A N T I K E K E R A SA N T E R HA DA P PE R E MPUA N
CATATAN TAHUNAN
TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Jakar ta, 7 Maret 2010
Tim Penulis:
.Asmaul Khusnaeny, Dahlia Madani, Diah Irawaty, Dwi Ayu Kartika, Iva Kasuma,
Manna Nababan, Saherman, Soraya Ramli.
Tim Data dan Riset:
Atiyatun Khomisah, Betty Sitanggang, Dian Girsang, Heru Prasadja, Yustina
Rostiawati, Nenny Ayuni, Siti Nurjannah, Sri Candra Wulaningsih.
Tim Diskusi:
Arimbi Heroepoetri, Andy Yentriani, Yustina Rostiawati, Yuniyanti Chuzaifah,
Kunthi Tridewiyanti.
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih
Daftar Isi
38
Daftar Singkatan
Ringkasan Eksekutif
Pengantar
Metodologi
Gambaran Umum
9
11
12
12
13
13
13
17
20
20
21
22
27
30
Kekerasan Media
30
Terobosan Kebijakan
32
34
Kesimpulan
36
Rekomendasi
37
DAFTAR SINGKATAN
ABMI
APPS
APM
BKBP
BNP2TKI
DPR
DPD
FOKBURAS
FPPA
FPMPSS
JARAK
KDP
KDRT
Kejati
KJRI
KMP
KMS
KOM
KTAP
KTI
KTP
KUHP
LAPPAN
LBH
LKTS
LPHP-A
LKBH PeKKa
LSM
MA
MoU
MS
MUI
P2TP2A
P3A
PBHI
PBMI
PT
PA
PN
PNS
Polda
Polres
Polsek
RPUK
SDM
SKB
SP3
SPM
UPPA
WCC
Catatan tahunan 2010 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2009 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
catatan tahunan ini merupakan kompilasi data dari lembaga mitra pengada layanan,
berjumlah 269 lembaga yang memberikan responnya.
Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun
(tahun 2001 2008). Tahun 2009 ini, peningkatan jumlah KTP mencapai 143.586 kasus
atau naik 263% dari jumlah KTP tahun lalu (54.425). Seperti tahun lalu, peningkatan
jumlah kasus ini pertama-tama dikarenakan kemudahan akses data Pengadilan Agama (PA)
sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang
Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Selain itu ditengarai peningkatan ini
berkaitan dengan sejumlah faktor lain yang mendorong korban lebih mudah bicara atau
membuka kasus kekerasan yang dialaminya, seperti belakangan ini banyak kasus kekerasan
terhadap perempuan dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan
media cetak). Dan biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal
oleh masyarakat secara luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang
cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain
untuk lebih berani membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara
umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan
lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka
pengalaman tindak kekerasan.
Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun ini adalah kekerasan psikis dan seksual
terjadi di tiga ranah yaitu keluarga/relasi personal, komunitas dan negara. Korban
KDRT/RP yang cukup menonjol tahun ini adalah kekerasan terhadap istri (96%). Dan usia
korban cenderung lebih muda (dari kelompok usia 13 18 tahun, usia anak). Karakteristik
usia pelaku sama dengan tahun sebelumnya, yaitu antara usia produktif: 25 40 tahun.
Di tingkat kebijakan sejumlah terobosan sudah dilakukan pemerintah, yaitu amandemen
UU Kesehatan yang mengakui adanya hak reproduksi perempuan, Peraturan Kapolri No. 8
Thun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian, MOU
antara 5 lembaga negara dalam rangka perlindungan saksi korban. Pada tahun ini
berdasarkan data dari lembaga pengada layanan juga diketahui semakin banyak lembaga
yang menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus, khususnya Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Agama.
PE N G A N TAR
M E TO D O L O GI
Sumber data catatan tahunan Komnas Perempuan adalah kasus yang ditangani oleh
lembaga mitra pengada layanan. Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mengundang
partisipasi dari lembaga pengada layanan dengan mengirimkan formulir pendataan dan
lembaga layanan memberikan responnya dengan mengisi dan mengembalikan formulir
lewat pos, fax, maupun email. Komnas Perempuan akan melakukan verifikasi data dengan
menghubungi lembaga mitra dimaksud lewat telpon dan/atau email. Jadi, pada prinsipnya
data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra
selama (dalam) tahun bersangkutan.
Terima
49
123
29
10
21
Kej
PN
PT PTA RS
RPT
C
sebar
31 138 203
13
378 349
57
terima
76
16
10
12
24
53
61
tetapi turut berpartisipasi, seperti: kejaksaan, kejaksaan negeri, mahkamah syariah, pemda,
pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi agama.
Sama dengan tahun yang lalu, pada tahun ini Komnas Perempuan mendapatkan
kemudahan mengakses data pengadilan (agama dan negeri PA dan PN) lewat situs web
(website). Hal ini berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI
No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan
SK ini, telah banyak Pengadilan membuka akses data lewat situsnya.
Kategori Lembaga
Kejaksaan Negeri
Kepol i si an
LSM
P2TP2A
Pemda
Pengadi l an Agama
Pengadi l an Negeri
Pengadi l an Ti nggi
Rumah Saki t
Total
Rujukan
Lapor l ewat Fol l ow up
l embaga
Tel epon
dr medi a
l ai n (n=1725)
(n=227)
(n=85)
%
%
%
0,00
0,00
0,00
24,70
0,44
0,00
32,70
91,63
89,41
3,71
3,96
0,00
0,58
0,00
0,00
1,51
0,88
0,00
9,10
0,00
0,00
0,35
0,00
0,00
27,36
3,08
10,59
100,00
100,00
100,00
Saksi ,
Pel apor
(n=635)
%
0,31
31,97
41,57
1,42
0,00
17,17
1,73
4,41
1,42
100,00
Korban
Sumber
sendi ri
Lai n
(n=6953)
(n=360)
%
%
0,04
0,00
4,20
1,1
28,71
91,7
0,16
7,2
0,00
0,00
65,58
0,00
0,20
0,00
0,00
0,00
1,11
0,00
100,00
100,0
Mencermati data di atas, dapat diperoleh informasi kemungkinan perkembangan kerja sama
antar lembaga boleh dikatakan meningkat dibandingkan tahun lalu. Khusus mengenai
rujukan ini jika ditelusuri data yang ada diperoleh informasi bahwa ada sejumlah lembaga
yang menerima dan kemungkinan saling menerima serta merujukkan kasus, yaitu:
kepolisian (UUPA), LSM, rumah sakit, dan pengadilan negeri.
Seperti pada tahun lalu, data juga menunjukkan korban banyak datang sendiri ke Pengadilan
Agama (66% dari seluruh korban yang datang ke semua kategori lembaga), dan ada 29%
korban datang sendiri ke LSM.
Setiap tahunnya, banyak korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan. Oleh karena
itu, meskipun tidak mempunyai mandat pendampingan, Komnas Perempuan sejak tiga
tahun yang lalu (tahun 2005) Komnas Perempuan mengembangkan Unit Pelayanan
Rujukan (UPR) yang fungsinya menerima korban dan merujuk ke lembaga mitra. Pada
tahun ini, korban yang datang mengadu ke Komnas Perempuan sejumlah 923 kasus dan di
antara korban tersebut banyak kasus kekerasan yang tidak berbasis gender. Komnas
Perempuan sedapat mungkin merujuk korban yang datang ke lembaga mitra dan/atau
menindaklanjutinya dalam rangka memberikan dukungan korban dimana desakan kepada
lembaga-lembaga terkait dimana perlu.
G A M B A R A N U M U M : DA TA K T P TA H U N 2 0 0 9
Jumlah
korban
kasus
kekersan terhadap perempuan
pada tahun ini mencapai
143.586 (orang). Angka ini
meningkat
sebesar
263%
dibandingkan
tahun
lalu
(54.425 korban).
143586
Beberapa tahun belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan
mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya
yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal oleh masyarakat secara luas
(kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali).
Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih berani
membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka
terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima
(tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak
kekerasan.
Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di bawah ini menunjukkan jumlah korban
kekerasan terhadap perempuan terbanyak ada di wilayah Jawa (123.774) Jawa Timur
(88.836), DKI Jakarta (12.955), dan DIY (10.560). Jumlah korban kedua terbanyak di
Jumlah Kasus KTP Menurut WIlayah
(CATAHU 2009)
NAD
Jumlah
280
Sumate
Kalima
Jawa
Bali
ra
ntan
8987 123774 4632
858
NTB
NTT
1172
954
Sulawe
Maluku Papua
si
2301
347
281
wilayah Sumatera (8.987), kemudian Kalimantan (4.632) dan Sulawesi (2.301). Berdeasarkan
data yang diterima dari tahun ke tahun memang jelas terlihat bahwa lembaga mitra paling
banyak (dari segi sebaran maupun yang memberikan respon) berada di tiga wilayah ini
(Jawa, Sumatera dan Kalimantan). Keberadaan lembaga pengada layanan ini memudahkan
akses korban yang membutuhkan bantuan (dalam bentuk apa pun), seperti diungkapkan
dalam data mengenai hambatan penanganan kasus. Dan bila mencermati data lebih lanjut,
keberadaan lembaga pengada layanan menjadi signifikan: dari jumlah kasus rata-rata yang
diterima oleh lembaga pengada layanan di wilayah Jawa, misalnya, yang mencapai 1000
kasus per lembaga dalam setahun dibandingkan dengan lembaga pengada layanan di
wilayah Papua yang menerima kasus antara 40 45 kasus per tahun.
10
P O L A K T P TAH U N 20 09 : K E K E R A S A N S E K S UA L DAN PS I K I S
JenisKDRT/ RP
(CATAHU 2009)
11
Kalimantan
121
Bali
70
6683
100,00
< 5 th
Tdk sek
< SD
SD
SLTP
SLTA
PT
lainnya
Korban
36
6 - 12 th 13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th > 40 th lainnya
155
510
286
360
95
21
Korban
48
52
178
388
443
75
72
Pelaku
14
139
219
362
191
75
Pelaku
28
39
119
190
412
108
34
Tingkat pendidikan pelaku dan korban dapat dilihat pada grafik di atas (kanan). Korban
paling banyak dengan tingkat pendidikan SLTA, kemudian SLTP, dan SD. Untuk tingkat
pendidikan ini juga dapat dilihat korban dan pelaku adalah orang dari tingkat pendidikan
paling rendah (tidak sekolah) sampai tingkat pendidikan tinggi (perguruan tingi).
12
Pekerjaan Korban
i bu rumah tangga
pel ajar/ mahasi swa
dagang
tani
nel ayan
swasta
karyawan
buruh
wi raswasta
PNS
pol i si
satpam
pensi un
ti dak kerja
l ai n-l ai n
PRT
pel ayan caf
PSK
buruh mi gran
Total
Jumlah
131
320
6
14
0
189
4
50
47
10
1
0
0
118
60
35
27
14
10
1036
Korban
paling banyak adalah mahasiswa, pegawai swasta,
ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sedangkan
pelaku banyak dari pegawai swasta, tidak bekerja,
mahasiswa, pekerja, wiraswasta. Data lebih detil
dapat dilihat pada kedua tabel di atas (dan
samping).
Pekerjaan Pelaku
i bu rumah tangga
pel ajar/ mahasi swa
dagang
tani
nel ayan
swasta
karyawan
buruh bangunan
buruh
wi raswasta
PNS
profesi onal
guru
supi r
ojek
kades
TNI
pol i si
satpam
pensi un
ti dak kerja
l ai n-l ai n
pemuka agama
seni man
sponsor
muci kari
PJTKI
Buruh mi gran
Jumlah
5
89
30
37
7
230
35
3
58
53
29
3
9
9
24
6
2
12
3
1
84
39
1
1
18
2
12
8
810
13
Ada 7 lembaga yang menangani kasus KTP negara, yaitu: Advokasi Pekerja Migran
Indonesia, LBH APIK Aceh, PBHI Jakarta, Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi, SP Palembang, SPEKHAM, dan UUPA Polda Bangka Belitung (Babel).
Sedangkan tindak kekerasan yang dialami oleh korban mencakup: intimidasi, pengabaian
(laporan KTP tidak ditanggapi), pengejaran PSK, perceraian sepihak dengan saksi palsu,
pelarangan ikut ujian nasional (UNAS) karena hamil, pelecehan seksual yang dilakukan oleh
aparat negara, penyiksaan dan penganiayaan (oleh aparat negara).Tempat terjadinya KTP
negara yang diidentifikasi adalah: di dalam mobil, di kantor (Dinas Pendidikan), sekolah, di
kantor kepolisian, di pengadilan agama/negeri. Pelaku yang didata termasuk: kasat
reskrim/petugas piket UUPA, kepala dinas, kepala sekolah, majelis hakim, satpol PP, polisi.
< 5 th
6 - 12 th
Korban
13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th
7
13
> 40 th
1
Pelaku
17
25
Karakteristik usia dan tingkat pendidikan pelaku dan korban KTP Negara dapat dilihat
seperti pada grafik di atas. Berbeda dengan korban KTP Komunitas, usia korban KTP
Negara kebanyakan di kelompok usia 25 40 tahun dan 13 18 tahun, serta ada korban
usia di atas 40 tahun. Tidak ada korban di usia kurang dari 13 tahun. Pelaku pun demikian,
kebanyakan pelaku berusia antara 25 40 tahun, 13 18 tahun dan kelompok usia 19 24
tahun.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan, kebanyakan korban berpendidikan tingkat SLTA
dan Perguruan Tinggi. Ada korban dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat SD
dalam jumlah kecil. Sedangkan pelaku mempunyai tingkat pendidikan antara SLTP, SLTA
dan Perguruan Tinggi.
Pekerjaan Korban
ibu rumah tangga
pelajar/mahasiswa
dagang
tani
nelayan
swasta
PNS
PSK
polisi
tidak kerja
(lain-lain)
PRT
Total
14
Jml
0
8
0
0
0
3
2
6
2
1
0
2
24
Dua tabel di
samping
menunjuk- kan
pekerjaan korban
dan pelaku KTP
Negara. Korban
paling
banyak
adalah PSK, ada
juga pegawai swasta, polisi, dan pekerja rumah tangga
(PRT). Sedangkan pelau kebanyakan adalah PNS,
PJTKI, dan majikan, ada pula yang masih berstatus
mahasiswa.
Pekerjaan Pelaku
pelajar/mahasiswa
PNS
polisi
(lain-lain)
PJTKI
majikan
Total
Jml
1
11
1
2
5
4
24
P E N AN G A N AN : K A PA S I TAS L E M B A G A DA N I M P L E M E N TA S I P E R A N G K A T H U K U M
15
Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) juga banyak digunakan dalam
penanganan kasus lewat jalur hukum. Hal ini berkaitan dengan adanya korban usia anak
seperti telah dijelaskan terdahulu. Lembaga-lembaga yang menggunakan UU Perlindungan
Anak ini di antaranya adalah: UPPA, LSM, Pengadilan Negeri, P2TP2A, Pengadilan
Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pemda.
Ada juga lembaga yang menggunakan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu LSM dan
Pengadilan Agama
I . B E N TU K DA N PO L A K E K E R A S A N T E R H ADA P P E R E M P UA N
I.1
16
ini untuk dapat memastikan bahwa dari setiap 3 kandididat terpilih terdapat 1 perempuan.
Kedua pasal tersebut di atas kemudian dimohonkan kepada sidang Mahkamah Konstitusi
pada akhir tahun 2008 dengan alasan melanggar hak konstitusional warga negara laki-laki
yang menjadi calon anggota legislatif. Dalam persidangan tersebut, dengan perkara No.
22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008, Makhamah Konstitusi menetapkan bahwa pasal
55 ayat (2) tidak bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan masih mengikat. Pasal 55
ayat (2) adalah pasal yang berkaitan dengan tindakan khusus sementara (affirmative action)
yang kondusif untuk mewujudkan kesetaraan gender termasuk hak perempuan di bidang
politik. Namun, Mahkamah Konstitusi juga menetapkan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d
dan e, tidak mempunyai kekuatan hukum bahwa, dengan sistem proposional terbuka
menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif
karena seharusnya rakyat dapat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif
yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling
banyak.
Penting dicatat bahwa di dalam keputusan ini, salah seorang hakim Konstitusi
Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Pasal 214 huruf
a,b,c,d, dan e, adalah tidak bertentangan dengan konstitusi karena menjadi satu kesatuan
dengan pasal 52(2) dan 53 dalam mewujudkan tindakan affirmatif bagi keterwakilan
perempuan:
yang merupakan desain dari hulu ke hilir, dalam arti mengkombinasikan
antara proteksi dalam mekanisme internal partai pencalonan dan penempatan
dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen
yang diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah
pemilihan yang bersangkutan; penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214
undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang
keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan Oleh karena itu, penetapan penggantian
dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif
tersebut2
KPU paska penetapan keputusan MK melontarkan wacana penetapan calon
legislatif terpilih dengan mempertimbangkan tindakan khusus sementara dalam penetapan
calon legislatif terpilih. KPU seperti dilansir media di akhir Januari 2009 berencana
menetapkan zipper system dalam penetapan calon terpilih.3 Dalam sistem ini, jika satu parpol
di satu dapil memperoleh 3 kursi, maka minimal satu kursi itu diberikan kepada caleg
perempuan, meski dia kalah suara dari caleg laki-laki. Usulan ini ternyata mentah di pleno
KPU bulan Maret 2009. Peraturan KPU no. 15 Tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 16
Maret 2009 yang diharapkan mampu mengakomodir tindakan khusus sementara buat calon
2
17
legislatif perempuan ternyata juga tidak mengakomodir zipper system untuk memastikan
keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Tabel 1
Perbandingan Jumlah Perempuan Anggota DPR-RI Hasil Pemilu 2004 dan 2009
No
Kursi Partai
Kursi
Perempuan
2004
2009
2004
2009
Jumlah
Perempuan
Dalam %
Partai Politik
2004
Persentase
Dibanding
Seluruh
Perempuan
Terpilih DPR
RI
2009
2004
2009
Partai Golkar
128
107
18
17
14%
15,89%
29,03%
16,83
%
PDIP
109
95
12
19
11%
20,00%
19,35%
18,81
%
PPP
58
37
5,17%
13,51%
4,83%
4,95
%
Partai Demokrat
55
150
37
10,52
%
24,67%
9,67%
36,63
%
52
27
13,46
%
25,93
11,29%
6,93
%
53
43
13,46
%
13,95%
11,29%
5,94
%
45
57
6,66%
5,26%
4,83%
2,97
%
14
15,38
%
3,22%
11
0%
0%
10
13
25%
4,83%
11
0%
0%
12
0%
0%
13
Partai Pelopor
33%
1,61%
14
0%
0%
15
PNI Marhaenisme
0%
0%
16
0%
0%
17
Gerindra
18
26
15,38%
3,96
%
18
Hanura
TOTAL
18
550
560
3
62
101
16,67%
11,27
%
18,04%
2,97
%
100%
Data 2004 diolah dari catatan CETRO; untuk tahun 2009 adalah catatan CETRO dari rapat Pleno KPU , 24
Mei 2009. http://www.cetro.or.id/perempuan/JUMLAHDPRperempuan.pdf
Bila dibandingkan dengan pemilu 2004 jumlah perempuan yang berhasil duduk di
parlemen memang menunjukkan kenaikkan. Pada pemilu 2004 jumlah perempuan yang
menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89%
dari 16 partai politik peserta Pemilu. Pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan sebesar 7%
dimana perempuan berhasil memperoleh 101 kursi atau sekitar 18,04% kursi di DPR dari 9
Partai,4 sebagaimana ditunjukkan oleh tabel jumlah caleg perempuan terpilih hasil Pemilu
2004 dan 2009 di atas. Peningkatan ini tidaklah bisa dipandang sebagai buah implementasi
Pasal 55 ayat 2. Bila dicermati pada Pemilu 2004 yang menerapkan kuota 30% dalam
penetapan calon legislatif terpilih, tidak ada satupun partai yang memenuhi kuota 30%
tersebut. Sementara di Pemilu 2009, faktor Partai Demokrat sebagai partai yang memenangi
pemilu legislatif, yang menyumbang pada kenaikan signifikan jumlah caleg perempuan di
DPR; 36,63% dari total 101 orang calon legislatif perempuan terpilih berasal dari partai ini.
Di luar Partai Demokrat tidak ada partai lain yang berhasil memenuhi kuota 30%, bahkan
jauh di bawah 30 %. Tantangan tidak hanya soal memenuhi kuota 30% perempuan dalam
rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen melainkan bagaimana untuk
meningkatkan kualitas perempuan yang duduk di parlemen.
I.1.2. Isu Pembubaran Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Peleburan
Komnas Perempuan
Di tahun 2009 Komnas Perempuan mencatat dua peristiwa penting terkait dengan
dua lembaga negara yang memiliki wewenang mengenai perempuan dan penegakan dan
pemenuhan hak asasi perempuan, lembaga tersebut adalah Kementerian Pemberdayaan
perempuan (Meneg PP) dan Komnas Perempuan sendiri. Kedua lembaga ini berhadapan
dengan isu penghapusan institusi. Usulan pembubaran Meneg PP disampaikan oleh salah
seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait dengan upaya
perampingan kabinet. Usulan ini menuai kritik karena menunjukkan cara pandang tentang
penyelenggaraan negara yang parsial dan tidak sensitif pada permasalahan ketimpangan
relasi sosial yang telah berurat akar di dalam masyarakat. Dalam formasi Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II, Meneg PP berubah nama menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
masih mengadopsi ideologi negara tentang perempuan yang menjadi warisan Orde Baru,
yaitu merekatkan peran perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu.
Ketidaksempurnaan dalam memahami persoalan perempuan, khususnya
perempuan sebagai warga negara dan sebagai manusia juga tampak dalam usulan untuk
meleburkan Komnas Perempuan. Usulan ini, disamping 38 lembaga nonstruktural lainnya,
4
Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK)
19
100%
dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam rapat kerja antara
Sekretariat Negara RI dengan Komisi II DPR RI.5 Posisi dan kinerja Komnas Perempuan
sebagai mekanisme penegakan hak asasi manusia yang independen, khas, efektif dan
penting bagi penyelenggaraan negara yang demokratis belum memperoleh perhatian yang
proporsional di dalam studi awal yang menjadi dasar usulan tersebut. Pada saat bersamaan,
Komnas Perempuan mendukung langkah awal Sekretariat Negara untuk mengkaji lembagalembaga negara dalam kerangka reformasi birokrasi. Untuk itu, Komnas Perempuan telah
mengajak pihak Sekretariat Negara dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait untuk
melakukan bersama evaluasi independen terhadap Komnas Perempuan.
I.2
Tahun 2009 diawali oleh situasi krisis global yang cukup berdampak bagi pekerja
migran yang bekerja di luar negeri. Dalam situasi tersebut penempatan pekerja migran di
luar negeri masih menjadi salah satu tulang punggung pendapatan Negara dalam bentuk
devisa. Devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga ditengah
situasi lapangan kerja yang semakin sempit. Tak mengherankan setiap tahun penempatan
pekerja migran terus bertambah.
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi
menyebutkan, hingga awal Februari 2010 jumlah pekerja migran mencapai 2.679.536 orang.
Dari jumlah tersebut, rasio dari tahun ke tahun dari tahun 1995-2008, antara 70-80.3 %
adalah perempuan yang bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pekerja rumah
tangga. Peningkatan jumlah pengiriman pekerja migran yang diikuti dengan peningkatan
devisa Negara masih tidak sebanding dengan peningkatan perlindungan HAM pekerja
migran. Jumlah kasus yang dialami masih cukup tinggi dan berbagai kebijakan pemerintah
belum berorientasi perubahan sistemik.
Hingga Oktober 2009 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
(BNP2TKI) mencatat penempatan pekerja migran mencapai 240.284 orang. Dengan
persebaran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik, 161.963 (67.40%) pekerja sektor
informal dan 78.321 (32,60 %) menempati sektor formal). Sedangkan devisa yang
dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$
6.615.321.274 milyar.
Gambar 1: Perbandingan jumlah Pekerja Migran di Sektor Informal dan Formal
33%
sektor informal
sektor formal
67%
20
BNP2TKI sebagai salah satu lembaga negara yang bertanggung jawab mengatur lalu
lintas penempatan pekerja migran dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada
tahun 2009 menangani sekitar 7.709 kasus. Kasus terbesar berasal dari negara-negara Asia
Pasifik sekitar 6.075 kasus. Dari jumlah itu, terdapat 5.403 kasus deportasi dari Malaysia,
dan 644 kasus PHK sepihak yang terjadi di Aljazair sebagai akibat krisis global. Kasus di
Timur Tengah jumlahnya 1.634 kasus. Dari 7.709 kasus, sekitar 1.335 kasus (17,3 persen)
dalam proses penyelesaian6.
Penurunan jumlah penempatan ternyata tidak mengurangi jumlah kasus yang
dialami oleh pekerja migran. Bahkan data yang dirilis oleh LSM Migran Care melaporkan
jumlah pekerja migran yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri pada tahun 2009
mencapai 1.018 orang, 67 % di antaranya meninggal dunia di Malaysia. Sedikitnya 2.878
pekerja migran mengalami kekerasan pada tahun yang sama. Jumlah ini meningkat dari data
tahun sebelumnya sebanyak 554 orang pekerja migran meninggal dunia, data ini setidaknya
berdasarkan data yang dimiliki LSM mitra Komnas Perempuan yang bekerja pada sektor
pekerja migran. Tingginya data kematian ini merupakan potret terkelam dari pelanggaran
HAM. Ironisnya dokumentasi pendataan kasus-kasus secara kuantitatf ini tidak cukup
menjadi alat setrategis untuk mendesakkan kebijakan perlindungan Negara terhadap pekerja
migran. Terbukti sudah 5 kali pergantian presiden, 30 tahun pengiriman pekerja migran,
tetapi upaya perlindungan belum terlihat sistemik.
Problem khas yang dialami pekerja migran perempuan sangat bertalian dengan politik
tubuh, dimana identitas seksual menjadi target yang rentan eksploitasi dan diskriminasi.
Kasus panjang kekerasan seksual, kehamilan akibat perkosaan, perkawinan semu7, sangat
jelas terlihat polanya. Tetapi ada juga persoalan lain seperti pembatasan hak kebebasan
untuk bergerak (freedom of movement), kontrol terhadap moral dan tubuh yang kerap tidak
diperhitungkan dalam sistem dokumentasi pelanggaran HAM pekerja migran karena
dianggap pelanggaran yang samar.
Potret Kebijakan
Pada tingkat kebijakan, pemastian perlindungan HAM pekerja migran dengan
ratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja migran dan anggota
keluarganya masih menemui kendala. Pemerintah dalam hal ini Kementrian tenaga kerja
dan transmigrasi masih menganggap bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 belum menjadi
hal yang strategis bagi perlindungan pekerja migran, padahal sebelumnya telah ditandatangi
dan masuk dalam RAN HAM 2004-2009. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut
terjadi, antara lain karena tidak ada kontinuitas program dari satu periode pemerintah ke
periode berikutnya. Selain itu komitmen kepala Negara untuk melindungi pekerja migran
belum sepenuhnya teraplikasi dalam kebijakan konkrit. Belum lagi koordinasi antar
kementrian terkait yang masih belum sinergis.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Depnaker yang kemudian diiklankan di salah
satu media nasional bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 hanya akan menguntungkan
pekerja asing yang ada di Indonesia dan menambah beban pemerintah. Hingga saat ini
kementrian Tenaga Kerja hanya akan mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konvensi, menyiapkan kajian lebih lanjut mengenai manfaat langsung ratifikasi Konvensi
dan aspek teknis yang terkait dengannya.
Menggunakan pola perkawinan untuk menghindari kewajiban membayar upah sebagai pekerja migran.
21
Komnas Perempuan dan Komnas HAM bersama dengan mitra-mitranya antara lain
Serikat pekerja dan LSM yang bekerja untuk pekerja migran seperti ATKI, SBMI, Aspek,
Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, LBH APIK, IWORK dan mitra-mitra dari daerah
yang lain, mendorong agar pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB 1990, dalam
bentuk membuat naskah akademik RUU Ratifikasi konvensi 1990, untuk memasukkan
dalam legislasi nasional yang dibahas pada periode sidang DPR RI tahun 2009-2010. Pada
prosesnya usulan tersebut ternyata gagal masuk dalam daftar legislasi nasional karena secara
politis perlindungan HAM pekerja migran melalui konvensi tersebut belum dianggap
mendesak.
Sedangkan amandemen Undang undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, masuk dalam daftar Program Legislatif
Nasional (Prolegnas) 2010 karena berbagai dorongan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, baik yang berorientasi ekonomis semata maupun yang mendorong
perlindungan pekerja migran. Dalam rupa kebijakan yang lain, harus diakui terdapat upaya
perbaikan yang dilakukan pemerintah terkait dengan kerjasama (bilateral agreement) dengan
Negara-negara penerima pekerja migran.
Dengan Malaysia, pemerintah Indonesia telah melakukan pembicaraan melalui
gabungan kelompok kerja (Joint Working Group) ke-5 di Kuala Lumpur tahun 2009.
Beberapa point penting yang sudah disepakati, antara lain :
1. Paspor dipegang oleh Penata Laksana Rumah tangga (PLRT), sebelumnya paspor
dipegang oleh majikan sesuai dengan MoU 2004.
2. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu.
3. Penentuan upah mulai dari RM 800.
4. Pemotongan gaji Pekerja Migran oleh pengguna jasa tidak boleh melebihi 50% dari
gaji yang diterima oleh Pekerja Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan
pemotongan gaji ini akan dimasukkan kedalam perubahan UU
perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka
Pada tanggal 14 September 2009 pemerintah Indonesia melakukan moratorium
pengiriman pekerja migran ke Kuwait, mengingat meluasnya kasus-kasus yang dialami
pekerja migran yang bekerja disana. Pemerintah Indonesia telah menginisiasi pembicaraan
ulang mengenai kesepakatan kedua negara berkait pekerja migran yang hingga saat ini
belum ada perkembangan berarti. Begitupun kesepakatan dengan negara-negara penerima
yang lain masih belum ada perubahan signifikan.
Kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan pekerja migran yang sedang
bekerja masih sebatas pada reformasi administrasi, belum menyentuh substansi
perlindungan. Misalnya saja program citizen Services yang sudah dijalankan beberapa
perwakilan pemerintah di negara penempatan, secara administrasif hal tersebut
berkontribusi bagi penyederhanaan birokrasi. Sementara itu kebutuhan mendesak lainnya
seperti penampungan (shelter), mekanisme penanganan kasus, pemulangan dan pemulihan
hak korban belum optimal.
Salah satu persoalan yang selama ini menjadi momok bagi pekerja migran adalah
kehadiran terminal khusus pendataan dan pemulangan TKI. Pada akhir tahun ini,
pemerintahan baru memunculkan wacana untuk memberikan pilihan kepada pekerja
migran untuk melewati terminal khusus tersebut atau tidak. Hingga kini, belum ada
kejelasan apakah wacana tersebut sudah disahkan menjadi sebuah kebijakan yang mengikat
dan berlaku.
22
Komnas Perempuan menerima tiga pengaduan kasus konflik sumber daya alam yang
melibatkan perempuan sebagai korban. Adapun ketiga kasus tersebut adalah (a) pengaduan
warga Desa Polo dan Desa Linamnutu beserta pendamping, yaitu Walhi Eksekutif
Nasional, mengenai kondisi perempuan akibat pembabatan hutan masyarakat adat Pubabu
Besipae Desa Polo dan Desa Linamnutu untuk proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (Gerhan) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, (b) konflik lahan antara warga Dusun
Suluk Bongkal, Desa Beringin dengan PT. Arara Abadi, pemegang Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan (c) kasus warga Sukolilo, Pati, Jawa Tengah yang
menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik di wilayahnya, karena akan merusak
sumber air.
1.4.1 Proyek GERHAN, Desa Polo dan Desa Linamnutu, Kabupaten Timor
Tengah Selatan, NTT
23
Pihak yang berkonflik adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan
dengan masyarakat dua desa yang menolak pembakaran hutan adat Pubabu Besipae untuk
proyek Gerhan tersebut. Penolakan masyarakat didasari karena hutan tersebut adalah hutan
adat mereka yang ditanami tumbuh-tumbuhan seperti pohon asam. Sehingga masyarakat
dua desa merasa bahwa proyek Gerhan atau rehabilitasi lahan tidak diperlukan. Akibat yang
ditimbulkan akibat pembakaran hutan adat seluas 6000 ha tersebut adalah:
-
24
I.5
Kalimat di atas diucapkan Presiden SBY pada saat acara debat calon presiden di salah
satu stasiun televisi swasta pada tanggal 02 Juli 2009, jika terpilih kembali maka hal tersebut
menjadi program 100 harinya. Hal ini merupakan harapan baru bagi perwujudan Integritas
hukum, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa terkait dengan
kebijakan yang diskriminatif, yang dalam kurun waktu 10 tahun terus bermunculan di
berbagai daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, telah ada 30 produk kebijakan
dimiliki Indonesia dalam 10 tahun terakhir9, yang menjadi titik pijak untuk menegaskan
langkah pemerintah dalam pemajuan dan pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan
di Indonesia di masa mendatang. Namun, pada saat bersamaan Komnas Perempuan
mencatat pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan-kebijakan lembaga negara baik di
tingkat pusat maupun daerah tetap menjadi tren nasional. Hingga penghujung tahun 2009
menjelang berakhirnya program 100 hari belum ada indikasi pembatalan atau bahkan
peninjauan ulang atas perda-perda bermasalah tersebut, sebaliknya yang terjadi munculnya
12 Kebijakan di tingkat nasional, 15 Kebijakan di daerah (15) dan 3 kebijakan di regional ASEAN
25
kembali 13 perda dan 11 ranperda yang sejenis dengan pemantauan Komnas Perempuan
sebelumnya.10
Dalam grand design Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RJPMN) yang di
rencanakan untuk tahun 2010-2014, Pemerintah mencantumkan Program harmonisasi dan
sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga tercapai
keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000
peraturan daerah selambat-lambatnya 2011.11 Namun dalam realisasi 100 hari kerja,
berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan pada kementerian terkait hanya perda
retribusi dan pajak yang dianggap bermasalah dan kemudian dibatalkan (sebanyak 714).
Terkait 154 perda bermasalah yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan kepada
Presiden sebagai prioritas agenda kerja 100 hari masih tetap menjadi lembaran-lembaran
sah di setiap daerah.
Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi 6 konvensi internasional Indonesia terikat
untuk menjalankan dan memiliki mekanisme nasional yang menjamin pemenuhan hak-hak
bagi perempuan. Oleh karena itu, negara dalam fungsinya sesuai mandat konstitusi baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib memainkan perananan dalam melindungi (protection)
perempuan, memenuhi (fulfill) hak-hak perempuan, menjamin (garante) dari segala bentuk
diskriminasi, dan membuat kebijakan yang menghapuskan diskriminasi pada perempuan.
Unsur diskriminasi dalam suatu kebijakan dapat mengacu pada rumusan undang-undang,
yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan konstitusi dalam kehidupan bernegara, merupakan
konsensus bangsa sebagai landasan bersama guna mewujudkan Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengabaian terhadap konstitusi merupakan persoalan
besar atas nasionalisme bangsa dan proses demokrasi yang telah dibangun selama ini.
Kebijakan diskriminatif merupakan salah satu indikasi dari pengabaian terhadap konstitusi
yaitu dengan diabaikan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam perumusannya. Terjadinya
pelanggaran hak-hak konstitusional warga oleh aparatur hukum, menyisakan trauma bagi
korban, juga adanya ketidak kepastian hukum di dalam masyarakat karena tidak
harmonisnya antara peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan
nasional dan daerah, trauma yang mendalam bagi korban terutama kaum perempuan dan
10 15 PERDA tersebut antara lain : 1. Qanun Aceh tahun tentang Kompilasi Hukum Jinayat, 2. Perda Kota
Tasik Malaya tentang Perjudian, 2. Perda Kota Tasik Malaya tentang Syariat Islam, 3. Perda Kota Tasik
Malaya tentang Peradilan Syariat Islam, 4. Perda Kota Tasik Malaya tentang Hubungan tata kerja majelis
permusyawaratan ulama (MPU) dengan eksekutif, legislatif dan instansi lainnya, 5. Perda Kota Tasik Malaya
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, 6. Perda tentang Penyakit
Masyarakat Nomor 1 Tahun 2009, Perda Pelarangan Pelacuran kab Jombang, (terkait moralitas dan agama);
7. Perda Zakat kab Bekasi, 8. Perda Pendidikan al-Quran Prov Kalimantan Selatan, 9. Perda Pengelolaan
Zakat Kab Batam, 10. Perda Pengelolaan Zakat kab Mamuju, 11. SK Walikota Palembang No. 177 Tahun
2009 tentang Kewajiban Membayar Zakat bagi PNS Kota Palembang, 12., 13. Qanun Aceh tentang Hukum
Acara Jinayat Aceh. ---RANPERDA: 1. Ranperda Pemberantasan Pelacuran, Kabupaten Kudus, 2. Ranperda
Syariat Islam kab Madura, 3. Ranperda zakat Provinsi Nusa Tenggara Barat., 4. Raperda zakat prov Sumatera
Utara, 5. Raperda zakat Kota Balikpapan, 6. Raperda zakat Kaltim, 7. Raperda zakat Kab Konawe, Raperda
pemberantasan pelacuran kab Kudus, 8. Raperda miras Kota Surakarta, 9. Raperda pewajiban jilbab kab
Bangkalan, 10. Ranperda kab Aceh Barat (pelarangan perempuan memakai celana jeans); 11. Ranperda Kota
Tasik Malaya tentang khalwat.
11
26
(Draft) Qanun tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat di Aceh
Sejak awal tahun 2005 Komnas Perempuan bersama mitra-mitra di Aceh telah
melakukan berbagai aktivitas dan pengkajian implementasi penerapan syariat Islam di Aceh
termasuk implikasinya pada tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama terkait
dengan terbitnya 4 peraturan daerah (qanun), yaitu qanun terkait penyelenggaraan Syariat
Islam yang mengatur pula tentang busana, qanun tentang Khamar/minuman beralkohol,
Maisir/judi ,Khalwat/bersunyi-sunyian antar laki-laki dan perempuan yang bukan keluarga
ataupun terikat perkawinan). Komnas Perempuan mencatat persoalan-persoalan yang
muncul terkait dengan pemberlakuan qanun-qanun tersebut, yang diproduksi oleh otoritas
legislasi selain tidak memiliki landasan materil dari peraturan yang lebih tinggi, juga
mengalami kontradiksi dengan produk undang-undang lainnya, artinya conflicting norm antar
undang-undang tidak dapat dihindari.14 Selain itu qanun-qanun ini telah mengubah anatomi
penegak hukum yang selama ini diatur dalam hukum nasional, namun kemudian muncul
dalam bentuknya seperti Mahkamah Syariyah (MS) berwenang mengadili perkara pidana,
Wilayatul Hisbah (WH) lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan
advokasi pelaksanaan qanun tentang penegakan syariat Islam, dan Dinas Syariat Islam organ
eksekutif yang mewakili pemerintah dalam upaya penegakan syariat Islam.
Pengesahan qanun tentang hukum Jinayat dan Hukum acara Jinayat oleh DPRA
dilakukan
tanpa mempertimbangkan keberatan pemerintah Aceh. Qanun ini ditujukan sebagai bentuk
kompilasi dari tiga qanun sebelumnya dan penambahan berbagai bentuk tindakan yang
dianggap sebagai tindak pidana. Akibatnya, pengulangan kontroversi dan permasalahan
seperti tahun-tahun sebelumnya masih tetap muncul. Apalagi ditambah dengan
memperkenalkan bentuk penghukuman rajam, disamping cambuk, yang bertentangan
Indonesia berkomitmen untuk melindungi setiap warga negaranya dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Pasal 281 (2). Dan untuk
mendapatkan kemudahan dan perlakuan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (pasal 281 H (2))
12
13 UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
UU No. 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
kejam. Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi Rasial UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.39 tahun 2004 tentang
penempatan dan perlindungan TKI diluar negeri, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internasional tentang hak-hak
ekonomi, social dan budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internacional hak-hak sipil
dan politik, UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban, UU No.21 Tahun 2007 tentang
Kewarganegaraan, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
14
Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,
10 Oktober 2005, Komnas Perempuan.
27
UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,dan UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang
Ratifikasi Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak
Manusiawi atau Hukuman yang Merendahkan.
Kemunculan qanun tentang Jinayat dalam kerangka kebijakan Indonesia adalah juga
bukti kegagalan jajaran pemerintah nasional yang mengemban kewajiban dan kewenangan
untuk mengkaji dan mencegah adanya kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan nasional dan UUD RI Tahun 1945. Keistimewaan
Aceh dan segala bentuk kekhasan daerah yang tercakup dalam peraturan perundangundangan nasional tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan dan melembagakan
diskrminasi dan perlakuan tidak manusiawi terhadap warga negara Indonesia di mana pun
mereka berada.15
Tepatnya pada bulan November 2009, DPRD Tasikmalaya mengesahkan lima perda
diantaranya Hubungan tata kerja Majelis Permusyawaratan (MPU) dengan eksekutif,
legislatif dan instansi lainnya. Perda tentang Maisir (Perjudian), Tentang Peradilan syariat
Islam, Perda tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Perda Tentang Pelaksanaan Syariat
Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Dari segi muatan, kecuali untuk sanksi yang
diatur, adalah jiplakan dari aturan serupa yang ada di Aceh. Perda-perda baru ini
menambah jumlah perda diskriminatif yang telah dimiliki oleh Tasikmayala, yaitu sebanyak
7 buah perda di tingkat Kabupaten Tasikmalaya.16 Sementara peninjauan terhadap ketujuh
perda tersebut belum dilakukan, kelima perda baru ini turut melembagakan diskriminasi di
dalam tatanan negara-bangsa Indonesia.
Lilis Lindawati Mahmudah adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran di
Cengkareng.Ia menjadi korban salah tangkap pada operasi penertiban pekerja seks
komersial yang digelar oleh petugas Tantrib Kota Tangerang pada tanggal 26 Februari 2006
bersama-sama dengan 27 orang perempuan lainnya. Para tantrib pada saat itu sedang
melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di
Kota Tangerang, yang menyebutkan larangan bagi:
Siaran Pers Komnas Perempuan; Pengesahan Qanun Jinayat, Pemerintah Nasional Gagal menegakkan Konstituai, 15
September 2000
15
Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Komnas
Perempuan, 2009
16
28
Pada malam yang sama, Lilis dan perempuan-perempuan lainnya langsung ditahan.
Padahal, menurut hukum acara pidana, hanya tersangka dengan ancaman hukuman lima
tahun ke atas yang dapat ditahan. Keesokan harinya, para perempuan yang terjaring operasi
Tramtib itu diadili dengan acara sidang Tindak Pidana Ringan atau Tipiring. Hakim tunggal
Barmen Sinurat menghukum Lilis Lindawati dengan denda sebesar Rp 300 ribu. Lilis yang
bersuamikan seorang guru sekolah dasar menolak membayar denda tersebut karena
Istilahnya, kalo saya bayar, dianggapnya saya pelacur, dong! Itu, denda segitu, nggak mau
saya Akhirnya terpaksa dibawa ke LP, ditahan, ujarnya. (www.detik.com)
Beberapa hari setelah penahanan tersebut, Ibu Lilis sudah bisa menghirup udara
bebas. Tapi trauma penangkapan dan pemenjaraan yang dialaminya belum juga hilang.
Karena mengalami kerugian materi dan moril akibat salah tangkap itu, Lilis mengajukan
gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparat Kota Tangerang
dengan gugatan senilai Rp 500 juta kepada Walikota Tangerang, selain permintaan maaf di
depan umum.
Usaha hukum Lilis tidak membuahkan hasil, gugatan tersebut akhirnya ditolak oleh
Hakim Mahmakah Agung RI. Apalagi karena putusan MA menyatakan bahwa
pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang tidak bertentangan dengan
peraturan Undang-Undang (UU) dilihat dari aspek prosedural. Hal ini di sampaikan oleh
juru bicara MA Djoko Sarwoko. Perkara ini sendiri ditangani oleh tiga hakim agung
Achmad Sukarja (Ketua Majelis), Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar, dan diputus pada
1 Maret 2007. Selain itu, dalam putusannya majelis hakim di tingkat MA menilai, Perda
tersebut merupakan implementasi politik dari Pemerintah Kota Tangerang, yang tentunya
tidak termasuk materi yang dapat diujimateriilkan.
Saat ini tepat 3 tahun putusan MA terhadap JR Perda Tangerang itu di keluarkan,
namun demikian sampai dengan saat ini, pihak penggugat maupun pengacaranya belum
pernah mendapatkan salinan keputusan MA tersebut. Ibu Lilis Lindawati Mahmudah
sendiri saat ini sudah meninggal dunia. Kabar ini diterima oleh Komnas Perempuan pada
bulan Oktober 2009. Salah seorang anak Ibu Lilis menyatakan bahwa semenjak kejadian
salah tangkap tersebut, Lilis dan keluarganya telah berpindah tempat tinggal sebanyak 4 kali
karena cap sebagai PSK yang didapat oleh Lilis akibat salah tangkap menjadikan ibunya
mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari para tetangganya. Suami Ibu Lilis pun terpaksa
harus berhenti dari tempat mengajarnya karena pihak sekolah tidak ingin sekolahnya
mendapatkan cap buruk dari masyarakat karena salah satu pengajarnya memiliki istri
seorang PSK. Akibat perlakuan tersebut, Llis mengalami tekanan psikologis dan sakitsakitan, sampai pada akhir ia meninggal dunia pada bulan Agustus tahun 2008.
29
1.7.1.. Kasus Prita dan Nenek Minah: Perempuan berhadapan dengan Hukum
Salah satu peristiwa penting di tahun 2009 berkaitan dengan perempuan ketika
berhadapan dengan hukum adalah kasus Nenek Minah. PN Banyumas memvonis Nenek
Minah, seorang perempuan belasan cucu , bersalah karena mencuri tiga buah coklat (kakao)
milik PT Rumpun Sari Antan. Perusahaan perkebunan pemilik 200 hektare tanaman kakao
di Desa Darmak Radenan, Banyumas, Jawa Tengah menuduh Nenek Minah telah mencuri
biji kakao sejumlah tiga kilo gram seharga 30 ribu rupiah. Mereka menuntut nenek Minah di
Pengadilan Negeri Purwokerto dengan alasan untuk memberikan efek jera. Padahal, nenek
30
Minah mencuri kakao untuk membuat benih.17 Nenek Minah ditenggarai melanggar Pasal
21 dan Pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang
menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan
kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan.
Nenek Minah salah satu warga desa yang tidak bisa membaca alias buta huruf.
Ketika peristiwa pencurian terjadi dan ia tertangkap oleh mandor perkebunan dengan polos
ia mengatakan kalau ia tidak tahu dan meminta maaf dengan sangat atas apa yang telah ia
lakukan. Ia mempersilahkan kepada Nono untuk membawa kakao itu. Namun persoalan ini
ternyata tidak serta merta selesai. Di akhir Agustus 2009, Nenek Minah dipanggil pihak
Kepolisian Sektor Ajibarang berkaitan dengan pemetikan tiga buah kakao. Pada pertengah
Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto. Di pengadilan, Nenek
Minah menjalani proses peradilan tanpa didampingi pengacara. Akhirnya, pada Kamis, 19
September 2009, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto memberikan hukuman satu bulan
dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.Keputusan
pengadilan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, bukan hanya bagi Nenek Minah tetapi
juga masyarkat pada umumnya, mengingat pemiskinan yang terus berlangsung dan masih
banyaknya kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar yang tidak tersentuh oleh hukum.
17(http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251837/Kisah.Nenek.Minah.Belum.Selesai.dan
http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251681/Curi.Tiga.Buah.Kakao.Nenek.Divonis.Satu.Bulan).
18
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/06/02/brk,20090602-179467,id.html
31
161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional, "dan 100 juta untuk kerugian
imateril." Dalam tingkat banding denda dikukuhkan menjadi Rp. 204 juta.
Untuk perkara pidana Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa di Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten menyatakan Dengan ini, Prita divonis bebas dari tuduhan pencemaran
nama baik terhadap RS Omni Internasional19 Pihak Jaksa Penuntut Umum menanggapi
keputusan ini dengan berkata Saya akan pikir-pikir selama 14 hari terhadap putusan ini.
Biar Mahkamah Agung yang menilai Prita bebas secara murni atau tidak.. Menurutnya,
dukungan masyarakat dan kalangan elite politik yang begitu tinggi kepada Prita
menimbulkan anggapan putusan hakim tidak bersifat objektif.
Sejak menjadi sorotan publik, polisi dan kejaksaan saling tuding soal siapa yang
bertanggung jawab memuat Pasal 27 Ayat 3 sebagai dakwaan primer dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perkara
pidana dengan terdakwa Prita Mulyasari (32). Pemuatan pasal dengan ancaman penjara
enam tahun itu mengakibatkan Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Tangerang, Banten, sejak 13 Mei hingga 3 Juni 2009. Penahanan itu memancing reaksi
keras dari pejabat tinggi negara hingga masyarakat luas. Mabes Polri memanggil tim
penyidik kasus Prita dari Polda Metro Jaya. Kejaksaan Agung juga mengambil langkah
serupa terhadap aparat dari kejaksaan yang menangani kasus Prita.
1.7.3. Kasus Devi Perempuan Korban Kekerasan
Komnas Perempuan mengamati pemberitaan di media terkait dengan kasus korban
perkosaan yang meninggal disebabkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai pasca terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Kisah bermula pada Senin 26
Februari 2009. Wanita berusia 20-an tahun, itu ditemukan warga Gang Delima 1, Pamulang
Timur, Kabupaten Tangerang, dalam kondisi mengenaskan. Ia diduga menjadi korban
pemerkosaan. Selama sepekan ia hanya dirawat warga di pos ronda setempat lantaran polisi
tak menggubris laporan warga. Setelah media memberitakannya, barulah polisi datang dan
membawanya ke RS Bhakti Husada Tangerang pada Sabtu 21 Februari. Ia dirawat di sana
sebelum dirujuk ke RSU Tangerang pada Senin 23 Februari sekitar pukul 04.00. Tiga jam
kemudian, Devi meninggal. 20
Kenyataan bahwa warga yang bertindak dalam memberikan perawatan terhadap
korban dengan merawat korban di pos ronda selama sepekan dikarenakan polisi tidak
menggubris laporan warga membuktikan minimnya perhatian pihak terkait terhadap
perempuan korban kekerasan. Di Kabupaten Tangerang sendiri yang adalah bagian dari
Provinsi Banten, Pusat Pelayanan terpadu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Banten Nomor 463/KEP-144-HUK/2007. Sejauh ini keberadaan P2TP2A di
Provinsi Banten sudah tersebar di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang
dan Kabupaten Lebak.21 Namun adanya hukum, perangkat dan lembaga juga belum cukup
19
http://www.detiknews.com/read/2009/12/29/162435/1267957/10/hakim-nilai-email-prita-bukan-pencemarannama-baik, Selasa, 29/12/2009 16:24 WIB, Hakim Nilai Email Prita Bukan Pencemaran Nama Baik
20
21
32
33
pendidik mencapai sejumlah 784 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Para pelaku
tersebut terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri, Kejaksaan, Bappeda,
Kehakiman, Bupati dan pendidik.23
800
600
557
552
400
200
166
0
2006
2007
2008
2009
Tahun
23
34
lebih menonjol, reality show seperti Termehek Mehek lebih sering menampilkan eksploitasi
terhadap konflik-konflik yang terjadi dalam relasi intim itu. Termehek Mehek dan Masihkah
Kau Mencintaiku lebih banyak memunculkan sisi bombastis seperti recok atau adu mulut,
lelehan deras air mata, suara emosional penuh dendam dan kebencian, amarah meluap yang
cenderung agresif, dan lain-lain. Dalam analisa Komnas Perempuan, baik Termehek Mehek
maupun Masihkah Kau Mencintaiku belum banyak menonjolkan sisi kemanusiaan, edukasi
dan advokasi dalam penyelesaian masalah hubungan intim atau hubungan keluarga. Dalam
kondisi ini, penyelesaian masalah tidak menyentuh persoalan hak-hak yang terlanggar pada
pihak yang dikorbankan dan butuh upaya pemenuhan.
Dalam konteks hubungan gender, dalam acara reality show tersebut perempuan
sering menjadi pihak yang dipersalahkan. Dalam beberapa tayangan Termehek Mehek dan
Masihkah Kau Mencintaiku, banyak penggambaran tentang perempuan sebagai penggoda,
perebut pasangan orang lain, dan stereotype sejenis. Dalam posisi yang dipersalahkan,
perempuan sering tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki-laki dalam
memberikan pembelaan Bahkan, pihak perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi
masyarakat tentang perempuan yang sarat nilai patriarkis, yaitu semestinya lemah lembut,
penuh cinta, setia dan patuh pada suami. Dalam upaya penyelesaian konflik ,reality show
justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak-hak korban,
termasuk dalam bentuk menyalahkan korban (blaming the victim). Karena format reality show
atau tayangan berdasarkan kenyataan, seoalh-olah menyuguhkan kisah nyata maka muatan
tayangan seperti Termehek Mehek dan Masikah Kau Mencintaiku akan menjadi media yang
efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan pandangan masyarakat, termasuk terkait
pandangan tentang ketimpangan gender dan hak-hak perempuan dalam hubungan intim
dan hubungan keluarga sebagi hal yang lumrah.
Mengingat komitmen negara dan bangsa Indonesia untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka Komnas Permepuan mendorong Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan
lensa keadilan jender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk
melakukan pendidikan dan perubahan sosial menuju tatanan masyuarakat yang demokratis
dan menjunjung hak asasi manusia bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang
mengerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempersalahkan perempuan korban
kekerasan.
I I . T E RO B O S A N K E B I JA K AN
35
dan 3); (4) menata pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk
kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (5) mendukung
pemberian ASI eksklusif, dimana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini
dengan menyediakan fasilitas dan kebutuhan guna mendukungnya (Pasal 128), bahkan jika
tidak maka ada ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber
daya kesehatan dan upaya kesehatan (Pasal 200); (6) memperhatikan kesehatan remaja dan
lanjut usia; serta (7) menjamin hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan
(Bab XIV). Diakomodirnya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak
mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya
perspektif perempuan dalam UU Kesehatan ini.
Walau demikian, UU Kesehatan No. 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir
kebutuhan khusus perempuan. Pertama, UU ini masih diskriminatif dengan menempatkan
perempuan pada pihak yang tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi
harus dengan persetujuan suami, bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3). Kedua,
hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan
pengabaian karena mendiskriminasikan hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya
bersifat individual telah direduksi atas dasar status perkawinannya Hal ini tersirat dalam
Pasal 72a dimana dinyakatakan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi
dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan
dengan pasangan yang sah;
Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan
upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja,
pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta
kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi
perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan
kesehatan reproduksi. Hal ini karena dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah
menikah. Keempat, potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan
keadilan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir
dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini,
UU Kesehatan No. 23/1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang
melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU No. 36/2009 ketentuan pidana ini berlaku pada
semua pihak, termasuk perempuan karena UU ini hanya mengecualikan aborsi untuk (1)
kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan
masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu).
II.2 Lahirnya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang penerapan standarstandar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian.
Upaya memastikan terciptanya situasi kondusif bagi perempuan korban atas hak
kebenaran, keadilan, dan pemulihan, membutuhkan kerjasama lintas institusi penegak
hukum. Kerjasama ini telah berhasil mendorong lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah disahkan pada
36
tanggal 22 Juni 2009. Dua hal yang mengemuka di dalam Perkap No. 8/2009 yang terkait
dengan kerentanan khusus perempuan terhadap kekerasan adalah:
1. Ketentuan dari Bab II tentang Instrumen Perlindungan HAM, pasal 5 (1) point v
mengenai hak untuk tidak disiksa dan pasal 6 point e mengenai hak khusus
perempuan;
2. Ketentuan dari Bab III tentang Standar Perilaku Petugas/Anggota Polri dalam
Penegakan Hukum, pasal 11 (1) point c mengenai pelecehan atau kekerasan seksual
terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; pasal 13
(1) point a mengenai Polri/anggota Polri dalam melaksanakan kegiatan
penyelidikan dilarang untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis
ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; pasal
20 point a mengenai sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau
petugas yang berperspektif jender; pasal 20 point d mengenai hal mendapat
perlakuan khusus; dan, ketentuan dari pasal 29 mengenai kewajiban dari petugas
kepolisian dalam melakukan pemeriksaan terhadap perempuan, seperti: (a) diperiksa
di ruang khusus; (b) perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan; (c) hak
didampingi oleh pekerja sosial atau ahli selain penasihat hukum; (d) penerapan
prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
II.3
Salah satu terobosan dalam Program Penguatan Penegak Hukum tersebut adalah
adanya MoU antara LBH APIK Jakarta dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia,
yakni No. 001/MoU/LBH Apik Jkt/2009, tentang Program Pelatihan Penanganan
Perkara Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. MoU tersebut ditandatangani oleh
Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Estu Rahmi Fanani Direktur LBH APIK Jakarta
pada Jumat, 30 Januari 2009. Adapun tujuan utama dari penandatangan MoU ini adalah
agar adanya keberlangsungan program penguatan hukum yang berperspektif gender di
kalangan para penegak hukum. Selain itu juga agar penanganan terhadap kasus-kasus
Kekerasan terhadap Perempuan (termasuk anak) dapat menjadi prioritas daripada kasuskasus kekerasan lainnya. Meskipun jangka waktu kerjasamanya hanya terbatas 1 (satu)
tahun, tetapi para pihak sepakat akan memperpanjang MoU sesuai dengan kebutuhan.
II.4 MoU 6 lembaga termasuk Komnas Perempuan dengan LPSK soal
perlindungan saksi korban
Pada tanggal 3 Desember 2009 Komnas Perempuan menandatangani nota
kesepahaman antara 5 lembaga negara (Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komnas
HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang
Perlindungan Keamanan Bagi Saksi dan Korban. Nota kesepahaman tersebut ditujukan
bagi penyelenggaraan kerjasama perlindungan keamanan bagi saksi dan korban, diantaranya
menciptakan mekanisme layanan perlindungan, tersedianya fasilitas, saran adan prasarana
untuk meningkatkan daya tanggap dan kemampuan perlindungan bagi saksi dan korban
serta terwujudnya kinerja perlindungan keamanan bagi saksi dan korban.
Adanya nota kesepahaman 5 lembaga ini adalah salah satu terobosan upaya
perlindungan bagi saksi dan korban terutama perempuan korban kekerasan,
ditandatanganinya nota kesepahaman ini adalah bukti komitmen awal 5 lembaga terkait
untuk mewujudkan perlindungan bagi saksi dan korban. Jangka waktu nota kesepahaman
yang disepakati selama tiga tahun adalah tepat sebagai langkah merumuskan kerjasama yang
sinergis dan merumuskan bangunan mekanisme layanan, fasilitas sarana dan prasarana serta
37
Inisiatif daerah
MoU RI MALAYSIA:
1. Joint Working Group ke-5 telah dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tahun 2009,
beberapa point penting yang telah disepakati yaitu :
a. Paspor dipegang oleh PLRT (sebelumnya paspor dipegang oleh majikan
sesuai dengan MoU 2004).
b. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu
c. Penentuan starting point gaji mulai dari RM 800 (catatan : hingga saat ini angka
belum disepakati)
3. Dalam Joint Working Group juga disepakati bahwa pemotongan gaji Pekerja Migran
oleh employer/ majikan tidak boleh melebihi 50% dari gaji yang diterima oleh Pekerja
Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan tentang pemotongan ini akan dimasukkan
kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka.
I I I . P E N AN G A NA N : P E N GUA TA N L AYA NA N B A GI P E R E M P UA N KO R B A N
K E K E RA S AN
38
Saat ini tercatat ada 20 unit Women Crisis Centre (WCC), 20 Pusat Krisi Terpadu
(PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah, 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS
Bhayangkara yang tersebar di beberapa wilayah, 305 Unit Perlindungan Perempuan dan
Anak (PPA), 131 unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan
29 Unit RPTC di 23 propinsi. Selain berhadapan dengan persoalan jumlah pusat layanan
yang belum sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani, pusat layanan juga berhadapan
dengan persoalan kapasitas. Fungsi-fungsinya belum berjalan dengan baik sehingga cita-cita
untuk memberikan pelayanan terbaik bagi semua korban belum sepenuhnya terwujud.
Bahkan, sebagian dari layanan-layanan tersebut justru mengalami kevakuman. Beberapa
alasan yang mengemuka antara lain adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah
seperti anggaran pelaksanaan dan sumberdaya yang terbatas dalam pengelolaannya, seperti
di P2TP2A Kab. Asahan (Sumut) dan Kota Sabang (NAD) yang dibentuk tahun 2007 oleh
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan24.
Akhir tahun 2009, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
telah merampungkan Standard Pelayanan Minimum (SPM) bagi perempuan dan anak
korban kekerasan dan disahkan melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 01 Tahun
2010, dan sudah dapat digunakan tahun 2010 oleh seluruh lembaga layanan yang ada. Di
tingkat implementasi, standar ini akan berhadapan dengan kendala ketersediaan tenaga
pendukung, seperti psikolog dan advokat di sebagian besar layanan. Belum lagi, sosialisasi
terhadap keberadaan layanan-layanan tersebut secara luas masih kurang sehingga korban
dapat mengakses layanan yang tersedia.25
Sejumlah kebijakan baru di tingkat lokal membuka peluang baru untuk
memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Di tahun 2009 lahir beberapa kebijakan di
tingkat daerah tentang penanganan perempuan korban kekerasan, seperti Keputusan
Walikota Manado tentang Pembentukan P2TP2A, Keputusan Bupati Cianjur tentang
Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Hanya saja, kebijakan-kebijakan tersebut lebih pada akses bagi korban KDRT dan
trafiking. Padahal, layanan juga dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan yang terjadi
tidak dalam konteks Kekerasan dalam Rumah Tangga maupun trafiking. Saat ini, baik di
tingkat daerah maupun nasional, belum ada pula kebijakan yang memberikan pemuylihan
mendesak kepada perempuan korban kekerasan di dalam konteks konflik ataupun
pertikaian politik lainnya.
Catatan penting dalam hal penanganan kasus tahun 2009 adalah temuan tentang best
practice dari pelaksanaan layanan adalah keberadaan P2TP2A di Kabupaten Sikka NTT. Di
bawah panduan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Pemerintah Daerah setempat,
P2TP2A memainkan fungsi-fungsi koordinasi yang cukup baik dalam penyelenggaraan
layanan dengan memaksimalkan lembaga-lembaga layanan lokal yang sudah ada dengan
mendukung perangkat-perangkat pendukung pelaksanaannya seperti infrastruktur dan
anggaran lewat SK Bupati yang diterbitkan setiap tahun mengikuti tahun anggaran daerah.
Komnas Perempuan berharap peran positif ini akan diadopsi sebagai petunjuk pelaksanaan
P2TP2A dalam rangka mendorong upaya pemenuhan hak perempuan korban.
24
25
Akses Perempuan Korban Kekerasan terhadap Layanan Terpadu, Komnas Perempuan 2009.
39
KESIMPULAN
40
RE KO M E N DA S I
41
TERIMA KASIH
Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang tercantum di bawah
ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasaan
Terhadap Perempuan tahun 2009
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
42
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
43
44
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
45
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
213.
214.
215.
216.
217.
218.
219.
220.
221.
222.
223.
224.
225.
226.
227.
228.
229.
230.
46
255.
256.
257.
258.
259.
260.
261.
262.
263.
264.
265.
266.
267.
268.
269.
270.
271.
272.
273.
274.
275.
276.
277.
278.
279.
280.
281.
282.
283.
284.
285.
286.
287.
288.
289.
290.
291.
292.
293.
294.
295.
296.
297.
298.
299.
300.
47
48