Yanda 1
Yanda 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak
bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya. Sejak lahir manusia telah dilengkapi
dengan naluri untuk hidup
bersama dengan orang lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur 1.
Demikian pula diantara wanita dan pria itu saling membutuhkan, saling mengisi,
saling berkaitan, tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan
rasanya tidak sempurna hidupnya seorang wanita tanpa didampingi seorang pria
sekalipun dia beralaskan emas dan permata, demikian sebaliknya tidak akan
sempurna hidup seorang pria tanpa kehadiran wanita sebagai pelengkapnya.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal
yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat
kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat sedangkan Ikatan batin adalah
hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguhsungguh mengikat kedua pihak.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 46
3
hlm. 10
4
5
Ibid, hlm. 11
Ibid, hlm. 12
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan
Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 5
Djamali Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2005) , hlm. 158
116.
11
Kabupaten Rokan Hulu dengan julukan kota seribu suluk, ini menandakan
bahwasanya nilai-nilai keagamaan didalam kehidupan masyarakatnya sangat
kental sekali. Syariat Islam menjadi pedoman dan landasan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari sehingga ada pepatah adat yang mengatakan adat bersendi
syara, syara bersendi kitabullah. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
nilai-nilai tersebut mulai longgar dan ditinggalkan masyarakat sehingga
merebaknya penyakit-penyakit masyarakat seperti perjudian, prostitusi dan
tingginya angka kriminalitas.
Kentalnya penerapan nialai agama ditengah-tengah masyarakat kabupaten
Rokan hulu maka didalam salah satu misi pemerintahannya tahun 2011 ini ialah
ingin mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan
masyarakat di Kabaten Rokan Hulu sehingga terbentuk masyarakat madani yang
sejahtera, adil dan makmur.
Salah satu dampak terhadap ditinggalkannya nilai-nilai agama dalam
kehidupan masyarakat tersebut ialah dengan makin meningkatnya perceraian di
Kabupaten Rokan Hulu. Tingginya angka perceraian ini harus mendapatkan
tanggapan pihak yang berwenang, sebab akan menimbulkan dampak yang lebih
besar dikemudian hari seperti banyaknya anak-anak korban perceraian orang
tuanya mengalami gangguan psikologis sehingga menganggu perkembangan
jiwanya kedepan.
Anak selain mempunyai hak untuk dihormati dan dilindungi juga
memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan perkembangan
12
Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, Agustus 2007, Yuli fajar Susetyo,
Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, Jakarta, hlm. 26
Oleh sebab itu, dan seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan
keluarga, maka BP4 perlu menata kembali peran dan fungsinya agar lebih sesuai
dengan kondisi dan perkembangan terkini. Untuk menjawab persoalan tersebut,
BP4 harus menyiapkan seluruh perangkat pelayanan termasuk SDM, sarana dan
prasarana yang memadai.
Tuntutan BP4 ke depan peran dan fungsinya tidak sekadar menjadi
lembaga penasihatan tetapi juga berfungsi sebagai lembaga mediator dan
advokasi. Selain itu BP4 perlu mereposisi organisasi demi kemandirian
organisasi secara profesional, independen dan bersifat profesi sebagai pengemban
tugas dan mitra kerja Departemen Agama dalam mewujudkan keluarga sakinah,
mawaddah, warahmah.
Sebagai konsekwensi dari kemandirian dan profesionalitas, maka BP4
mengemban tugas yang tidak kecil serta mempunyai tantangan yang besar
terhadap permasalahan keluarga yang semakin berkembang, perlu sumber daya
manusia yang dibutuhkan terkait dengan mediasi, advokasi dan konsultan
perkawinan. Hal ini bertujukan bagi peningkatan pelayanan organisasi yang
bersifat responsif terhadap segala persoalan perkawinan dan keluarga yang
muncul dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, maka punulis tertarik untuk melakukan
penenlitian dengan judul Tingginya Tingkat Perceraian di Kabupaten Rokan
Hulu di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka dapat
ditetapkan masalah pokok dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana peranan dan hambatan BP4 dalam menanggulangi
tingginya tingkat perceraian di Kabupaten Rokan Hulu?
2. Apa upaya Hakim Pengadilan Agama dalam Mendamaikan pihak
yang mengajukan perceraian di Pengadilan Agama Rokan Hulu?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a.
10
c. Untuk mencari solusi permasalahan yang timbul dalam penelitian ini yang
melibatkan instansi terkait, sehingga supremasi hukum bisa ditegakkan.
D. Kerangka Teori
Menururt Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tantang
Perkawinan secara jelas menyebutkan bahwasanya Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.13
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa serta dapat melanjutkan generasi dan
memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit
perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan suami isteri
kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka,
besar kecilnya persoalan yang dihadapi tergantung dari pandangan dan cara
mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri
merasa bahwa perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan
kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka
dengan jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum
perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh itu setiap perkawinan yang sah
13
11
dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang harus dilakukan
didepan sidang pengadilan.14
Menurut Ruri Setiawan hukum menikah didalam agama Islam itu ada lima.
1. Pernikahan yang wajib hukumnya Menikah itu wajib hukumnya bagi
seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko
jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara
menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam
jurang zina wajib hukumnya. Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama
tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia
adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya.
Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya
cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : Dan Yang
menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu
kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya Sedangkan yang tidak sampai
diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang
usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan
kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan
untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu
yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan
Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan
yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling
tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak
jumlah
kuantitas
umat
Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena
aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah
kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78) Bahkan
Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah
sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya Secara normal, ada dua hal utama
yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak
mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan
seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon
istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila
14
Florence Vidya Widjaja, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian Orang Tuanya Menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,(Jakarta: Tesis Program Kenotariatan Universitas Indonesia, 2006), hlm. 43
12
dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan
diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan
dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas
kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti
orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan
seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit.
Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu
tahu kondisinya dan siap menerima resikonya. Selain dua hal di atas,
masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah.
Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk
menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya
suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang
haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat
dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah
dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya Orang yang tidak punya penghasilan
sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual,
hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan
punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan
bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya
bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan
menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh
hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila
kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah HukumnyaOrang yang berada pada posisi tengahtengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah
dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum
menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera
menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum
15
nikah baginya adalah mubah.
Menurut Al-Hadad setidaknya ada sepuluh alasan pentingnya ikrar talak
didepan pengadilan. Empat yang terpenting adalah16 :
15
Al Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adid Bisri, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993) hlm. 87
13
2.
3.
4.
14
5.
6.
7.
17
18
15
2.
3.
4.
5.
6.
20
16
Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009
Pasal 6 Anggaran Dasar BP4 Tahun 2009
17
18
TABEL I.1
Populasi dan Sampel
No
Jenis Populasi
Populasi
Sampel
100
1.
Agama
2.
3.
16
100
1
8
50%
19
JUMLAH
18
10
4. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang penulis peroleh secara lansung melalui
responden dengan cara melakukan penelitian dilapangan mengenai
hal-hal yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti.
b. Data Sekunder, yaitu data yang penulis peroleh melalui kepustakaan
dengan
membaca
literatur-literatur
dan
peraturan
perundang-
20
21
mempunyai luas wilayah 7. 449. 85 Km2 dan berbatasan lansung dengan: Sebelah
Utara, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara dan Kabupaten Rokan Hilir.
Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Kampar, Bengkalis dan Siak.
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat.
23
2. Administrasi
Kabupaten Rokan Hulu dengan kota Pasir Pengaraian sebagai Ibukota
Kabupaten, mudah untuk dicapai dari kota-kota lain, berjarak sekitar 180 Km
dari Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau. Kabupaten Rokan Hulu, merupakan
sebuah kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dengan kabupaten
Kampar. Berdiri pada tanggal 12 Oktober 1999 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999. secara administrasi terdiri dari 14 Kecamatan 8
Kelurahan dan 126 Desa.
3. Sejarah Kabupaten Rokan Hulu
Sebelum penjajahan Belanda, wilayah Rokan Hulu terbagi menjadi dua
wilayah; wilayah Rokan Kanan yang terdiri dari Kerajaan Tambusai, Kerajaan
Rambah dan Kerajaan Kepenuhan, dan wilayah Rokan Kiri yang terdiri dari
Kerajaan Rokan IV Koto, Kerajaan Kunto Darussalam serta beberapa kampung
dari Kerajaan Siak (Kewalian negeri Tandun dan kewalian Kobun), kerajaankerajaan ini sekarang yang disebut dengan Lima Lukah. Dalam kerajaan tersebut
23
22
24
24
23
24
tujuan transmigrasi oleh Pemerintah RI. Penduduk Rokan Hulu ramah tamah
dengan budaya melayu yang adaptif akan memberikan kenyamanan anda untuk
berkunjung selagi tidak bertentangan dengan agama yang dikenal dengan
Melayu identik dengan Islam Selamat Datang di Rokan Hulu Bumi Bermalu,
Negeri Seribu Suluk, Semoga anda senang di negeri ini.
Kabupaten Rokan Hulu tergolong daerah beriklim tropis dengan
temperatur udara berkisar antara 220 310 C. Terdapat dua musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Ada musim kemarau umumnya terjadi antara bulan
Maret sampai dengan Agustus sedangkan musim hujan terjadi September sampai
dengan Januari.
5. Masyarakat
Penduduk Rokan Hulu merupakan kesatuan dari berbagai macam suku
dan ragam budaya. Sebagian besar merupakan keturunan suku Melayu Rokan
dan Mandailing. Selain itu terdapat pula suku Minang Kabau, Jawa, Sunda dan
masih terdapat adanya masyarakat terasing yaitu suku Bonai dan suku Sakai, dua
suku pertama dan suku terakhir merupakan suku asli Rokan Hulu.
Masyarakat Rokan Hulu sangat kuat memegang teguh budaya dan tradisi
kesehariannya. Hukum adat masih berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat,
terlihat dengan upacara perkawinan, penyambutan tamu negeri dan acara budaya
lainnya.
25
25
25
Hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu pada
tanggal 22 Mei 2010
26
dengan Hak sewa, kemudian kantor pindah tempat di Kantor Wali Nagari
Rambah.
26
(1972-1976)
2. Drs. Damanhuri
(1979-1998)
(1999-2000)
(2000-2005)
5. Drs. Nurmujib, MH
(2005 Sekarang)
27
26
Ibid
27
Ibid
27
28
28
dalam
bidang
pembangunan
keluarga.
Kelahirannya
28
29
30
29
BP4 Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, (Jakarta: BP4
Pusat, 1986), hal. 118
30
Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas BP4
XIII/2004 dan Pemilihan Ketua Sakinah Teladan Tingkat Nasional, Jakarta, 14 17 Agustus
30
31
Sumayya, Peranan BP4 Dalam Upaya Mencegah Perkawinan Usia Muda, (Skripsi
Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006), hal. 31
31
Pencatatan NTR (Nikah, Thalaq dan Rujuk) yang berlaku menurut Agama
Islam.
32
33
BP4 tentunya tidak lahir tanpa sebab, tentu saja ada beberapa alasan yang
mendorong dilahirkannya organisasi yang bergerak dalam bengkel rumah
tangga tersebut. Beberapa faktor yang mendorong berdirinya BP4 menurut Drs.
Zubaidah Muchtar adalah : Tingginya angka perceraian, banyaknya perkawinan
dibawah umur dan terjadinya praktek poligami yang tidak sehat serta sewenangwenang.
34
BP4 Pusat, BP4 Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: BP4 Pusat, 1977), hal. 13
33
Ibid, hal. 14
34
BP4 Pusat, Tantangan Baru BP4 Setelah 37 Tahun Berkiprah, Perkawinan dan
Keluarga XXV, (Jakarta: BP4 Pusat, 1997), hal. 8
32
mengenai kewenangan mengeluarkan Akta Cerai ada di BP4, sehingga BP4 dapat
mengetahui jumlah perceraian yang terjadi di wilayah BP4 tersebut. Sekarang
antara BP4 dengan Pengadilan Agama sudah terpisah dan tidak ada hubungan
koordinasi. Penerbitan Akta Cerai merupakan wewenang Pengadilan Agama.
BP4 berada dalam struktur Departemen Agama, khususnya di bawah
Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah. Pada Departemen Agama,
tedapat BP Pusat yang membawahi BP4 Tingkat Provinsi, kemudian BP4 tingkat
kota, dan lingkup terkecil adalah BP4 tingkat kecamatan yang berada disetiap
Kantor Urusan Agama.
3. Peran dan Tugas BP4
Secara formil tujuan BP4 dirumuskan untuk mempertinggi nilai
perkawinan dan terwujudnya rumah tangga sejahtera bahagia menurut tuntunan
Islam ( Anggaran Dasar BP4 Pasal 3). Ada 2 (dua) hal yang saling berkaitan
menjadi tujuan organisasi BP4, yaitu:
d.
e.
35
33
yaitu hidup bersama tanpa adanya pernikahan yang sah, maka tujuan ini adalah
aktual.
Tujuan kedua lebih bersifat praktis dan individual. Yaitu setiap perkawinan
harus sejahtera sifatnya dan bukan sebaliknya menimbulkan neraka bagi
masing-masing pihak. Lembaga keluarga adalah kesatuan dari beberapa pribadi
yang masing-masing sebagai manusia bebas dengan beragam sifat dan karakter.
Dalam keadaan demikian, tanpa bimbingan dan suri tauladan akan mudah
melahirkan sengketa sebagai akibat dari masing-masing pihak yang ingin
dominant atau tidak memperhatikan pihak lain.
Anggaran Dasar BP4 Pasal 4, memberi 5 cara penting sebagai usaha
menuju tercapainya tujuan diatas, yaitu:
(1). Memberikan nasihat dan penerangan tentang pernikahan, thalak, cerai dan
rujuk kepada pihak yang akan melakukannya.
(2). Mengurangi terjadinya perceraian dan poligami.
(3). Memberi bantuan dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan perkawinan dan
perselisihan rumah tangga menurut hukum agama.
(4). Menerbitkan buku/brosur dan menyelenggarakan kursus-kursus, penataran,
diskusi, seminar dan sebagainya.
(5). Bekerja sama dengan instansi/lembaga yang bersamaan tujuannya didalam
dan luar negeri.
34
Selain kelima bentuk usaha tersebut, juga dimungkinkan adanya usahausaha lain yang bermanfaat untuk untuk tujuan BP4. BP4 memiliki keanggotaan
yang terdiri atas: (1) tokoh-tokoh organisasi wanita dan pria, (2). Pejabat-pejabat,
tenaga ahli atau tokoh perorangan yang diperlukan (pasal 5 Anggaran Dasar BP4).
Para anggota BP4 dapat disebut sebagai Counselor BP4.
Counselor BP4 tidak hanya melayani suami atau isteri yang sudah
berkelahi sedemikian lama atau hebatnya sehingga mereka sudah memikirkan
untuk bercerai. Hendaknya BP4 tidak membatasi hanya pada mengurus
perselisihan-perselisihan yang sudah terjadi saja, melainkan melancarkan suatu
program kegiatan tentang bagaimana suami dan isteri dapat dididik dan dibina
sehingga mereka sendiri dapat mewujudkan hubungan yang harmonis.
BP4 selanjutnya mendidik dan menatar para suami dan istri agar dapat
mengatasi konflik dan menghindari terjadinya konflik, sehingga dapat
mengurangi terjadinya konflik. Para suami dan isteri hendaknya juga diberi ilmu
dan kebijaksanaan tentang bagaimana mengelola konflik (apabila ternyata konflik
tidak dapat dihindarkan), dan manajemen menyelesaikan konflik dengan baik,
agar tidak meninggalkan luka dan dapat memulihkan keharmonisan dan kasih
saying antara suami dan istri.
35
BAB III
TINJAUAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang
saling mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar,
bila setiap insan akan menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah
sekali seumur hidup saja. Tidak pernah terbesit bila dikemudian hari harus
bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.
Namun pada kenyataannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suamiisteri,
yang
akhirnya
harus
memilih
berpisah
alias
bercerai.
Faktor
36
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1974
36
tentang
Perkawinan
mendefenisikan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan di
Indonesia menganut asas monogami terbuka, artinya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu juga sebaliknya.
Kecuali pengadilan memberikan izin kepada seorang pria tersebut, untuk beristeri
lebih dari seorang, itupun bila dikehendaki oleh pihak-pihak terkait. Serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, baik menurut syarat alternatif
maupun kumulatif.
Sebuah perkawinan dapat dilaksanakan bila memenuhi ketentuan dan
syarat-syarat sebagai berikut:
37
Budi Susilo, Prosedur Gugatan cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007) hal. 1
Ibid, Hal. 15
37
yang masih hidup. Apabila kedua orang tuanya yang dimaksud telah
meninggal dunia, atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas, selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya. Lebih dari itu, dalam sistem perkawinan di
Indonesia umur minimal yang diperkenankan untuk melaksanakan
perkawinan adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
3. Calon mempelai pria dan wanita tidak terbukti memiliki:
a. hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas.
b. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping. Yaitu, antara
saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara
seorang dengan saudara neneknya.
c. Hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan
ibu/bapak tiri.
d. Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
e. Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Hubungan lain yang diatur menurut ketentuan agamanya, atau
peraturan lain yang berlaku.
38
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, tidak dapat
melakukan perkawinan lagi. Kecuali diperkenankan menurut agamanya,
serta mendapat ijin dari pengadilan. Itupun, jika sebelumnya mendapat
persetujuan dari seluruh pihak yang bersangkutan.
5. Apabila suami dan isteri yang telah bercerai, kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk yang kedua kalinya, maka diantara mereka
tidak boleh dilansungkan perkawinan lagi. Sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Kemudian, perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan. Serta dicatatkan
menurut peraturan perundangan yang berlaku. Akibat hukum yang ditimbulkan
sebuah perkawinan adalah sebagi berikut:
1. Terkait dengan hak dan kedudukan, suami dan isteri adalah seimbang.
2. Terkait dengan kedudukan anak, dimana anak adalah sah apabila
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
3. Terkait dengan harta benda dalam perkawinan. Yaitu, setelah
perkawinan akan terjadi percampuran harta yang didapat menjadi
harta bersama. Kecuali atas harta bawaan maupun harta perolehan,
itupun harus didasarkan pada perjanjian pemisahan harta.
Tujuan utama pencatatan perkawinan adalah demi mewujudkan ketertiban
administrasi perkawinan dalam masyarakat disamping untuk menjamin tegaknya
39
hak dan kewajiban suami isteri. Hal ini merupakan politik hukum negara yang
bersifat preventif untuk mengkoordinasi masyarakatnya demi terwujudnya
ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah
perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai ketidakteraturan dan
pertikaian antara suami isteri. Karena itu keterlibatan penguasa/negara dalam
mengatur perkawinan dalam bentuk pencatatan merupakan suatu keharusan.
Di Indonesia walaupun telah ada peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan yang secara tegas mengatur masalah keharusan mendaftarkan
perkawinan secara resmi pada pegawai pencatat nikah, tetapi tampaknya
kesadaran masyarakat akan hukum dan pentingnya suatu pencatatan perkawinan,
masih dapat dibilang rendah. Hal ini terlihat dari banyaknya dijumpai prakek
nikah sirri yang dilakukan dihadapan Kyai, tengku, modin, ustadz dan
sebagainya.
38
40
39
39
Ibid, Hal. 75
41
Suatu hal yang harus diakui bahwa bidang perkawinan dalam hukum
Islam memiliki kompleksitas masalah yang tidak sederhana. Oleh karena itu,
penanganan dan penyelesaian sengketa perkawinan, khususnya perceraian tidak
boleh harus melibatkan kebijakan pemerintah/negara. Hal ini karena rumah
tangga merupakan unit terkecil suatu negara, jika rumah-rumah tangga disuatu
negara itu teratur, harmonis, bermoral, terpogram dan tertata rapi, maka akan
nampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, keterlibatan
pemerintah/negara merupakan keharusan.
40
40
41
Ibid, Hal. 76
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
42
42
43
berpendapat pula bahwa sekalipun hak telak secara mutlak ada pada suami, Islam
juga memberi hak talak bagi isteri untuk menuntut cerai melalui khulu terhadap
suami yang telah keluar dari tabiatnya.
42
43
44
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, (Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta) 1994, Hal. 55
Ibid
44
Di Indonesia, hak istri untuk menuntut cerai selain fasakh dan khulu (talak khuli =
Talak yang dijatuhkan suami berdasarkan khulu yang telah disepakati) ditambah lagi yaitu taklik
talak (cerai dengan putusan pengadilan berdasarkan sighat taklik talak yang diucapkan suami
sesaat setelah selesai akad nikah) lihat Pasal 116 huruf (g) Kompilasi Hukum Islam.
43
45
Dalam membicarakan hak mutlak talak, para ulama hampir selalu membicarakan
masalah hak-hak seorang isteri apabila di talak oleh suaminya. Tetapi, dalam hal
ini para ulama kita sekarang cenderung hanya mensosialisasikan kepada umat
melalui dakwah dan khutbahnya mengenai hak otoriter suami untuk menjatuhkan
talak terhadap isterinya. Akibatnya, kita dapat menyaksikan bahwa banyak suami
dengan amat mudah dan tanpa beban menjatuhkan talak terhadap isterinya
sesukanya tanpa memperhatikan kewajibannya terhadap isterinya sebagai akibat
talak yang ia jatuhkan.
Peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia juga
memberikan hak mutlak kepada seorang suami untuk mentalak isterinya, tetapi
dengan ketentuan:
a. Perceraian harus dilakukan didepan sidang Pengadilan;
b. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan sebagaimana telah
diatur undang-undang;
c. Mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dst.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dan ketentuan perundangundangan lainnya.
Hukum perkawinan di Indonesia mengatur bahwa perceraian itu harus
dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tidak diakui perceraian yang
dilakukan di luar pengadilan. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Undang-Undang
45
Al-Quran Surat al-Baqarah [2]: 229, Talak (yang dapat diruju) itu dua kali (setelah
itu suami dapat) menahan dengan baik atau menceraikan dengan baik.
44
Perkawinan bertujuan antara lain untuk melindungi kaum wanita pada umumnya
dan pihak isteri pada khususnya. Disamping itu secara yuridis undang-undang
tersebut bertujuan adalah untuk mendapatkan suatu kepastian hukum.
Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan, sama halnya dengan
suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak mencatatkannya. Ia tidak diakui
oleh hukum dan, oleh karenanya, tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat
dikatakan bahwa perceraian yang dilakukan diluar pengadilan tidak mempunyai
kekuatan hukum (no legal force). Oleh karena itu, hukum menganggapnya tidak
pernah ada (never existed). Suatu perceraian yang dilakukan diluar pengadilan
akan menimbulkan kesukaran bagi si istri atau bahkan bagi si suami. Hal itu
karena hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap talak yang dijatuhkan oleh
suami terhadap isterinya diluar pengadilan, suami tidak pernah memperhitungkan
hak-hak siteri sebagai akibat dari perceraian tersebut, semisal nafkah iddah,
nafkah madiyah, mutah dan pembagian harta bersama. Selain dari itu, tidak ada
suatu penilaian tentang apakah talak yang dijatuhkan oleh suami itu benar-benar
didasarkan kepada suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, yang intinya adalah
karena suatu kesalahan dari pihak isteri.
Salah satu prinsip Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit
terjadinya perceraian.
46
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2004), Hal. 169-161
45
b.
c.
d.
e.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f.
h.
46
47
48
Hukum Islam lebih tegas lagi disebutkan bahwa, bila mana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib memberikan kepada bekas isterinya:
a. Mutah yang layak berupa uang atau barang.
b. Nafkah iddah yang meliputi nafkah, tempat tinggal (maskan)
dan perlengkapan hidup (kiswah).
47
Dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan: Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami-isteri.
48
47
49
Prof. Dr. Al Yasa Abu Bakar, MA, dalam Mimbar Hukum, Nomor 40 Tahun 1998,
Hal. 57.
48
tokoh umat Islam yang berusahan mendekatkan ajaran Islam dengan aturan
negara, sehingga terwujud hukum nasional yang betul-betul sesuai dengan
kesadaran hukum yang sekaligus memberikan kepuasan batin kepada masyarakat
muslim Indonesia dipihak yang lain.
50
51
50
Ibid
51
49
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Peranan
50
52
kebahagiaan hidup.
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.
10.
53
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosilogi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, ,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal. 5
51
54
54
52
55
56
57
55
Hasil wawancara dengan Gustaman, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah Hilir pada
tanggal 16 Juli 2010.
56
Hasil wawancara dengan Samsuar, S. Ag Ketua BP4 Kecamatan Rambah Hilir pada
tanggal 18 Juli 2010.
53
mempunyai keahlian seperti ahli Psikologi dan ahli konseling, sehingga hasil
konsultasi dengan BP4 bisa memuaskan pihak-pihak yang berkonsultasi.
Selama menjabat sebagai Ketua BP4 Kecamatan Rambah Samo,
H. Rusli S. Ag hanya menerima 5 Pasangan suami isteri yang ingin melakukan
perceraian, yang mana hanya 1 pasangan saja yang gagal bercerai, selainnya
diteruskan ke pengadilan Agama.
58
tiga masalah perkawinan yang dikonsultasikan pada BP4 dan semuanya dapat
didamaikan dengan baik dan mereka tidak jadi bercerai.
59
60
harus
59
60
Ibid
54
61
61
55
62
63
Apabila dianalisa
62
Ibid
63
Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W Norton
and Company, 1984) yang mana penulis kutip dari ceramah pengukuhan guru besar Sayta
Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006.
56
64
Agama
selaku
pemegang
kewenangan
dalam
memutuskan
65
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
2006) , Hal. 131
57
66
66
Hasil wawancara dengan Drs. Nur Mujib, MH. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten
Rokan Hulu pada tanggal 17 Juli 2010.
58
tanpa memiliki buku nikah yang resmi dan melakukan proses perceraian begitu
saja tanpa proses pengadilan.
Bagi masyarakat yang mengerti akan fungsi lembaga Negara tersebut,
mereka melakukan pernikahan dan perceraian melalui lembaga negara dan
mereka mengerti fungsi dari lembaga-lembaga negara yang berwenang
menangani permasalahan tersebut. Kalau menikah mereka pergi ke Kantor
Urusan Agama (KUA) yang mana sebelum melaksanakan pernikahan mereka
diberi nasehat terlebih dahulu oleh BP4 supaya mereka yang menikah dapat
mewujudkan tujuan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sedangkan kalau bercerai ke Pengadilan Agama yang sebelumnya
sudah diberi nasehat perdamaian oleh mediator agar tidak terjadi perceraian.
Semenjak keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, para pihak yang akan
bercerai di Pengadilan Agama diperintahkan untuk menyelesaikan secara mediasi
oleh mediator. Apabila para pihak meminta menyelesaikannya melalui ninik
mamak pucuk suku maka diserahkan pada ninik mamak. Bahkan ninik mamak
juga ikut bersidang di Pengadilan Agama.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, hubungan antara BP4 dan Pengadilan Agama saling berkaitan. Ketika itu
peraturan yang berlaku masih UU Perkawinan dan PP nya, sehingga hukum acara
yang berlaku belum ada. Jdi sebelum ke Pengadilan Agama, suami isteri yang
berselisih mendatangi BP4 terlebih dahulu. Dan waktu itu sebelum UU berlaku,
putusan perceraian dikukuhkan di Pengadilan Negeri, dan Akta Cerai yang
mengeluarkan adalah BP4, sementara Pengadilan Agama mengeluarkan SKT3
59
(Surat Keterangan Telah Terjadinya Talak) dan kemudian surat itulah yang
dipergunakan untuk menebus Akta Cerai di BP4 yang terdapat di KUA setiap
kecamatan. Kemudian pemerintah mengatur agar proses perceraian menjadi
singkat dan dipermudah. Sebab perceraian memerlukan biaya besar, termasuk
adanya biaya pungutan liar di dalam proses selama dari BP4 kemudian
Pengadilan Agama hingga Pengadilan Negeri.
Sekarang angka perceraian lebih banyak karena biaya perceraian murah
dan prosesnya singkat hanya di Pengadilan Agama saja. Bagi orang yang tidak
mampu juga disediakan biayanya oleh negara. Sebenarnya negara tidak
bermaksud untuk mempermudah perceraian, tetapi untuk tertib hukum. Apabila
dahulu banyak yang ditinggal suaminya tidak dapat berbuat apa-apa, jika suami
menikah lagi. Sementara isteri perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk
bercerai. Setelah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 praktis lansung ke
Pengadilan Agama dan Akta Cerai lansung dikeluarkan oleh Pengadilan Agama,
putusan pun tidak lagi dikukuhkan di Pengadilan Negeri.
Pihak Pengadilan Agama, termasuk hakim-hakimnya seharusnya lebih
terbuka menerima BP4 sebagai lembaga penasihatan perkawinan, terutama pada
saat menawarkan mediasi dari luar Pengadilan Agama, yaitu dengan
menyebutkan salah satu lembaga mediasi perkawinan di luar pengadilan adalah
BP4. Hakim seharusnya lebih bijaksana dalam memberikan kebebasan dan
pilihan lembaga mediasi terutama lembaga mediasi di luar Pengadilan seperti
BP4. Alasan Hakim tidak menyebutkan BP4 sebagai salah satu lembaga mediasi
60
di luar pengadilan menurut hemat penulis, adalah suatu tindakan yang kurang
bijaksana.
Menurut Ketua Pengadilan Pengadilan Agama Kabupaten Rokan Hulu,
tingginya angka perceraian di Kabupaten Rokan Hulu lebih disebabkan oleh
masalah-masalah sosial yang ada ditengah masyarakat. Untuk itu untuk
menghadapi semua masalah-masalah tersebut ialah dengan meningkatkan iman
dan taqwa kepada Allah SWT agar pasangan suami isteri dapat menjalankan
67
Ibid
61
walaupun surat talak tersebut sah secara hukum, namun tidak ada kata
kesepakatan diantara dua pihak untuk bercerai. Sebagai contoh, apabila seorang
suami menjatuhkan talak satu kepada istrinya, maka talak satu yang diucapkan
tersebut harus dilegalkan telebih dahulu di depan pengadilan. Karena pada
dasarnya secara syari, talak tidak boleh diucapkan dalam keadaan emosi.
Sehingga, melalui proses legalisasi di depan pengadilan, terdapat jenjang waktu
bagi suami untuk merenungkan kembali talak yang telah terucap.
Saat ini Pengadilan Agama memberikan sarana mediasi. Di pengadilan
sekarang sudah dimulai sejak adanya Surat Edaran dari Mahkamah Agung No, 1
Tahun 2002. Seluruh hakim di Pengadilan Agama benar-benar harus
mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut. Melalui mediasi tersebut, banyak
permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama, dengan beberapa alasan.
Pertama, karena tidak sesuai dengan ketentuan UU. Kedua, mungkin dari
positanya obscuur atau kabur, dan antara posita dan petitumnya bertentangan.
Misalnya, istri minta cerai, tetapi dia minta nafkah juga. Sedangkan dalam alasan
perceraiannya, si istri menyebutkan bahwa suaminya tidak memberi nafkah
selama beberapa bulan berturut-turut.
Lembaga mediasi yang mulai dioptimalkan sejak tahun 2003, membawa
banyak hasil positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syari. AlQuran selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami
dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan
menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin
menggunakan lembaga mediasi.
62
63
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama
tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa
iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika
putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak,
maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh
Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali
rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk, namun harus dilihat jenis talaknya
terlebih dahulu. Secara umum, talak artinya adalah kembali. Terdapat dua jenis
talak, yaitu talak Bain dan talak Raji. Talak Raji adalah talak yang diucapkan
oleh suami, dan apabila ingin rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada
akad nikah baru. Cukup adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka
sudah rujuk. Sedangkan untuk talak Bain, yaitu perceraian karena diajukan oleh
sang istri. Talak Bain terdiri atas dua jenis, yaitu Bain Kubro dan Bain sugro.
Talak Bain Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan
(muhalil). Sedangkan untuk Bain Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah
atau tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi
pernikahan sebagaimana awal menikah dulu. Secara umum, masyarakat hanya
mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua dan talak tiga. Talak
yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak. Sedangkan talak yang
diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi sebenarnya ada dua jenis talak.
Dari kedua talak ini, akan ada beberapa produk talak.
64
Produk Cerai talak adalah Talak Raji, dimana untuk rujuk tidak harus
melalui akad baru. Rujuk dalam Talak Raji cukup hanya dengan pernyataan
suami bahwa dia telah rujuk dengan sang istri. Sedangkan produk cerai gugat
adalah talak Bain, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dalam Talak Bail
Kubro, terdapat Lian dan dzihar. Lian artinya adalah sumpah seorang suami dan
istri bahwa satu sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap
dengan konsekuensi dan azhab dari Allah, apabila memang benar mereka
berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami yang mempersamakan istrinya
dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama saja dengan mencampuri ibunya.
Oleh karena itu, Lian merupakan perbuatan yang harus diceraikan dengan talak
Bain Kubro. Dalam hal muhalil, maka si muhalil wajib kumpul dengan istrinya
tanpa
basa
basi.
Muhalil
tidak
boleh
disertai
dengan
mutah.
Dalam hal sang istri ingin mengajukan gugatan, maka hal utama yang harus
dipersiapkan oleh sang istri adalah surat gugatan. Sedangkan untuk cerai talak,
kurang lebih sama. Namun yang perlu dipersiapkan oleh sang suami bukan
gugatan, melainkan permohonan untuk melegalkan talak yang sudah terucap.
Alasan untuk mengajukan cerai talak dan cerai gugat kurang lebih sama.
Hanya saja dalam cerai talak ada satu perbedaan, yaitu seorang istri yang nusyuz,
artinya seorang istri yang tidak taat kepada suami. Apabila setelah bercerai baik
suami maupun istri ingin rujuk kembali, maka peristiwa rujuk tersebut akan
tercatat dalam lembar terakhir buku nikah. Demikian halnya apabila para pihak
memiliki perjanjian pranikah, maka perjanjian tersebut akan tercatat dalam
65
lembar terakhir buku nikah itu juga, dengan sepengetahuan instansi yang
berwenang, yaitu KUA.
Dampak dari suatu perceraian selain mengenai masalah harta, juga
mengenai masalah hak wali anak, yaitu bisa terhadap pemeliharaan anak atau hak
hadhonah. Masalah lain yang juga cukup pelik adalah masalah pemberian nafkah,
yaitu sampai kapankah suami wajib memberikan nafkah terhadap mantan istri
setelah mereka bercerai? Apabila talak tersebut datang dari pihak suami, maka
suami wajib menafkahi istri sampe masa iddhah nya selesai. Dalam hal talak,
maka salah satu pihak dapat mengajukan tuntutan mengenai hak haddhonah dan
juga mengenai harta secara bersamaan.
Permasalahan unik lainnya dalam Pengadilan Agama adalah apabila
pasangan suami sitri menikah secara Islam. Namun ditengah bahtera rumah
tangga, mereka pindah agama. Beberapa tahun kemudian mereka bercerai.
Kembali kepada UU Perkawinan UU No.1 Tahun 1974 UU Perkawinan serta
merujuk kembali pada UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah
diatur secara lex specialis bahwa pengadilan agama menyelesaikan menerima
menyelesaikan dan memeriksa serta menyelesaikan perkara-perkara khususnya
tentang masalah berkaitan perceraian yang dilakukan pernikahannya secara
agama Islam. Sehingga walaupun di tengah perkawinan mereka telah pindah
agama dan memutuskan untuk bercerai, maka perkara perceraian tersebut
diselesaikan di Pengadilan Agama sepanjang pernikahan mereka dilaksanakan
secara Islam.
66
Banyak
BAB V
67
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. BP4 memiliki peran sebagai berikut: mendidik dan membei penerangan
kepada suami
mawaddah dan rahmah; mendidik para suami dan isteri mengatasi krisis
rumah tangga; memberikan nasehat kepada para suami dan isteri yang sudah
terlibat dalam suatu perselisihan. Tugas pokok BP4 adalah memberikan
benatuan advokasi dan mencegah terjadinya perceraian, menyebarluaskan
majalah perkawinan dan informasi mengenai keluarga kepada masyarakat.
Kedudukan BP4 di luar Pengadilan Agama, namun berada dibawah
Departemen
Agama.
BP4
di
Kabupaten
Pasir
pangaraian
belum
68
B. Saran
Sesungguhnya visi dan misi serta peran dan tugas BP4 sangatlah mulia,
ingin mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi keluarga yang sakinah, namun
dalam hal pelaksanaan belum efektif dan optimal, untuk itu penulis menyarankan
kepada BP4 di Kabupaten Rokan Hulu:
1. Menyinergikan internal lembaga BP4 sehingga menjadi BP4 yang solid
dan dapat dipercaya oleh masyarakat di Kabupaten Rokan Hulu.
2. Merapikan sistem administrasi BP4 sehingga mendaparkan kepercayaan
diri dalam BP4 dan menambah kepercayaan masyarakat kepada BP4
sebagai lembaga penasihatan perkawinan.
3. Mengupayakan kepada Departemen Agama Republik Indonesia untuk
menganggarkan biaya untuk pengembangan BP4.
4. Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat mengenai
pelayanan konsultasi BP4.
5. Melakukan kerja sama dengan para psikolog, ahli komunikasi, atau para
ahli lainnya untk meningkatkan kredibilitas korps perkawinan BP4.
69
Sehingga
apabila
masyarakat
yang
membutuhkan
70
71
DAFTAR PUSTAKA
B. Buku-Buku
Al Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adid Bisri, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993
Al Yasa Abu Bakar, MA, Mimbar Hukum, Nomor 40 Tahun 1998
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2006
Djamali Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta; Rajawali Pers, 2005
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve; Jakarta, 1994
Ghofur, Anshori Abdul., Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU Nomor 3
Tahun 2006, Yogyakarta: UII Press, 2007.
Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W
Norton and Company, 1984)
Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan
Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2004
Muhammad, Abdul Kadir, Etika Profesi Hukum, Bandung; PT. Citra Aditya
Bakti, 2006.
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, ,
2010
Martiman, Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003.
Mertokusumo, Sudikno.,
Yogyakarta, 2001.
Mengenal
Hukum
Suatu
Pengantar,
Liberty;
72
Media Massa
Warta Hukum dan Perundang-Undangan Vol. 8 No. 2, Agustus 2007, Yuli fajar
Susetyo, Mengembangkan Perilaku Mengajar Yang Humanis, Jakarta
Riau Pos, Hari Kamis Tanggal 7 Januari 2010
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Peraturan Mahkama Agung Nomor 1 Tahun 2008
Kompilasi Hukum Islam
Internet
www.pa-amuntai.pta-banjarmasin.go.id dengan judul posting Tren Perceraian
terus Meningkat, Mengapa? Yang diakses pada tanggal 15 April 2010
www.rokanhulu.go.id diakses pada tanggal 30 Mei 2010
73