Anda di halaman 1dari 24

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

OBAT OBAT ANTI NYERI


Ifar Irianto Yudhowibowo*, Hari Hendriarto Satoto*, Himawan Sasongko*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Pain (nociception) is a unique problem, on one hand is to protect our bodies and on the
other hand is an ordeal. Pain also has a clear practical meaning. Pain warns us of danger;
pain can help the diagnosis; sometimes it can support the healing of the restriction of
movement and support the immobilization of the injured part. There are a number of
pharmacological substances that can be used as an "analgesic" to relieve pain in
conscious patients without causing memory loss as the total general anesthesia.
Pharmacological substance which can be used as an analgesic is still referring to the
concept of multi analgesia capital. The concept of multi analgesia capital refers to the way
in which the used NSAID pain nociception in the transduction process, local anesthetics
and opioids in the transmission process in the modulation and perception. Where is the
advantage of the multimodal analgesia is obtained the effect of higher analgesia without
increasing side effects compared to increasing the provision of analgesia in a single dose.
ABSTRAK
Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi badan
kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Nyeri juga mempunyai makna praktis yang
jelas. Nyeri memperingatkan kita akan bahaya; nyeri dapat membantu diagnosis; kadangkadang dapat menunjang penyembuhan dengan pembatasan gerakan dan menunjang
imobilisasi bagian yang cedera. Terdapat sejumlah substansi yang secara farmakologis
dapat digunakan sebagai analgesik untuk meredakan nyeri pada penderita yang sadar
tanpa menimbulkan penurunan daya ingat total seperti pada anestesi umum. Substansi
yang secara farmakologis dapat digunakan sebagai analgesik tersebut tetap merujuk pada
konsep analgesia multi modal. Konsep analgesia multi modal ini merujuk pada perjalanan
nyeri nosisepsi dimana digunakan NSAID pada proses transduksi, anestetik lokal pada
proses transmisi dan opioid pada proses modulasi dan persepsi. Dimana keuntungan dari
pada analgesia multimodal ini adalah didapatkan efek analgesi yang lebih tinggi tanpa
meningkatkan efek samping dibandingkan peningkatan dosis pada pemberian analgesia
tunggal.

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

182

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN
Nyeri adalah salah satu alasan utama
penderita mencari pertolongan medis,
mekanisme neurobiologi yang mendasari
sudah semakin jelas, sehingga pendekatan
terapi berdasar mekanisme sudah dapat
dilakukan sejak awal sampai akhir
sekalipun. Nyeri digolongkan kedalam
tanda vital ke 5, dapat memberikan
perubahan fisiologi, ekonomi, sosial dan
emosional yang berkepanjangan sehingga
perlu dikelola dengan baik.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik
dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan, baik aktual
maupun potensial atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut.
Terdapat berbagai modalitas
mengatasi nyeri, antara lain:

untuk

1. Modalitas terapi fisik: pendinginan


pada trauma akut, penghangatan
pada nyeri kronik dan lain-lain.
2. Modalitas
terapi
psikologik:
relaksasi, hipnosis dan sebagainya.
3. Modalitas
surgikal:
reposisi
fraktur,
insisi
abses
dan
sebagainya.
4. Modalitas terapi farmakologik:
penggunaan parasetamol, NSAID,
opioid.
5. Modalitas blok saraf perifer dan
saraf sentral.
Dikenal konsep analgesia multi modal,
dimana pada konsep ini menggunakan dua
atau lebih analgesik yang berbeda
mekanismenya untuk mendapatkan efek
analgesi yang lebih tinggi tanpa

183

meningkatkan efek samping dibandingkan


peningkatan dosis pada pemberian
tunggal. konsep analgesi multimodal ini
merujuk pada perjalanan nyeri nosisepsi
dimana digunakan NSAID pada proses
transduksi, anestetik lokal pada proses
transmisi dan opioid pada proses modulasi
dan persepsi.
OPIOID
Perkembangan obat sintetik dengan zatzat yang mirip morfin telah mengarahkan
pada penggunaan istilah opioid yang
mewakili semua zat-zat eksogen, alami,
dan sintetik, yang berikatan khusus pada
sejumlah jenis reseptor opioid dan
menghasilkan sekurang - kurangnya
beberapa efek agonis yang mirip morfin.1
Suatu klasifikasi yang sesuai dari opioid
antara lain opioid agonis, opioid agonisantagonis, dan opioid antagonis.1,2
Agonis Opioid
Agonis opioid mencakup tetapi tidak
terbatas pada morfin, meperidin, fentanil,
sufentanil, alfentanil, dan remifentanil.
Obat-obat ini adalah opioid yang paling
mungkin digunakan dengan anestesi
inhalasi selama anestesi umum.1
Morfin
Morfin adalah prototipe agonis opioid
yang mana semua opioid lainnya akan
dibandingkan dengan obat ini. Pada
manusia, morfin menghasilkan efek
analgesia, euforia, sedasi, dan kurangnya
kemampuan
berkonsentrasi.
Sensasi
lainnya
termasuk
mual,
merasa
kehangatan tubuh, terasa berat di

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ekstremitas, mulut kering, dan pruritus,


terutama di daerah kulit sekitar hidung.
Penyebab nyeri tetap ada, tetapi dosis
rendah morfin pun dapat meningkatkan
ambang rasa sakit dan mengubah persepsi
dari stimulasi yang berbahaya sedemikian
rupa sehingga tidak lagi dialami sebagai
nyeri.1
Tabel 1. Klasifikasi Opioid
KLASIFIKASI AGONIS DAN ANTAGONIS
OPIOID
Opioids
Morphine
Morphine-6-glucuronide
Meperidin
Sufentanil
Fentanyl
Alfentanil
Remifentanil
Codein
Hidromorphone
Oxymorphone
Oxycodone
Hydrocodone
Propoxyphene
Methadone
Tramadol
Heroin
Agonis-Antagonis Opioid
Pentazocine
Butorphanol
Nalbuphine
Buprenorphine
Nalorphine
Bremazocine
Decozine
Meptazinol
Antagonis Opioid
Naloxone
Naltrexone
Nalmefene

Morfin diabsorbsi dengan baik setelah


pemberian IM, dengan onset efek mulai
15 menit sampai 30 menit dan mencapai

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

puncaknya dalam 45 sampai 90 menit.


Durasi kerja morfin adalah sekitar 4 jam.
Morfin dapat diberikan per oral untuk
pengobatan nyeri kronis mengingat
absorpsi dari saluran pencernaan
mungkin terbatas.1
Jalur utama metabolisme morfin adalah
konjugasi dengan asam glukuronik di
hepar dan ekstrahepatik, terutama ginjal.
Sekitar 75% sampai 85% dosis morfin
muncul sebagai morfin-3-glukuronida,
dan 5% sampai 10% sebagai morfin-6glukuronida (rasio 9:1).1
Hasil metabolisme morfin dieliminasi
terutama dalam urin, dengan hanya 7%
sampai 10% mengalami ekskresi melalui
empedu. 1
Morfin-3-glukuronida secara farmakologi
bersifat tidak aktif, sedangkan morfin-6glukuronida menghasilkan analgesia dan
depresi pernapasan melalui kerja agonis
pada reseptor mu. 1
Metabolisme di ginjal berperan secara
signifikan pada metabolisme total morfin,
yang
memberikan
kemungkinan
penjelasan tidak adanya penurunan dalam
klirens sistemik dari morfin pada pasien
dengan sirosis hepatis atau selama fase
anhepatik transplantasi hati orthotopik
(Sear, 1991). Pada kenyataannya,
peningkatan metabolisme morfin di
dalam ginjal dapat terjadi ketika
metabolisme di dalam hepar terganggu. 1
Eliminasi morfin glukuronida dapat
terganggu pada pasien dengan gagal
ginjal, menyebabkan akumulasi metabolit

184

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan efek depresi pernapasan tak terduga


pada dosis kecil opioid. 1
Efek samping yang ditunjukkan untuk
morfin juga merupakan karakteristik
untuk agonis opioid lainnya, meskipun
kejadian dan besarnya dapat bervariasi. 1
Pemberian morfin, terutama dalam dosis
besar (1mg/kg IV), pada pasien yang
terlentang dan normovolemik mungkin
tidak akan menyebabkan depresi miokard
langsung atau hipotensi. Pasien yang sama
kemudian berubah dari telentang ke posisi
berdiri, bagaimanapun, dapat mengalami
hipotensi ortostatik nyata dan sinkop,
mencerminkan adanya penurunan respon
kompensasi sistem saraf simpatik yang
ditimbulkan oleh morfin. Sebagai contoh,
morfin menurunkan tonus sistem saraf
simpatis pada vena perifer, sehingga
mengakibatkan pengumpulan darah di
vena dan selanjutnya menurunkan venous
return, cardiac output dan tekanan
darah.1,Morfin juga dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah sistemik karena
bradikardi atau pelepasan histamin yang
diinduksi oleh obat. 1Semua agonis opioid
menghasilkan depresi pernapasan dosisdependen dan spesifik jenis kelamin,
terutama melalui efek agonis pada reseptor
mu2 yang mengarah ke efek depresi
langsung pada pusat pernapasan di batang
otak. 1,3,4
Opioid menekan batuk melalui efek pada
pusat batuk di medula yang berbeda dari
efek opioid pada pernapasan. 1
Opioid, tanpa keadaan hipoventilasi,
menurunkan aliran darah serebral dan
kemungkinan juga tekanan intrakranial
(ICP). 1

185

Efek morfin pada electroencephalogram


(EEG) menyerupai perubahan yang
berhubungan dengan tidur. Sebagai contoh,
ada pergantian gelombang alpha yang cepat
oleh gelombang delta yang lebih lambat.
Rekaman EEG gagal mengungkapkan
beberapa bukti aktivitas kejang setelah
pemberian dosis tinggi opioid. 1,3
Titrasi morfin postoperatif sering
menimbulkan sedasi yang mendahului
terjadinya analgesia.4 Opioid dapat
menyebabkan spasme otot polos biliaris,
mengakibatkan peningkatan tekanan
intrabilier yang mungkin terkait dengan
distress epigastrium atau kolik biliaris.1
Opioid yang lazim digunakan seperti
morfin, meperidin, dan fentanil dapat
menyebabkan
spasme
otot
polos
gastrointestinal, mengakibatkan berbagai
efek samping seperti konstipasi, kolik
bilier, dan keterlambatan pengosongan
lambung. 1Morfin mengurangi kontraksi
peristaltik propulsif usus halus dan usus
besar dan meningkatkan tonus sfingter
pilorus, katup ileocecal, dan sfingter anal.
Aliran yang terlambat dari isi usus
melalui kolon memungkinkan terjadinya
peningkatan absorpsi air. Akibatnya,
konstipasi sering menyertai terapi dengan
opioid dan dapat menjadi masalah yang
menyulitkan
pada
pasien
yang
memerlukan terapi opioid dalam jangka
waktu lama, karena sedikit toleransi yang
berkembang pada efek ini. 1
Mual dan muntah yang diinduksi opioid
disebabkan oleh stimulasi langsung dari
chemoreceptor trigger zone di dasar
ventrikel keempat. Hal ini mencerminkan
peran agonis opioid sebagai agonis

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dopamin parsial pada reseptor dopamin


di chemoreceptor trigger zone. 1,3,4
Morfin juga dapat menyebabkan mual
dan muntah dengan peningkatan sekresi
gastrointestinal dan perlambatan aliran isi
usus ke kolon. 1
Morfin dapat meningkatkan tonus dan
aktivitas peristaltik ureter. Berbeda
dengan efek yang sama pada otot polos
ductus biliaris, efek yang diinduksi
opioid pada ureter dapat diatasi dengan
obat antikolinergik seperti atropin. 1,3
Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh
darah di kulit. Kulit pada leher, wajah, dan
dada bagian atas sering menjadi
kemerahan dan hangat. Perubahan dalam
sirkulasi kulit ini sebagian disebabkan
oleh pelepasan histamin. Pelepasan
histamin mungkin bertanggung jawab
pada timbulnya urtikaria dan eritema yang
umumnya terlihat di tempat injeksi
morfin. Selain itu, pelepasan histamin
yang diinduksi morfin juga menyebabkan
eritema konjungtiva dan pruritus. 1
Plasenta tidak memberikan barier yang
nyata terhadap transfer opioid dari ibu ke
janin. Oleh karena itu, depresi neonatus
dapat terjadi sebagai akibat dari
pemberian opioid kepada ibu selama
persalinan. Dalam hal ini, pemberian
morfin pada ibu dapat menghasilkan
depresi neonatal yang lebih besar daripada
meperidin.1Efek depresi pernapasan dari
beberapa
opioid
dapat
diperbesar
amfetamin,
fenotiazin,
monoamine
oksidase inhibitor, dan antidepresan
trisiklik. 1
Terapi opioid jangka panjang dapat
mempengaruhi
aksis
hipotalamus-

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

hipofisis-adrenal
dan
hipotalamushipofisis-gonadal (Ballantyne dan Mao,
2003). Morfin dapat menyebabkan
penurunan secara progresif konsentrasi
kortisol plasma. Efek utama dari opioid
pada
sumbu
hipotalamus-hipofisisgonadal melibatkan modulasi pelepasan
hormon termasuk peningkatan konsentrasi
hormon prolaktin dan penurunan hormon
luteinizing, folikel stimulating hormone,
testosteron, dan esterogen. 1
Manifestasi utama overdosis opioid adalah
depresi pernapasan dengan manifestasi
berupa frekuensi pernapasan yang lambat,
yang mana dapat berkembang menjadi
apnea. Pupil simetris dan dan miosis
kecuali jika terjadi hipoksemia arteri yang
berat, yang mengakibatkan midriasis. Otot
skeletal bersifat flaksid, dan obstruksi
saluran napas atas mungkin terjadi. Edema
paru sering terjadi, tetapi mekanismenya
masih belum diketahui. Hipotensi dan
kejang
berkembang
jika
terjadi
hipoksemia
arteri.
Trias
miosis,
hipoventilasi, dan koma menunjukkan
overdosi suatu opioid. 1
Meperidin
Meperidin adalah agonis opioid sintetik
pada reseptor opioid mu dan kappa dan
berasal dari phenylepiperidin. Terdapat
beberapa analog dari meperidin, antara
lain fentanil, sufentanil, alfentanil dan
ramifentanil. 1
Meperidin memiliki kekuatan sekitar
sepersepuluh dari morfin, dengan 80
sampai 100 mg IM sama dengan sekitar
10 mg IM morfin. Durasi kerja meperidin
adalah sekitar 2 sampai 4 jam,

186

Jurnal Anestesiologi Indonesia

membuatnya menjadi agonis opioid


dengan kerja lebih singkat dibandingkan
morfin. Pada dosis analgesik yang sama,
meperidin menghasilkan efek sedasi,
euforia, mual, muntah dan depresi
pernapasan seperti halnya morfin. Tidak
seperti morfin, meperidin diabsorpsi
dengan baik pada traktus gastrointestinal,
meskipun demikian, meperidin hanya
sekitar satu setengah kali efektivitasnya
secara oral dibandingkan jika diberikan
secara IM. 1
Metabolisme meperidin di hepar
berlangsung secara luas, dengan sekitar
90% obat yang awalnya mengalami
demetilasi menjadi normeperidin dan
dihidrolisis menjadi asam meperidinik
(Stone dkk, 1993). Normeperidin
selanjutnya mengalami hidrolisis menjasi
asam normeperidinik. Ekskresi lewat urin
merupakan jalur eliminasi yang utama
dan tergantung pada pH. Sebagai contoh,
jika pH urin < 5, sebanyak 25%
meperidin yang diekskresikan dalam
bentuk tidak diubah. Sebenarnya,
asidifikasi urin dapat dipertimbangkan
dalam percobaan untuk mempercepat
eliminasi meperidin. Penurunan fungsi
ginjal
dapat
memicu
akumulasi
1
normoperidine.
Prinsip penggunaan meperidin adalah
untuk analgesia selama persalinan dan
kelahiran serta setelah pembedahan.
Meperidin adalah satu-satunya opioid
yang dipertimbangkan cukup adekuat
untuk pembedahan jika diberikan secara
intratekal.1

187

Meperidin mungkin efektif dalam


menekan keadaan tubuh yang menggigil
postoperatif yang dapat mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen metabolik
yang mengganggu. Efek anti menggigil
pada meperidin dapat menggambarkan
stimulasi
pada
reseptor
kappa
(diperkirakan terjadi pada sekitar 10%
dari aktivitasnya) dan penurunan ambang
batas aktivitas menggigil yang diinduksi
oleh obat ini (tidak terjadi pada
alfentanil, klonidine, propofol, atau obat
anestesi volatil). 1
Efek samping meperidin mirip pada yang
digambarkan pada morfin. Pada dosis
teraupetik, meperidin berkaitan dengan
hipotensi ortostatik. Pada kenyataannya,
hipotensi setelah injeksi meperidin lebih
sering terjadi dan lebih berat daripada
morfin dengan dosis yang sebanding.
Hipotensi ortostatik menunjukkan bahwa
meperidin, seperti morfin mengganggu
kompensasi refleks sistem saraf simpatis.
Meperidin, berbeda dengan morfin,
jarang menyebabkan bradikardia tetapi
malah dapat meningkatkan denyut
jantung, menggambarkan kualitas sedang
yang sama dengan atropin1,5. Dosis tinggi
meperidin mengakibatkan penurunan
kontraktilitas miokardial, yang mana,
diantara opioid, unik untuk obat ini.
Delirium dan kejang, jika kedua hal
tersebut terjadi, kiranya menggambarkan
akumulasi normeperidin, yang telah
menstimulasi efek pada SSP. 1
Sindrom serotonin (instabilitas otonom
dengan hipertensi, takikardi, diaphoresis,
hipertermia, perubahan perilaku termasuk
konfusi dan agitasi, dan perubahan

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

neuromuskuler
yang bermanifestasi
dalam bentuk hiperrefleksia) terjadi
ketika obat mampu meningkatkan
pemberian serotonin yang diberikan.
Pada kasus yang berat, koma, kejang,
koagulopati, dan asidosis metabolik dapat
terjadi. Pemberian meperidin pada pasien
yang mendapat obat antidepresan
(monoamine
oksidase
inhibitor,
fluoxetine) dapat menimbulkan sindrom
ini (Tissot, 2003). 1
Meperidin mengganggu ventilasi dan
mungkin lebih sering menyebabkan
depresi pernapasan dibandingkan morfin.
Opioid ini dengan segera melintasi
plasenta, dan konsentrasi meperidin di
darah korda umbilikalis pada saat lahir
dapat melebihkan konsentrasi plasma ibu
(Way dkk, 1965). Meperidin jarang
menimbulkan konstipasi dan retensi urin
dibandingkan pada morfin. Setelah dosis
analgesik yang sama, spasme traktus
biliaris jarang terjadi setelah injeksi
meperidin dibandingkan setelah injeksi
morfin tetapi lebih besar dibandingkan
yang disebabkan oleh kodein (Radnay
dkk,
1980).
Meperidin
tidak
menyebabkan miosis tetapi cenderung
menyebabkan midriasis, menunjukkan
kerja sedang yang mirip dengan atropin.
Mulut kering dan peningkatan denyut
jantung adalah fakta selanjutnya efek
yang mirip atropin pada meperidin.
Gejala neurologis yang sementara telah
ditunjukkan setelah pemberian meperidin
intratekal untuk anesthesia pembedahan
(Lewis dan Perrino, 2002). 1
Fentanil

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Fentanil adalah suatu agonis opioid


sintetik derivat fenilpiperidin yang secara
struktur berkaitan dengan meperidin.
Sebagai suatu analgesik, fentanil lebih
kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan
morfin. 1
Dosis tunggal fentanil yang diberikan
secara IV memiliki onset yang lebih
cepat dan durasi kerja yang lebih pendek
dibandingkan pada morfin. 1 Fentanil
yang diberikan secara IV memiliki onset
yang lebih cepat dan durasi kerja yang
lebih pendek dibandingkan pada morfin. 1
Fentanil secara luas dimetabolisme
melalui N-demetilasi, menghasilkan
norfentanyl, hydroxyproprionyl -fentanyl,
dan hydroxyproprionyl - norfentanyl.
Norfentanil secara struktural mirip
dengan normeperidin dan merupakan
metabolit utama fentanil pada tubuh.
Norfentanil diekskresi oleh ginjal dan
dapat dideteksi dalam urin dalam 72 jam
setelah dosis tunggal fentanil IV. Kurang
dari 10% fentanil diekskresikan dalam
keadaan tidak diubah di dalam urin.
Aktivitas farmakologi metabolit fentanil
diyakini minimal (Peng dan Sandler,
1999). Fentanil adalah substrat untuk
enzim hepar P-450 (CYP3A) dan rentan
terhadap
interaksi
obat
yang
menunjukkan campur tangan dengan
aktivitas enzim (kurang dibandingkan
dengan alfentanil) 1
Fentanil secara klinis diberikan dalam
berbagai dosis. Sebagai contoh, dosis
rendah fentanil, 1 sampai 2g/kg IV,
untuk injeksi analgesik. Fentanil 2 sampai
20g/kg IV, dapat diberikan sebagai

188

Jurnal Anestesiologi Indonesia

adjuvan untuk anestesi inhalasi dalam


upaya untuk menumpulkan respon
sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk
intubasi trakea, atau (b) perubahan tibatiba pada tingkat stimulasi bedah. 1
Injeksi opioid seperti fentanil sebelum
stimulasi operasi yang menyakitkan dapat
menurunkan
jumlah
opioid
yang
diperlukan selanjutnya dalam periode
postoperatif untuk memberikan efek
analgesia. Dosis fentanil 1,5 atau
3g/kgBB IV 5 menit sebelum induksi
anestesi menurunkan dosis isofluran atau
desfluran berikutnya dengan 60% nitrous
oxide dibutuhkankan untuk memblok
respon sistem saraf simpatik terhadap
rangsangan bedah. Dosis tinggi fentanil,
50 sampai 150 g/kg IV, telah digunakan
sendiri untuk menghasilkan anestesi
bedah. Dosis tinggi fentanil sebagai satusatunya anestetik yang mempunyai
keuntungan hemodinamik yang stabil
terutama disebabkan oleh (a) kurangnya
efek depresi miokard langsung, (b) tidak
adanya pelepasan histamin, dan (c)
penekanan respon stress terhadap operasi.
Kekurangan penggunaan fentanil sebagai
anestesi tunggal meliputi (a) kegagalan
untuk mencegah respon sistem saraf
simpatik terhadap rangsangan operasi
yang menyakitkan pada dosis berapapun,
terutama pada pasien dengan fungsi
ventrikel
kiri
yang
baik,
(b)
memungkinkan kesadaran dari pasien, dan
(c) depresi pernapasan postoperatif. 1
Efek samping dari fentanil mirip seperti
yang dijelaskan untuk morfin. Depresi

189

pernapasan persisten atau berulang akibat


fentanil adalah masalah yang potensial
pasca operasi. 1
Dibandingkan dengan morfin, fentanil
dalam dosis besar (50 g/kg IV) tidak
membangkitkan
pelepasan
histamin.
Sebagai akibatnya, dilatasi pembuluh
darah kapasitansi vena yang menyebabkan
hipotensi tidak terjadi. 1
Pemberian fentanil dan sufentanil pada
pasien dengan cedera kepala telah
dihubungkan dengan peningkatan sedang
(6 sampai 9 mmHg) pada TIK meskipun
pemeliharaan dari PaCO2 tidak berubah. 1
Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
TIK yang ditimbulkan oleh sufentanil
(dan mungkin fentanil) dapat disebabkan
oleh penurunan autoregulator pada
tahanan
vaskuler
serebral
karena
penurunan tekanan darah sistemik yang
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan
volume darah, dan peningkatan TIK. 1
Konsentrasi analgesik pada fentanil secara
luas memberikan potensial pada efek
midazolam dan menurunkan kebutuhan
dosis propofol. Kombinasi opioidbenzodiazepin bersifat sinergis yang
berkenaan dengan hipnosis dan depresi
pernapasan.1
Sufentanil
Sufentanil adalah suatu analog tienil dari
fentanil. Potensi analgesik pada sufentanil
adalah lima sampai sepuluh kali dari
fentanil, yang mana sesuai dengan afinitas
yang lebih besar dari sufentanil pada

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

reseptor opioid dibandingkan dengan yang


terjadi pada fentanil. 1
Waktu paruh eliminasi pada sufentanil
adalah berada diantara fentanil dan
alfentanil. Dosis tunggal sufentanil secara
IV memiliki waktu paruh eliminasi yang
sama pada pasien dengan atau tanpa
sirosis hati (Chauvin dkk, 1989). Waktu
paruh eliminasi yang memanjang telah
diamati pada pasien lanjut usia yang
mendapatkan sufentanil pada pembedahan
aorta abdominal (Hudson dkk, 1989). 1
Sufentanil dimetabolisme secara cepat
dengan N-dealkilasi pada nitrogen
piperidine dan dengan O-demetilasi.
Produk
dari
N-dealkilasi
secara
farmakologi tidak aktif, sedangkan
desmetil sufentanil memiliki sekitar 10%
aktivitas sufentanil. Kurang dari 1% dari
dosis sufentanil yang diberikan tampak
tidak berubah di dalam urin. Sebenarnya,
kelarutan sufentanil dalam lemak yang
tinggi mengakibatkan reabsorpsi obat
bebas di tubulus ginjal terjadi secara
maksimal seperti halnya obat ini dapat
menambah akses ke enzim mikrosomal
hepar. 1
Hasil metabolisme sufentanil dieksresi
dalam jumlah yang hampir sama di urine
dan feses, sekitar 30% muncul sebagai
konjgat. Produksi metabolit aktif yang
lemah dan sejumlah zat dari pembentukan
hasil metabolisme konjugasi menyatakan
secara tidak langsung pentingnya fungsi
ginjal normal untuk klirens sufentanil. 1
Pada sukarelawan, sufentanil dosis
tunggal 0,1 sampai 0,4g/kg IV,

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

menimbulkan suatu periode analgesia


yang lebih panjang dan depresi
pernapasan yang jarang daripada dosis
fentanil yang sebanding (1 sampai 4g/kg
IV) (Bailey dkk, 1990b). Dibandingkan
dengan dosis morfin atau fentanil yang
lebih besar, sufentanil 18,9g/kg IV,
menimbulkan induksi anesthesia yang
lebih cepat, munculnya anestesi yang
lebih awal, dan ekstubasi yang lebih awal.
Seperti yang diamati pada opioid lain,
sufentanil
menyebabkan
penurunan
kebutuhan oksigen metabolik di otak dan
aliran darah otak juga menurun atau tidak
berubah (Mayer dkk, 1990). Bradikardia
yang terjadi akibat sufentanil mungkin
cukup untuk menurunkan cardiac output. 1
Penggunaan opioid dengan dosis yang
tinggi, termasuk sufentanil atau fentanil,
untuk menghasilkan induksi anestesia IV
akan menimbulkan kekakuan otot dada
dan otot abdomen. Kekakuan otot skeletal
ini membuat ventilasi pada paru pasien
dengan tekanan positif menjadi sulit.
Kesulitan bernapas selama kekakuan otot
skeletal yang diinduksi oleh sufentanil
dapat mengakibatkan obstruksi pada
tingkat glottis ataupun diatasnya, yang
mana dapat diatasi dengan intubasi
endotrakeal. 1
Alfentanil
Alfentanil adalah analog dari fentanil
yang kurang kuat (seperlima atau
sepersepuluh) dan memiliki sepertiga
durasi dari durasi kerja fentanil Suatu
keuntungan yang unik pada alfentanil
dibanding dengan fentanil dan sufentanil
adalah onset kerja yang lebih cepat. 1

190

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Alfentanil memiliki waktu paruh eliminasi


yang singkat dibandingkan dengan
fentanil dan sufentanil. Sirosis hepatis,
tetapi bukan
penyakit kolestatik,
memperpanjang waktu paruh eliminasi
alfentanil. Gagal ginjal tidak mengubah
klirens waktu paruh eliminasi alfentanil. 1
Karakteristik penyeimbangan tempat-efek
yang cepat pada alfentanil adalah hasil
dari pK yang rendah mendekati 90% obat
yang ada dalam bentuk non ionik pada pH
fisiologis. Fraksi non ionik ini dapat
melintasi sawar darah otak. Efek puncak
alfentanil yang cepat pada otak
bermanfaat ketika opioid dibutuhkan
untuk menimbulkan respon tunggal,
stimulus yang singkat seperti intubasi
trakea atau tindakan blok retrobulbar. 1
Alfentanil dimetabolisme secara dominan
melalui dua jalur independen, piperidin Ndealkilasi menjadi noralfentanil dan amide
N-dealkilasi menjadi N-fenylpropionamid.
Noralfentanil adalah metabolit utama yang
dibuang di urin, dengan <0,5% dosis
alfentanil yang diberikan mengalami
ekskresi dalam keadaan tidak berubah. 1
Alfentanil memiliki onset yang cepat dan
penyeimbangan (offset) analgesia yang
kuat, hal ini menunjukkan keseimbangan
tempat-efek
yang
sangat
cepat.
Karakteristik
pada
alfentanil
ini
Remifentanil
Remifentanil
selektif yang
setara dengan
lebih kuat

191

adalah agonis opioid mu


memiliki potensi analgetik
fentanil (15 sampai 32 kali
dibandingkan alfentanil)

bermanfaat untuk menimbulkan analgesia


ketika stimulus nyeri berlangsung akut
tetapi sementara yang berkaitan dengan
laringoskopi dan intubasi endotrakeal
serta blok retrobulbar. Sebagai contoh,
pemberian alfentanil, 15g/kg IV, sekitar
90 detik sebelum memulai laringoskopi
direk, efektif dalam menyamarkan respon
tekanan darah sistemik dan denyut jantung
pada intubasi endotrakeal. Respon
katekolamin pada stimulus nyeri ini jga
disamarkan oleh alfentanil, 30g/kg IV.
Alfentanil pada dosis 10 sampai 20g/kg
IV menyamarkan sirkulasi tetapi tidak
pada respon pelepasan katekolamin
terhadap pemberian secara tiba-tiba
desfluran inhalan dengan konsentrasi
tinggi
(Yonker-Sell
dkk,
1996).
Alfentanil, 150 sampai 300g/kg IV,
diberikan secara cepat, menghasilkan
penurunan kesadaran dalam waktu sekitar
45 detik. Setelah induksi ini, pemeliharaan
anestesi dapat diperoleh dengan infus
kontinyu alfentanil, 25 sampai 150g/kg
IV, dikombinasikan dengan obat inhalan
(Ausems dkk, 1983). 1
Alfentanil, dibandingkan dengan dosis
yang sama kuat pada fentanil dan
sufentanil, berhubungan dengan kejadian
mual dan muntah postoperatif yang lebih
rendah pada pasien pembedahan rawat
jalan. 1
dan`dapat melintasi sawar darah otak serta
memiliki waktu penyeimbangan efek yang
sama dengan alfentanil. 1
Meskipun secara kimia berkaitan dengan
fentanil, gugus derivat fenilpiperidin kerja

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

singkat, remifentanil secara struktur


bersifat unik, karena ikatan esternya.
Struktur ester remifentanil membuat obat
ini rentan mengalami hidrolisis oleh
plasma dan jaringan esterase non spesifik
menjadi
metabolit
inaktif.
Jalur
metabolisme yang unik ini memberikan
pada remifentanil (a) kerja yang cepat, (b)
efek titrasi yang tepat dan cepat karena
onset (setara dengan alfentanil) dan
penyeimbangan (offset) yang cepat, (c)
efek non kumulatif dan (d) waktu
pemulihan yang cepat setelah penghentian
pemberian obat. 1
Setelah pemberian remifentanil 0,5g/kg
IV terjadi penurunan pada kemiringan dan
dan pergeseran yang cenderung menurun
pada kurva respon pernapasan terhadap
karbon dioksida yang mencapai titik
terendah setelah sekitar 150 detik setelah
injeksi. Pemulihan setelah dosis kecil
remifentanil ini lengkap dalam 15 menit.
Kombinasi antara remifentanil dan
propofol bersifat sinergis mengakibatkan
depresi pernapasan berat. 1
Farmakokinetik remifentanil ditandai
dengan Vd yang kecil, klirens yang cepat,
dan variabilitas interindividual yang
rendah dibandingkan dengan obat anestesi
IV lain. Metabolisme ramifentanil yang
cepat dan Vd yang kecil menunjukkan
ramifentanil akan kurang terakumulasi
dibandingkan opioid lain. Karena klirens
sistemik
yang
cepat,
ramifentanil
memberikan keuntungan farmakokinetik
pada situasi klinik yang membutuhkan
penghentian efek obat. Farmakokinetik
ramifentanil yang setara antara pasien

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

obese dan pasien kurus menegaskan


bahwa jumlah dosis klinik sebaiknya
didasarkan pada massa tubuh ideal
dibandingkan berat badan total (Egan dkk,
1998). 1
Remifentanil merupakan opioid unik di
antara opioid lain yang mengalami
metabolisme melalui plasma non spesifik
dan esterase jaringan menjadi metabolit
yang inaktif. Metabolit utama, asam
remifentanil, sekitar 300 sampai 4.600
kali lipat kurang poten dibandingkan
remifentanil sebagai agonis dan
terutama diekskresi melalui ginjal. 1
Penggunaan
klinik
remifentanil
menggambarkan profil farmakokinetik
yang unik pada opioid ini, yang mana
memungkinkan onset efek obat yang
cepat, titrasi yang tepat untuk efek yang
diinginkan,
kemampuan
untuk
mempertahankan
konsentrasi
opioid
dalam plasma yang cukup untuk menekan
respon stress, dan pemulihan yang cepat
dari efek obat ini. Pada kasus dimana efek
analgesik yang sangat dalam diinginkan
hanya sementara (pada tindakan blok
retrobulbar),
remifentanil
mungkin
bermanfaat. Onset yang cepat dan durasi
kerja yang singkat membuat remifentanil
bermanfaat dalam menekan respon sistem
saraf
simpatis
sementara
pada
laringoskopi direk dan intubasi trakheal
pada pasien yang beresiko (Thompson
dkk, 1998). Pemberian remifentanil secara
berselang sebagai analgesia pada pasien
bersifat efektif dan sebagai analgesik yang
paling dipercaya selama persalinan (Evron
dkk, 2005). Remifentanil dapat digunakan

192

Jurnal Anestesiologi Indonesia

untuk pembedahan yang lama, ketika


waktu pemulihan yang cepat dibutuhkan
(penilaian
neurologis,
pemeriksaan
kesadaran). Teknik anestesi remifentanil
dosis tinggi berkaitan dengan pemulihan
yang lebih cepat dan kurangnya resiko
depresi
pernapasan
postoperatif
dibandingkan teknik yang sama dengan
opioid lain. 1
Anestesi
dapat
diinduksi
dengan
remifentanil, 1g/kg IV diberikan selama
60 sampai 90 detik, atau dengan
permulaan infus secara bertahap 0,5
sampai 1,0g/kg IV selama 10 menit,
sebelum pemberian obat hipnotis standar
sebelum intubasi trakheal. Remifentanil
dapat digunakan sebagai komponen
analgesik pada anestesi umum (0,25
sampai 1,00g/kg IV atau 0,05 sampai
2,00g/kg/menit IV) atau teknik sedasi
dengan kemampuan pemulihan yang cepat
dari efek yang tidak diinginkan seperti
depresi pernapasan atau sedasi yang
berlebihan yang diinduksi opioid.
Remifentanil,
0,05
sampai
0,10g/kg/menit IV yang dikombinasikan
dengan midazolam, 2 mg IV, memberikan
efek sedasi dan analgesia yang efektif
selama dimonitor dengan anastesi pada
pasien
dewasa
sehat
Pemberian
remifentanil lewat jalur spinal atau
epidural tidak direkomendasikan, karena
keamanan media (glycine, yang bekerja
sebagai inhibitor neurotransmitter) atau
opioid belum ditetapkan (Burkle dkk,
1996). Remifentanil, 100 g IV,
mengurangi respon hemodinamik akut
pada terapi elektrokonvulsif dan tidak
mengubah durasi bangkitan kejang yang

193

diinduksi oleh elektrokonvulsif (Recart


dkk, 2003). 1
Keuntungan
remifentanil
yang
memberikan periode pemulihan yang
singkat dapat dipertimbangkan sebagai
suatu kergian jika infus di hentikan
dengan tiba-tiba, apakah dihentikan
dengan sengaja ataupun tidak disengaja.
Hal ini penting dalam memberikan opioid
dengan kerja yang panjang untuk
analgesia postoperatif ketika remifentanil
sudah diberikan untuk tujuan ini saat
intraoperatif. Semua analog fentanil,
termasuk remifentanil, telah dilaporkan
menginduksi bangkitan yang mirip
kejang. 1
Mual dan muntah, depresi pernapasan dan
peningkatan sedang pada tekanan darah
dan denyut jantung dapat terjadi setelah
pemberian
remifentanil.
Depresi
pernapasan yang ditimbulkan oleh
remifentanil tidak berubah pada kelainan
ginjal ataupun kelainan hepar. Pelepasan
histamin tidak terjadi setelah pemberian
remifentanil. Tekanan intrakranial dan
tekanan intraokuler tidak berubah dengan
pemberian remifentanil (Guy dkk, 1997;
Warner dkk, 1996). Remifentanil dosis
tinggi menurunkan aliran darah ke otak
dan kebutuhan oksigen metabolik otak
tanpa mengganggu reaktivitasi karbon
dioksida serebrovaskuler (Klimscha dkk,
2003).
Remifentanil
memperlambat
drainase pewarna (dye) dari vesica felea
ke dalam duodenum tetapi perlambatan
lebih singkat dibandingkan opioid lain
(Fragen dkk, 1999). Aliran remifentanil
melalui plasenta meningkat cepat tetapi
efek pada neonatus tampaknya tidak
terjadi (Kan dkk, 1998). 1

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kodein
Kodein adalah hasil dari susbtitusi ggus
metil dengan ggus hidroksil pada karbon
nomor 3 morfin.1,6 Adanya gugus metil ini
membatasi metabolisme hepar yang
pertama (first-pass metabolism) dan
perhitungan untuk efektivitas kodein
ketika diberikan secara oral. Waktu paruh
eliminasi pada kodein setelah pemberian
oral atau IV adalah 3,0 sampai 3,5 jam.
Sekitar 10% kodein yang diberikan
mengalami demetilasi di hepar menjadi
morfin, yang bertanggung jawab untuk
efek analgesia pada kodein. Beberapa
sisanya dimetilasi menjadi norkodein yang
tidak aktif, yang dikonjgasi atau
diekskresi dalam keadaan tidak diubah di
ginjal. 1
Kodein merupakan obat antitusif yang
efektif pada dosis oral 15 mg. Analgesia
maksimal, sama dengan yang dihasilkan
oleh 650 mg aspirin, terjadi dengan 60 mg
kodein. Jika diberikan secara IV, 120 mg
kodein sama dengan efek analgesik 10 mg
morfin. Paling sering, kodein diberikan
pada pengobatan sebagai antitusif atau
dikombinasikan dengan analgesik non
opioid untuk pengobatan nyeri ringan
sampai sedang. Kerentanan terhadap
depresi
pernapasan
pada
kodein
tampaknya jarang dibandingkan pada
morfin dan jarang terjadi setelah
penggunaan analgesik oral. Kodein
menimbulkan sedasi yang minimal, mual,
muntah dan konstipasi. Dizziness dapat
terjadi pada pasien rawat jalan. Pada dosis
tinggi, kodein tidak menimbulkan apneu.
Pemberian
kodein
IV
tidak
direkomendasikan,
karena
terdapat

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

kemungkinan terjadinya hipotensi yang


diinduksi oleh histamin. 1
Tramadol
Tramadol adalah analgesik yang bekerja
di sentral yang memiliki afinitas sedang
pada reseptor mu dan dan afinitasnya
lemah pada reseptor kappa dan delta
opioid, tetapi 5 sampai 10 kali kurang
poten dibandingkan morfin sebagai suatu
analgesik1.
Tramadol 3mg/kg yang diberikan secara
oral, IM atau IV efektif pada pengobatan
nyeri sedang sampai berat. Penurunan
yang nyata keadaan menggigil setelah
operasi yang telah tercatat pada pasien
yang ditangani dengan obat ini dan efek
depresi pernapasan
yang minimal
merupakan keuntungan obat ini. Tramadol
memperlambat pengososngan lambung
meskipun efeknya kecil dibandingkan
opioid lain (Crighton dkk, 1998).
Tramadol bermanfaat pada penanganan
nyeri kronik karena obat ini tidak
menyebabkan toleransi atau adiksi dan
tidak berkaitan dengan toksisitas organ
utama atau efek sedatif yang signifikan.
Obat ini bermanfaat pada pasien yang
tidak toleran pada obat anti inflamasi non
steroid. Kerugian pada tramadol antara
lain interaksinya dengan antikoagulan
koumadin
(tidak
semua
laporan
mendapatkan interaksi ini) dan kejadian
kejang yang berkaitan dengan obat ini
(hindari pada pasien dengan epilepsi atau
yang diobati dengan obat yang
merendahkan ambang kejang seperti
antidepresan). 1

194

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kekurangan selanjutnya penggunaan obat


ini pada perioperatif sebagai analgesik
adalah insiden yang tinggi berkaitan
dengan mual dan muntah. 1 Ondansentron
dapat mengganggu komponen analgesik
pada tramadol karena efek pada reuptake
dan pelepasan 5-hydroxytryptamine. 1
OBAT ANTI
STEROID

INFLAMASI

NON

NSAID dalam pengertian inklusif berarti


suatu grup variasi obat yang memiliki efek
analgesik, anti inflamasi dan antipiretik.
Obat-obat ini dapat dikategorikan menjadi
inhibitor konvensional non spesifik dari
kedua isoform COX (ibuprofen, naproxen,
aspirin, asetaminofen, ketorolak) dan
inhibitor selektif COX-2 (celecoxib,
rofecoxib, valdecoxib, parecoxib). 1
Cyclooxygenase-2 Specific Inibitors
Sebagai suatu kelas obat, NSAID
diabsorpsi dengan baik dari saluran
pencernaan, memiliki ekstraksi hepatik
lintas-pertama rendah, berdaya ikat tinggi
(>95%) pada albumin plasma, dan
memperlihatkan distribusi volume yang
kecil. Semakin tinggi kemampuan NSAID
larut lemak melewati sawar darah-otak,
semakin efektif dan makin besar efek
SSP-nya (perubahan mood dan kognisi). 1
Obat-obat ini dibedakan dari NSAID
nonspesifik karena mereka semua
merupakan molekuk yang sangat lipofilik,
netral, dan non-asam dengan daya larut
terbatas dalam media air. Celecoxib
adalah
suatu
sulfonamid
yang
berdistribusi secara luas dalam jaringan.
Metabolismenya oleh enzim sitokrom

195

P450 menjadi hidroksi, asam karboksilat,


dan derivat glukuronat dengan sekitar 2%
obat diekskresi utuh oleh ginjal.
Rofecoxib adalah sulfon yang distribusi
dalam jaringan tidak begitu baik dan
dimetabolisme terutama oleh reduksi
sitosol dalam hepar dan <1% muncul utuh
dalam urin. Oleh karena itu, interaksi
antara rofecoxib dan inhibitor P450 tidak
begitu penting. Parecoxib adalah prodrug
tak aktif yang diberikan secara parenteral
yang mengalami hidrolisis amida cepat in
vivo menjadi inhibitor COX-2 yang aktif
secara farmakologis, valdecoxib (Ibrahim
dkk, 2002a). Valdecoxib dimetabolisme
primer menjadi 1-hidroksivaldecoxib oleh
enzim sitokrom P450 hepar. Karena
parecoxib dan valdecoxib keduanya
merupakan inhibitor P450, maka ada
potensi bahwa inhibitor COX-2 ini
menghambat metabolisme obat lain. 1
Propofol adalah obat anestesi yang umum
digunakan yang mengalami metabolisme
oleh P450 dan dosis tunggal parecoxib
yang digunakan untuk manajemen nyeri
pasca operatif tidak mempengaruhi
disposisi atau durasi kerja propofol
(Ibrahim dkk, 2002a). Demikian juga
dengan midazolam yang dependen
terhadap
enzim
P450
untuk
metabolismenya,
parecoxib
tidak
mempengaruhi
farmakokinetik
atau
farmakodinamik dari infusi midazolam
(Ibrahim dkk, 2002b). 1
Efek menguntungkan inhibitor COX-2
menyebabkan penggunaan luas obat ini
untuk berbagai indikasi terutama untuk
kondisi yang berkaitan dengan inflamasi
dan nyeri. 1

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 2. Farmakokinetik Inhibitor Siklooksigenase-21

Berat molekul
Waktu paruh eliminasi (jam)
Volume distribusi (L)
Ikatan protein (%)

Celecoxib

Valdocoxib

381,38
12
400
98

314,36
811
86
98

Tabel 3. Kegunaan Klinis Inhibitor Siklooksigenase-2


Obat

Kegunaan klinis

Dosis

Celecoxib

Osteoartritis
Artritis reumatoid
Poliposis adenoma familial
Nyeri akut dan dismenore
primer
Dismenore primer
Nyeri akut
Nyeri akut
Osteoartritis
Artritis reumatoid
Dismenore primer

200 mg per hari atau 100 mg 2xsehari


100200 mg 2x sehari
400 mg 2x sehari
Inisial: 400 mg; diikuti penambahan
200 mg jika perlu, kemudian 200 mg 2x
sehari jika perlu
40 mg setiap hari
40 mg setiap hari
10 mg setiap hari
10 mg setiap hari
20 mg 2x sehari jika perlu

Parecoxib
Valdecoxib

Diadaptasi dari Gajraj NM. Cyclooxygenase-2 inhibitors. Anesth Analg 2003;96:17201738.

Inhibitor
COX-2
berguna
dalam
manajemen pasien yang mengalami nyeri
yang disebabkan oleh osteoartritis, artritis
reumatoid, gout akut, dan dismenore.
Mayoritas efek samping NSAID terjadi
pada pasien yang mendapat obat ini
pembedahan
ortopedi
mayor
dan
artroskopi responsif terhadap inhibitor
COX-2 dan tidak adanya efek antiplatelet
membuat obat ini dapat terus diberikan
selama periode pasca operatif. Efikasi
inhibitor COX-2 untuk nyeri dental sudah
terbukti. 1
Pemberian NSAID adalah salah satu
teknik analgesik non-opioid yang paling

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

secara kronis untuk pengobatan artritis.


Nyeri berasosiasi dengan kondisi
muskuloskeletal dapat diobati secara
efektif oleh inhibitor COX-2. Nyeri pasca
operatif akut diasosiasikan dengan
umum digunakan untuk manajemen nyeri
pasca operatif (White, 2002). Sebaliknya
dengan efek analgesik opioid yang
tergantung dosis, NSAID menunjukkan
efek ceiling ketika digunakan sebagai
analgesia pasca operatif. NSAID diyakini
mengurangi nyeri pasca operatif dengan
menekan produksi prostaglandin E2 yang
dimediasi COX, yang diduga merupakan
prostaglandin inflamasi primer yang

196

Jurnal Anestesiologi Indonesia

langsung mengaktivasi dan meningkatkan


sensitivitas nosiseptor perifer untuk
menyebabkan nyeri. Kebutuhan opioid
untuk manajemen nyeri pasca operatif
menurun 2050% oleh NSAID. 1,7

memilih NSAID untuk manajemen nyeri


pasca
operatif.
Skrining
terhadap
disfungsi ginjal, gastritis, ulkus lambung,
atau kecenderungan perdarahan akan
meminimalisasi komplikasi ini. 1

Analgesia pasca operatif yang dihasilkan


oleh inhibitor COX-2 mirip dengan
NSAID nonselektif konvensional (Gilron
dkk, 2003). Keuntungan primer inhibitor
COX-2 bila dibandingkan dengan NSAID
nonselektif adalah tidak adanya efek pada
fungsi platelet dan perdarahan sehingga
memungkinkan
untuk
diberikan
preoperatif dan pasca operatif. Terlebih
lagi, inhibitor COX-2 dapat digunakan
(berdasarkan data pengobatan kronis pada
pasien artritis) untuk pasien dengan
riwayar gastritis atau ulkus lambung yang
tidak
dapat
menerima
NSAID
konvensional. Malah, inhibitor COX-2
dapat menjadi alternatif yang lebih aman
dari NSAID nonselektif karena dapat
ditoleransi oleh pasien asma. 1

Ekspresi COX-2 meningkat secara


signifikan
pada
penderita
kanker
kolorektal. Oleh karena itu, penggunaan
kronis aspirin dan NSAID konvensional
lain menurunkan risiko kanker kolorektal
hingga 4050% (Smalley dkk, 1999).
Jumlah dan ukuran adenoma kolon
menurun dengan pengobatan NSAID
konvensional.
Inhibitor
COX-2
menghambat pertumbuhan tumor kolon
pada hewan dan pasien dengan poliposis
adenomatus familial, pemberian celecoxib
menurunkan jumlah polip (Steinbach dkk,
2000). Efek perlindungan terhadap kanker
esofageal, kanker lambung, dan kanker
payudara mungkin dikarenakan pemberian
NSAID (Half dkk, 2002). 1

Inhibisi enzim COX perioperatif oleh


NSAID dapat menyebabkan komplikasi
serius termasuk cedera ginjal, ulserasi
lambung, dan perdarahan berlebihan.
Penggunaan NSAID perioperatif singkat
pada dewasa sehat tampaknya tidak
menyebabkan disfungsi ginjal yang
signifikan. Ulserasi atau perdarahan
lambung dapat terjadi bahkan setelah
penggunaan NSAID singkat sehingga
merupakan risiko penting yang harus
dipertimbangkan ketika memilih obat ini
untuk manajemen nyeri pasca operatif.
Perdarahan berlebihan pasca operatif
akibat penggunaan NSAID jarang terjadi,
tetapi menjadi pertimbangan dalam

197

Risiko terjadinya penyakit Alzheimer


menurun pada orang yang menggunakan
NSAID (tVeld dkk, 2001). Efek ini
kemungkinan karena penurunan proses
inflamasi yang menyebabkan destruksi
neuronal. 1
Toksisitas gastrointestinal yang dipicu
NSAID adalah salah satu efek samping
terkait obat yang paling umum pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna
bagian atas, menunjukkan 1530%
insidensi ulkus dalam lambung atau
duodenum pasien yang mengonsumsi
NSAID secara reguler (Laine, 1996). 1
Karena prostaglandin terlibat dalam
pemeliharaan
integritas
mukosa

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

gastrointestinal dan karena hanya COX-1


yang terdapat dalam saluran cerna, diduga
bahwa
toksisitas
gastrointestinal
disebabkan oleh NSAID nonselektif
terutama karena inhibisi aktivitas COX-1.
Normalnya, prostaglandin melindungi
mukosa gastrointestinal dari kerusakan
dengan mempertahankan aliran darah
mukosa dan meningkatkan sekresi mukus
dan bikarbonat mukosa. 1
Insidensi efek samping gastrointestinal
(ulkus lambung dan duodenum) menurun
sekitar 50% pada pasien yang diterapi
dengan
inhibitor
COX-2
selektif
(Bombardier, 2002). Pasien dengan
osteoartritis dan artritis reumatoid yang
menerima dosis celecoxib supraterapeutik
(400 mg dua kali sehari) memiliki
insidensi
ulkus
simptomatik
dan
komplikasi ulkus lebih rendah secara
signifikan dibandingkan dengan pasien
yang menerima dosis terapeutik NSAID
konvensional (Silverstein dkk, 2000). 1
Tidak ada bukti bahwa NSAID
berkontribusi pada penyakit refluks
gastroesofageal. 1 Agregasi platelet dan
hemostasis bergantung pada kemampuan
platelet untuk membentuk tromboksan A2
dari prostaglandin. Karena platelet tidak
mengandung COX-2, semua sintesis
tromboksan A2 dalam platelet dimediasi
oleh
COX-1.
NSAID
nonspesifik
konvensional menghambat COX-1 dan
mengganggu
kemampuan
agregasi
1
platelet.
Inhibitor COX-2 tidak memiliki efek pada
agregasi platelet, waktu perdarahan atau
kehilangan darah pasca operatif. 1 Risiko
Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

terjadinya episode trombotik atau infark


myokard dapat meningkat pada pasien
yang mendapat terapi inhibitor COX-2
(Mukherjee dkk, 2002). Hal ini mungkin
karena inhibitor COX-2 selektif menekan
prostaglandin I2 (vasoprotektif) tanpa
mempengaruhi
tromboksan
A2
1
(prokoagulan).
Prostaglandin
memodulasi
tekanan
darahsistemik dengan berdasarkan pada
efek terhadap tonus vaskular dalam otot
polos arteriolar dan kontrol terhadap
volume cairan ekstraselular. Dapat
diprediksi
bahwa
NSAID
dapat
mengganggu kontrol farmakologik dari
hipertensi sistemik, walau efek rata-rata
obat ini pada kontrol tekanan darah
biasanya kecil (sekitar 5 mmHg). 1
NSAID tidak memiliki efek samping
terhadap fungsi ginjal pada orang sehat.
Ketika terjadi toksisitas ginjal, biasanya
karena inhibisi NSAID pada sintesis
prostaglandin, mengarah pada iskemia
medulla ginjal. Prostaglandin berperan
dalam otoregulasi aliran darah ginjal dan
filtrasi
glomerulus
dan
juga
mempengaruhi transpon ion dan air
tubulus. 1
Faktor-faktor
yang
mendukung
nefrotoksisitas akibat NSAID antara lain
hipovolemia, keberadaan penyakit ginjal,
gagal jantung kongestif, sepsis, kombinasi
dengan obat yang potensial nefrotoksik
atau bahan kontras radiografi, diabetes
mellitus dan sirosis. 1

198

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Peningkatan
konsentrasi
plasma
transaminase hepar dapat menyertai
1
pemberian
terapi
NSAID.
Hipersensitivitas terhadap sulfonamid
adalah kontraindikasi pemberian celecoxib
dan valdecoxib. Inhibitor COX-2 tidak
boleh diberikan pada penderita dengan
riwayat asma, urtikaria, atau reaksi alergi
pada aspirin. 1
NSAID dapat memicu bronkokonstriksi
pada pasien asmatik yang rentan dengan
menghambat konversi asam arakidonat
menjadi prostaglandin yang dimediasi
COX, terutama prostaglandin E2 yang
merupakan substansi anti inflamasi yang
kuat. 1
Riwayat
eksaserbasi
asma
karena
pemberian
aspirin
adalah
alasan
menghindari NSAID yang menghambat
COX-1 dan COX-2. Walau demikian,
inhibitor COX-2 rofecoxib mungkin aman
diberikan pada pasien yang sensitif
terhadap aspirin. Natrium salisilat,
salisilamid, dan dekstropropoksifen tidak
menghambat enzim COX dan dapat aman
diberikan pada pasien yang sensitif
terhadap aspirin. 1
Meningitis akibat obat telah diamati
mengikuti pemberian NSAID (terutama
ibuprofen). 1 NSAID dapat mengganggu
penyembuhan tulang sehingga obat ini
tidak direkomendasikan untuk pasien yang
menjalani pembedahan fusi spinal. 1
Interaksi obat yang paling sering adalah
antara antikoagulan oral dan NSAID, yang
menyebabkan
meningkatnya
risiko
perdarahan gastrointestinal. Pemberian

199

bersamaan NSAID termasuk inhibitor


COX-2 dan aspirin meningkatkan risiko
ulserasi gastrointestinal. Inhibitor COX-2
dapat meningkatkan konsentrasi plasma
warfarin, memperbesar kebutuhan untuk
memonitor
terapi
antikoagulan.
Kombinasi NSAID dan diuretik sparing
kalium dapat meningkatkan risiko
hiperkalemia. Penurunan fungsi ginjal
akibat NSAID dapat menurunkan klirens
obat-obat seperti digoksin, litium,
antibiotik aminoglikosida. NSAID dapat
mengganggu kerja antihipertensif dari
antagonis adrenergik beta, diuretik dan
inhibitor enzim pengubah angiotensin.
Konsentrasi
plasma
litium
dapat
meningkat selama pemberian obat
inhibitor COX-2. 1

Inhibitor Siklooksigenase Nonspesifik


NSAID yang diklasifikasikan sebagai
inhibitor COX nonspesifik diwakili oleh
berbagai klasifikasi kimia. Obat-obat ini
memiliki efek analgesik, anti-inflamasi,
dan inbihisi platelet. 1
Tabel 4. Klasifikasi Kimia Obat Anti-inflamasi
Nonsteroid Nonspesifik
Asam karboksilat
Asetilasi: aspirin
Nonasetilasi:
sodium
salisilat,
salisilamid, diflunisal
Asam asetat
Indometasin, sulinda, tolmetin
Asam propionat
Ibuprofen, naproxen, fenoprofen,
ketoprofen
Pirolopirol
Ketorolac

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Aspirin (Asam Asetilsalisilat)


Aspirin adalah contoh salisilat yang
menghasilkan efek analgesia melalui
kemampuannya yaitu ireversibel enzim
COX asetilat, yang mengarah pada
penurunan
sintesis
dan
pelepasan
1
prostaglandin.
Aspirin diabsorpsi cepat dari usus halus
dan lambung1,8. Laju absorpsi dipengaruhi
oleh laju disolusi tablet yang diberikan
dan waktu pengosongan lambung. Jika pH
lambung meningkat, aspirin lebih
terionisasi dan laju absorpsi menurun.
Keberadaan makanan juga memperlambat
absorpsi dari saluran cerna1
Aspirin lebih sering digunakan sebagai (a)
analgesik untuk menghilangkan nyeri
simptomatik dari nyeri berintensitas
rendah yang berkaitan dengan sakit kepala
dan kelainan muskuloskeletal, seperti
osteoartritis atau artritis reumatoid; (b)
antipiretik; dan (c) obat anti-platelet untuk
pencegahan infark myokard dan bentukbentuk tertentu dari stroke iskemik1
Efek samping mayor dari terapi aspirin
berkaitan dengan disfungsi saluran
gastrointestinal dan inhibisi fungsi

atau hemofilia karena inhibisi agregasi


platelet pada pasien-pasien ini dapat
berakibat perdarahan. 1
Praktik menghentikan aspirin selama masa
preoperatif mungkin tidak perlu karena
efek
yang
dipicu
aspirin
yang
direfleksikan dengan waktu perdarahan
kebanyakan akan menghilang dalam 48
jam. 1

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

platelet. Efek samping lain meliputi


stimulasi SSP, disfungsi hepar dan ginjal,
perubahan metabolik, efek uterus, dan
reaksi alergi1
Intoleransi gastrointestinal adalah efek
samping
tersering
aspirin
dan
berhubungan
dengan
dosis
yang
diberikan. Diduga, aspirin memicu
penurunan sintesis prostaglandin, yang
seharusnya menghambat sekresi asam
lambung, sehingga berkontribusi pada
ulserasi mukosa lambung1
Aspirin memicu defek fungsional yang
berlangsung lama pada platelet yang
secara
klinis
dideteksi
dengan
perpanjangan
waktu
perdarahan.
Disfungsi platelet ini merefleksikan
prevensi pembentukan tromboksan, yang
merupakan stimulan kuat untuk agregasi
platelet. Lebih jauh lagi, dosis besar
aspirin yang diberikan secra kronis
menurunkan
produksi
protrombin,
mengarah pada perpanjangan waktu
protrombin. Aspirin harus dihindari pada
pasien dengan disfungsi hepar berat,
defisiensi vitamin K, hipoprotrombinemia,

Dosis berlebih aspirin dapat memproduksi


stimulasi pada SSP yang bermanifestasi
pada
hiperventilasi
dan
kejang.
Hiperventilasi disebabkan oleh stimulasi
langsung pada pusat ventilasi medulla. 1
Salisilat dapat diasosiasikan dengan
peningkatan konsentrasi plasma enzim
transaminase, mengindikasikan kerusakan
hepar yang biasanya reversibel. Pasien

200

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan penyakit hepar yang sudah ada


sebelumnya lebih mudah mengalami
perubahan fungsi hepar sebagai respon
terhadap salisilat. 1
Sebaliknya dengan NSAID lain (terutama
asetaminofen), penggunaan aspirin kronik
tidak menunjukkan peningkatan insidensi
ESRD1 Dosis besar salisilat dapat
menyebabkan
hiperglikemia
dan
glikosuria dan dapat mengurangi glikogen
hepar
dan
otot
skelet.
Salisilat
menurunkan
lipogenesis
dengan
menghalangi inkorporasi asam lemak
bebas secara parsial. 1
Perpanjangan waktu melahirkan karena
salisilat
mungkin
merefleksikan
kehilangan efek prostaglandin pda
ureterotropik normal. Aspirin biasanya
dihentikan
sebelum
waktu
yang
diantisipasi sebagai waktu melahirkan
untuk
mencegah
waktu
kelahiran
memanjang atau peningkatan perdarahan
postpartum1
Reaksi alergi terhadap aspirin, walau
jarang,
dapat
mengancam
jiwa.
Manifestasi klinik dapat timbul beberapa
menit setelah ingesti dan dapat meliputi
rinitis vasomotor, edem laringeal,
bronkokonstriksi,
dan
kolaps
1
kardiovaskular
Asma yang dipicu aspirin terjadi dalam 8
20% dari semua asma dewasa (Spector
dkk, 1979). Insidensi asma yang dipicu
aspirin bahkan lebih besar pada pasien
asmatik yang juga mengalami rinosinusitis
atau memiliki riwayat polip nasal. Asma
yang dipicu aspirin biasanya terjadi dalam
satu jam setelah ingesti aspirin atau
201

NSAID lain (lihat bagian Ketorolak) dan


dapat disertai dengan bronkospasme dan
hipotensi yang mengancam jiwa. 1
Asetaminofen
Asetaminofen merupakan analgesik dan
antipiretik yang digunakan secara luas
yang ada dalam banyak produk preskripsi
dan dijual bebas. Walau asetaminofen
digunakan untuk mengobati kondisi yang
mirip, ia tidak dipertimbangkan sebagai
NSAID murni karena tidak adanya efek
anti-inflamasi yang signifikan. Pada dosis
oral 325 650mg tiap 4 6 jam,
asetaminofen berguna sebagai alternatif
aspirin sebagai analgesik dan antipiretik,
terutama pada pasien anak dan pada
pasien yang tidak dianjurka minum
salisilat (penyakit ulkus peptikum) atau
pada orang yang tidak boleh mengalami
perpanjangan waktu perdarahan. Tidak
seperti salisilat, asetaminofen tidak
menimbulkan iritasi lambung, mengubah
karakteristik agregasi platelet. 1
Absorpsi sistemik asetaminofen setelah
pemberian secara oral hampir lengkap,
dan ikatan signifikan dengan protein
serum tidak terjadi. Asetaminofen diubah
dengan konjugasi dan hidroksilasi dalam
hepar menjadi metabolit tak aktif dengan
hanya sejumlah kecil obat yang
diekskresikan utuh.1
Nekrosis hepatik dan kematian dapat
menyertai pemberian dosis tunggal
asetaminofen >15g. Pada dewasa sehat,
toksisitas hepatik dapat terjadi ketika
dosis harian asetaminofen melebihi 4g.
Dosis tinggi asetaminofen menyebabkan
terbentuknya
N-asetil-p-benzokuinon,
Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

yang
diduga
berperan
dalam
1
hepatotoksisitas.
Secara genetik keterbatasan tetap pada
metabolisme
fenasetin
menjadi
asetaminofen menyebabkan pembentukan
metabolit lain yang memiliki potensi
untuk memproduksi methemoglobinemia
dan hemolisis. Sebagai contoh, fenasetin
dapat menyebabkan methemoglobinemia
dan anemia hemolitik pada pasien dengan
defisiensi genetik berupa defisiensi
glukosa-6-fosfat
dalam
eritrosit.
Hemolisis
dan
jaundice
yang
mengikutinya
berasosiasi
dengan
pemberian obat ini pada pasien dengan
defisiensi genetik enzim ini dalam eritrosit
diduga
karena
metabolit
yang
mengoksidasi glutation dan komponen
membran eritrosit, mengarah pada
perpendekan masa hidup eritrosit.1
Diflunisal
Diflunisal adalah derivat asam salisilat
berfluorin yang berbeda secara kimia dari
salisilat tetapi memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan anti-inflamasi. Efek
samping tersering diflunisal adalah
nausea,
muntah,
dan
iritasi
gastrointestinal. Efek diflunisal pada

fungsi platelet dan waktu perdarahan


bergantung dosis, tetapi kebalikan dari
aspirin, reversibel. 1

serupa. Obat aslinya tidak aktif (prodrug)


tetapi akan direduksi in vivo menjadi
bentuk sulfida, yang memiliki efek
farmakologik. Klirens metabolit aktif dari
plasma lambat, terutama ke dalam
empedu, dengan waktu paruh eliminasi
sekitar 16 jam. Efek samping termasuk
inhibisi
agregasi
platelet,
iritasi
gastrointestinal, disfungsi ginjal dan
perubahan tes fungsi hepar. Diduga bahwa
karena
sulindac
tampaknya
tidak
mempengaruhi sintesis prostaglandin

ginjal seperti NSAID lainnya, maka dapat


dipilih untuk pasien dengan penyakit
ginjal atau perfusi ginjal terganggu,
seperti pada penderita hipovolemik
(Ciabattoni dkk, 1987). Tetapi, lainnya
gagal untuk memperlihatkan kenuntungan
sulindac dalam situasi ini (Roberts dkk,
1985). 1

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Indometasin
Indometasin
adalah
derivat
indol
termetilasi dengan efek analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi yang
sebanding dengan salisilat. Obat ini adalah
salah satu inhibitor enzim COX terkuat
yang diketahui. 1
Efek
samping
berat
membatasi
penggunaan
obat
ini.
Gangguan
gastrointestinal dan sakit kepala frontal
berat
sering
terjadi.
Indometasin
menghambat agregasi platelet. Reaksi
alergi dapat terjadi. Tes fungsi hepar dapat
menjadi abnormal, dan pasien dengan
penyakit ginjal sebelumnya dapat
mengalami
eksaserbasi.Neutropenia,
trombositopenia, dan anemia aplastik
jarang terjadi. 1
Sulindac
Sulindac adalah analog substitusi untuk
indometasin dan memiliki efek analgesik,
antipiretik, dan anti-inflamasi yang

Tolmetin
Tolmetin
adalah
obat
analgesik,
antipiretik, dan anti-inflamasi yang seperti
salisilat, menyebabkan iritasi lambug dan
202

Jurnal Anestesiologi Indonesia

memperpanjang waktu perdarahan. Ia


lebih kuat dari salisilat dan kurang kuat
dibanding indometasin atau fenilbutazon.
Setelah pemberian oral, absorpsinya cepat
dan ikatan dengan protein plasma besar
(99%). Kebanyakan tolmetin dibuat tidak
aktif oleh dekarboksilasi. 1
Derivat Asam Propionat
Ibuprofen, naproxen, dan diklofenak
adalah derivat asam propionat dengan
efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang jelas, merefleksikan
inhibisi sintesis prostaglandin. 1
Ibuprofen dieliminasi primer oleh
metabolisme menjadi konjugat hidroksil
atau karboksil dengan <1% dari obat
muncul utuh dalam urin. Naproxen
dimetabolisme oleh dealkilasi oleh
sitokrom P450 dan <10% diekskresikan
utuh dalam urin. Diklofenak dieliminasi
dengan metabolisme menjadi konjugat
glukuronat, hidroksi, dan sulfat yang
diikuti oleh ekskresi dalam urin dan
empedu. Eliminasinya cepat dengan 90%
klirens terjadi dalam 3 4 jam dan <1%
muncul utuh dalam urin. 1
Iritasi gastrointestinal dan ulserasi mukosa
biasanya tidak seberat iritasi dan ulserasi
yang menyertai pemberian salisilat.
Fungsi platelet berubah tetapi durasi
inhibisi COX bervariasi dengan obat
spesifik. Inhibisi sintesis prostaglandin
dapat mengeksaserbasi disfungsi ginjal
pada pasien dengan penyakit ginjal
sebelumnya dimana prostaglandin penting
untuk mempertahankan aliran darah
ginjal. Harus diasumsikan bahwa tiap
pasien yang hipersensitif terhadap salisilat

203

mungkin juga alergi pada derivat asam


propionat1
Interaksi obat sering merefleksikan ikatan
yang luas dengan plasma protein antara
albumin dengan derivat asam propionat.
Sebagai contoh, dosis warfarin harus
diturunkan
karena
dapat
terjadi
pelepasannya dari lokasi ikatan protein
dalam
agregasi
platelet.
Kecuali
ibuprofen,
diduga
karena
hanya
menempati sedikit lokasi ikatan pada
albumin. Supresi hematopoietik yang
ditandai dengan agranulositosis dan
aplasia granulositik sumsum tulang
diasosiasikan dengan pemberian ibuprofen
kronik (Mamua dkk, 1986). 1
Fenilbutazon
Karena toksisitasnya, obat ini harus
diberikan hanya dalam waktu pendek
yang tidak melebihi 7 hari. Tentunya
fenilbutazon tidak boleh digunakan secara
rutin sebagai analgetik atau antipiretik. 1
Fenilbutazon diserap cepat dan utuh dari
saluran cerna. Ikatan protein plasma
mencapai 98%. Metabolisme fenilbutazon
luas, mencakup glukuronidasi dan
hidroksilasi cincin fenil pada sisi rantai
butil. Oxifenbutazon adalah metabolit
fenilbutazon dengan aktivitas antiinflamasi seperti obat aslinya. 1
Efek samping serius terapi fenilbutazon
sering terjadi dan meliputi anemia dan
agranulositosis,
yang
membatasi
penggunaan obat ini. Nausea, muntah,
nyeri epigastrium, dan rash kulit sering
terjadi. Fenilbutazon menyebabkan retensi
natrium signifikan karena efek langsung
reversibel pada tubulus ginjal. Efek
Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

tubulus ginjal ini disertai dengan


penurunan keluaran urin. Volume plasma
meningkat hingga sebesar 50% dan edem
paru dapat terjadi pada pasien dengan
fungsi jantung buruk. Penambahan berat
badan dan munculnya anemia dilusional
merefleksikan retensi cairan yang dipicu
obat. 1
Fenilbutazon menggantikan obat termasuk
warfarin,
hipoglikemik
oral
dan
sulfonamid dari lokasi ikatan protein.
Peningkatan perdarahan dapat terjadi
ketika fenilbutazon dan warfarin atau
aspirin
diberikan
bersamaan.
Tergantikannya hormon tiroid dari lokasi
ikatan protein memberi komplikasi
interpretasi tes fungsi tiroid. Fenilbutazon
menurunkan ambilan yodium dari kelenjar
tiroid, diduga karena inhibisi sintesis
senyawa yodium organik. 1
Piroksikam
Piroksikam berbeda secara kimia dengan
NSAID lain tetapi memiliki efek
farmakologik yang mirip. Seperti salisilat,
obat
ini
menghambat
sintesis
prostaglandin. Pemberian 20 mg dosis
tunggal atau dosis terbagi memberikan
efek yang lebih panjang. Ikatan protein
kuat (99%) dapat menggantikan obat lain
seperti aspirin atau antikoagulan oral dari
lokasi ikatan albumin.1
Ketorolak
Ketorolak adalah NSAID yang memiliki
efek analgesik kuat tetapi hanya memiliki
aktivitas anti-inflamasi sedang bila
diberikan IM atau IV. Obat ini berguna
untuk memberikan analgesia pasca

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

operatif baik sebagai obat tunggal


(prosedur yang cenderung tidak terlalu
menyakitkan) dan sebagai suplemen bagi
opioid. 1,8
Ketorolak 30 mg IM menghasilkan
analgesia yang setara dengan 10 mg
morfin atau 100 mg meperidin. 1,2
Keuntungan penting analgesik yang dipicu
ketorolak adalah tidak adanya depresi
ventilasi atau kardiovaskular. Juga tidak
seperti opioid, ketorolak hanya memiliki
sedikit atau tidak ada efek pada dinamika
saluran empedu, menjadikan obat ini lebih
berguna sebagai analgesik ketika tidak
diinginkan spasme saluran empedu. 1
Setelah injeksi IM, konsentrasi plasma
maksimum keterolak dicapai dalam 4560
menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 5
jam (Jung dkk, 1987). Ikatan protein
melebihi 99% dan klirens obat ini
menurun dibandingkan dengan opioid.
Klirens lebih menurun lagi pada orang
lanjut usia, dan dosis ketorola harus lebih
sedikit dari yang diberikan pada pasien
yang
lebih
muda.
Ketorolak
dimetabolisme terutama oleh konjugasi
asam glukuronat. 1
Seperti NSAID lain, ketorolak juga
menghambat produksi tromboksan platelet
dan agregasi platelet dengan inhibisi
prostaglandin sintetase reversibel. Waktu
perdarahan dapat meningkat dengan
pemberian ketorolac dosis tunggal IV
pada pasien dengan anestesi spinal (level
sensori T6) tetapi tidak dengan anestesi
umum.1 Bronkospasme yang mengancam
jiwa dapat mengikuti pemberian ketorolak
pada pasien dengan poliposis nasal, asma

204

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan sensitif aspirin. 1 Ketorolak


tampaknya memiliki potensi kecil untuk
menyebabkan toksisitas ginjal ketika
imbang cairan adekuat dipertahankan. 1
Peningkatan ringan konsentrasi plasma
enzim transaminase hepar dapat terjadi
pada beberapa pasien yang mendapat
terapi ketorolac. Iritasi dan perforasi
gastrointestinal, nausea, sedasi, dan edem
perifer dapat menyertai pemberian NSAID
ini. 1,9
Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai
analgesik; sebagai anti inflamasi, asam
mefenamat kurang efektif dibandingkan
aspirin. Asam mefenamat terikat sangat
kuat pada protein plasma. Efek samping
terhadap saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsi, diare sampai diare
berdarah dan gejala iritasi lain terhadap
mucosa lambung. Pada orang usia lanjut
efek samping diare hebat lebih sering
dilaporkan. Efek samping lain yang
berdasarkan hipersensitivitas ialah eritema
kulit dan bronkokonstriksi. Anemia
hemolitik pernah dilaporkan.10
Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali
250-500 mg sehari. Karena efek toksiknya
maka di amerika serikat obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan kepada anak
dibawah 14 tahun dan wanita hamil, dan
pemberian tidak melebihi 7 hari.
Penelitian klinis menyimpulkan bahwa
penggunaan selama haid mengurangi
kehilangan darah secara bermakna.10
DAFTAR PUSTAKA
1.

205

Stoelting R K, Hillier S C. Opioid


Agonists
and
Antagonists,
Local

Anesthetics, Cyclooxygenase-2 Inhibitor


and
Nonspecific
Nonsteroidal
Antiinflammatory
Drugs.
In:
Pharmacology
&
Physiology
in
Anesthetic Practice. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 87126, 180-195, 276-288.
2. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R.
Tatalaksana Nyeri. Petunjuk praktis
anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta:
Bagian anestesiologi dan terapi intensif
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Indonesia, 2009; 78, 130.
3. Omoigui S. Morfin Sulfat. Dalam: Setio
M, ed. Buku Saku Obat-Obat Anestesia.
Edisi 2. Jakarta: EGC, 1997; 251
4. Pahlevi R. Mekanisme Nyeri [homepage
on the internet]. c2011 [update 2011 Mar
24; cited 2011 Apr 26]. Available from
http://semangatcalondokter.blogspot.com/
2011/03/mekamisme-nyeri.html
5. Morgan G E, Mikhail M S, Murray M J.
The Anesthesia Machine. In: Clinical
anesthesiology. 4th ed. New York: Mc
Graw-Hill companies, 2006; 44.
6. McQuillan P M, Allman K G, Wilson I H.
Acute Pain. In: Oxford American
Handbook of Anesthesiology. 2nd ed. New
York: Oxford University Press, 2006;
1072.
7. Patofisiologi
dan
Blokade
Nyeri
[homepage on the internet]. c2009
[update 2009 Apr 1; cited 2011 Apr 6].
Available
from
http://asramamedicafkunhas.blogspot.com
/2009/04/patofisiologi-dan-blokadenyeri.html
8. Wagner W, Khanna P, Furst D E.
Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs,
Disease Modifying Antirheumatic Drugs,
Nonopioid Analgesics & Drugs Used in
Gout. In: Katzung B G, ed. Basic &
Clinical Pharmacology. 9th ed. Singapore:
McGraw-Hill, 2004; 578,586.
9. Whitney C, Vaivelu N. Acute Pain
Management. In: Urman R D, Ehrenfeld J
M, ed. Pocket anesthesia. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009; 123.
10. Wilmana P F, Gunawan S G. Analgesik
Antipiretik, Analgesik Anti Inflamasi
Non Steroid dan Obat Gangguan Sendi
lainnya. Dalam: Gunawan S G, Nafriandi
R S, Elysabeth, ed. Farmakologi dan
terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2009; 240.

Volume III, Nomor 3, Tahun 2011

Anda mungkin juga menyukai