memberikan cinta bersyarat, di masa dewasa akan terus mengubah
pengalaman mereka dalam rangka agar merasa diterima.
Pengasuhan sangat penting kedudukannya dimana orangtua yang memberikan
pengasuhan yang baik dapat memberikan kebutuhan penghargaan positif tanpa
syarat dimana dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut anak akan menjadi
fungsional. Ini berarti mereka merasa dirinya dihargai oleh orangtua dan orang lain
walaupun perasaan, sikap, dan perilakunya kurang dari ideal. Jika orangtua hanya
memberikan penghargaan positif tanpa syarat, menilai anak hanya jika ia
bertindak, berpikir, atau berperasaan dengan benar, anak kemungkinan mengalami
distorsi konsep dirinya. Sebagai contohnya, perasaan kompetisi dan permusuhan
kepada adik bayi dan biasanya menghukum tindakan tersebut. Anak agaknya harus
mengintegrasikan pengalaman ini ke dalam konsep diri mereka. Mereka mungkin
memutuskan bahwa orangtua tidak menyukai mereka dan demikian merasa ditolak.
Atau mereka mungkin menyangkal perasaan mereka dan memutuskan mereka
tidak ingin memukul adik. Tiap sikap itu mengandung distorsi kebenaran.
Alternatif ketiga adalah yang paling mungkin diterima oleh anak-anak, tetapi
dalam melakukannya, mereka menyangkal perasaan yang sesungguhnya diri
mereka, yang kemudian menjadi tidak disadari. Semakin orang didorong untuk
menyangkal perasaannya sendiri dan menerima nilai-nilai orang lain, semakin
tidak nyaman perasaan mereka tentang dirinya sendiri. Rogers menyatakan bahwa
pendekatan terbaik bagi orangtua adalah mengenali perasaan anak sebagai sesuatu

yang nyata sambil menjelaskan alasan mengapa perbuatan memukul tidak dapat
diterima.

Istilah terapi Kognitif biasa digunakan, namun sebenarnya istilah ini menyesatkan karena
mengandung pengertian bahwa seolah-olah pendekatan kognitif merupakan suatu bentuk terapi
tersendiri. Padahal sebenarnya, tidak demikian. Beberapa teknik biasanya telah digunakan oleh
terapis perilaku (behavioral terapi), misalnya pelatihan arstif, pelatihan pengatasan masalah,
pelatihan kemampuan bersosialisasi dan sebagainya. Hanya saja, dalam pendekatan kognitif,
teknik yang sudah biasa digunakan terapis tersebut diperkenalkan kepada pasien.
Dengan cara lain klien menjadi mitra kerja terapis dalam mengatasi masalah. Keterlibatan
klien menunjukan bahwa terapis kognitif merupakan terapi yang aktif. Terapi secara bebas
mencari bentuk-bentuk kerja sama dengan klien, dengan terapi yang dipusatkanpada keadaan
disini dan sekarang. Pengalaman atau kejadian-kejadia masa lalu hanya dipertimbangkan sejauh
kenyataan itu dapatmembantu menerangkan pola-pola piker dan perilaku yang sudah menjadi
kebiasaan pada saat ini.
Meskipun istilah terapi kognitif menyesatkan, namun istilah itu telah digunakan oleh Beck
untuk menggugah kesadaran para terapis supaya menggunakannya. Asumsi yang mendasari teori
kognitif, terutama untuk kasus depresi yaitu bahwa gangguan emosional bersal dari distori
(penyimpangan) dalam berfikir. Perbaikan dalam keadaan emosi hanya dapat berlansung lama
kalau di capai perubahan pola-pola berfikir selama prosesperlakuan terapeotik. Tampa perubahan
pola prilaku maka kesembuhan yang terjadi hanya bersifat sementara, dan masirentan kalau klien
menghadapi situasi yang menyesakkan atau menimbulkan akibat negative.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN TERAPI KOGNITIF
A. Pengertian
Kognisi adalah cara manusia berfikir. Sedangkan psikologi kognitif adalah ilmuan yang
mempelajari cara berfikir manusia. Jadi psikologi kogniitif adalah sebuah bidang studi tentang
bagaimana manusia memahami, belajar, mengingat dan berfikir tentang suatu imformasi.[1]
Psikologi kognitif yang memandang psikologi sebagai suatu ilmu tentang prilau dan proses
mental.[2]
Istilah kognitif merujuk kepada aktiviti-aktiviti mental seperti berfikir, menaakul,
menganalisis, membentuk konsep, menyelesaikan masalah dan sebagainya. Pendekatan Kognitif
merupakan pendekatan yang memberi perhatian khusus kepada proses pemikiran individu seperti
kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif, kemahiran belajar dan motivasi yang dipelopori oleh
ahli psikologi Gestalt, Pieget, Vygotsky, Gagne, Bruner dan Ausubel.

Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu
yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini
maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan
mereka tentang dunia.
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Menurut Drever (Kuper & Kuper, 2000) disebutkan bahwa kognisi adalah istilah
umumyang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan
makna, penialain, dan penalaran.
Sedangkan menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa kognitif
adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di
sekitarnya. Pieget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam
menyusunpengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya
walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh
pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi
yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan
konsepsi.
Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa kognisi adalah konsep umum yang mencakup
semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran.
Proses ini meliputi bagaimana informasi diperoleh, dipresentasikan dan ditransfermasikan
sebagai pengetahuan. Pengetahuan itu dimunculkan kembali sebagai petunjuk dalam sikap dan
perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi kognitif juga disebut psikologi pemrosesan
informasi.
Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental,
dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi
stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental
sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang.
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk
memahami perilaku manusia. Psikologi kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima,
mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi.
Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa kognitif adalah
sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang
berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan

seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau
semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari,
memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai, dan memikirkan
lingkungannya.
Terapi kognitif adalah terapi yang mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan
berjangka waktu singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya
asietas atau depresi. (Singgih D. Gunarsa, 2003: 227)
B. Aspek-aspek Kognitif
1. Kematangan, yaitu Semakin bertambahnya usia, maka semakin matang atau bijaksana
seseorang dalam menghadapi rutinitas dan masalah yang dihadapinya.
2. Pengalaman merupakan hasil interaksi antar individu dengan orang lain.
3. Transmisi sosial adalah hubungan sosial dan komunikasi yang sesuai dengan lingkungan.
4. Equilibrasi adalah perpaduan dari pengalaman dan proses transmisi sosial.
C. Strategi Perencanaaan dan peran Terapi kognitif
Normalnya terapi kognitif dibatasi antara 15-20 pertemuan, masing-masing pertemuan
membutuhkan waktu 50 menit, sekali seminggu. Meskipun demikian, untuk kasus-kasus depresi
yang lebih para perlu dua kali pertemuan setiap minggunya 4-5 minggu pertama.
Di dalam dunia psikologi, mempelajari psikologi kognitif sangat diperlukan, karena :
1. Kognisi adalah proses mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studistudi psikologi manusia.
2. Pandangan psikologi kognitif banyak mempengarui bidang-bidang psikologi yang lain.
Misalnya pendekatan kofnitif banyak digunakan di dalam psikologi konseling, psikologi
konsumen dan lain-lain.
3. Melalui prinsiprinsip kognisi, seseorang dapat mengelola informasi secara efisien dan
terorganisasikan dengan baik.
D. Tujuan Utama Dalam teknik Terapi Kognitif
Tujuan dalam terapi kognitif adalah sebagai berikut:
1. Membangkitkan pikiran-pikiran klien, dialog internal atau bicara diri, dan interprestasi
terhadap kejadian-kejadian yang alami
2. Terapis bersama klien mengumpulakan bukti yang mendukung atau menyanggah
interprestasi-interpretasi yang telah diambil.
3. Menyusun desain eksperimen (pekerja rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan
menjaring data tambahan untuk diskusi didalam proses perlakuan terapiutik.
Terapi kognitif khususnya diarahkan untuk memunculkan kesalahan-kesalahan atau
kesesatan dalam berfikir. Contoh kesalahan adalah:
1. Berfikir dikotomik yaitu berfikir yang serba ekstrem tampa penilaian atau pendapat
relativistic ditengah-tengah.

2. Abstrak selektif, pemisahan sebagian kecil dari situasi keseluruhan dengan mengabaikan
sisa bagian yang jauh lebih besar atau penting.
3. Inferensi arbitrer ( sembarangan, tidak semena-mena), yaitu menarik kesimpulan yang
meupakan inferensi dari bukti-bukti yang tidak relevan.
4. Ovaergeneralisasi, yaitu menyimpulkan satu kejadian negative yang khusus, sebagai
kejadia negative secara keseluruhan.
5. Catastrophising, yaitu berfikir hal yang paing buruk dalam suatu situasi.
E. Karakteristik Pertemuan-Pertemuan Terapi
Karakteristik dalam masing-masing pertemuan terapi memberikan struktur bagi setiap
pertemuan.
1. Terapis menyusun agenda
2. Terapis mengatur waktu terapi.
3. Terapis membuat lingkaran secara periodic selama wawancara, kemudian meminta
tanggapan klien terhadap ringkasan yang dibuat.
4. Dominasi pendekatan dengan terapis benyak bertanya. Pertanyaan tentang fakta dan
pemberian nasehat tidak diyakini akan memberikan mamfaat terpeutik yang berarti.
5. Langkah akhir, ada dua tugas terapis:
a. Memberikan tugas rumah yang didasarkan pada topic / masalah yang Nampak muncul
sebagai masalah pokok selama session yang baru dijalani.
b. Meminta klien untuk membuat ringkasan tentang apa yang telah dikerjakan didalam
session yang baru dijalani, dan merincikan apa yang harus dikerjakan dalam
pekerjaan rumah.
F. Aplikasi Terapi Kognitif Untuk kasus Depresi
Teknik dalam terapi kognitif diantaraya adalah:
1. Penangkapan pikiran (though catching)
Teknik ini mempunyai dasar pikiran sebagai berikut:
a) Bahwa hubungan antara fikiran, perasaan, dan perilaku dapat ditunjukan dengan
merekam dan memunculakan pikiran.
b) Bahwa perekaman dan pemunculan pikiran sudah dengan sendirirnya ikut membantu
memecahkan ikatan antara fikiran dengan perasaan dengan membuat fikiran menjadi
Nampak kuranng realistis.
c) Bahwa dengan perekaman dan pemunculan pikiran, maka terapis dank lien
memperoleh data untuk memformulasi hipotesis yang akan dimamfaatkan untuk
testing realitas.
Kegiatan ini menangkap fikiran memungkinkan klien untuk memantau dan merekam
atau memunculkan dialog internal mereka sendiri secara akurat, kapan saja mereka merasa
murung yang disebabkan oleh situasi apapun.
Prosedur teknik penangkapan pikiran adalah sebagai berikut:
1) Menerangka kaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku.

2) Mengintruksikan klien untuk memantau pikiran-pikirannya.


Beberapa masalah yang timbul dengan teknik penangkapan pikiran, antara lain:
1) Klien merasa bahwa berknsentrasi pada pikiranpikiran negative justru membuat
penderitaannya semakin buruk.
2) Klien berkeyakinan bahwa dirirnya tiak mempunyai pikiran apapun.
3) Pikiran-pikiran negative bermunculan begitu cepat dengan intensitas yang kuat
sehingga malah membuat klien merasa tidak mempu menuliskan pikiran-pikiran
negatifnya.
2. Testing Realitas (realitas testing)
Teknik realitas ini dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
a) Testing Realitas didalam pertemuan (within Session)
Langkah ini menempatkan pikiran-pikiran sebagai fenomena psikologik yang
tidak identik dengan realitas. Tujuan dari teknik ini adalah mencari bukti-buktiyang
mendukung atau menggugurkan asumsi-sumsi dan pikiran-pikiran negatifnya.
Prosedur teknik ini adalah sebagai berikut:
1) Identifikasi pikiran-pikiran atau pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh klien dan
yang bersifat negative atau yang berhubungan dengan perasaan yang
mengganggu.
2) Tanyakan kepada klien seberapa jauh ia mempercayai pernyataannya sebagai hal
yang benar, atau seberapa besar peluangnya bahwa kejadian negative akan
kembali terjadi.
3) Periksa perasaan-perasaan yang berhubungan dengan pernyataan, ketika anda
mengatakan itu kepada diri anda Sendiri, pernyataan itu membuat diri anda
bagaimana?biarkan validitas pernyataan tetap sebagai pernyataan terbuka,
kemudian secara pelan-pelan untuk mencari bukti.
4) Kalau klien mempunyai pikiran katastropik tentang yang akan terjadi dimasa
mendayang, mintalah klien membuat penilaian tentang probabilitas aktualnya.
5) Selama wawancara, tekanan bahwa yang ditanamnya dalam pikiran bukanlah
gelombang interprestasi positif tetapi mempertentangkan pikiran dengan
kenyataan yang sebenarnya.
6) Diperiksa kembali seberapa besar sekarang klien meyakini pernyataannya sebagai
hal yang benar.
Masalah yang sering timbul ketika terapis menggunakan metode ini adalah sebagai
berikut:
1) Klien tidak mengerti cara member penilain tentang tingkat keyakinan didalam
ukuran prosentase.
2) Klien menjadi murung ( depresi ) kalau berfikir tentang masa-masa indah.
3) Klien tidak dapat berfikir tentang masa yang lebih indah.
b) Tesing Realitas dengan Pemberian Tugas ( Task Assignment)

Pada dasarnya semua pendekatan kognitif behavioral mengandung pemberian tugas


tertentu, sebagai sarana untuk meningkatkan aktifitas, interaksi atau jenis reward klien.
Didalam terapi kognitifdilakukan pengumpulan data aktivitas yang dilakukan klien
dengan tujuan untuk meneriam atau menolak hipotesisnya.
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mencapai persetujuan dengan klien tentang target
kemajuan diantara tahap Perteman (between session targets) yang akan menguji pikiran
negative dengan memperlakukannya sebagai suatu hipotesis.
Prosedur yang bisa dilkukan adalah sebagai berikut:
1) Didalam suatu pertemuan, identifikasi suatu ide-ide atau fikiran yang menyiksa
kemudian mintalah klien untuk membuat penilaian tingkat keyakinan.
2) Bersama klien, definisikan implikasi-implikasi dari pernyataan
3. Latihan kognitif (cognitive rehearsal)
Kalau klien sudah lama menghentikan berbagai aktivitas yang dahulu biasa dilakukan,
kadang-kadang menjadi sulit membayangkan. Mengerjakan kegiatan-kegiatan dahulu
dengan sukses. Tujuan dari latihan kognitif adalah untuk mengidentifikasi saluran-saluran
penghambat yang ada antara pikiran dan perasaan-perasaan dengan pelaksanaan aktifitas.
Prosedur latihan kognitif adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi suatu aktivitas (tugas) yang menimbulkan kesulitan tertentu.
b. Periksa apakah aktivitas itu merupakan jenis yang akan memberikan perasaan,
keberhasilan, atau pencapaian atau kesenangan kalau dapat dikerjakan.
c. Periksa bahwa permulaan dan penyelesaian tugas tidak tergantung pada orang lain,
tetapi hanya tergantung pada diri klien sendiri.
d. Mintalah klien untuk membayangkan pelaksanaan tugas itu dengan perencanaan
bertahap mulai dari langkah permulaan sampai akibat dari penyelesaian tugas untuk
diri sendiri dan orang lain.
e. Selama pelatihan kognitif identifikasi tahap-tahap dimana klien mengalami kesulitan,
minta klien membayangkan semua aspek dari kesulitan tersebut, kemudian katakan
bahwa hambatan sudah dilampaui, maka klien dapat melaksanakan pelaksanaan
tugas.
f. Diskusikan dengan klien keseluruhan tugas dan hambatan-hambatannya kemudian
aturlah cara mengatasi sebagai pekerjaan rumah, diantara tahap pertemuan terapi.
G. Teknik-Teknik Kognitif
Teknik-teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien.
Dewa Ketut Sukardi (2000:91-92), menerangkan ada empat teknik besar dalam teknik-teknik
kognitif :
1. Teknik Pengajaran -Teknik ini memberikan keleluasan kepada konselor untuk berbicara
serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana

ketidaklogikan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien
tersebut.
2. Teknik Persuasif - Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya kerana pandangan
yang ia kemukakan itu tidak benar. Konselor langsung mencoba meyakinkan,
mengemukakan pelbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien
itu adalah tidak benar.
3. Teknik Konfrontasi - Konselor menyerang ketidaklogikan berfikir klien dan membawa
klien ke arah berfikir yang lebih logik.
4. Teknik Pemberian Tugas - Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba
melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul
dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau
membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individeu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua
aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi
yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan
merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana
individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan, memperkirakan, menlai,
dan memikirkan lingkungannya.
Perkembangan kognitif pada anak-anak disebut tahap praoperasional, yang berlangsung
antara usia 2 sampai 7 tahun. Pada masa ini konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental
muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian melemah, serta terbentuknya keyakinan pada hal
magis. Namun pada masa ni anak masih tetap memikirkan pada peristiwa-peristiwa atau
pengalaman-pengalaman yang dialaminya.
Beck menunjukkan bahwa terapi kognitif harus digunakan didalam konteks pertemuanpertemuan dimana empati, kehangatan dan kelembutan yang akurat harus ditujukan oleh terapis.
Strategi-strategi terapeutik bukanlah perangkat peralatan mekanistik. Hubungan baik antara klien
dan terapis merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dapat dicapai dengan kerja sama dan
saling pengertian antara kedua belah pihak. Tetapi kognitif tidak berpegang kaku pada salah satu
teknik, namun memilih salah satu diantara berbagai teknik yang paling tepat, sesuai dengan
situasi dan masalahnya.

B. Kritik dan Saran


Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dengan itu penulis mohon kritik dan sarannya kepada para pembaca, yang sifatnya
membangun untuk masa depan selanjutnya, guna untuk lebih sempurna lagi dan lebih
bermanfaat lagi, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Prinsip Dasar
Menurut Dustin dan George dikutip dalam buku karangan George and Christiani
Teory,Methods,and Processes of Counseling and Psychoterapy (1981 hal 108) yang menyatakan
bahwa konseling behavioral berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia,
yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis yaitu :
1. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk,bagus atau jelek. Manusia mempunya
potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan
atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk aneka
pola bertingkah laku yang menjadi suatu ciri khas kepribadiannya.
2. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakuknya sendiri, menangkap apa yang
dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola yang lama dahulu
dibentuk melalui belajar. Kalau pola yang lama dahulu dibentuk melalui belajar, pola itu dapat
pula diganti melalui usaha belajar yang baru.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku
orang lain.
(Winkle. 2012 : 420)

1.
2.
3.
4.
5.

B.
1.

Selain itu secara ringkasnya bahwa konseling behavioral ini berpandangan bahwa manusia itu
memiliki hal-hal berikut :
Lahir dalam mempunyai bawaan netral, artinya manusia itu hak untuk berbuat baik/buruk/jahat.
Lahir dengan membawa kebutuhan dasar dan dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan.
Kepribadian manusia berkembang atas dasar interaksi dengan lingkungannya.
Mempunyai tugas untuk berkembang melalui kegiatan belajar.
Manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungan.
(Winkle. 2012 : 420)
Konsep Dasar
Hakikat Tingkah Laku
Konseling behavioral berpandangan, bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya:

a.

Tingkah laku manusia diperoleh melalui belajar dan kepribadian adalah hasil proses belajar.
Belajar merupakan suatu perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau
pengalaman
b. Tingkah laku manusia tersusun dari respons-respons kognitif, motorik dan emosional terhadap
stimulus yang datang baik dari internal maupun eksternal.
c. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh variabel-variabel kompetensi, setrategi dan susunan
pribadi, harapan-harapan, nilai stimulus, sistem dan rencana pengaturan diri.
(Alwisol, 2011 : 320)
2.

a.
b.

c.
1)
2)

Prinsip Belajar
Tingkah laku manusia dapat dilihat dari aspek kondisi yang menyertai atau akibat yang
menyertai tingkah laku setelah terbentuk dengan anticedent yang disebut dengan consequence.
Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum
belajar : (Alwisol, 2011 : 322)
Pembiasaan klasik, yang ditandai dengan satu stimulus yang menghasilkan satu respon.
Misalnya bayi merespon suara keras dengan takut.
Pembiasaan operan, ditandai dengan adanya satu stimulus yang menghasilkan banyak respon.
Pengondisian operan memberikan penguatan positif yang bisa memperkuat tingkah laku.
Sebaliknya penguatan negatif bisa memperlemah tingkah laku. Munculnya perilaku akan
semakin kuat apabila diberikan penguatan positif dan akan menghilang apabila dikenai hukuman.
Peniruan, yaitu orang tidak memerlukan reinforcement agar bisa memiliki tingkah laku
melainkan ia meniru. Syarat dalam meniru tingkah laku yaitu:
Tingkah laku yang ditiru memang mampu untuk ditiru oleh individu yang bersangkutan
Tingkah laku yang ditiru adalah perbuatan yang dinilai publik positif.
Konseling Behavioral sebagai model konseling yang memiliki pendekatan yang
berorientas pada perubahan perilaku menyimpang dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Perilaku manusia termasuk perilaku yang menyimpang terbentuk karena belajar dan perilaku itu
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar. Belajar yang dimaksud disini adalah
perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil dari latihan atau pengalaman.

Adapun ciri-ciri konseling behavioral sebagaimana digambarkan oleh Eysenk adalah bahwa
konseling behavioral itu :
a. Didasarkan pada teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten yang mengarah kepada
kesimpulan yang dapat diuji.
b. Berasal dari penelaahnan eksperimental yang secara khusus direncanakan untuk menguji teoriteori dan kesimpulan.

c. Memandam symptom atau gejala sebagai respon bersyarat yang tidak adaptif.
d. Memandang syimptom atau gejala itu sebagai bukti adanya kekeliruan hasil belajar.
e. Memandang bahwa gejala-gejala atau symptom-symptom perilaku itu berdasarkan perbedaaan
individual yang terbentuk secara bersyarat dan otonom
f. Menganggap penyembuhan gangguan neurotik itu sebagai pembentukan kebiasaan yang baru.
g. Penyembuhan gelaja atau symptom itu langsung dengan jalan membasmi respon bersyarat yang
keliru, dan membentuk respon bersyarat yang diharapkan
h. Menganggap bahwa pertalian pribadi tidaklah esensial bagi penyembuhan gangguan neurotik
sekalipun untuk hal-hal tertentu kadang-kadang diperlukan.
(Soeharto, dkk, 2011 : 76)
Perubahan dalam perilaku manusia harus diusahakan melalui proses belajar(learning) atau
belajar kembali (relearning). Pandangan behaviorisme menyatakan bahwa perilaku konseli
merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya dalam berinteraksi dengan lingkungan,
Kalau perilaku konseli ditinjau dari sudut pandangan apakah perilaku itu tepat dan sesuai dengan
situasi kehidupannya (well-adjusted) atau tidak tepat(maladjusted), harus dikatakan bahwa baik
tingkah laku salah merupakan hasil belajar. Karena tingkah laku salah merupakan hasil belajar,
tingkah laku yang salah itu juga dapat dihapus dan diganti dengan tingkah laku yang tepat
melalui suatu proses belajar. Dengan kata lain, kalau seseorang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri (adjustment), hal itu disebabkan karena orang itu telah belajar bertingkah laku
yang salah.Oleh karena itu, proses konseling dipandang sebagai proses belajar yang akan
menghasilkan suatu perubahan dalam perilaku nyata. (Winkel, 2011 : 421).
Sehingga konseling behavioral merupakan pendekatan yang berorientasi pada pengubahan
perilaku menyimpang dengan mengedepankan prinsip-prinsip belajar.

C. Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling behavioral adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses
belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk
tingkah laku yang maladaptif (salah suai). Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa
unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Konseling
behavioral pada hakikatnya terdiri dari proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan
pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat respon-respon yang
layak, namun belum dipelajari. (Corey, 2010 : 199)
Adapun tujuan khusus dari konseling behavioral adalah membantu klien menolong diri
sendiri, mengembalikan klien ke dalam masyarakat, meningkatkan keterampilan sosial,

memperbaiki tingkah laku yang menyimpang, membantu klien mengembangkan sistem self
management dan self control. (Sutarno, 2003 : 8)
Sehingga tujuan dari konseling behavioral adalah membentuk perilaku baru yang adaptif
melalui proses belajar dan lingkungan.
D. Hubungan Konselor Klien
Wolpe (1958, 1969) menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah
salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Peran konselor yang esensial adalah
peran sebagai agen pemberi penguatan, para konselor tidak dicetak untuk memainkan peran yang
dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang terprogram yang
memaksakan teknik-teknik kepada klien yang mirip robot. (Corey, 2010, 206)
Di dalam konseling behavioral harus ada keterlibatan antara konselor dan klien baik
dalam menyepakati tujuan, tingkah laku yang diharapkan, maupun di dalam proses konseling.
Unsur-unsur hubungan personal itu adalah kehangatan, antusiasme, sikap permisif, penerimaan,
empati, dan wajar. (Sutarno, 2003 : 8)
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas seperti kehangatan, antusiasme, sikap
permisif, penerimaan, empati dan wajar memang merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan,
tetapi tidak cukup bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik.Maka
hubungan antara konselor dan klien ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu:
(1) Konselor memahami dan menerima klien
(2) Keduanya bekerja sama
(3) Konselor memberikan bantuan dari arah yang diinginkan klien.
(Goldstein, 1973 : 220) (Corey, 2010 : 206)
E.

Proses Konseling Behavioral


Dalam Modul PLPG oleh Prof. Dr. Soeharto,M.Pd dkk, hlm 75 bahwa konseling behavioral
mengikuti rangkaian langkah-langkah : a) penilaian/perkiraan (assessment), (b) penetapan tujuan
(goal setting), (c) penetapan teknik (technique implementation),(d) evaluasi-pengakhiran
(evaluation-terminitation) dan, (e) umpan balik (feedback)
1. Tahap Penilaian/Perkiraan (Assesment)
Yaitu tahapan yang mensyaratkan konselor mampu untuk memahami karakteristik klien beserta
permasalahannya secara utuh (mencakup aktivitas nyata, perasaan, nilai-nilai dan
pemikirannya).Selain itu, konselor menolong klien untuk mengemukakan keadaan yang
sebenarnya yang dialami pada waktu itu. Assessment ini dimaksudkan untuk memperoleh
informasi model mana yang akan dipilih sesuai dengan perilaku yang ingin diubah. Kanfer dan
Maslow mengemukakan bahwa terdapat tujuh macam penilaian/perkiraan/analisis yakni :
a. Analisis perilaku yang diperlihatkan oleh klien, terutama perilaku yang spesifik.

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Analisis situasi,yaitu analisis tentang situasi perilaku itu terjadi


Analisis motivasi perilaku itu terjadi
Analisis mengenaik sejarah perkembangan klien
Analisis mengenai kontrol diri klien
Analisis mengnai hubungan sosial klien
Analisis tentang lingkungan fisik-soial-budaya klien
Dengan menganalisis hal-hal diatas, dapat lebih memahami masalah yang sedang dialami klien.
Informasi atau data dapat diperoleh dari klien sendiri atau dari orang lain melalui :interview,
kuesioner, surve dan jawaban dari penelitian, catatan klien, skala bertingkat, dan observasi
langsung perilaku klien. Sehubungan dengan hal ini, maka konselor harus terampil dalam
mengumpulkan berbagai informasi/data klien, instrumen yang digunakan dan sumber data yang
valid.
2. Tahap Penetapan tujuan (Goal setting)
Yaitu antara konselor dan klien menetapkan tujuan konseling berdasarkan analisis dari berbagai
informasi/data. Ada tiga tahap dalam penetapan tujuan yakni : a) menolong klien menentukan
tujuan mana yng ingin dan mungkin dicapai, b) mengatur tujuan, selain dapat dicapai juga dapat
diukur, c) membagi tujuan ke dalam tujuan-tujuan sementara agar mudah pelaksanaannya.
Sedangkan kriteria disarankan dalam merumuskan tujuan, adalah a) tujuan ini harus diingini oleh
klien, b) konselor harus menolong klien dalam mencpai tujuan itu, dan c) tujuan itu harus
mungkin untuk dicapai dan oleh karenanya harus dijabarkan dalam tindakan-tindakan yang
nyata.
3. Tahap Penerapan teknik (Techniques implementation)
Yaitu penerapan keterampilan dan teknik-teknik konseling dalam upaya membantu klien
mengatasi masalahnya (merubah perilakunya). Bagaimana menentukan strategi belajar mana
yang akan dipakai dalam mencapai perilaku yang diinginkan. Perilaku yang ingin diubah
adakalanya sederhana tetapi adakalanya kompleks.Oleh karenanya dimungkinkan menggunakan
metode belajar yang bermaam-macam (multiple methods of learning) untuk pengubahan perilaku
yang kompleks.
Dalam hal ini disamping harus menguasai konsep dasar konseling behavioral, konselor harus
benar-benar mampu menerapkan berbagai teknik konseling.
4. Tahap evaluasi dan terminasi (Evaluation and Termination)
Yaitu tahapan dimana seorang konselor mengetahui perubahan perilaku klien sebagai tolok ukur
proses konseling berlangsung. Yakni untuk melihat/mengetahui apa yang telah diperbuat oleh
klien, bagaimana kemajuan klien, bagaimana keefektifan konseling, apakah teknik yang
digunakan itu cocok atau tidak dan apakah tujuan konseling tercapai ataukah tidak. Terminasi,
yaitu pemberhentian proses konseling yang bertujuan untuk:
a. Menguji apa yang dilakukan klien pada dekade terakhir.

b. Eksplorasi kemungkinan kebutuhan konseling tambahan


c. Membantu klien mentransfer apa yang dipelajari klien
d. Memberi jalan untuk memantau tingkah laku klien secara berkelanjutan.
5. Umpan balik (feed-back)
Konselor dan klien memberi dan menerima informasi sebagai umpan balik. Informasi umpan
bali di sini diperlukan untuk memperbaiki proses konseling yang telah berjalan.
F.Teknik Konseling Behavioral
Teknik-teknik konseling yang bisa dan biasa digunakan dalam Konseling
Perilaku Prof.Dr.Soeharto, M.Pd dkk dalam Modul PLPG hlm 79 dengan ditambah teknik
dalam Corey , 2010 dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi, menjelaskan sebagai berikut :
1. Desensitisasi (desensitization)
Desensititasi berarti menenangkan ketegangan klien dengan jalan mengajri/melatih klien
untuk santai/rileks. Latihan rileks ini bisa dilakukan dalam lima atau enam sesi. Apabila klien
telah mampu melakukan rileks, klien dibantu untuk menyusun urutan stimulus yang
mencemaskan.Dalam hal ini, klien diminta secara bertahap membayangkan stimulus mulai dari
yang paling kurang menemaskan hingga yang paling mencemaskan; klien dilatih untuk tetap
rileks disaat mengahadapi stimulus yang mencemaskan itu. Demikian seterusnya hingga ia dapat
membayangkan stimulus itu tanpa adanya kecemasan lagi. Jadi, dengan teknik ini dimaksudkan
agar klien dapat mengganti perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks
terhadap stimulus tertentu.(Soeharto, dkk , 2011 hlm 79)
Menurut Gerald Corey dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi hlm 210bahwa
Desentisisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, tetapi keliru
apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan.
Desentisisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan
yang digeneralisasi.
Sehingga dapat disimpulkan teknik desentisisasi sistemik ini lebih membantu klien dalam
terapi penyembuhan kecemasan dalam diri klien yang lebih disebabkan oleh fobia-fobia maupun
ketakutan klien dengan mengajak klien untuk rileks membayangkan hal-hal yang membuat takut
dari hal yang paling mengerikan sampai hal yang kurang mengerikan. Contohnya, klien fobia
dengan balon, selalu ketakutan kalau melihat balon, lalu klien diajak rileks membayangkan
bentuk balon, kecemasan ditingkatkan yaitu dengan klien diajak melihat balon dari kejauhan,
ditingkatkan lagi dengan mengajak klien memegang balon disini kecemasan klien meningkat
tajam sampai akhirnya klien diajak untuk meletuskan balon disini tingkat kecemasan klien
sampai pada puncaknya dengan memberikan klien stimulus yang berupa motivasi, musik atau air
minum.

2. Latihan Asertif (Assertive training)


Latihan asertif merupakan latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang
menimbulkan kecemasan. Klien yang menunjukkan rasa cemas, diberi tahu bahwa dirinya
mempunyai hak untuk mempertahankan diri.Ia silatih untuk memelihara harga dirinya dengan
berulang kali diberi latihan mempertahankan diri. Lathian seperti ini memungkinkan klien dapat
mengendalikan lingkungannya. Apabila rangsangan dari lingkungan tersebut terlalu kuat
sehingga berat untuk mengendalikannya dapat dilakukan dengan desensitisasi.
Menurut Corey, 2011 halm 213 latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1)
tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan
kesopanan berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya (3) memiliki
kesulitan untuk mengatakan tidak (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan
respons-repons positif lainnya (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan
pikiran-pikiran sendiri. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80)
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Suatu masalah yang
khas yang bisa dikemukakan sebagai contoh adalah kesulitan klien dalam menghadapi atasannya
di kantor. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah
laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan caracara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.Fokusnya adalah
memprakterkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh
sehinggal individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar
bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih luas dan
terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka.
(Corey, 2010: 215)
Sehingga dapat disimpulkan untuk latihan asertif ini lebih membentuk tingkah laku baru
dalam menghadapi hubungan dengan orang lain dan menghapus tingkah laku yang lama yang
memuat klien merasa cemas. Contohnya, seorang siswa yang takut kalau dimarahi gurunya,
pertama-tama klien memainkan peran sebagai gurunya dan konselor sebagai siswanya, lalu
konselor meniru cara siswa dalam berpikir dan cara menghadapi gurunya. Lalu antara keduanya
saling bertukar peran, konselor sebagai gurunya dengan arahan klien untuk menunjukkan peran
guru secara realistis, sambil konselor melatih dan mengarahkan klien dalam menghadapi
gurunya. Maka secara perlahan akan terbentuk tingkah laku baru pada diri klien.
3. Latihan seksual (Sexual training)
Teknik ini dipergunakan untuk menghilangkan kecemasan yang timbul akibat pergaulan
dengan jenis kelamin lain. Kecemasan akibat dari bergaul dengan dengan jenis kelamin lain
mungkin kien menjadi impotent, misalnya. Dalam hal ini, konselor secara bertahap
menghilangkan perasaan cemas itu. Untuk perawatan gangguan seperti ini Wolpe menyuruh
kliennya untuk bekerjasama dengan jenis kelamin lain untuk menghindari respon cemas.

Kegiatan ini dilakukan berulang kali hingga kecemasan itu sendiri berangsur-angsur berkurang.
Sejalan dengan ini Lazarus mengusulkan teknik lain yakni sejenis desensitisasi untuk dicobakan
kepada isteri yang takut diraba oleh suami. Dalam hal ini, mulainya klien disuruh rileks dan
membayangkan suami sekedar mendekatinya. Apabila ia telah dapat tenang dan rileks di saat
membayangkan hal itu, tahap berikutnya klien diminta untuk tetap rileks. Latihan ini diulangulang sampai tanpa adanya kecemasan.Sebaliknya kedua teknik itu direkomendasikan dalam
penggunaannya. (Soeharto, dkk , 2011 hlm 80).
Sehingga pada teknik latihan seksual ini membentuk tingkah laku baru yang tidak takut
ataupun cemas ketika berada di dekat jenis kelamin lain. Teknik ini lebih baiknya untuk
pasangan suami istri yang salah satu diantara keduanya masih memiliki ketakutan atau
kecemasan saat didekati oleh suami atau istrinya.
1. Terapi Aversi (Aversion therapy)
Teknik ini digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buuk, dimaksudkan untuk
meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respons pada stimulus yang disenangi dengan
kebalikan respons terhadap stimulus tersebut, dibarengi stimulus yang merugikan atau tidak
mengenakan dirinya.Contoh, untuk menyembuhkan pria homoseks.Kepada pria homoseks
diperlihatkan foto pria telanjang sambil mengalitkan setrum listrik pada kakinya yang tidak
beralas.Dalam terapi ini, setiap kali kepada klien diperlihatkan stimulus yang disenangi (foto pria
telanjang) diikuti dengan rasa sakit akibat di setrum listrik.Begitu terus setiap melihat foto pria
telanjang selalu dibarengi rasa sakit dan lama kelamaan tidak tertarik lagi pada pria. (Soeharto
dkk, 2011 : hlm 81)
Teknik- teknik pengkondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan
gangguan-gangguan behavioral spesifik, melibatkan pengasosian tingkah laku yang tidak
diinginkan terhambat kemunculan.Stimulus-situmulus aversi biasanya berupa hukuman dengan
kejutan listrik atau pemberian ramua yang membuat mual.Kendali aversi bisa melibatkan
penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman.Contoh pelaksanaan
penarikan pemerkuat positif adalah mengabaikan ledakan kemarahan anak guna menghapus
kebiasaan mengungkapkan ledakan kemarahan pada si anak.Jika perkuatan ditarik, tingkah laku
yang tidak diharapkan cenderung berkurang frekuensinya. Contoh penggunaan hukuman sebagai
cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistik ketika tingkah laku
spesifik yang tidak diinginkan muncul. Butir yang penting adalah bahwa prosedur-prosedur
aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode
sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang
akan terbukti memperkuat dirinya (Corey, 2010 : hlm 216-217)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi aversif ini lebih membentuk tingkah laku
baru yang lebih spesifik yang adaptif dari yang semula maladaptif, atau tingkah laku yang sesuai
aturan.

2. Sensitisasi Tertutup (covert sensitization)


Teknik ini dapat digunakan untuk merawat perilaku menyimpang klien, misalnya suka
minum-minuman keras atau alkhohol.Caranya klien dengan rileks diminta membayangkan
perilaku yang disenangi itu yakni minum alkohol.Klien diminta membayangkan gelas berisi
alkohol itu hampir di bibirnya, lalu klien diminta membayangkan rasa muak dan ingin muntah
atau membayangkan kotoran dari muntah.Jadi, setiap membayangkan perilaku yang disenangi
(minum alkohol) selalu diikuti dengan membayangkan sesuatu yang menjijikan. Itu dilakukan
berulang-ulang, sehingga pada saatnya tidak lagi tertarik untuk membayangkan perilaku itu dan
tidak tertarik melakukannya lagi
(Soeharto dkk, 2011 : 81)
3. Menghentikan pikiran-pikiran buruk (thought stopping)
Teknik ini dapat digunakan untuk menolong klien yang sangat cemas.Caranya, klien
disuruh menutup matanya dan membayangkan dirinya sedang mengatakan sesuatu yang
mengganggu dirinya.Misalnya, membayangkan dirinya berkata saya jahat. Jika klien memberi
tanda sedang membayangkan yang dicemaskannya (ia berkata pada dirinya :saya jahat),
konselor segera berteriak dengan nyaring berhenti. Pikiran yang tidak karuan itu segera diganti
oleh teriakan konselor.Klien diminta untuk melakukan latihan itu berulang-ulang hingga dirinya
sanggup menghentikan pikiran yang mengganggu itu. (Soeharto dkk, 2011 : 81)
4. Imitasi (imitation) atau menemukan model (modeling)
Dalam penggunaan teknik ini, klien disuruh seolah-olah klien mengalami sendiri atau
melihat orang lain mengalami, dan ia mengikuti apa yang dilakukan orang lein itu dalam
menanggulangi masalah. Klien meniru apa yang dilakukan orang lain (konselor). Modeling ini
dapat dilakukan dalam situasi yang sebenarnya, film, atau tape recorder. Prinsip-prinsip dalam
menggunakan modeling ini adalah sebagai berikut :
a. Menemukan model mana yang menarik perhatian klien
b. Merumuskan tujuan modeling
c. Memilih model yang masuk akal atau dapat dipecaya
d. Merencanakan ukuran/tahapan modeling
e. Mencobakan modeling itu
f. Mendiskusikan reaksi klien dan saran-saran dalam proses belajar
(Soeharto dkk, 2011 : 81)
Dalam percontohan individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk
mencontoh tingkah laku sang model. Kecapakan-kecapakan sosial tertentu dapat diperoleh
dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Bandura (1969)
menyatakan bahwa belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh
secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensikonsekuensinya. (Corey, 2010: 222)

5. Terapi Impolsif dan Pembanjiran


Terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran
terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Jika seseorang secara berulang-ulang
dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang
menakutkan tidak muncul, maka kecemasan akan tereduksi atau terhapus. Klien diarahkan untuk
membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam.Dengan secara berulangulang dan dimunculkan dalam seting terapi, dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan
dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya
menghasilkan kecemasannya dan penghindaran neurotic pun terhapus. (Stamplf (1975) dalam
Corey, 2011: 212)
Contoh, untuk menyembuhkan seorang klien yang mengalami kecenderungan obsesi
pada kebersihan.Klien mencuci tangannya lebih dari seratus kali sehari dan memiliki ketakutan
yang berlebihan terhadap kuman. Klien diminta untuk membayangkan sejelas-jelasnya apa yang
paling ingin dihindarinya tanpa disertai celaan atas kepantasan situasi yang dihadapinya.
Bayangan tersebut terus bergerak semakin dekat kepada ketakutan yang paling kuat yang dialami
klien serta klien diminta untuk membayangkan itu berulang-ulang sampai kecemasan tersebut
tidak lagi muncul pada diri klien.Terapi ini adalah suatu metode langsung yang menantang klien
untuk menghadapi secara langsung mimpi-mimpi buruknya. (Stamplf (1975) dalam Corey, 2011:
212)
G. Kecocokannya untuk di Terapkan di Indonesia
Teori konseling behavioral ini dapat diterapkan di Indonesia karena manusia di Indonesia
sama dengan manusia lainnya, yaitu mempunyai hakikat sebagai manusia yang netral dari lahir,
dan karena adanya benturan oleh lingkungan maka tercipta perilaku-perilaku yang positif
maupun negatif. Teori ini berpegang pada prinsip-prinsip belajar dan teori belajar bahwa perilaku
yang baik atau yang adaptif dapat dibentuk melalaui pembiasaan dan belajar serta didukung
dengan lingkungan yang sesuai.
Manusia di Indonesia pun jika memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak adaptif
dengan konseling behavioral ini dapat diubah perilaku tersebut menjadi perilaku yang adaptif
melalui pembiasaan, belajar dan lingkungan yang baik disesuaikan norma dan adat yang berlaku
di dareah atau provinsi masing-masing, maka konselor perlu mengetahui norma dan nilai setiap
suku atau provinsi sehingga dalam membentuk perilaku yang baru yang adaptif orang bagi orang
Indonesia .

Anda mungkin juga menyukai