Anda di halaman 1dari 48

KOMISI NASIONAL

A N T I K E K E R A SA N T E R HA DA P PE R E MPUA N

Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di


Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang
Catatan KtP Tahun 2009

CATATAN TAHUNAN
TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Jakar ta, 7 Maret 2010

Tim Penulis:
.Asmaul Khusnaeny, Dahlia Madani, Diah Irawaty, Dwi Ayu Kartika, Iva Kasuma,
Manna Nababan, Saherman, Soraya Ramli.
Tim Data dan Riset:
Atiyatun Khomisah, Betty Sitanggang, Dian Girsang, Heru Prasadja, Yustina
Rostiawati, Nenny Ayuni, Siti Nurjannah, Sri Candra Wulaningsih.
Tim Diskusi:
Arimbi Heroepoetri, Andy Yentriani, Yustina Rostiawati, Yuniyanti Chuzaifah,

Kunthi Tridewiyanti.

DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi

38

Daftar Singkatan

Ringkasan Eksekutif

Pengantar

Metodologi

Gambaran Umum

Kecenderungan Jumlah Korban KTP yang meningkat


Pola KTP Tahun 2009: Kekerasan Seksual & Psikis
Kekerasan di Ranah Komunitas
Kekerasan yang berkaitan dengan negara
Penanganan: Kapasitas Lembaga & Implementasi Perangkat Hukum

9
11
12

Kapasitas Lembaga Pengada Layanan

12

Implementasi UUPKDRT & Perangkat Hukum Lain

13

Bentuk & Pola KTP

13

Pengkerdilan Hak Politik dan Kelembagaan Perempuan

13

Perempuan Pekerja Migran

17

Jaminan HAM Bagi Perempuan Pembela HAM

20

Kasus Konflik SDA

20

Perkawinan yang tidk Dicatatkan

21

Kebijakan Dearah Diskriminatif

22

Akses Perempuan terhadap Keadilam, Layanan Kesehatan &


Pendidikan

27

Kekerasan oleh Pejabat Publik

30

Kekerasan Media

30

Terobosan Kebijakan

32

Penanganan: Penguatan Layanan Bagi Perempuan Korban

34

Kesimpulan

36

Rekomendasi

37

DAFTAR SINGKATAN
ABMI
APPS
APM
BKBP
BNP2TKI
DPR
DPD
FOKBURAS
FPPA
FPMPSS
JARAK
KDP
KDRT
Kejati
KJRI
KMP
KMS
KOM
KTAP
KTI
KTP
KUHP
LAPPAN
LBH
LKTS
LPHP-A
LKBH PeKKa
LSM
MA
MoU
MS
MUI
P2TP2A
P3A
PBHI
PBMI
PT
PA
PN
PNS
Polda
Polres
Polsek
RPUK
SDM
SKB
SP3
SPM
UPPA
WCC

: Advokasi Buruh Migran Indonesia


: Aliansi Perempuan Sukowati
: Aliansi Perempuan Merangin
: Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan
: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
: Dewan Perwakilan Rakyat
: Dewan Perwakilan Daerah
: Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat
: Forum Peduli Anak Atambua
: Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan
: Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia
: Kekerasan di tempat Kerja
: Kekerasan Dalam Rumah Tangga
: Kejaksaan Tinggi
: Konsulat Jendral Republik Indonesian
: Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar
: Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami
: Komunitas
: Kekerasan Terhadap Anak Perempuan
: Kekerasan Terhadap Istri
: Kekerasan Terhadap Perempuan
: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
: Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak
: Lembaga Bantuan Hukum
: Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial
: Lembaga Perlindungan Hak Perempuan dan Anak
: Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga
: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Mahkamah Agung
: Memorandum of Understanding
: Mahkamah Syariah
: Majelis Ulama Indonesia
: Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
: Pusat Pelayanan Perempuan dan Anak
: Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
: Pemerhati Buruh Migran Indonesia
: Pengadilan Tinggi
: Pengadilan Agama
: Pengadilan Negeri
: Pegawai Negeri Sipil
: Kepolisian Daerah
: Kepolisian Resort
: Kepolisian Sektor
: Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan
: Sumber Daya Manusia
: Surat Keputusan Bersama
: Surat Perintah Peghentian Penyelidikan
: Standar Pelayanan Minimal
: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
: Women Crisis Centre

Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi


Kekuasaan yang Timpang
RI N GK A S A N E K S E K U T I F

Catatan tahunan 2010 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2009 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
catatan tahunan ini merupakan kompilasi data dari lembaga mitra pengada layanan,
berjumlah 269 lembaga yang memberikan responnya.
Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun
(tahun 2001 2008). Tahun 2009 ini, peningkatan jumlah KTP mencapai 143.586 kasus
atau naik 263% dari jumlah KTP tahun lalu (54.425). Seperti tahun lalu, peningkatan
jumlah kasus ini pertama-tama dikarenakan kemudahan akses data Pengadilan Agama (PA)
sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Selain itu ditengarai peningkatan ini
berkaitan dengan sejumlah faktor lain yang mendorong korban lebih mudah bicara atau
membuka kasus kekerasan yang dialaminya, seperti belakangan ini banyak kasus kekerasan
terhadap perempuan dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan
media cetak). Dan biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal
oleh masyarakat secara luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang
cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain
untuk lebih berani membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara
umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan
lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka
pengalaman tindak kekerasan.
Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun ini adalah kekerasan psikis dan seksual
terjadi di tiga ranah yaitu keluarga/relasi personal, komunitas dan negara. Korban
KDRT/RP yang cukup menonjol tahun ini adalah kekerasan terhadap istri (96%). Dan usia
korban cenderung lebih muda (dari kelompok usia 13 18 tahun, usia anak). Karakteristik
usia pelaku sama dengan tahun sebelumnya, yaitu antara usia produktif: 25 40 tahun.
Di tingkat kebijakan sejumlah terobosan sudah dilakukan pemerintah, yaitu amandemen
UU Kesehatan yang mengakui adanya hak reproduksi perempuan, Peraturan Kapolri No. 8
Thun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian, MOU
antara 5 lembaga negara dalam rangka perlindungan saksi korban. Pada tahun ini
berdasarkan data dari lembaga pengada layanan juga diketahui semakin banyak lembaga
yang menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus, khususnya Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama.

PE N G A N TAR

Setiap tahunnya, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan tentang


Kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang terjadi sepanjang tahun itu. Untuk tahun 2009,
seperti biasanya data didapat dari seluruh mitra Komnas Perempuan yang lebih menangani
korban KtP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian
merujuk ke lembaga mitra lain yang memiliki kapasitas penanganan kasus.
Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah memiliki standar formulir pengisian untuk
pencatatan data. Data standar yang dipantau adalah tentang kondisi lembaga-lembaga
pengada layanan, hambatan yang dihadapi dalam pencatatan, juga dalam penanganan kasus.
Formulir pengisian ini setiap tahunnya akan dievaluasi dalam lokakarya bersama lembagalembaga mitra yang telah terbiasa mengisi formulir, maupun dengan lembaga pengada
layanan yang belum menjadi mitra Komnas Perempuan. Tujuannya adalah, selain mendapat
masukan atas format formulir, juga untuk meningkatkan kerja sama dan komunikasi antar
lembaga. Untuk tahun 2009, lokakarya diadakan di dua wilayah: Bali, yang mencakup
lembaga mitra di Bali, Jawa, Ambon, dan Papua, serta Palembang (mencakup mitra di
wilayah Sumatera).
Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima 166 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh. Fenomena ini telah Komnas
Perempuan amati sejak tahun 2006, di mana sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dilakukan oleh pejabat publik dan aparat Negara.
Di tahun 2007 sebanyak 552 kasus, sementara sepanjang tahun 2008 mencapai 784 kasus
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik/ tokoh
masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini bahwa masih
banyak korban yang diam/ menutup mulut, karena penanganan korban, baik dari aspek
hukum, sosial maupun kebijakan institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun
dengan baik. Ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan
korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.
Komnas Perempuan juga mengucapkan terima kasih kepada para individu di dalam
lembaga tersebut di atas yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melengkapi
formulir isian yang telah dikirimkan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para
pengolah data, penulis, tim diskusi, dan tim pendukung logistik yang bekerja sampai detik
terakhir untuk memastikan laporan ini tersedia tepat waktu.
Akhirnya, melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus-menerus
diharapkan dapat teridentifikasi besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap
perempuan. Pada akhirnya, dapat menjadi rujukan bagi semua elemen bangsa untuk menilai
capaian bangsa ini dalam menangani dan mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.

M E TO D O L O GI

Sumber data catatan tahunan Komnas Perempuan adalah kasus yang ditangani oleh
lembaga mitra pengada layanan. Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mengundang
partisipasi dari lembaga pengada layanan dengan mengirimkan formulir pendataan dan
lembaga layanan memberikan responnya dengan mengisi dan mengembalikan formulir
lewat pos, fax, maupun email. Komnas Perempuan akan melakukan verifikasi data dengan
menghubungi lembaga mitra dimaksud lewat telpon dan/atau email. Jadi, pada prinsipnya
data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra
selama (dalam) tahun bersangkutan.

Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon


pada tahun ini dilakukan terlambat, yaitu pada bulan
Desember 2009 dan awal Januari 2010. Keterlambatan ini dikarena-kan masalah teknis
Komnas Perempuan yang menjelang akhir tahun 2009 mempunyai acara nasional berkaitan
dengan pertanggungjawaban publik dan serah terima komisioner sehubungan dengan
selesainya masa tugas komisione periode 2007 2009. Selain itu, perlu penyesuaian
pemanfaatn APBN (waktu pencairan APBN berbeda dengan waktu seharusnya formulir
Catahu dikirim ke lembaga mitra). Akhirnya, formulir disebarkan ke sejumlah 1.173
lembaga mitra dan mendapat respon dari 269 lembaga (23%). Sama seperti tahun-tahun
sebelumnya,
kendala
utama
memberikan
respon
berkaitan
Penyebaran dan Penerimaan Formulir Menurut Wilayah
dengan keterbatasan SDM (dalam
Catahu 2009
hal jumlah dan kapasitas) serta
sarana-prasarana yang dimiliki oleh
lembaga dalam rangka melakukan
pendataan. Alasan lain yang
seringkali juga dikemukakan oleh
lembaga mitra sehubungan dengan
keterlambatan ini adalah sulitnya
Sumate
Kalima
Sulawe
mengkonversi data yang dicatat
Jawa
Bali NTB NTT
Maluku Papua
Aceh
ra
ntan
si
lembaga ke dalam formulir data
Sebar
65
278 456 100
26
30
37
125
28
28
Komnas Perempuan.
PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR

Terima

49

123

29

10

21

Jika melihat respon per wilayah,


maka dapat diketahui respon
lembaga mitra di NTB dan Bali (33% dan 31%). Respon lembaga mitra di wilayah
Kalimantan, Jawa, Maluku, Papua, dan
Penyebaran & Penerimaan Formulir Menurut Lembaga
NTT di atas 25%. Dan lembaga mitra
Catahu 2009
di wilayah Sumatera, Sulawesi dan
NAD di bawah 20%.

Tingkat respon menurut lembaga


mitra dapat dilihat pada grafik di
samping. Respon paling tinggi
diperoleh dari P2TP2A (69%), dan
terendah dari RPTC (0). Tahun ini ada
lembaga yang tidak dikirimi formulir

Kej

Kej Keja UPP


P2TP Pem
LSM MS
PA
N
ti
A
2A da

PN

PT PTA RS

RPT
C

sebar

31 138 203

13

378 349

57

terima

76

16

10

12

24

53

61

tetapi turut berpartisipasi, seperti: kejaksaan, kejaksaan negeri, mahkamah syariah, pemda,
pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi agama.
Sama dengan tahun yang lalu, pada tahun ini Komnas Perempuan mendapatkan
kemudahan mengakses data pengadilan (agama dan negeri PA dan PN) lewat situs web
(website). Hal ini berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI
No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan
SK ini, telah banyak Pengadilan membuka akses data lewat situsnya.

Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan


Menurut data yang dilaporkan oleh lembaga mitra, kasus KTP diperoleh dari beragam
sumber seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Sumber yang paling banyak ditangani oleh
lembaga adalah korban yang datang sendiri (6.953). Selain itu ada kasus rujukan dari
lembaga lain mencapai (1.725), dari saksi/pelapor (635), lewat telpon (227), sumber lain
(360) dan follow up dari media (85).

Kategori Lembaga

Kejaksaan Negeri
Kepol i si an
LSM
P2TP2A
Pemda
Pengadi l an Agama
Pengadi l an Negeri
Pengadi l an Ti nggi
Rumah Saki t
Total

Rujukan
Lapor l ewat Fol l ow up
l embaga
Tel epon
dr medi a
l ai n (n=1725)
(n=227)
(n=85)
%
%
%
0,00
0,00
0,00
24,70
0,44
0,00
32,70
91,63
89,41
3,71
3,96
0,00
0,58
0,00
0,00
1,51
0,88
0,00
9,10
0,00
0,00
0,35
0,00
0,00
27,36
3,08
10,59
100,00
100,00
100,00

Saksi ,
Pel apor
(n=635)
%
0,31
31,97
41,57
1,42
0,00
17,17
1,73
4,41
1,42
100,00

Korban
Sumber
sendi ri
Lai n
(n=6953)
(n=360)
%
%
0,04
0,00
4,20
1,1
28,71
91,7
0,16
7,2
0,00
0,00
65,58
0,00
0,20
0,00
0,00
0,00
1,11
0,00
100,00
100,0

Mencermati data di atas, dapat diperoleh informasi kemungkinan perkembangan kerja sama
antar lembaga boleh dikatakan meningkat dibandingkan tahun lalu. Khusus mengenai
rujukan ini jika ditelusuri data yang ada diperoleh informasi bahwa ada sejumlah lembaga
yang menerima dan kemungkinan saling menerima serta merujukkan kasus, yaitu:
kepolisian (UUPA), LSM, rumah sakit, dan pengadilan negeri.
Seperti pada tahun lalu, data juga menunjukkan korban banyak datang sendiri ke Pengadilan
Agama (66% dari seluruh korban yang datang ke semua kategori lembaga), dan ada 29%
korban datang sendiri ke LSM.
Setiap tahunnya, banyak korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan. Oleh karena
itu, meskipun tidak mempunyai mandat pendampingan, Komnas Perempuan sejak tiga
tahun yang lalu (tahun 2005) Komnas Perempuan mengembangkan Unit Pelayanan
Rujukan (UPR) yang fungsinya menerima korban dan merujuk ke lembaga mitra. Pada
tahun ini, korban yang datang mengadu ke Komnas Perempuan sejumlah 923 kasus dan di
antara korban tersebut banyak kasus kekerasan yang tidak berbasis gender. Komnas
Perempuan sedapat mungkin merujuk korban yang datang ke lembaga mitra dan/atau
menindaklanjutinya dalam rangka memberikan dukungan korban dimana desakan kepada
lembaga-lembaga terkait dimana perlu.

G A M B A R A N U M U M : DA TA K T P TA H U N 2 0 0 9

Kecenderungan Jumlah Korban (KTP) yang meningkat


Jumlah Kasus KTP
(tahun 2001 - 2009)

Jumlah
korban
kasus
kekersan terhadap perempuan
pada tahun ini mencapai
143.586 (orang). Angka ini
meningkat
sebesar
263%
dibandingkan
tahun
lalu
(54.425 korban).

143586

Jika melihat data korban


(yang ditangani oleh lembaga
mitra) dari tahun ke tahun
20391 22512 25522
14020
mengalami
kecenderungan
3169 5163 7787
meningkat
cukup
tajam.
Keadaan
ini
berkaitan
dengan
Thn. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
teknis pengumpulan data dan
ditengarai ada sejumlah faktor
yang mendorong korban lebih mudah bicara atau membuka kasus kekerasan yang
dialaminya. Seperti dijelaskan terdahulu, secara teknis, data dari sejumlah lembaga lebih
mudah diakses lewat situs web dan/atau cara lain sehingga berdampak pada lebih banyak
kasus (korban) yang dapat dicatat.
54425

Beberapa tahun belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan
mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya
yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal oleh masyarakat secara luas
(kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali).
Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih berani
membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka
terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima
(tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak
kekerasan.
Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di bawah ini menunjukkan jumlah korban
kekerasan terhadap perempuan terbanyak ada di wilayah Jawa (123.774) Jawa Timur
(88.836), DKI Jakarta (12.955), dan DIY (10.560). Jumlah korban kedua terbanyak di
Jumlah Kasus KTP Menurut WIlayah
(CATAHU 2009)

NAD
Jumlah

280

Sumate
Kalima
Jawa
Bali
ra
ntan
8987 123774 4632

858

NTB

NTT

1172

954

Sulawe
Maluku Papua
si
2301

347

281

wilayah Sumatera (8.987), kemudian Kalimantan (4.632) dan Sulawesi (2.301). Berdeasarkan
data yang diterima dari tahun ke tahun memang jelas terlihat bahwa lembaga mitra paling
banyak (dari segi sebaran maupun yang memberikan respon) berada di tiga wilayah ini
(Jawa, Sumatera dan Kalimantan). Keberadaan lembaga pengada layanan ini memudahkan
akses korban yang membutuhkan bantuan (dalam bentuk apa pun), seperti diungkapkan
dalam data mengenai hambatan penanganan kasus. Dan bila mencermati data lebih lanjut,
keberadaan lembaga pengada layanan menjadi signifikan: dari jumlah kasus rata-rata yang
diterima oleh lembaga pengada layanan di wilayah Jawa, misalnya, yang mencapai 1000
kasus per lembaga dalam setahun dibandingkan dengan lembaga pengada layanan di
wilayah Papua yang menerima kasus antara 40 45 kasus per tahun.

Jumlah Korban KTP Menurut Bentuk Kekerasan


Sama dengan catatan tahuntahun yang lalu, jumlah
Jumlah KTP Menurut Bentuk Kekerasan
korban kekerasan dalam
(CATAHU 2009)
rumah tangga dan relasi
Komunitas;
personal paling tinggi (95%)
Keluarga dan
6683
dibandingkan dengan kedua
Relasi Personal
136849
bentuk KTP yang lain
(kekerasan di komunitas dan
kekerasan berkaitan dengan
Peran Negara
54
peran negara). Kekerasan
terhadap perempuan di
ranah komunitas tercatat
hampir 5% pada tahun 2009
dan KTP yang berkaitan dengan peran negara tercatat kurang dari 1% (ada 54 korban).
Apabila melihat sebaran KTP menurut wilayah dan bentuknya, maka dapat dibaca seperti
pada tabel berikut.
Data ini menunjukkan sebaran KTP menurut
wilayah dan bentuknya: di Jawa paling banyak
terdapat KTP di ranah rumah tangga/relasi
personal (120.326) dan di komunitas (3.429).
Jumlah KDRT/RP dan Komunitas kedua
terbanyak dijumpai di Sumatera, serta ketiga
terbanyak di Sulawesi. Sedangkan bentuk
KTP berkaitan dengan peran negara lebih
dari separuhnya (29 kasus dari 54) terjadi di
NTB. Yang menarik, di NTT lebih banyak
didata korban KTP di ranah Komunitas
ketimbang di dalam rumah tangga/relasi
personal. Pola KTP di masing-masing ranah dapat dicermati di bagian berikut.
KDRT/RP KOM
NEGARA
NAD
228
50
2
Sumatera
7678
1305
4
Jawa
120326
3429
19
Kalimantan
4511
121
0
Bali
788
70
0
NTB
723
420
29
NTT
96
858
0
Sulawesi
1979
322
0
Maluku
248
99
0
Papua
272
9
0
136849
6683
54

10

P O L A K T P TAH U N 20 09 : K E K E R A S A N S E K S UA L DAN PS I K I S

KDRT/RP: Bentuk KTP yang


selalu mendominasi

JenisKDRT/ RP
(CATAHU 2009)

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya,


KDRT/RP merupakan bentuk KTP
yang paling dominan di antara bentuk
seksual; 48,68
psikis; 48,28
yang
lain.
Data
KDRT/RP
menunjukkan
jumlah
kekerasan
terhadap istri (96% dari seluruh
jumlah KDRT/RP) paling banyak
ditangani.
Sisanya
mencakup
ekonomi; 1,83
kekerasan dalam pacaran (KDP),
fisik; 1,21
kekerasan yang dilakukan oleh
mantan suami atau mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Berbeda dengan pola kekerasan di ranah rumah tangga dan relasi personal yang didominasi
kekerasan seksual dan ekonomi, tahun ini kekerasan seksual dan psikis seperti dapat dilihat
pada diagram di samping. Kekerasan seksual dan psikis (masing-masing lebih dari 48%).
Sedangkan kekerasan ekonomi (1,83%), dan kekerasan fisik (1,21%).
KDRT/RP menurut Lembaga
Jml
%
Kejaksaan Negeri
27
0.02
Kejaksaan Tinggi
97
0.07
Kepolisian
844
0.62
LSM
3830
2.80
P2TP2A
970
0.71
Pemda
66
0.05
Pengadilan Agama
41123 30.05
Pengadilan Negeri
810
0.59
Pengadilan Tinggi
104
0.08
Pengadilan Tinggi Agama
87837 64.19
RS
529
0.39
Rumah Sakit
612
0.45
Total
136849 100.00

Tabel di samping menunjukkan jumlah


(dan prosentase) KTP dalam ranah rumah
tangga dan relasi personal menurut
lembaga pengada layanan. Seperti
dijelaskan terdahulu, data KDRT/RP
paling besar diperoleh dari Pengadilan
Tinggi Agama (64%) dan Pengadilan
Agama (30%). Korban KTP dalam ranah
domestik dan relasi personal yang
ditangani oleh LSM mencapai hampir 3%,
sedangkan lembaga pengada layanan
lainnya menangani korban KDRT/RP
kurang dari 1%.

Kekerasan di Ranah Komunitas


Kekerasan terhadap perempuan di
ranah
komunitas paling banyak
Jawa
NTB
3429
terjadi di wilayah Jawa (50%),
420
Sumatera (20%) dan NTT (13%).
NTT
858
Selebihnya, KTP di ranah komunitas
Sumatera
ini juga dijumpai di berbagai wilayah
1305
lain: NTB, Sulawesi, Kalimantan,
Sulawesi
Papua, Bali, Aceh dan Maluku. Di
322
Maluku
masing-masing wilayah tersebut
Aceh Papua
99
50
9
menangani KTP di ranah Komunitas
tidak lebih dari 2%, kecuali NTB (6%) dan Sulawesi (4%).
KTPKomunitas menurut Wilayah
(CATAHU 2009)

11

Kalimantan
121

Bali
70

Kekerasan di ranah komunitas ini mencakup sejumlah tindak kekerasan di antaranya:


kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan di tempat kerja, kekerasan yang
terjadi terhadap pekerja migran dan trafiking. Tempat kejadian (lokus) KTP juga beragam,
seperti: di tempat kerja, di tempat
Jml
%
(PJTKI),
di
dalam
LSM
4111
61,51 penampungan
Rumah Saki t
779
11,66 kendaraan (bemo, mobil, perahu), di
P2TP2A
501
7,50 gedung puskesmas, di kafe, di kandang
Pengadi l an Negeri
492
7,36 binantang, di pinggir jalan, lokalisasi,
Kepol i si an
403
6,03 kantor camat/desa, di kuburan, di ruang
Pengadi l an Ti nggi
166
2,48
kelas, dan masih banyak tempat lain.
Kejaksaan Ti nggi
74
1,11
Kejaksaan
73
1,09 Pelaku kekerasan yang teridentifikasi:
Pengadi l an Agama
66
0,99 majikan/atasan/bos, kepala/aparat desa,
Pemda
10
0,15 PJTKI, calo, sopir (keluarga), teman orang
Kejaksaan Negeri
8
0,12 tua. Kasus KTP di
Total

6683

100,00

ranah komunitas ini paling banyak


ditangani oleh LSM (62%). Lembaga lain yang menangani kasus KTP di ranah komunitas
dapat dilihat dalam tabel di atas.
Grafik berikut menunjukkan karakteristik usia dan tingkat pendidikan korban dan
pelaku KTP di ranah komunitas. Dari segi usia korban paling banyak dari kelompok usia 13
18 tahun (usia anak), dan kelompok usia 25 40 tahun, serta 19 24 tahun. Sedangkan
pelaku, paling banyak di kelompok usia 25 40 tahun, kemudian usia di atas 40 tahun, dan
ada pelaku usia anak (antara 13 18 tahun). Dari grafik juga dapat dilihat kelompok usia
berapa pun ada korban dan pelaku korban cenderung di kelompok usia lebih muda,
sedangkan pelaku cenderung kelompok usia produktif dan tua (di atas 40 tahun).
Usia Korban dan Pelaku KTP Komunitas
(CATAHU 2009)

< 5 th

Tingkat Pendidikan Pelaku dan Korban KTP Komunitas


(CATAHU 2009)

Tdk sek

< SD

SD

SLTP

SLTA

PT

lainnya

Korban

36

6 - 12 th 13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th > 40 th lainnya
155

510

286

360

95

21

Korban

48

52

178

388

443

75

72

Pelaku

14

139

219

362

191

75

Pelaku

28

39

119

190

412

108

34

Tingkat pendidikan pelaku dan korban dapat dilihat pada grafik di atas (kanan). Korban
paling banyak dengan tingkat pendidikan SLTA, kemudian SLTP, dan SD. Untuk tingkat
pendidikan ini juga dapat dilihat korban dan pelaku adalah orang dari tingkat pendidikan
paling rendah (tidak sekolah) sampai tingkat pendidikan tinggi (perguruan tingi).

12

Pekerjaan Korban
i bu rumah tangga
pel ajar/ mahasi swa
dagang
tani
nel ayan
swasta
karyawan
buruh
wi raswasta
PNS
pol i si
satpam
pensi un
ti dak kerja
l ai n-l ai n
PRT
pel ayan caf
PSK
buruh mi gran
Total

Jumlah
131
320
6
14
0
189
4
50
47
10
1
0
0
118
60
35
27
14
10
1036

Korban
paling banyak adalah mahasiswa, pegawai swasta,
ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sedangkan
pelaku banyak dari pegawai swasta, tidak bekerja,
mahasiswa, pekerja, wiraswasta. Data lebih detil
dapat dilihat pada kedua tabel di atas (dan
samping).

Pekerjaan Pelaku
i bu rumah tangga
pel ajar/ mahasi swa
dagang
tani
nel ayan
swasta
karyawan
buruh bangunan
buruh
wi raswasta
PNS
profesi onal
guru
supi r
ojek
kades
TNI
pol i si
satpam
pensi un
ti dak kerja
l ai n-l ai n
pemuka agama
seni man
sponsor
muci kari
PJTKI
Buruh mi gran

Jumlah
5
89
30
37
7
230
35
3
58
53
29
3
9
9
24
6
2
12
3
1
84
39
1
1
18
2
12
8
810

Kekerasan yang berkaitan dengan Negara


(atau dilakukan oleh aparat negara)
Kekerasan terhadap perempuan yang berkaitan dengan negara maksudnya adalah KTP
yang dilakukan oleh aparat negara, atau KTP yang terjadi karena kebijakan diskriminatif,
atau pengabaian yang dilakukan oleh negara, dalam beragam bentuknya.
KTP
berkaitan
dengan
negara
tercatat
ditangani
oleh
Sumsel
lembaga pengada layanan di
NTB
29
sejumlah wilayah seperti terlihat
NAD
pada grafik di samping.
2
Lembaga yang paling banyak
Jatim
12
menangani KTP berkaitan
Jateng
6
dengan negara ini adalah NTB
(29 atau 54% dari total jumlah
DKI
1
54 korban).Lembaga yang juga
Babel
2
banyak menangani korban KTP
berkaitan dengan negara ini
adalah lembaga di wilayah Jawa Timur (12 = 22%), dan Jawa Tengah (6 = 11%). Lembaga
di wilayah lain (Sumatera, NAD, DKI dan Bangka-Belitung) menangani kasus kurang dari
4%. Dan wilayah lain yang tidak disebutkan dalam grafik di atas tidak mencatat penanganan
kasus KTP berkaitan dengan negara.
KTP berkaitan dengan Negara menurut Wilayah
2
(CATAHU 2009)

13

Ada 7 lembaga yang menangani kasus KTP negara, yaitu: Advokasi Pekerja Migran
Indonesia, LBH APIK Aceh, PBHI Jakarta, Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi, SP Palembang, SPEKHAM, dan UUPA Polda Bangka Belitung (Babel).
Sedangkan tindak kekerasan yang dialami oleh korban mencakup: intimidasi, pengabaian
(laporan KTP tidak ditanggapi), pengejaran PSK, perceraian sepihak dengan saksi palsu,
pelarangan ikut ujian nasional (UNAS) karena hamil, pelecehan seksual yang dilakukan oleh
aparat negara, penyiksaan dan penganiayaan (oleh aparat negara).Tempat terjadinya KTP
negara yang diidentifikasi adalah: di dalam mobil, di kantor (Dinas Pendidikan), sekolah, di
kantor kepolisian, di pengadilan agama/negeri. Pelaku yang didata termasuk: kasat
reskrim/petugas piket UUPA, kepala dinas, kepala sekolah, majelis hakim, satpol PP, polisi.

Usia Pelaku & Korban KTP Negara


(Catahu 2009)

< 5 th

6 - 12 th

Korban

13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th
7

13

> 40 th
1

Pelaku

17

25

Karakteristik usia dan tingkat pendidikan pelaku dan korban KTP Negara dapat dilihat
seperti pada grafik di atas. Berbeda dengan korban KTP Komunitas, usia korban KTP
Negara kebanyakan di kelompok usia 25 40 tahun dan 13 18 tahun, serta ada korban
usia di atas 40 tahun. Tidak ada korban di usia kurang dari 13 tahun. Pelaku pun demikian,
kebanyakan pelaku berusia antara 25 40 tahun, 13 18 tahun dan kelompok usia 19 24
tahun.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan, kebanyakan korban berpendidikan tingkat SLTA
dan Perguruan Tinggi. Ada korban dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat SD
dalam jumlah kecil. Sedangkan pelaku mempunyai tingkat pendidikan antara SLTP, SLTA
dan Perguruan Tinggi.
Pekerjaan Korban
ibu rumah tangga
pelajar/mahasiswa
dagang
tani
nelayan
swasta
PNS
PSK
polisi
tidak kerja
(lain-lain)
PRT
Total

14

Jml
0
8
0
0
0
3
2
6
2
1
0
2
24

Dua tabel di
samping
menunjuk- kan
pekerjaan korban
dan pelaku KTP
Negara. Korban
paling
banyak
adalah PSK, ada
juga pegawai swasta, polisi, dan pekerja rumah tangga
(PRT). Sedangkan pelau kebanyakan adalah PNS,
PJTKI, dan majikan, ada pula yang masih berstatus
mahasiswa.
Pekerjaan Pelaku
pelajar/mahasiswa
PNS
polisi
(lain-lain)
PJTKI
majikan
Total

Jml

1
11
1
2
5
4
24

P E N AN G A N AN : K A PA S I TAS L E M B A G A DA N I M P L E M E N TA S I P E R A N G K A T H U K U M

Kapasitas lembaga pengada layanan


Kapasitas penanganan lembaga pengada layanan dilihat dari aspek ketersediaan SDM,
sarana (fasilitas khusus pencatatan data dan penanganan kasus), serta fasilitas penunjang
lain. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga (SDM), pada umumnya lembaga pengadilan
agama dan negeri mempunyai tenaga konselor, hakim/jaksa yang sensitif gender, tenaga
khusus pencatat data dan yang menangani database di masing-masing lembaga. Kondisi ini
berkaitan dengan sudah dibukanya akses informasi (data) lewat situs-situs web yang
dikembangkan lembaga pengadilan. Demikian pula dengan fasilitas pendukung seperti
mesin faks, line telpon, perangkat komputer dan printernya. Sebagian lembaga memberikan
informasi tentang ketersediaan alat transportasi untuk penanganan kasus dan alokasi dana
(rutin).
Kapasitas yang kurang lebih sama kondisinya di rumah sakit. Selain tenaga medis (yang
sensitif gender), rumah sakit juga mempunyai tenaga konselor beserta ruang konseling
khusus. Rumah sakit juga mempunyai tenaga pencatan kasus sendiri serta petugas yang
menangani database. Fasilitas penunjang seperti komputer dan printer dimiliki oleh
sebagian besar rumah sakit. Namun demikian diakui hanya sedikit rumah sakit yang
menyediakan alat transportasi untuk menangani korban KTP. Demikian pula halnya
berkaitan dengan alokasi dana, hanya sedikit rumah sakit yang mengalokasikan dana (rutin)
untuk menangani kasus KTP.
Ternyata kondisi yang serupa juga dimiliki oleh LSM pengada layanan. Meskipun sebagian
besar LSM mencatat mempunyai tenaga konseling tetapi hanya seperuh di antaranya yang
memiliki ruang konseling. Namun demikian, ada LSM yang menyediakan tenaga medis
beserta ruang pemeriksaan medis. Berkaitan dengan tenaga khusus pencatat kasus dan yang
menangani database, sudah banyak LSM yang memilikinya. Fasilitas penunjang pun
demikian, banyak di antara LSM tersebut mempunyai perangkat komputer dan printer,
serta line telpon dan mesin fax dalam rangka penanganan kasus, serta lebih dari separuhnya
mempunyai alokasi dana khusus untuk menangani KTP.
Selain aspek-aspek kapasitas lembaga seperti dijelaskan di atas, lembaga mitra pengada
layanan juga mengembangkan sistem rujukan dan kerja sama kelembagaan (MOU). Dari
total 269 lembaga mitra yang berpartisipasi dalam catatan tahunan ini, sebanyak 92 lembaga
menyatakan mempunyai MOU (kerja sama ) dengan lembaga lain. Lembaga-lembaga
tersebut di antaranya adalah kepolisian (UPPA), LSM, P2TP2A, Pemda, dan Rumah sakit.
Sedangkan sistem rujukan yang dikembangkan oleh lembaga mitra pengada layanan
meliputi: advokasi, audiensi, jaringan kemitraan, koordinasi, rujukan dalam menangani
kasus KTP, sosialisasi berkaitan dengan KTP dan penanganannya, serta pelimpahan berkas.

Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lain


Berdasarkan data yang diberikan oleh lembaga mitra pengada layanan, sudah mulai banyak
digunakan UUPKDRT (UU No. 23 Tahun 2004) dalam rangka litigasi. Di antara lembagalembaga tersebut adalah UUPA, LSM, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri,
Kejaksaan Tinggi dan Pemda.

15

Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) juga banyak digunakan dalam
penanganan kasus lewat jalur hukum. Hal ini berkaitan dengan adanya korban usia anak
seperti telah dijelaskan terdahulu. Lembaga-lembaga yang menggunakan UU Perlindungan
Anak ini di antaranya adalah: UPPA, LSM, Pengadilan Negeri, P2TP2A, Pengadilan
Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pemda.
Ada juga lembaga yang menggunakan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu LSM dan
Pengadilan Agama

I . B E N TU K DA N PO L A K E K E R A S A N T E R H ADA P P E R E M P UA N

I.1

Pengerdilan Hak Politik dan Kelembagaan Perempuan

I.1.1. Keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun


2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD
Tahun 2009 adalah tahun penting bagi Bangsa Indonesia karena untuk kedua kalinya
pemilihan umum (pemilu) langsung dilaksanakan. Pemilu dilaksanakan pada 9 April 2009
untuk memilih anggota legislatif dan pada Juli 2009 untuk memilih Presiden dan wakilnya.
Dalam pelaksanaannya , terjadi pelanggaran hak konstitusional warga Negara untuk
memilih terkait dengan kisruh pendataan pemilih (DPT- Daftar Pemilih Tetap), khususnya
dalam pelaksanaan pemilihan legislatif di bulan April 2009. Terkait hal ini, Komnas HAM
dalam catatan tahunan 2009 mencatat:
a. Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara masif (25 - 40 persen
warga yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik (kelemahan melekat dalam sistem
pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah
RI. Sementara itu pada tingkat Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat
masif dan sistematis.
b. Hilangnya hak sipil warga negara dengan tidak dicatatkannya di dalam sistem
administrasi kependudukan.
c. Hilangnya hak politik warga negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat
tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan
(khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan
dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di
beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah
mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Pemilu 2009 juga menjadi tonggak sejarah bagi pengerdilan akses perempuan dalam
politik. Melalui perjuangan yang panjang, kelompok perempuan mampu memastikan
keterlibatan perempuan dengan adanya perlakuan khusus (affirmative action) bagi perempuan
melalui quota 30% (Pasal 52 (2) dan sistem zipper atau selang-seling yang tertuang
gagasananya di dalam pasal 214, a,b,c,d, dan e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
DPR, DPRD, dan DPD. Quota 30% adalah jumlah keterwakilan minimal bagi suatu
kelompok agar sebuah kelompok dapat mempengaruhi proses kebijakan atau membuat
aliansi-aliansi di antara berbagai kelompok1 dan sistem zipper adalah kelanjutan dari quota

Kajian Cetro sebagaimana dikutip Kompas, 17 Juni 2002

16

ini untuk dapat memastikan bahwa dari setiap 3 kandididat terpilih terdapat 1 perempuan.
Kedua pasal tersebut di atas kemudian dimohonkan kepada sidang Mahkamah Konstitusi
pada akhir tahun 2008 dengan alasan melanggar hak konstitusional warga negara laki-laki
yang menjadi calon anggota legislatif. Dalam persidangan tersebut, dengan perkara No.
22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008, Makhamah Konstitusi menetapkan bahwa pasal
55 ayat (2) tidak bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan masih mengikat. Pasal 55
ayat (2) adalah pasal yang berkaitan dengan tindakan khusus sementara (affirmative action)
yang kondusif untuk mewujudkan kesetaraan gender termasuk hak perempuan di bidang
politik. Namun, Mahkamah Konstitusi juga menetapkan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d
dan e, tidak mempunyai kekuatan hukum bahwa, dengan sistem proposional terbuka
menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif
karena seharusnya rakyat dapat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif
yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling
banyak.
Penting dicatat bahwa di dalam keputusan ini, salah seorang hakim Konstitusi
Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Pasal 214 huruf
a,b,c,d, dan e, adalah tidak bertentangan dengan konstitusi karena menjadi satu kesatuan
dengan pasal 52(2) dan 53 dalam mewujudkan tindakan affirmatif bagi keterwakilan
perempuan:
yang merupakan desain dari hulu ke hilir, dalam arti mengkombinasikan
antara proteksi dalam mekanisme internal partai pencalonan dan penempatan
dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen
yang diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah
pemilihan yang bersangkutan; penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214
undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang
keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan Oleh karena itu, penetapan penggantian
dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif
tersebut2
KPU paska penetapan keputusan MK melontarkan wacana penetapan calon
legislatif terpilih dengan mempertimbangkan tindakan khusus sementara dalam penetapan
calon legislatif terpilih. KPU seperti dilansir media di akhir Januari 2009 berencana
menetapkan zipper system dalam penetapan calon terpilih.3 Dalam sistem ini, jika satu parpol
di satu dapil memperoleh 3 kursi, maka minimal satu kursi itu diberikan kepada caleg
perempuan, meski dia kalah suara dari caleg laki-laki. Usulan ini ternyata mentah di pleno
KPU bulan Maret 2009. Peraturan KPU no. 15 Tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 16
Maret 2009 yang diharapkan mampu mengakomodir tindakan khusus sementara buat calon
2

Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, diakses di

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_22-24-PUU-VI-2008.pdf. Penebalan kata sesuai naskah


asli. Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi, Komnas Perempuan pada 14 Januari 2009 berkirim surat kepada
Presiden dan Komisi Pemilihan yang berisi rekomendasi untuk pembuatan langkah khusus guna memastikan penerapan
yang konsisten dan efektif dari penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait tindakan affirmatif bagi
keterwakilan perempuan di dalam politik.
3

http://www.detiknews.com/read/2009/01/23/114449/1073299/700/tanpa-perpu-zipper-system-penetapan-calegterpilih-rawan-gugatan. 23 Januari 2009

17

legislatif perempuan ternyata juga tidak mengakomodir zipper system untuk memastikan
keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Tabel 1
Perbandingan Jumlah Perempuan Anggota DPR-RI Hasil Pemilu 2004 dan 2009

No

Kursi Partai

Kursi
Perempuan

2004

2009

2004

2009

Jumlah
Perempuan
Dalam %

Partai Politik

2004

Persentase
Dibanding
Seluruh
Perempuan
Terpilih DPR
RI

2009

2004

2009

Partai Golkar

128

107

18

17

14%

15,89%

29,03%

16,83
%

PDIP

109

95

12

19

11%

20,00%

19,35%

18,81
%

PPP

58

37

5,17%

13,51%

4,83%

4,95
%

Partai Demokrat

55

150

37

10,52
%

24,67%

9,67%

36,63
%

Partai Kebangkitan Bangsa

52

27

13,46
%

25,93

11,29%

6,93
%

Partai Amanat Nasional

53

43

13,46
%

13,95%

11,29%

5,94
%

Partai Keadilan Sejahtera

45

57

6,66%

5,26%

4,83%

2,97
%

Partai Bintang Reformasi

14

15,38
%

3,22%

Partai Bulan Bintang

11

0%

0%

10

Partai Damai Sejahtera

13

25%

4,83%

11

Partai Persatuan Demokrasi 4


Kebangsaan

0%

0%

12

Partai Karya Perduli Bangsa

0%

0%

13

Partai Pelopor

33%

1,61%

14

Partai Keadilan dan Persatuan 1


Indonesia

0%

0%

15

PNI Marhaenisme

0%

0%

16

Partai Penegak Demokrasi 1


Indonesia

0%

0%

17

Gerindra

18

26

15,38%

3,96
%

18

Hanura
TOTAL

18
550

560

3
62

101

16,67%
11,27
%

18,04%

2,97
%
100%

Data 2004 diolah dari catatan CETRO; untuk tahun 2009 adalah catatan CETRO dari rapat Pleno KPU , 24
Mei 2009. http://www.cetro.or.id/perempuan/JUMLAHDPRperempuan.pdf

Bila dibandingkan dengan pemilu 2004 jumlah perempuan yang berhasil duduk di
parlemen memang menunjukkan kenaikkan. Pada pemilu 2004 jumlah perempuan yang
menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89%
dari 16 partai politik peserta Pemilu. Pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan sebesar 7%
dimana perempuan berhasil memperoleh 101 kursi atau sekitar 18,04% kursi di DPR dari 9
Partai,4 sebagaimana ditunjukkan oleh tabel jumlah caleg perempuan terpilih hasil Pemilu
2004 dan 2009 di atas. Peningkatan ini tidaklah bisa dipandang sebagai buah implementasi
Pasal 55 ayat 2. Bila dicermati pada Pemilu 2004 yang menerapkan kuota 30% dalam
penetapan calon legislatif terpilih, tidak ada satupun partai yang memenuhi kuota 30%
tersebut. Sementara di Pemilu 2009, faktor Partai Demokrat sebagai partai yang memenangi
pemilu legislatif, yang menyumbang pada kenaikan signifikan jumlah caleg perempuan di
DPR; 36,63% dari total 101 orang calon legislatif perempuan terpilih berasal dari partai ini.
Di luar Partai Demokrat tidak ada partai lain yang berhasil memenuhi kuota 30%, bahkan
jauh di bawah 30 %. Tantangan tidak hanya soal memenuhi kuota 30% perempuan dalam
rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen melainkan bagaimana untuk
meningkatkan kualitas perempuan yang duduk di parlemen.
I.1.2. Isu Pembubaran Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Peleburan
Komnas Perempuan
Di tahun 2009 Komnas Perempuan mencatat dua peristiwa penting terkait dengan
dua lembaga negara yang memiliki wewenang mengenai perempuan dan penegakan dan
pemenuhan hak asasi perempuan, lembaga tersebut adalah Kementerian Pemberdayaan
perempuan (Meneg PP) dan Komnas Perempuan sendiri. Kedua lembaga ini berhadapan
dengan isu penghapusan institusi. Usulan pembubaran Meneg PP disampaikan oleh salah
seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait dengan upaya
perampingan kabinet. Usulan ini menuai kritik karena menunjukkan cara pandang tentang
penyelenggaraan negara yang parsial dan tidak sensitif pada permasalahan ketimpangan
relasi sosial yang telah berurat akar di dalam masyarakat. Dalam formasi Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II, Meneg PP berubah nama menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
masih mengadopsi ideologi negara tentang perempuan yang menjadi warisan Orde Baru,
yaitu merekatkan peran perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu.
Ketidaksempurnaan dalam memahami persoalan perempuan, khususnya
perempuan sebagai warga negara dan sebagai manusia juga tampak dalam usulan untuk
meleburkan Komnas Perempuan. Usulan ini, disamping 38 lembaga nonstruktural lainnya,
4

Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK)

19

100%

dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam rapat kerja antara
Sekretariat Negara RI dengan Komisi II DPR RI.5 Posisi dan kinerja Komnas Perempuan
sebagai mekanisme penegakan hak asasi manusia yang independen, khas, efektif dan
penting bagi penyelenggaraan negara yang demokratis belum memperoleh perhatian yang
proporsional di dalam studi awal yang menjadi dasar usulan tersebut. Pada saat bersamaan,
Komnas Perempuan mendukung langkah awal Sekretariat Negara untuk mengkaji lembagalembaga negara dalam kerangka reformasi birokrasi. Untuk itu, Komnas Perempuan telah
mengajak pihak Sekretariat Negara dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait untuk
melakukan bersama evaluasi independen terhadap Komnas Perempuan.
I.2

Perempuan Pekerja Migran

Tahun 2009 diawali oleh situasi krisis global yang cukup berdampak bagi pekerja
migran yang bekerja di luar negeri. Dalam situasi tersebut penempatan pekerja migran di
luar negeri masih menjadi salah satu tulang punggung pendapatan Negara dalam bentuk
devisa. Devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga ditengah
situasi lapangan kerja yang semakin sempit. Tak mengherankan setiap tahun penempatan
pekerja migran terus bertambah.
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi
menyebutkan, hingga awal Februari 2010 jumlah pekerja migran mencapai 2.679.536 orang.
Dari jumlah tersebut, rasio dari tahun ke tahun dari tahun 1995-2008, antara 70-80.3 %
adalah perempuan yang bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pekerja rumah
tangga. Peningkatan jumlah pengiriman pekerja migran yang diikuti dengan peningkatan
devisa Negara masih tidak sebanding dengan peningkatan perlindungan HAM pekerja
migran. Jumlah kasus yang dialami masih cukup tinggi dan berbagai kebijakan pemerintah
belum berorientasi perubahan sistemik.
Hingga Oktober 2009 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) mencatat penempatan pekerja migran mencapai 240.284 orang. Dengan
persebaran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik, 161.963 (67.40%) pekerja sektor
informal dan 78.321 (32,60 %) menempati sektor formal). Sedangkan devisa yang
dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$
6.615.321.274 milyar.
Gambar 1: Perbandingan jumlah Pekerja Migran di Sektor Informal dan Formal

33%
sektor informal
sektor formal

67%

Kompas, 3 Desember 2009

20

BNP2TKI sebagai salah satu lembaga negara yang bertanggung jawab mengatur lalu
lintas penempatan pekerja migran dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada
tahun 2009 menangani sekitar 7.709 kasus. Kasus terbesar berasal dari negara-negara Asia
Pasifik sekitar 6.075 kasus. Dari jumlah itu, terdapat 5.403 kasus deportasi dari Malaysia,
dan 644 kasus PHK sepihak yang terjadi di Aljazair sebagai akibat krisis global. Kasus di
Timur Tengah jumlahnya 1.634 kasus. Dari 7.709 kasus, sekitar 1.335 kasus (17,3 persen)
dalam proses penyelesaian6.
Penurunan jumlah penempatan ternyata tidak mengurangi jumlah kasus yang
dialami oleh pekerja migran. Bahkan data yang dirilis oleh LSM Migran Care melaporkan
jumlah pekerja migran yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri pada tahun 2009
mencapai 1.018 orang, 67 % di antaranya meninggal dunia di Malaysia. Sedikitnya 2.878
pekerja migran mengalami kekerasan pada tahun yang sama. Jumlah ini meningkat dari data
tahun sebelumnya sebanyak 554 orang pekerja migran meninggal dunia, data ini setidaknya
berdasarkan data yang dimiliki LSM mitra Komnas Perempuan yang bekerja pada sektor
pekerja migran. Tingginya data kematian ini merupakan potret terkelam dari pelanggaran
HAM. Ironisnya dokumentasi pendataan kasus-kasus secara kuantitatf ini tidak cukup
menjadi alat setrategis untuk mendesakkan kebijakan perlindungan Negara terhadap pekerja
migran. Terbukti sudah 5 kali pergantian presiden, 30 tahun pengiriman pekerja migran,
tetapi upaya perlindungan belum terlihat sistemik.
Problem khas yang dialami pekerja migran perempuan sangat bertalian dengan politik
tubuh, dimana identitas seksual menjadi target yang rentan eksploitasi dan diskriminasi.
Kasus panjang kekerasan seksual, kehamilan akibat perkosaan, perkawinan semu7, sangat
jelas terlihat polanya. Tetapi ada juga persoalan lain seperti pembatasan hak kebebasan
untuk bergerak (freedom of movement), kontrol terhadap moral dan tubuh yang kerap tidak
diperhitungkan dalam sistem dokumentasi pelanggaran HAM pekerja migran karena
dianggap pelanggaran yang samar.
Potret Kebijakan
Pada tingkat kebijakan, pemastian perlindungan HAM pekerja migran dengan
ratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja migran dan anggota
keluarganya masih menemui kendala. Pemerintah dalam hal ini Kementrian tenaga kerja
dan transmigrasi masih menganggap bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 belum menjadi
hal yang strategis bagi perlindungan pekerja migran, padahal sebelumnya telah ditandatangi
dan masuk dalam RAN HAM 2004-2009. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut
terjadi, antara lain karena tidak ada kontinuitas program dari satu periode pemerintah ke
periode berikutnya. Selain itu komitmen kepala Negara untuk melindungi pekerja migran
belum sepenuhnya teraplikasi dalam kebijakan konkrit. Belum lagi koordinasi antar
kementrian terkait yang masih belum sinergis.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Depnaker yang kemudian diiklankan di salah
satu media nasional bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 hanya akan menguntungkan
pekerja asing yang ada di Indonesia dan menambah beban pemerintah. Hingga saat ini
kementrian Tenaga Kerja hanya akan mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konvensi, menyiapkan kajian lebih lanjut mengenai manfaat langsung ratifikasi Konvensi
dan aspek teknis yang terkait dengannya.

Sumber www.bnp2tki.go.id, diunduh 5 Maret 2010.

Menggunakan pola perkawinan untuk menghindari kewajiban membayar upah sebagai pekerja migran.

21

Komnas Perempuan dan Komnas HAM bersama dengan mitra-mitranya antara lain
Serikat pekerja dan LSM yang bekerja untuk pekerja migran seperti ATKI, SBMI, Aspek,
Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, LBH APIK, IWORK dan mitra-mitra dari daerah
yang lain, mendorong agar pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB 1990, dalam
bentuk membuat naskah akademik RUU Ratifikasi konvensi 1990, untuk memasukkan
dalam legislasi nasional yang dibahas pada periode sidang DPR RI tahun 2009-2010. Pada
prosesnya usulan tersebut ternyata gagal masuk dalam daftar legislasi nasional karena secara
politis perlindungan HAM pekerja migran melalui konvensi tersebut belum dianggap
mendesak.
Sedangkan amandemen Undang undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, masuk dalam daftar Program Legislatif
Nasional (Prolegnas) 2010 karena berbagai dorongan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, baik yang berorientasi ekonomis semata maupun yang mendorong
perlindungan pekerja migran. Dalam rupa kebijakan yang lain, harus diakui terdapat upaya
perbaikan yang dilakukan pemerintah terkait dengan kerjasama (bilateral agreement) dengan
Negara-negara penerima pekerja migran.
Dengan Malaysia, pemerintah Indonesia telah melakukan pembicaraan melalui
gabungan kelompok kerja (Joint Working Group) ke-5 di Kuala Lumpur tahun 2009.
Beberapa point penting yang sudah disepakati, antara lain :
1. Paspor dipegang oleh Penata Laksana Rumah tangga (PLRT), sebelumnya paspor
dipegang oleh majikan sesuai dengan MoU 2004.
2. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu.
3. Penentuan upah mulai dari RM 800.
4. Pemotongan gaji Pekerja Migran oleh pengguna jasa tidak boleh melebihi 50% dari
gaji yang diterima oleh Pekerja Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan
pemotongan gaji ini akan dimasukkan kedalam perubahan UU
perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka
Pada tanggal 14 September 2009 pemerintah Indonesia melakukan moratorium
pengiriman pekerja migran ke Kuwait, mengingat meluasnya kasus-kasus yang dialami
pekerja migran yang bekerja disana. Pemerintah Indonesia telah menginisiasi pembicaraan
ulang mengenai kesepakatan kedua negara berkait pekerja migran yang hingga saat ini
belum ada perkembangan berarti. Begitupun kesepakatan dengan negara-negara penerima
yang lain masih belum ada perubahan signifikan.
Kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan pekerja migran yang sedang
bekerja masih sebatas pada reformasi administrasi, belum menyentuh substansi
perlindungan. Misalnya saja program citizen Services yang sudah dijalankan beberapa
perwakilan pemerintah di negara penempatan, secara administrasif hal tersebut
berkontribusi bagi penyederhanaan birokrasi. Sementara itu kebutuhan mendesak lainnya
seperti penampungan (shelter), mekanisme penanganan kasus, pemulangan dan pemulihan
hak korban belum optimal.
Salah satu persoalan yang selama ini menjadi momok bagi pekerja migran adalah
kehadiran terminal khusus pendataan dan pemulangan TKI. Pada akhir tahun ini,
pemerintahan baru memunculkan wacana untuk memberikan pilihan kepada pekerja
migran untuk melewati terminal khusus tersebut atau tidak. Hingga kini, belum ada
kejelasan apakah wacana tersebut sudah disahkan menjadi sebuah kebijakan yang mengikat
dan berlaku.

22

Dengan rasio banyaknya jumlah pekerja migran perempuan, seharusnya semua


kebijakan mengacu kepada pemenuhan hak-hak spesifik perempuan. Kebijakan yang ada
cenderung netral gender, baik dari proses pemberangkatan, penempatan dan pemulangan.
Misalnya saja shelter menjadi sangat urgent untuk para perempuan yang mengalami kasus.
Karena korban yang tidak berdokumen atau melarikan diri dari rumah majikan, sangat
rentan menjadi korban perdagangan kalau tidak ada fasilitas shelter yang mudah terakses
oleh mereka.
Walaupun pada tahun 2009 pemerintahan baru hasil pemilu terbentuk, persoalan
tumpang-tindih kebijakan dan wewenang antara Depnakertrans dan BNP2TKI masih
belum dapat diselesaikan, 2 pintu penempatan dan pengiriman pekerja migran masih
berjalan tumpang-tindih. Persoalan mendasar yang belum menjadi perhatian adalah perihal
sistem pendataan. Sehingga untuk mendapatkan data yang resmi yang komprehensif dan
terbarui secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan sangat sulit
untuk didapatkan.
I.3

Jaminan hukum Bagi Perempuan Pembela HAM

Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2009 ada 2 orang Perempuan


pembela HAM yang mengalami kekerasan ketika ia melakukan advokasi HAM. Seorang
perempuan pembela HAM dari Papua berinisial A mengadukan kasus pelecehan seksual
yang diterimanya di tahanan Polres Yapen. Pelaku adalah polisi yang bertugas di Polres
Yapen. A ditangkap pada 11 Juli 2009 di desa Mantebo bersama 10 orang lainnya, mereka
ditangkap dengan tuduhan makar. A ditangkap bersama rekan-rekan yang lain karena A
dianggap selalu hadir ketika ada pengibaran bendera bintang kejora terjadi di Desa
Mantebo. Kasus pelecehan seksual yang dialami korban sempat diadukan oleh keluarga ke
Polres Yapen, namun sampai korban mengadukan kasus-nya ke Komnas Perempuan,
belum ada tindak lanjut terhadap pelaku pelecehan seksual tersebut.
Perempuan pembela HAM yang kedua adalah perempuan pembela hak-hak pekerja
migran berinisial EA dari NTB. EA dijadikan tersangka di Polres Mataram NTB dengan
tuduhan penghinaan terhadap H. SM yang menjadi terdakwa dalam dalam kasus pekerja
migran yang tengah didampingi lembaga EA bekerja.
1.4

Kasus Konflik Sumberdaya Alam

Komnas Perempuan menerima tiga pengaduan kasus konflik sumber daya alam yang
melibatkan perempuan sebagai korban. Adapun ketiga kasus tersebut adalah (a) pengaduan
warga Desa Polo dan Desa Linamnutu beserta pendamping, yaitu Walhi Eksekutif
Nasional, mengenai kondisi perempuan akibat pembabatan hutan masyarakat adat Pubabu
Besipae Desa Polo dan Desa Linamnutu untuk proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (Gerhan) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, (b) konflik lahan antara warga Dusun
Suluk Bongkal, Desa Beringin dengan PT. Arara Abadi, pemegang Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan (c) kasus warga Sukolilo, Pati, Jawa Tengah yang
menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik di wilayahnya, karena akan merusak
sumber air.
1.4.1 Proyek GERHAN, Desa Polo dan Desa Linamnutu, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, NTT

23

Pihak yang berkonflik adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan
dengan masyarakat dua desa yang menolak pembakaran hutan adat Pubabu Besipae untuk
proyek Gerhan tersebut. Penolakan masyarakat didasari karena hutan tersebut adalah hutan
adat mereka yang ditanami tumbuh-tumbuhan seperti pohon asam. Sehingga masyarakat
dua desa merasa bahwa proyek Gerhan atau rehabilitasi lahan tidak diperlukan. Akibat yang
ditimbulkan akibat pembakaran hutan adat seluas 6000 ha tersebut adalah:
-

masyarakat dari 2 desa sebelumnya memiliki 1 mata air, kemudian terjadilah


kekeringan, sehingga mereka harus mengambilnya di tempat yang jauh
beban mengambil air banyak dilakukan oleh perempuan dan anak
kesulitan air berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan
kekurangan air menyebabkan penyakit kulit dan muntaber mewabah
perempuan kehilangan sumber pendapatan ekonomi karena pohon asam yang ada
di hutan habis dibakar

1.4.2. Kasus Suluk Bongkal, Riau


Januari 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus penyerangan terhadap
warga Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin oleh Kepolisian daerah Riau. Pasukan Brimob
Polda Riau beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan dari kepolisian dari Polres
Bengkalis yang memasuki kawasan Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran
terhadap warga yang berdiam di dusun tersebut karena dianggap telah melakukan
penyerobotan terhadap areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT.
Arara Abadi. Sementara warga berpendapat bahwa dusun mereka adalah sah sebagai
perkampungan berdasarkan peta administrasi wilayah Dusun Suluk Bongkal yang
ditandatangani oleh Bupati Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha (tertuang dalam
lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63).
Peristiwa penyerangan tersebut mengakibatkan:
1. Tewasnya 2 orang anak yaitu: seorang anak berumur 2,6 tahun bernama Putri dan
seorang Bayi berumur 1,6 bulan yang tewas terbakar
2. 58 orang warga ditahan di Polres Bengkalis dalam status tersangka
3. Sekitar 50 warga bertahan di dalam kampung dengan kondisi psikologi yang
tertekan
4. Serta 400 orang warga lainnya yang sempat mengungsi ke tengah hutan dalam
kondisi berpencar.
5. Penahanan terhadap warga, dimana sekitar 70 orang perempuan dan anak di
tempatkan di Kantor Kecamatan Pinggir
1.4.3. Kasus Semen Gresik, Pati Jawa Tengah
Puncak sengketa antar warga dan pihak perusahaan Semen Gresik adalah insiden 22
Januari 2009, di mana warga desa diserang oleh aparat Brimob Pati. Pada penyerangan
tersebut ada perempuan yang mengalami pelecehan seksual, ditarik-tarik sarung kainnya,
perempuan juga mengalam kekerasan fisik yaitu didorong dan ditendang. Pada peristiwa
tersebut, sembilan orang warga ditangkap di Polda Jateng yang sebelumnya ditahan di
Polres Pati. Saat peristiwa penyerangan terjadi, 75 orang ibu-ibu menjadi korban
penyekapan oleh aparat, 35 orang di rumah seorang warga bernama Kamrin di Puri
Gedong, 25 orang di rumah Pak Suwono dan 15 orang di mushola. Mereka disekap polisi
selama kurang lebih setengah jam. Ibu-ibu korban yang mengadu ke Komnas Perempuan
juga mengkhawatirkan tahanan yang tidak diijinkan menemui keluarganya.

24

I.5

Perkawinan yang tidak dicatatkan

Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49


kasus yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan
perkawinan penting dilakukan oleh pengantin sebagai jaminan hukum perkawinannya
sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kasus-kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak
dicatatkan karena berbagai alasan, yaitu:
a. Kebanyakan alasan menikah tanpa dicatatkan adalah kemudahan bagi suami untuk
menikah kembali dengan perempuan lain, baik untuk istri kedua, ketiga dan
seterusnya.
b. Mengatasi pernikahan antar agama, misalnya suami beragama katolik akan menikah
dengan perempuan muslim.
c. Akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, maka proses perceraian tidak dapat
dilakukan melalui proses peradilan. Suami menceraikan istri berdalih agama,
walaupun dari perkawinan itu lahir anak-anak ataupun menghasilkan aset secara
bersama-sama.
d. Perceraian terjadi karena suami tidak pulang ke rumah, dan sulit dihubungi. Kondisi
ini membuat status hukum istri tidak jelas baik terkait dengan harta gono-gini,
maupun hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi
(mantan) istri, yang ingin menikah lagi, karena tidak ada akta nikah atau cerai.
I.6

Kebijakan daerah diskriminatif; Langkah Mundur Penegakan Konstitusi


Dalam menegakkan Bhinneka Tunggal Ika; semua kebijakan/perundangundangan diskriminatif harus dibatalkan; penertiban Perda-perda berbasis
agama yang terlalu jauh..8

Kalimat di atas diucapkan Presiden SBY pada saat acara debat calon presiden di salah
satu stasiun televisi swasta pada tanggal 02 Juli 2009, jika terpilih kembali maka hal tersebut
menjadi program 100 harinya. Hal ini merupakan harapan baru bagi perwujudan Integritas
hukum, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa terkait dengan
kebijakan yang diskriminatif, yang dalam kurun waktu 10 tahun terus bermunculan di
berbagai daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, telah ada 30 produk kebijakan
dimiliki Indonesia dalam 10 tahun terakhir9, yang menjadi titik pijak untuk menegaskan
langkah pemerintah dalam pemajuan dan pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan
di Indonesia di masa mendatang. Namun, pada saat bersamaan Komnas Perempuan
mencatat pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan-kebijakan lembaga negara baik di
tingkat pusat maupun daerah tetap menjadi tren nasional. Hingga penghujung tahun 2009
menjelang berakhirnya program 100 hari belum ada indikasi pembatalan atau bahkan
peninjauan ulang atas perda-perda bermasalah tersebut, sebaliknya yang terjadi munculnya

Kompas, 3 Juli 2009

12 Kebijakan di tingkat nasional, 15 Kebijakan di daerah (15) dan 3 kebijakan di regional ASEAN

25

kembali 13 perda dan 11 ranperda yang sejenis dengan pemantauan Komnas Perempuan
sebelumnya.10
Dalam grand design Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RJPMN) yang di
rencanakan untuk tahun 2010-2014, Pemerintah mencantumkan Program harmonisasi dan
sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga tercapai
keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000
peraturan daerah selambat-lambatnya 2011.11 Namun dalam realisasi 100 hari kerja,
berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan pada kementerian terkait hanya perda
retribusi dan pajak yang dianggap bermasalah dan kemudian dibatalkan (sebanyak 714).
Terkait 154 perda bermasalah yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan kepada
Presiden sebagai prioritas agenda kerja 100 hari masih tetap menjadi lembaran-lembaran
sah di setiap daerah.
Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi 6 konvensi internasional Indonesia terikat
untuk menjalankan dan memiliki mekanisme nasional yang menjamin pemenuhan hak-hak
bagi perempuan. Oleh karena itu, negara dalam fungsinya sesuai mandat konstitusi baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib memainkan perananan dalam melindungi (protection)
perempuan, memenuhi (fulfill) hak-hak perempuan, menjamin (garante) dari segala bentuk
diskriminasi, dan membuat kebijakan yang menghapuskan diskriminasi pada perempuan.
Unsur diskriminasi dalam suatu kebijakan dapat mengacu pada rumusan undang-undang,
yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan konstitusi dalam kehidupan bernegara, merupakan
konsensus bangsa sebagai landasan bersama guna mewujudkan Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengabaian terhadap konstitusi merupakan persoalan
besar atas nasionalisme bangsa dan proses demokrasi yang telah dibangun selama ini.
Kebijakan diskriminatif merupakan salah satu indikasi dari pengabaian terhadap konstitusi
yaitu dengan diabaikan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam perumusannya. Terjadinya
pelanggaran hak-hak konstitusional warga oleh aparatur hukum, menyisakan trauma bagi
korban, juga adanya ketidak kepastian hukum di dalam masyarakat karena tidak
harmonisnya antara peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan
nasional dan daerah, trauma yang mendalam bagi korban terutama kaum perempuan dan

10 15 PERDA tersebut antara lain : 1. Qanun Aceh tahun tentang Kompilasi Hukum Jinayat, 2. Perda Kota
Tasik Malaya tentang Perjudian, 2. Perda Kota Tasik Malaya tentang Syariat Islam, 3. Perda Kota Tasik
Malaya tentang Peradilan Syariat Islam, 4. Perda Kota Tasik Malaya tentang Hubungan tata kerja majelis
permusyawaratan ulama (MPU) dengan eksekutif, legislatif dan instansi lainnya, 5. Perda Kota Tasik Malaya
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, 6. Perda tentang Penyakit
Masyarakat Nomor 1 Tahun 2009, Perda Pelarangan Pelacuran kab Jombang, (terkait moralitas dan agama);
7. Perda Zakat kab Bekasi, 8. Perda Pendidikan al-Quran Prov Kalimantan Selatan, 9. Perda Pengelolaan
Zakat Kab Batam, 10. Perda Pengelolaan Zakat kab Mamuju, 11. SK Walikota Palembang No. 177 Tahun
2009 tentang Kewajiban Membayar Zakat bagi PNS Kota Palembang, 12., 13. Qanun Aceh tentang Hukum
Acara Jinayat Aceh. ---RANPERDA: 1. Ranperda Pemberantasan Pelacuran, Kabupaten Kudus, 2. Ranperda
Syariat Islam kab Madura, 3. Ranperda zakat Provinsi Nusa Tenggara Barat., 4. Raperda zakat prov Sumatera
Utara, 5. Raperda zakat Kota Balikpapan, 6. Raperda zakat Kaltim, 7. Raperda zakat Kab Konawe, Raperda
pemberantasan pelacuran kab Kudus, 8. Raperda miras Kota Surakarta, 9. Raperda pewajiban jilbab kab
Bangkalan, 10. Ranperda kab Aceh Barat (pelarangan perempuan memakai celana jeans); 11. Ranperda Kota
Tasik Malaya tentang khalwat.
11

Buku 1 draft RPJMN 2010-2014

26

kelompok minoritas. Padahal komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap


perempuan di Indonesia memiliki landasan konstitusional yang kuat yang didasari oleh
UUD Tahun 194512 dan 13 UU dibawahnya.13 Jika kemudian masih muncul kebijakan
diskriminatif, Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan hal tersebut terjadi karena
kelemahan fungsi koordinasi dan konsultasi para penyelenggara untuk menerapkannya
dalam setiap kebijakan.


(Draft) Qanun tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat di Aceh

Sejak awal tahun 2005 Komnas Perempuan bersama mitra-mitra di Aceh telah
melakukan berbagai aktivitas dan pengkajian implementasi penerapan syariat Islam di Aceh
termasuk implikasinya pada tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama terkait
dengan terbitnya 4 peraturan daerah (qanun), yaitu qanun terkait penyelenggaraan Syariat
Islam yang mengatur pula tentang busana, qanun tentang Khamar/minuman beralkohol,
Maisir/judi ,Khalwat/bersunyi-sunyian antar laki-laki dan perempuan yang bukan keluarga
ataupun terikat perkawinan). Komnas Perempuan mencatat persoalan-persoalan yang
muncul terkait dengan pemberlakuan qanun-qanun tersebut, yang diproduksi oleh otoritas
legislasi selain tidak memiliki landasan materil dari peraturan yang lebih tinggi, juga
mengalami kontradiksi dengan produk undang-undang lainnya, artinya conflicting norm antar
undang-undang tidak dapat dihindari.14 Selain itu qanun-qanun ini telah mengubah anatomi
penegak hukum yang selama ini diatur dalam hukum nasional, namun kemudian muncul
dalam bentuknya seperti Mahkamah Syariyah (MS) berwenang mengadili perkara pidana,
Wilayatul Hisbah (WH) lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan
advokasi pelaksanaan qanun tentang penegakan syariat Islam, dan Dinas Syariat Islam organ
eksekutif yang mewakili pemerintah dalam upaya penegakan syariat Islam.
Pengesahan qanun tentang hukum Jinayat dan Hukum acara Jinayat oleh DPRA
dilakukan
tanpa mempertimbangkan keberatan pemerintah Aceh. Qanun ini ditujukan sebagai bentuk
kompilasi dari tiga qanun sebelumnya dan penambahan berbagai bentuk tindakan yang
dianggap sebagai tindak pidana. Akibatnya, pengulangan kontroversi dan permasalahan
seperti tahun-tahun sebelumnya masih tetap muncul. Apalagi ditambah dengan
memperkenalkan bentuk penghukuman rajam, disamping cambuk, yang bertentangan

Indonesia berkomitmen untuk melindungi setiap warga negaranya dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Pasal 281 (2). Dan untuk
mendapatkan kemudahan dan perlakuan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (pasal 281 H (2))

12

13 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
UU No. 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
kejam. Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi Rasial UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.39 tahun 2004 tentang
penempatan dan perlindungan TKI diluar negeri, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internasional tentang hak-hak
ekonomi, social dan budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internacional hak-hak sipil
dan politik, UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban, UU No.21 Tahun 2007 tentang
Kewarganegaraan, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
14

Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,
10 Oktober 2005, Komnas Perempuan.

27

UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,dan UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang
Ratifikasi Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak
Manusiawi atau Hukuman yang Merendahkan.
Kemunculan qanun tentang Jinayat dalam kerangka kebijakan Indonesia adalah juga
bukti kegagalan jajaran pemerintah nasional yang mengemban kewajiban dan kewenangan
untuk mengkaji dan mencegah adanya kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan nasional dan UUD RI Tahun 1945. Keistimewaan
Aceh dan segala bentuk kekhasan daerah yang tercakup dalam peraturan perundangundangan nasional tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan dan melembagakan
diskrminasi dan perlakuan tidak manusiawi terhadap warga negara Indonesia di mana pun
mereka berada.15

Lima Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya

Tepatnya pada bulan November 2009, DPRD Tasikmalaya mengesahkan lima perda
diantaranya Hubungan tata kerja Majelis Permusyawaratan (MPU) dengan eksekutif,
legislatif dan instansi lainnya. Perda tentang Maisir (Perjudian), Tentang Peradilan syariat
Islam, Perda tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Perda Tentang Pelaksanaan Syariat
Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Dari segi muatan, kecuali untuk sanksi yang
diatur, adalah jiplakan dari aturan serupa yang ada di Aceh. Perda-perda baru ini
menambah jumlah perda diskriminatif yang telah dimiliki oleh Tasikmayala, yaitu sebanyak
7 buah perda di tingkat Kabupaten Tasikmalaya.16 Sementara peninjauan terhadap ketujuh
perda tersebut belum dilakukan, kelima perda baru ini turut melembagakan diskriminasi di
dalam tatanan negara-bangsa Indonesia.


Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang:


Kasus salah tangkap

Lilis Lindawati Mahmudah adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran di
Cengkareng.Ia menjadi korban salah tangkap pada operasi penertiban pekerja seks
komersial yang digelar oleh petugas Tantrib Kota Tangerang pada tanggal 26 Februari 2006
bersama-sama dengan 27 orang perempuan lainnya. Para tantrib pada saat itu sedang
melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di
Kota Tangerang, yang menyebutkan larangan bagi:

Siaran Pers Komnas Perempuan; Pengesahan Qanun Jinayat, Pemerintah Nasional Gagal menegakkan Konstituai, 15
September 2000

15

Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Komnas
Perempuan, 2009

16

28

Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan


suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di
lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat
tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain
di daerah kelihatan oleh umum.

Pada malam yang sama, Lilis dan perempuan-perempuan lainnya langsung ditahan.
Padahal, menurut hukum acara pidana, hanya tersangka dengan ancaman hukuman lima
tahun ke atas yang dapat ditahan. Keesokan harinya, para perempuan yang terjaring operasi
Tramtib itu diadili dengan acara sidang Tindak Pidana Ringan atau Tipiring. Hakim tunggal
Barmen Sinurat menghukum Lilis Lindawati dengan denda sebesar Rp 300 ribu. Lilis yang
bersuamikan seorang guru sekolah dasar menolak membayar denda tersebut karena
Istilahnya, kalo saya bayar, dianggapnya saya pelacur, dong! Itu, denda segitu, nggak mau
saya Akhirnya terpaksa dibawa ke LP, ditahan, ujarnya. (www.detik.com)
Beberapa hari setelah penahanan tersebut, Ibu Lilis sudah bisa menghirup udara
bebas. Tapi trauma penangkapan dan pemenjaraan yang dialaminya belum juga hilang.
Karena mengalami kerugian materi dan moril akibat salah tangkap itu, Lilis mengajukan
gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparat Kota Tangerang
dengan gugatan senilai Rp 500 juta kepada Walikota Tangerang, selain permintaan maaf di
depan umum.
Usaha hukum Lilis tidak membuahkan hasil, gugatan tersebut akhirnya ditolak oleh
Hakim Mahmakah Agung RI. Apalagi karena putusan MA menyatakan bahwa
pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang tidak bertentangan dengan
peraturan Undang-Undang (UU) dilihat dari aspek prosedural. Hal ini di sampaikan oleh
juru bicara MA Djoko Sarwoko. Perkara ini sendiri ditangani oleh tiga hakim agung
Achmad Sukarja (Ketua Majelis), Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar, dan diputus pada
1 Maret 2007. Selain itu, dalam putusannya majelis hakim di tingkat MA menilai, Perda
tersebut merupakan implementasi politik dari Pemerintah Kota Tangerang, yang tentunya
tidak termasuk materi yang dapat diujimateriilkan.
Saat ini tepat 3 tahun putusan MA terhadap JR Perda Tangerang itu di keluarkan,
namun demikian sampai dengan saat ini, pihak penggugat maupun pengacaranya belum
pernah mendapatkan salinan keputusan MA tersebut. Ibu Lilis Lindawati Mahmudah
sendiri saat ini sudah meninggal dunia. Kabar ini diterima oleh Komnas Perempuan pada
bulan Oktober 2009. Salah seorang anak Ibu Lilis menyatakan bahwa semenjak kejadian
salah tangkap tersebut, Lilis dan keluarganya telah berpindah tempat tinggal sebanyak 4 kali
karena cap sebagai PSK yang didapat oleh Lilis akibat salah tangkap menjadikan ibunya
mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari para tetangganya. Suami Ibu Lilis pun terpaksa
harus berhenti dari tempat mengajarnya karena pihak sekolah tidak ingin sekolahnya
mendapatkan cap buruk dari masyarakat karena salah satu pengajarnya memiliki istri
seorang PSK. Akibat perlakuan tersebut, Llis mengalami tekanan psikologis dan sakitsakitan, sampai pada akhir ia meninggal dunia pada bulan Agustus tahun 2008.


29

Kebijakan Operasional Satpol PP

Berdasarkan pengamatan tentang pelaksanaan kebijakan daerah diskriminatif, Komnas


Perempuan sejak awal tahun 2009 telah mengedepankan perlunya evaluasi dan reformasi
terhadap fungsi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terkait laporan kekerasan,
pemerasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan tugas. Satpol PP yang menjadi salah satu
ujung tombak pelaksanaan perda memiliki kewenangan untuk menertibkan dan menindak
warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum,
serta melakukan tindakan represif non yustisia terhadap warga masyarakat atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan keputusan kepala daerah. Namun,
kerangka kebijakan operasional Satpol PP diantaranya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005
tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas,
Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi, tidak mencakup perspektif penghormatan dan
perlindungan HAM. Hal ini memberikan peluang pada terus berulangnya tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh aparat satpol PP di lapangan. Komnas Perempuan mencatat
berulangnya peristiwa kekerasan tersebut seperti pada kasus-kasus yang terjadi dilapangan,
diantaranya;
Kasus Vivi meninggal karena tercebur di kali
Vivi Ariyani warga kampung Telagasari kelurahan Mekarsari kecamatan neglasari
Tangerang menyebur ke Sungai Cisadane pada saat Satpol PP Kota Tangerang melakukan
penertiban pada pekerja seks di Pintu Air Sepuluh Tangerang pada 18 Mei 2009. Karena
tidak bisa berenang dan tidak ada yang menolong akhirnya Vivi hanyut dan tenggelam di
Sungai Cisadane hingga meninggal dunia.
Peristiwa balita perempuan meninggal tersiram kuah bakso
Siti Khoiyaroh (4 Tahun) anak dari Ibu Sumariyah Warga dan Bapak Mat Naki desa
Batoporah kecamatan kedungdung, kabupaten Sampang Madura Jawatimur akhirnya
meninggal setelah dirawat 7 hari karena mengalami luka bakar 67 persen (18 Mei 2009). Ia
tersiram kuah panas pada saat penertiban Pedangang Kaki Lima (PKL) di Jl. Boulevard
Surabaya oleh Satpol PP Pemerintah Kota Surabaya pada tanggal 11 Mei 2009. Sudah ada
tindakan hukum pada aparat satpol PP terkait kelalaian tersebut.
I.7

Akses Perempuan terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan

1.7.1.. Kasus Prita dan Nenek Minah: Perempuan berhadapan dengan Hukum
Salah satu peristiwa penting di tahun 2009 berkaitan dengan perempuan ketika
berhadapan dengan hukum adalah kasus Nenek Minah. PN Banyumas memvonis Nenek
Minah, seorang perempuan belasan cucu , bersalah karena mencuri tiga buah coklat (kakao)
milik PT Rumpun Sari Antan. Perusahaan perkebunan pemilik 200 hektare tanaman kakao
di Desa Darmak Radenan, Banyumas, Jawa Tengah menuduh Nenek Minah telah mencuri
biji kakao sejumlah tiga kilo gram seharga 30 ribu rupiah. Mereka menuntut nenek Minah di
Pengadilan Negeri Purwokerto dengan alasan untuk memberikan efek jera. Padahal, nenek

30

Minah mencuri kakao untuk membuat benih.17 Nenek Minah ditenggarai melanggar Pasal
21 dan Pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang
menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan
kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan.
Nenek Minah salah satu warga desa yang tidak bisa membaca alias buta huruf.
Ketika peristiwa pencurian terjadi dan ia tertangkap oleh mandor perkebunan dengan polos
ia mengatakan kalau ia tidak tahu dan meminta maaf dengan sangat atas apa yang telah ia
lakukan. Ia mempersilahkan kepada Nono untuk membawa kakao itu. Namun persoalan ini
ternyata tidak serta merta selesai. Di akhir Agustus 2009, Nenek Minah dipanggil pihak
Kepolisian Sektor Ajibarang berkaitan dengan pemetikan tiga buah kakao. Pada pertengah
Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto. Di pengadilan, Nenek
Minah menjalani proses peradilan tanpa didampingi pengacara. Akhirnya, pada Kamis, 19
September 2009, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto memberikan hukuman satu bulan
dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.Keputusan
pengadilan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, bukan hanya bagi Nenek Minah tetapi
juga masyarkat pada umumnya, mengingat pemiskinan yang terus berlangsung dan masih
banyaknya kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar yang tidak tersentuh oleh hukum.

1.7.2. Kasus Prita Mulyasari


Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya.
Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah
dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin
mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien,
penjualan obat, dan suntikan.Saya tidak mengatakan semua RS international
seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International.
Demikian kutipan surat elektronik yang dibuat Prita yang ditujukan langsung
kepada RS. Omni Internasional di customer_care@banksinarmas.com. Surat bertajuk RS
OMNI Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif mengeluhkan pelayanan rumah sakit ketika
ia dirawat di rumah sakit tersebut. Surat ini bermuara di pengadilan ketika pihak rumah
sakit Omni Internasional merasa dicemarkan nama baiknya 18 Pihak rumah sakit menggugat
Prita secara perdata dan pidana.
Hasil putusan perdata pada 11 Mei 2009 lalu di Pengadilan Negeri Tangerang
memenangkan gugatan RS Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang
merugikan RS Omni. Hakim memutuskan, Prita untuk membayar kerugian materil sebesar

17(http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251837/Kisah.Nenek.Minah.Belum.Selesai.dan

http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251681/Curi.Tiga.Buah.Kakao.Nenek.Divonis.Satu.Bulan).
18

http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/06/02/brk,20090602-179467,id.html

31

161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional, "dan 100 juta untuk kerugian
imateril." Dalam tingkat banding denda dikukuhkan menjadi Rp. 204 juta.
Untuk perkara pidana Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa di Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten menyatakan Dengan ini, Prita divonis bebas dari tuduhan pencemaran
nama baik terhadap RS Omni Internasional19 Pihak Jaksa Penuntut Umum menanggapi
keputusan ini dengan berkata Saya akan pikir-pikir selama 14 hari terhadap putusan ini.
Biar Mahkamah Agung yang menilai Prita bebas secara murni atau tidak.. Menurutnya,
dukungan masyarakat dan kalangan elite politik yang begitu tinggi kepada Prita
menimbulkan anggapan putusan hakim tidak bersifat objektif.
Sejak menjadi sorotan publik, polisi dan kejaksaan saling tuding soal siapa yang
bertanggung jawab memuat Pasal 27 Ayat 3 sebagai dakwaan primer dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perkara
pidana dengan terdakwa Prita Mulyasari (32). Pemuatan pasal dengan ancaman penjara
enam tahun itu mengakibatkan Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Tangerang, Banten, sejak 13 Mei hingga 3 Juni 2009. Penahanan itu memancing reaksi
keras dari pejabat tinggi negara hingga masyarakat luas. Mabes Polri memanggil tim
penyidik kasus Prita dari Polda Metro Jaya. Kejaksaan Agung juga mengambil langkah
serupa terhadap aparat dari kejaksaan yang menangani kasus Prita.
1.7.3. Kasus Devi Perempuan Korban Kekerasan
Komnas Perempuan mengamati pemberitaan di media terkait dengan kasus korban
perkosaan yang meninggal disebabkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai pasca terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Kisah bermula pada Senin 26
Februari 2009. Wanita berusia 20-an tahun, itu ditemukan warga Gang Delima 1, Pamulang
Timur, Kabupaten Tangerang, dalam kondisi mengenaskan. Ia diduga menjadi korban
pemerkosaan. Selama sepekan ia hanya dirawat warga di pos ronda setempat lantaran polisi
tak menggubris laporan warga. Setelah media memberitakannya, barulah polisi datang dan
membawanya ke RS Bhakti Husada Tangerang pada Sabtu 21 Februari. Ia dirawat di sana
sebelum dirujuk ke RSU Tangerang pada Senin 23 Februari sekitar pukul 04.00. Tiga jam
kemudian, Devi meninggal. 20
Kenyataan bahwa warga yang bertindak dalam memberikan perawatan terhadap
korban dengan merawat korban di pos ronda selama sepekan dikarenakan polisi tidak
menggubris laporan warga membuktikan minimnya perhatian pihak terkait terhadap
perempuan korban kekerasan. Di Kabupaten Tangerang sendiri yang adalah bagian dari
Provinsi Banten, Pusat Pelayanan terpadu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten Nomor 463/KEP-144-HUK/2007. Sejauh ini keberadaan P2TP2A di
Provinsi Banten sudah tersebar di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang
dan Kabupaten Lebak.21 Namun adanya hukum, perangkat dan lembaga juga belum cukup
19

http://www.detiknews.com/read/2009/12/29/162435/1267957/10/hakim-nilai-email-prita-bukan-pencemarannama-baik, Selasa, 29/12/2009 16:24 WIB, Hakim Nilai Email Prita Bukan Pencemaran Nama Baik
20

http://metro.vivanews.com/news/read/33590-inilah_kronologis_kisah_pilu_devi, Korban Perkosaan


Meregang Nyawa di Pos Ronda, Inilah Kronologi Kisah Pilu Devi ,Selama sepekan Devi meregang nyawa di
pos ronda Pamulang Timur.

21

http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=49854, Program TeSA 129


Diluncurkan By redaksi Selasa, 15-Desember-2009, 07:49:22

32

untuk bisa meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan,


diperlukan langkah lebih lanjut seperti sosialisasi kepada masyarakat dan aparat penegak
hukum lainnya untuk bisa meningkatkan kerjasama yang sinergis demi perlindungan
perempuan korban kekerasan. Bila keberadaan dan fungsi layanan terpadu sudah
tersosialiasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum lainnya, mungkin tidak perlu ada
Devi-Devi lain yang harus merenggang nyawa karena kasus-nya tidak segera ditangani.
1.8. Akses perempuan terhadap hak atas pendidikan dan hak reproduksi
1.8.1. Larangan untuk siswi hamil mengikuti UAN
Pada bulan April 2009, Komnas Perempuan menerima surat dari LSM Samitra
Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan
Komnas Perempuan atas kasus dikeluarkannya PCM seorang siswi di SMKN 8 Surabaya.
Korban dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh
pihak sekolah karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma
pendidikan serta tata tertib sekolah yang berlaku di SMKN 8 Surabaya. Pihak sekolah
menyarankan korban untuk mengikuti kejar paket C, dimana korban menolak menerima
rekomendasi tersebut.
Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan
yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi bersangkutan dari
sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan siswi hamil untuk
tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk
memperoleh pendidikan dan untuk tidak didiskriminasi, termasuk atas alasan moralitas.
Selain melanggar konstitusi, scara khusus tindakan pihak sekolah melanggar Konvensi Hak
Anak yang teah diratifikasi dan telah diundangkan dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak No.23 tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini
sesuangguhnya juga melanggar Convention on The Elimination of All form of Discrimination
Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang No. 7
tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan.
I.9.

Kekerasan oleh Pejabat Publik dan Tokoh Masyarakat

Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sejumlah 166


kasus kekerasan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh.22 166 kasus tersebut dengan
rincian PNS 66 kasus, guru 5 kasus, tokoh agama 6 kasus, anggota DPR 6 kasus, dan
TNI/Polri 83 kasus. Fenomena ini telah Komnas Perempuan amati sejak tahun 2006,
dimana sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
sepanjang 2006, dilakukan oleh pejabat publik dan aparat Negara. Pejabat dan aparat negara
yang melakukan kekerasan itu, seperti, pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 391 kasus
KDRT, guru 53 kasus, anggota DPR/DPRD tujuh kasus, dan TNI/Polri 106 kasus.
Sedangkan di tahun2007 kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh pejabat dan
aparat Negara adalah sebanyak 552 kasus, dengan rincian pegawai Negeri Sipil 354 kasus
guru 35 kasus, tokoh agama 1 kasus, anggota DPR 6 kasus, TNI/Polri 156 kasus.
Sementara sepanjang tahun 2008, jumlah pelaporan yang diterima Komnas Perempuan atas
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh figur publik, pejabat publik dan
22

166 kasus hanyalah jumlah pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan

33

pendidik mencapai sejumlah 784 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Para pelaku
tersebut terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri, Kejaksaan, Bappeda,
Kehakiman, Bupati dan pendidik.23

Kasus Kekerasan oleh Pejabat


784

800
600

557

552

400
200

166

0
2006

2007

2008

2009

Tahun

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat


publik/tokoh masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini
bahwa masih banyak korban yang diam/menutup mulut, karena penanganan korban untuk
kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik sehingga korban memilih untuk
bungkam. Sementara di pihak pelaku, dan atau institusi di mana pelaku bekerja, termasuk
juga reaksi masyarakat ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas
tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari
keadilan.
I.10

Kekerasan Media : Reality show tentang Konflik dalam Hubungan Intim

Komnas Perempuan memandang perlu untuk memasukkan analisa terhadap acara


reality show, seperti acara Termehek Mehek yang disiarkan Trans TV dan Masihkah Kau
Mencintaiku yang disiarkan RCTI dalam catatan tahunan 2009. Di antara alasannya adalah,
pertama, Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku menjadi pionir program reality
show di televisi Indonesia. Keduanya juga menjadi program televisi yang mengawali booming
acara televisi yang menampilkan persoalan yang terjadi dalam relasi intim dan hubungan
keluarga, tidak terkecuali yang melibatkan perempuan.
Maraknya tayangan reality show yang menampilkan konflik dalam hubungan intim, di
satu sisi, bisa dilihat sebagai salah satu bentuk keberhasilan upaya gerakan perempuan di
Indonesia dalam mengadvokasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Keberadaan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT membuat masyarakat melek
terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang bahwa membicarakan persoalan
kekerasan dalam hubungan intim seperti KDRT bukanlah tabu dan terlarang.
Dalam kasus reality show tersebut, perkembangan dalam masyarakat ini lebih
ditangkap sebagai lahan bisnis baru dalam industri pertelevisian. Karena tujuan bisnis ini
Catatan Tahunan KTP 2008, Kerentanan Perempuan terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual : Di
Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara. Komnas Perempuan

23

34

lebih menonjol, reality show seperti Termehek Mehek lebih sering menampilkan eksploitasi
terhadap konflik-konflik yang terjadi dalam relasi intim itu. Termehek Mehek dan Masihkah
Kau Mencintaiku lebih banyak memunculkan sisi bombastis seperti recok atau adu mulut,
lelehan deras air mata, suara emosional penuh dendam dan kebencian, amarah meluap yang
cenderung agresif, dan lain-lain. Dalam analisa Komnas Perempuan, baik Termehek Mehek
maupun Masihkah Kau Mencintaiku belum banyak menonjolkan sisi kemanusiaan, edukasi
dan advokasi dalam penyelesaian masalah hubungan intim atau hubungan keluarga. Dalam
kondisi ini, penyelesaian masalah tidak menyentuh persoalan hak-hak yang terlanggar pada
pihak yang dikorbankan dan butuh upaya pemenuhan.
Dalam konteks hubungan gender, dalam acara reality show tersebut perempuan
sering menjadi pihak yang dipersalahkan. Dalam beberapa tayangan Termehek Mehek dan
Masihkah Kau Mencintaiku, banyak penggambaran tentang perempuan sebagai penggoda,
perebut pasangan orang lain, dan stereotype sejenis. Dalam posisi yang dipersalahkan,
perempuan sering tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki-laki dalam
memberikan pembelaan Bahkan, pihak perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi
masyarakat tentang perempuan yang sarat nilai patriarkis, yaitu semestinya lemah lembut,
penuh cinta, setia dan patuh pada suami. Dalam upaya penyelesaian konflik ,reality show
justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak-hak korban,
termasuk dalam bentuk menyalahkan korban (blaming the victim). Karena format reality show
atau tayangan berdasarkan kenyataan, seoalh-olah menyuguhkan kisah nyata maka muatan
tayangan seperti Termehek Mehek dan Masikah Kau Mencintaiku akan menjadi media yang
efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan pandangan masyarakat, termasuk terkait
pandangan tentang ketimpangan gender dan hak-hak perempuan dalam hubungan intim
dan hubungan keluarga sebagi hal yang lumrah.
Mengingat komitmen negara dan bangsa Indonesia untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka Komnas Permepuan mendorong Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan
lensa keadilan jender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk
melakukan pendidikan dan perubahan sosial menuju tatanan masyuarakat yang demokratis
dan menjunjung hak asasi manusia bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang
mengerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempersalahkan perempuan korban
kekerasan.

I I . T E RO B O S A N K E B I JA K AN

II.1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Setelah lebih kurang delapan tahun memperjuangkannya, sejak disahkan tanggal 13
Oktober 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2009, UU Kesehatan No. 36
tahun 2009 secara resmi menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992.
UU Kesehatan No. 36/2009 dinilai lebih progresif karena sejumalh hal, seperti (1)
mengadopsi paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; (2) Memberi
pengakuan terhadap isu-isu kesehatan reproduksi, yakni ada di Bagian ke Enam Pasal 71
sampai Pasal 77; (3) Memperluas legalisasi aborsi untuk korban perkosaan, yakni
dibolehkannya aborsi dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 ayat 2

35

dan 3); (4) menata pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk
kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (5) mendukung
pemberian ASI eksklusif, dimana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini
dengan menyediakan fasilitas dan kebutuhan guna mendukungnya (Pasal 128), bahkan jika
tidak maka ada ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber
daya kesehatan dan upaya kesehatan (Pasal 200); (6) memperhatikan kesehatan remaja dan
lanjut usia; serta (7) menjamin hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan
(Bab XIV). Diakomodirnya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak
mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya
perspektif perempuan dalam UU Kesehatan ini.
Walau demikian, UU Kesehatan No. 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir
kebutuhan khusus perempuan. Pertama, UU ini masih diskriminatif dengan menempatkan
perempuan pada pihak yang tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi
harus dengan persetujuan suami, bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3). Kedua,
hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan
pengabaian karena mendiskriminasikan hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya
bersifat individual telah direduksi atas dasar status perkawinannya Hal ini tersirat dalam
Pasal 72a dimana dinyakatakan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi
dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan
dengan pasangan yang sah;
Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan
upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja,
pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta
kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi
perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan
kesehatan reproduksi. Hal ini karena dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah
menikah. Keempat, potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan
keadilan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir
dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini,
UU Kesehatan No. 23/1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang
melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU No. 36/2009 ketentuan pidana ini berlaku pada
semua pihak, termasuk perempuan karena UU ini hanya mengecualikan aborsi untuk (1)
kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan
masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu).
II.2 Lahirnya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang penerapan standarstandar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian.
Upaya memastikan terciptanya situasi kondusif bagi perempuan korban atas hak
kebenaran, keadilan, dan pemulihan, membutuhkan kerjasama lintas institusi penegak
hukum. Kerjasama ini telah berhasil mendorong lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah disahkan pada

36

tanggal 22 Juni 2009. Dua hal yang mengemuka di dalam Perkap No. 8/2009 yang terkait
dengan kerentanan khusus perempuan terhadap kekerasan adalah:
1. Ketentuan dari Bab II tentang Instrumen Perlindungan HAM, pasal 5 (1) point v
mengenai hak untuk tidak disiksa dan pasal 6 point e mengenai hak khusus
perempuan;
2. Ketentuan dari Bab III tentang Standar Perilaku Petugas/Anggota Polri dalam
Penegakan Hukum, pasal 11 (1) point c mengenai pelecehan atau kekerasan seksual
terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; pasal 13
(1) point a mengenai Polri/anggota Polri dalam melaksanakan kegiatan
penyelidikan dilarang untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis
ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; pasal
20 point a mengenai sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau
petugas yang berperspektif jender; pasal 20 point d mengenai hal mendapat
perlakuan khusus; dan, ketentuan dari pasal 29 mengenai kewajiban dari petugas
kepolisian dalam melakukan pemeriksaan terhadap perempuan, seperti: (a) diperiksa
di ruang khusus; (b) perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan; (c) hak
didampingi oleh pekerja sosial atau ahli selain penasihat hukum; (d) penerapan
prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
II.3

MoU LBH APIK Jakarta dengan Kejagung

Salah satu terobosan dalam Program Penguatan Penegak Hukum tersebut adalah
adanya MoU antara LBH APIK Jakarta dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
yakni No. 001/MoU/LBH Apik Jkt/2009, tentang Program Pelatihan Penanganan
Perkara Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. MoU tersebut ditandatangani oleh
Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Estu Rahmi Fanani Direktur LBH APIK Jakarta
pada Jumat, 30 Januari 2009. Adapun tujuan utama dari penandatangan MoU ini adalah
agar adanya keberlangsungan program penguatan hukum yang berperspektif gender di
kalangan para penegak hukum. Selain itu juga agar penanganan terhadap kasus-kasus
Kekerasan terhadap Perempuan (termasuk anak) dapat menjadi prioritas daripada kasuskasus kekerasan lainnya. Meskipun jangka waktu kerjasamanya hanya terbatas 1 (satu)
tahun, tetapi para pihak sepakat akan memperpanjang MoU sesuai dengan kebutuhan.
II.4 MoU 6 lembaga termasuk Komnas Perempuan dengan LPSK soal
perlindungan saksi korban
Pada tanggal 3 Desember 2009 Komnas Perempuan menandatangani nota
kesepahaman antara 5 lembaga negara (Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komnas
HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang
Perlindungan Keamanan Bagi Saksi dan Korban. Nota kesepahaman tersebut ditujukan
bagi penyelenggaraan kerjasama perlindungan keamanan bagi saksi dan korban, diantaranya
menciptakan mekanisme layanan perlindungan, tersedianya fasilitas, saran adan prasarana
untuk meningkatkan daya tanggap dan kemampuan perlindungan bagi saksi dan korban
serta terwujudnya kinerja perlindungan keamanan bagi saksi dan korban.
Adanya nota kesepahaman 5 lembaga ini adalah salah satu terobosan upaya
perlindungan bagi saksi dan korban terutama perempuan korban kekerasan,
ditandatanganinya nota kesepahaman ini adalah bukti komitmen awal 5 lembaga terkait
untuk mewujudkan perlindungan bagi saksi dan korban. Jangka waktu nota kesepahaman
yang disepakati selama tiga tahun adalah tepat sebagai langkah merumuskan kerjasama yang
sinergis dan merumuskan bangunan mekanisme layanan, fasilitas sarana dan prasarana serta

37

kerjasama antar lembaga ke depannya. Tantangan ke depan paska penandatanganan nota


kesepahaman adalah bagaimana mengawal pengimplementasian nota kesepahaman ini ke
depan bagi perwujudan langkah konkrit perlindungan bagi saksi dan korban
II.5

Inisiatif daerah

II.5.1 Keputusan Bupati Cianjur No. 182/Kep.124-Ks/2009 soal Pembentukan


Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Kebijakan ini lahir sebagai terobosan pemerintah daerah kabupaten Cianjur sebagai
upaya mencegah dan menangani permasalahan tindak pidana perdagangan orang, dengan
dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan
orang.
Komas Perempuan mencatat bahwa dasar pertimbangan hukum memenuhi aspek
materil, artinya kebijakan patuh terhadap hierarki perudangan, antara lain dengan
memasukan undang-undang yang memenuhi unsur nondiskriminasi. Dalam tahapan
operasionalnya kebijakan ini memasukkan pemenuhan dan pelayanan, hak korban, serta
perlindungan terhadap saksi/korban dan penghukuman terhadap pelaku. Terobosan ini
menjadi penting untuk dilaksanakan pada tahap implementasinya, sehingga kebijakan
yang mendukung hak-hak konstitusional warga negara mempunyai daya manfaat terhadap
masyarakat.
II.6

MoU RI MALAYSIA:
1. Joint Working Group ke-5 telah dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tahun 2009,
beberapa point penting yang telah disepakati yaitu :
a. Paspor dipegang oleh PLRT (sebelumnya paspor dipegang oleh majikan
sesuai dengan MoU 2004).
b. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu
c. Penentuan starting point gaji mulai dari RM 800 (catatan : hingga saat ini angka
belum disepakati)

3. Dalam Joint Working Group juga disepakati bahwa pemotongan gaji Pekerja Migran
oleh employer/ majikan tidak boleh melebihi 50% dari gaji yang diterima oleh Pekerja
Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan tentang pemotongan ini akan dimasukkan
kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka.
I I I . P E N AN G A NA N : P E N GUA TA N L AYA NA N B A GI P E R E M P UA N KO R B A N
K E K E RA S AN

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak


perempuan korban adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab negara atas
penegakan hak asasi manusia. Keberadaan lembaga layanan yang terus bermunculan dari
waktu ke waktu baik yang digagas oleh masyarakat maupun oleh pemerintah tidak
berbanding lurus dengan ketersediaan dan penyiapan perangkat pendukung, baik dari sisi
infrastruktur maupun sumberdaya manusianya termasuk anggaran. Situasi ini yang
tertangkap dalam pengamatan Komnas Perempuqan dari tahun ke tahun dan di sebagian
besar wilayah di Indonesia.

38

Saat ini tercatat ada 20 unit Women Crisis Centre (WCC), 20 Pusat Krisi Terpadu
(PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah, 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS
Bhayangkara yang tersebar di beberapa wilayah, 305 Unit Perlindungan Perempuan dan
Anak (PPA), 131 unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan
29 Unit RPTC di 23 propinsi. Selain berhadapan dengan persoalan jumlah pusat layanan
yang belum sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani, pusat layanan juga berhadapan
dengan persoalan kapasitas. Fungsi-fungsinya belum berjalan dengan baik sehingga cita-cita
untuk memberikan pelayanan terbaik bagi semua korban belum sepenuhnya terwujud.
Bahkan, sebagian dari layanan-layanan tersebut justru mengalami kevakuman. Beberapa
alasan yang mengemuka antara lain adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah
seperti anggaran pelaksanaan dan sumberdaya yang terbatas dalam pengelolaannya, seperti
di P2TP2A Kab. Asahan (Sumut) dan Kota Sabang (NAD) yang dibentuk tahun 2007 oleh
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan24.
Akhir tahun 2009, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
telah merampungkan Standard Pelayanan Minimum (SPM) bagi perempuan dan anak
korban kekerasan dan disahkan melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 01 Tahun
2010, dan sudah dapat digunakan tahun 2010 oleh seluruh lembaga layanan yang ada. Di
tingkat implementasi, standar ini akan berhadapan dengan kendala ketersediaan tenaga
pendukung, seperti psikolog dan advokat di sebagian besar layanan. Belum lagi, sosialisasi
terhadap keberadaan layanan-layanan tersebut secara luas masih kurang sehingga korban
dapat mengakses layanan yang tersedia.25
Sejumlah kebijakan baru di tingkat lokal membuka peluang baru untuk
memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Di tahun 2009 lahir beberapa kebijakan di
tingkat daerah tentang penanganan perempuan korban kekerasan, seperti Keputusan
Walikota Manado tentang Pembentukan P2TP2A, Keputusan Bupati Cianjur tentang
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Hanya saja, kebijakan-kebijakan tersebut lebih pada akses bagi korban KDRT dan
trafiking. Padahal, layanan juga dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan yang terjadi
tidak dalam konteks Kekerasan dalam Rumah Tangga maupun trafiking. Saat ini, baik di
tingkat daerah maupun nasional, belum ada pula kebijakan yang memberikan pemuylihan
mendesak kepada perempuan korban kekerasan di dalam konteks konflik ataupun
pertikaian politik lainnya.
Catatan penting dalam hal penanganan kasus tahun 2009 adalah temuan tentang best
practice dari pelaksanaan layanan adalah keberadaan P2TP2A di Kabupaten Sikka NTT. Di
bawah panduan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Pemerintah Daerah setempat,
P2TP2A memainkan fungsi-fungsi koordinasi yang cukup baik dalam penyelenggaraan
layanan dengan memaksimalkan lembaga-lembaga layanan lokal yang sudah ada dengan
mendukung perangkat-perangkat pendukung pelaksanaannya seperti infrastruktur dan
anggaran lewat SK Bupati yang diterbitkan setiap tahun mengikuti tahun anggaran daerah.
Komnas Perempuan berharap peran positif ini akan diadopsi sebagai petunjuk pelaksanaan
P2TP2A dalam rangka mendorong upaya pemenuhan hak perempuan korban.

24

Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010

25

Akses Perempuan Korban Kekerasan terhadap Layanan Terpadu, Komnas Perempuan 2009.

39

KESIMPULAN

1. Peningkatan data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan (KtP) dari tahun


sebelumnya disebabkan oleh aksesibilitas pelayanan publik dari KtP lebih mudah,
seperti akses website dari berbagai mitra (Negara dan non Negara), kerjasama
pelayanan terpadu bagi korban KtP, kesadaran dan keberanian korban untuk
melaporkan KtP yang dialami dan menyelesaikan kasus KtP melalui proses hukum
atau non hukum. Akan tetapi Indonesia masih belum mempunyai data kuantitatif
atas KtP secara nasional.
2. Terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara dan hukum (seperti
Polisi, TNI, Kepala Desa); tokoh publik dan agama/spiritual; serta tokoh di kalangan
akademisi. Kekerasan psikis, psikis, seksual dan administrasi yang dilakukan oleh
pelaku KtP tersebut didasarkan pada relasi kuasa. Pola pengingkaran, pengabaian,
pembungkaman terhadap korban terjadi untuk kasus-kasus seperti ini, dimana harus
menjadi catatan khusus ketika Negara belum membangun sistem hukum yang
mengakomodir kepentingan korban termasuk kekerasan terhadap perempuan di
kalangan akademisi. Pelecehan seksual, larangan siswi hamil untuk melanjutkan
sekolah dan ikut ujian nasional, membuat mereka menjadi korban untuk memperoleh
hak reproduksi dan hak pendidikannya.
3. Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan
terhadap perempuan baik di tingkat peraturan perundang-undangan (seperti UU
PKDRT, PP No.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP & PA,
MoU 6 lembaga, Perkapolri soal HAM). Namun tidak berarti bahwa keadilan
terhadap perempuan terutama korban KtP itu sudah terpenuhi, karena masih
terkendala dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti KUHP,
KUHAP, dan UU Pengadilan HAM; akses terhadap keadilan yang diselesaikan oleh
non Negara dan budaya hukum Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih
bias gender.
4. Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif dan
bertentangan dengan konstitusi, terutama yang terkait dengan isu moralitas,
termasuk draft qanun jinayat di Aceh. Ada kecenderugan beberapa Pemerintah
Daerah di dalam proses penyusunan perda-perda diskriminatif masih terkesan
melakukan duplikasi dengan perda-perda serupa di daerah lain.
5. Negara belum membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja
migran, terlihat masih belum ada sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam
penanganan korban pekerja migran, penyelesaian masih kasuitis dan masih belum
mengakomodasi data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi
pekerja migran terutama perempuan.
6. Negara belum optimal mengupayakan pemulihan hak korban pekerja migran yang
bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti
perkosaan, penghamilan, dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya
pemulihan yang ada saat ini cenderung menangani persoalan perpekerjaan.
7. Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus
sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan
yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan terlihat masih
rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, seperti Kementerian Negara

40

Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan; belum optimalnya kebijakan dan


anggaran yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak
asasi perempuan.
8. Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya
perempuan, sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan
status hukumnya.

RE KO M E N DA S I

Secara umum, Negara harus mewujudkan komitmennya untuk penghapusan kekerasan


terhadap perempuan (KtP) berbasis komunitas dan negara secara sistematis dengan
perspektif HAP dan perlindungan korban terutama perempuan.
Secara khusus direkomendasikan agar:
1. Negara melakukan pendokumentasian KtP secara nasional yang dapat diakses oleh
semua pihak dan harus menjadi dasar kebijakan nasional.
2. Negara mensikronisasikan berbagai peraturan untuk penghapusan KtP dengan
perspektif HAP dan perlindungan korban, seperti revisi KUHP, KUHAP, UU
Pengadilan HAM dan membuat RUU Bantuan Hukum; dan membangun budaya
hukum Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
3. Negara mewujudkan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi
partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan
perempuan dan hak asasi perempuan baik sebagai isu strategis nasional dan
kemapanan kelembagaannya.
4. Negara menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif, terutama
yang terkait dengan isu moralitas dan seksualitas.
5. Lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif, serta mekanisme penegakan demokrasi
lainnya, membangun mekanisme yang menjamin akses bagi warga negara yang rentan
diskriminasi untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka sesuai dengan
jaminan-jaminan konstitusional dan aturan-aturan hukum nasional.
6. Negara membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja migran
dengan melakukan sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam penanganan dan
pemulihan korban pekerja migran, penyelesaian yang sistematis dan mengakomodasi
data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran
terutama perempuan.
7. Negara memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM dengan memperhatikan
kerentanan khusus pembela HAM Perempuan atas kekerasan fisik, psikis dan status
hukumnya, antara lain dengan merevisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan/atau membuat Undang-Undang Pembela Hak
Asasi Manusia.
8. Mendorong agar pekerja media/televisi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk
membangun kesadaran gender (gender awareness) dan sensitivitas terhadap persoalan
kekerasan terhadap perempuan

41

TERIMA KASIH
Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang tercantum di bawah
ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasaan
Terhadap Perempuan tahun 2009

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.

42

Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI), Nusa Tenggara Barat


Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Jawa Tengah
Aliansi Perempuan Merangin, Jambi
Arus Pelangi, DKI Jakarta
Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah
Cahaya Perempuan WCC, Sumatera Barat
Damar Perempuan, Lampung
Divisi Perempuan Truk F, Nusa Tenggara Timur
Forum Komunikasi Pekerja Migran Sepakat (FOKBURAS), Nusa Tenggara Barat
Forum Peduli Anak Atambua (FPPA), Nusa Tenggara Timur
Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS), Sulawesi Selatan
HAPSARI, Sumatera Utara
Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia
(JARAK)
Kejaksaan Negeri Cilegon, Banten
Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Banten
Kejaksaan Negeri Serang, Banten
Kejaksaan Tinggi Jakarta, DKI Jakarta
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Barat
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Sulawesi Utara
Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Sumatera Selatan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), DKI Jakarta
LAPPAN, Maluku
LBH APIK Aceh, Banda Aceh
LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta
LBH APIK Medan, Sumatera Barat
LBH APIK NTB, Nusa Tenggara Barat
LBH Jakarta, DKI Jakarta
LBH P21 Makasar, Sulawesi Selatan
Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial (LKTS), Jawa Tengah
Lembaga Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A), Jawa Timur
LKBH PEKA, DKI Jakarta
LRC KJ HAM, Jawa Tengah
LSM Sirih Besar, Kepulauan Riau
Mahkamah Syariah Sigli, Banda Aceh
P2TP2A DKI Jakarta, DKI Jakarta
P2TP2A Kabupaten Karangasem, Bali
P2TP2A Luhak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
P2TP2A Nias, Sumatera Utara
P2TP2A Propinsi Jambi, Jambi
P3A Sidoarjo, Jawa Timur
PBHI Jakarta, DKI Jakarta
Pemerhati BMI Kecamatan Plampang Niat Suci Jaringan LBH APIK NTB, Nusa
Tenggara
Barat

43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.

43

Pengadilan Agama Ambarawa, Jawa Tengah


Pengadilan Agama Atambua, Nusa Tenggara Timur
Pengadilan Agama Bajawa, Nusa Tenggara Timur
Pengadilan Agama Balige, Sumatera Barat
Pengadilan Agama Balikpapan, Kalimantan Timur
Pengadilan Agama Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengadilan Agama Batang, Jawa Tengah
Pengadilan Agama Baturaja, Sumatera Selatan
Pengadilan Agama Bengkayang, Kalimantan Barat
Pengadilan Agama Binjai, Sumatera Utara
Pengadilan Agama Blitar, Jawa Timur
Pengadilan Agama Bogor, Jawa Barat
Pengadilan Agama Bungku, Sulawesi Tengah
Pengadilan Agama Buntok, Kalimantan Tengah
Pengadilan Agama Ciamis, Jawa Barat
Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengadilan Agama Demak, Jawa Tengah
Pengadilan Agama Ende, Nusa Tenggara Timur
Pengadilan Agama Gresik, Jawa Timur
Pengadilan Agama Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Pengadilan Agama Jakarta Timur, DKI Jakarta
Pengadilan Agama Jakarta Utara, DKI Jakarta
Pengadilan Agama Janeponto, Sulawesi Selatan
Pengadilan Agama Kandangan, Kalimantan Selatan
Pengadilan Agama Kangean, Jawa Timur
Pengadilan Agama Kebumen, Jawa Tengah
Pengadilan Agama Kelas IA Karawang, Jawa Barat
Pengadilan Agama Kelas IA Palembang, Sumatera Selatan
Pengadilan Agama Kelas IA Pontianak, Kalimantan Barat
Pengadilan Agama Kelas IB Curup, Bengkulu
Pengadilan Agama Kelas IB Kajen, Jawa Tengah
Pengadilan Agama Kelas IB Stabat, Sumatera Utara
Pengadilan Agama Ketapang, Kalimantan Barat
Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Pengadilan Agama Kudus, Jawa Tengah
Pengadilan Agama Lahat, Sumatera Selatan
Pengadilan Agama Lamongan, Jawa Timur
Pengadilan Agama Lubuk Basung, Sumatera Barat
Pengadilan Agama Lubuk Linggau, Sumatera Selatan
Pengadilan Agama Lumajang, Jawa Timur
Pengadilan Agama Majalengka, Jawa Barat
Pengadilan Agama Malang, Jawa Timur
Pengadilan Agama Marabahan, Kalimantan Selatan
Pengadilan Agama Masohi, Maluku
Pengadilan Agama Mataram, Nusa Tenggara Barat
Pengadilan Agama Medan, Sumatera Utara
Pengadilan Agama Menado, Sulawesi Utara
Pengadilan Agama Merauke, Papua
Pengadilan Agama Mimika, Papua
Pengadilan Agama Muara Bulian, Jambi
Pengadilan Agama Muara Enim, Sumatera Selatan
Pengadilan Agama Muara Teweh, Kalimantan Tengah
Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan Riau

97. Pengadilan Agama Negara, Bali


98. Pengadilan Agama Pacitan, Jawa Timur
99. Pengadilan Agama Padang Sidempuan, Sumatera Utara
100. Pengadilan Agama Painan, Sumatera Barat
101. Pengadilan Agama Palangkaraya, Kalimantan Barat
102. Pengadilan Agama Palembang, Sumatera Selatan
103. Pengadilan Agama Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
104. Pengadilan Agama Purwodadi, Jawa Tengah
105. Pengadilan Agama Purwokerto, Jawa Tengah
106. Pengadilan Agama Rantau, Kalimantan Selatan
107. Pengadilan Agama Rengat, Kepulauan Riau
108. Pengadilan Agama Samarinda, Kalimantan Timur
109. Pengadilan Agama Sampit, Kalimantan Tengah
110. Pengadilan Agama Sangau, Kalimantan Barat
111. Pengadilan Agama Sekayu, Sumatera Selatan
112. Pengadilan Agama Sentani, Papua
113. Pengadilan Agama Serang, Banten
114. Pengadilan Agama Serui, Irian Jaya
115. Pengadilan Agama Sidikalang, Sumatera Utara
116. Pengadilan Agama Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
117. Pengadilan Agama Soa Sia, Maluku Utara
118. Pengadilan Agama Solok, Sumatera Barat
119. Pengadilan Agama Sukabumi, Jawa Barat
120. Pengadilan Agama Sungai Penuh, Jambi
121. Pengadilan Agama Surabaya, Jawa Timur
122. Pengadilan Agama Tahuna, Sulawesi Utara
123. Pengadilan Agama Tanggamus, Lampung
124. Pengadilan Agama Tanjung Redeb, Kalimantan Timur
125. Pengadilan Agama Tanjung Selor, Kalimantan Timur
126. Pengadilan Agama Tanjung, Kalimantan Selatan
127. Pengadilan Agama Tasikmalaya, Jawa Barat
128. Pengadilan Agama Tegal, Jawa Tengah
129. Pengadilan Agama Tondano, Sulawesi Utara
130. Pengadilan Agama Tual, Maluku
131. Pengadilan Agama Wamena, Papua
132. Pengadilan Agama Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta
133. Pengadilan Agama Wonosobo, Jawa Tengah
134. Pengadilan Agama Yogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
135. Pengadilan Negeri Arga Makmur, Bengkulu
136. Pengadilan Negeri Bangkalan, Jawa Timur
137. Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah
138. Pengadilan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
139. Pengadilan Negeri Banyumas , Jawa Tengah
140. Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah
141. Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat
142. Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur
143. Pengadilan Negeri Brebes, Jawa Tengah
144. Pengadilan Negeri Bukit Tinggi, Sumatera Barat
145. Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat
146. Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah
147. Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu
148. Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat
149. Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur
150. Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat

44

151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.

45

Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur
Pengadilan Negeri Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
Pengadilan Negeri Kelas IB Binjai, Sumatera Utara
Pengadilan Negeri Kelas IB Cirebon, Jawa Barat
Pengadilan Negeri Kelas IB Curup, Bengkulu
Pengadilan Negeri Kelas IB Indramayu, Jawa Barat
Pengadilan Negeri Kelas IB Kabupaten Kediri, Jawa Timur
Pengadilan Negeri Kelas IB Klaten, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Kelas IB Makale, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Kelas IB Raba Bima, Nusa Tenggara Barat
Pengadilan Negeri Kelas IB Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengadilan Negeri Kelas IB Sumber, Jawa Barat
Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan
Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Banda Aceh
Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan
Pengadilan Negeri Larantuka, Nusa Tenggara Timur
Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, Sumatera Barat
Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat
Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara
Pengadilan Negeri Mempawah, Kalimantan Barat
Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur
Pengadilan Negeri Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten
Pengadilan Negeri Pangkajene, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Pare-Pare, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Pasuruan, Jawa Timur
Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Pelaihari, Kalimantan Selatan
Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat
Pengadilan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat
Pengadilan Negeri Purbalingga, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Purworejo, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Rantau, Kalimantan Selatan
Pengadilan Negeri Sawahlunto, Sumatera Barat
Pengadilan Negeri Selayar, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Sibolga, Sumatera Utara
Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Sorong, Papua
Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Tabanan, Bali
Pengadilan Negeri Tanjung Pati, Sumatera Barat
Pengadilan Negeri Tanjung, Kalimantan Selatan
Pengadilan Negeri Tegal, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah
Pengadilan Negeri Toli-toli, Sulawesi Tengah
Pengadilan Negeri Waingapu, Nusa Tenggara Timur
Pengadilan Negeri Watansoppeng, Sulawesi Selatan
Pengadilan Negeri Wonosobo, Jawa Tengah
Pengadilan Tinggi Agama Ambon, Maluku
Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Jawa Barat

205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
213.
214.
215.
216.
217.
218.
219.
220.
221.
222.
223.
224.
225.
226.
227.
228.
229.
230.

Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Bengkulu


Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, DKI Jakarta
Pengadilan Tinggi Agama Kupang,
Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Sumatera Selatan
Pengadilan Tinggi Agama Palu, Sulawesi Tengah
Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, Kalimantan Barat
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Jawa Timur
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
Pengadilan Tinggi Ambon, Maluku
Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat
Pengadilan Tinggi Banten, Banten
Pengadilan Tinggi Bengkulu, Bengkulu
Pengadilan Tinggi Gorontalo, Gorontalo
Pengadilan Tinggi Jayapura, Papua
Pengadilan Tinggi Kalimanatan Selatan, Kalimantan Selatan
Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Kalimantan Barat
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
Pengadilan Tinggi Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
Pengadilan Tinggi Makasar, Sulawesi Selatan
Pengadilan Tinggi Palu, Sulawesi Tengah
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, Sumatera Barat
Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
PPT PKPA Larasati Kota Kedal, Jawa Tengah
PULIH, DKI Jakarta
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lamban Indoman Putri
Propinsi Lampung, Lampung
231. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami, Daerah
Istimewa Yogyakarta
232. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Propinsi (P2TPA) Maluku, Maluku
233. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT P2A) Kota Surabaya,
Jawa Timur
234. Puspita Puan Amal Hayati, Jawa Barat
235. Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK), Banda Aceh
236. Rifka Annisa, Daerah Istimewa Yogyakarta
237. Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintoharjo Yayasan PKT Melati, DKI Jakarta
238. Rumah Sakit Bayangkara Kediri, Jawa Timur
239. Rumah Sakit Bhayangkara Bali, Bali
240. Rumah Sakit Bhayangkara Moestadjab Nganjuk, Jawa Timur
241. Rumah Sakit Bhayangkara Palangkaraya, Kalimantan Tengah
242. Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih, Jawa Barat
243. Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan, Sumatera Utara
244. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo PKT, DKI Jakarta
245. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek , Unit Terpadu Perempuan Korban
Tindak Kekerasan, Bandar Lampung
246. Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu, Bengkulu
247. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Daerah Istimewa Yogyakarta
248. Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
249. Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Sardjito, Daerah Istimewa Yogyakarta
250. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah
251. Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SAKPPD), Jawa Timur
252. Sapa Institut, Jawa Barat
253. Savy Amira WCC, Jawa Timur
254. Setara Kita Batam, Kepulauan Riau

46

255.
256.
257.
258.
259.
260.
261.
262.
263.
264.
265.
266.
267.
268.
269.
270.
271.
272.
273.
274.
275.
276.
277.
278.
279.
280.
281.
282.
283.
284.
285.
286.
287.
288.
289.
290.
291.
292.
293.
294.
295.
296.
297.
298.
299.
300.

47

Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan


SPEK HAM, Jawa Tengah
SPI Labuhan Batu Inti, Sumatera Utara
UPPA Polda Aceh, Banda Aceh
UPPA Polda Bali, Bali
UPPA Polda Bangka Belitung, Kepulauan Bangka Belitung
UPPA Polda Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan
UPPA Polda Sumatera Utara, Sumatera Utara
UPPA Polda Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat
UPPA Polres Gresik, Jawa Timur
UPPA Polres Kediri, Jawa Timur
UPPA Polres Klungkung, Bali
UPPA Polres Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
UPPA Polres Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur
UPPA Polres Merangin, Jambi
UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur
UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat
UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah
UPPA Polres Sambas, Kalimantan Selatan
UPPA Polres SIKKA, Nusa Tenggara Timur
UPPA Polres Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
UPPA Polres Sukohardjo, Jawa Tengah
UPPA Polres Tabanan, Bali
UPPA Polres Tegal, Jawa Tengah
UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur
UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur
UPPA Polres Wonosobo, Jawa Tengah
WCC Bengkulu, Bengkulu
WCC Cahaya Melati, Jawa Tengah
WCC Cahaya Perempuan, Sumatera Barat
WCC Jombang, Jawa Timur
WCC Lentera Perempuan, Jawa Tengah
WCC Mawar Balgis, Jawa Barat
WCC Mitra Perempuan, DKI Jakarta
WCC Nurani Perempuan, Sumatera Barat
WCC Palembang, Sumatera Selatan
WCC Suara Nurani Perempuan LPSM Yabinkas, Daerah Istimewa Yogyakarta
YAKKUM, DKI Jakarta
Yayasan Arikal Mahina, Maluku
Yayasan Atma, Jawa Tengah
Yayasan Bungoeng Jeumpa, Banda Aceh
Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara
Yayasan Pancakarsa, Nusa Tenggara Barat
Yayasan Puspa Indonesia, Sumatera Selatan
YLBHI LBH Bali, Bali

48

Anda mungkin juga menyukai