Lalu Husni
Fakultas Hukum Universitas Mataram
Romdiana
PMC Co-Fish Selong
1. Pendahuluan
Penggunaan kearifan lokal sebagai pondasi pengelolaan
sumberdaya merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia.
Pengelolaan semacam ini biasanya diistilahkan dengan istilah
pengelolaan partisipatif, pengelolaan kolaboratif atau kadang disebut
juga pengelolaan berbasis masyarakat. Beberapa proyek yang
mempromosikan pengelolaan sumberdaya perikanan atau kelautan
secara partisipatif adalaf COREMAP, Proyek Pesisir, Proyek Co-Fish, dan
Proyek MCRM. Sayangnya publikasi tentang keberhasilan atau
kegagalan dari hasil-hasil kegiatan proyek tersebut sangat kurang.
Karena itu, perlu dirintis penulisan ilmiah atau publikasi lain tentang
pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif yang masih sulit
ditemukan di Indonesia.
Di Kabupaten Lombok Timur, proyek yang mengupayakan
pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif telah dimulai
sejak tahun 1999, yaitu Proyek Co-Fish (Hardjo et al., 2003). Pada
tahun ketiga, tahun 2001, Proyek Co-Fish mulai mengupayakan
terbentuknya rencana pengelolaan secara partisipatif. Rencana
pengelolaan yang terbentuk di akhir tahun 2001 kemudian
dimplementasikan oleh masyarakat (secara partisipatif) dengan
sebuah keberhasilan. Implementasi dari rencana pengelolaan yang
disusun sebagai awig-awig tersebut telah banyak menurunkan angka
pengeboman dan pemotasan ikan (Bachtiar, 2003).
Awig-awig
merupakan bagian dari produk hukum, maka awig-awig yang disusun
dalam pengelolaan partisipatif ini mengacu pada ketentuan formal
yakni Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 2000 tentang teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai
validitas yang sempurna.
Makalah ini dimaksudkan untuk mendiseminasikan proses
penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan pantai dalam
bentuk awig-awig di Kabupaten Lombok Timur. Diharapkan tulisan ini
bisa menyumbangkan pengalaman yang bisa diadaptasikan di lokasi
lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif.
2. Kondisi Geografis
Kawasan pesisir selatan Kabupaten Lombok Timur secara umum
terdiri atas pantai yang berpasir dan pantai yang berbatu keras (rocky
shores). Pantai yang berpasir terdapat di dalam tiga teluk dan di
sekitarnya, sedangkan pantai yang berbatu keras terbentang di bagian
selatan Desa Pemongkong, antara Bagian timur Teluk Ekas hingga
Pantai Kaliantan dan di antara bagian timur Teluk Serewe hingga
Tanjung Ringgit.
Perencanaan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
pantai
didasarkan pada kawasan pengelolaan, misalnya teluk, yaitu Teluk
Ekas, Teluk Serewe dan Teluk Jukung. Pada proyek sejenis lainnya di
Indonesia, kawasan pengelolaan didasarkan pada desa (Fraser et al.,
1999). Pemilihan kawasan teluk sebagai basis perencanaan
sumberdaya perikanan pantai secara partsisipatif karena alasan
kemudahan pengawasan dan tingginya intensitas penangkapan ikan.
Ketiga teluk yang dipilih tersebut mempunyai karakteristik
oseanografis yang berbeda karena posisi mulut teluk yang berbeda.
Teluk Ekas dan Teluk Serewe menghadap ke Samudera Hindia,
sedangkan Teluk Jukung menghadap ke Selat Alas (Gambar 1).
Teluk Ekas pernah menjadi sentra budidaya rumput laut. Tetapi dengan
banyaknya kasus penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut
sangat berkurang pada saat ini. Lokasi di Teluk Ekas yang masih
banyak dilakukan budidaya rumput laut adalah Ekas dan Batunampar.
Teluk Serewe merupakan teluk kecil yang berada di dalam
administrasi satu desa saja, Desa Pemongkong. Teluk Serewe dikelilingi
oleh tiga buah dusun, yaitu Dusun Serewe, Dusun Pengoros dan Dusun
Ketangga. Dusun Serewe dikenal oleh masyarakat luar kawasan
sebagai tempatnya para pengebom ikan. Di sekeliling teluk banyak
terdapat vegetasi mangrove dengan ketebalan yang rendah, antara
10-50 meter. Di dalam teluk terdapat padang lamun di perairan
dangkal dan terumbu karang di lokasi yang lebih dalam. Teluk Serewe
pernah menjadi sentra produksi rumput laut. Dengan banyaknya kasus
penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut juga sangat berkurang.
Teluk Jukung merupakan teluk yang sangat terbuka. Di sebelah
utara teluk terdapat PPI yang paling besar di Propinsi NTB, PPI Tanjung
Luar. Tanjung Luar merupakan desa yang paling padat di kawasan ini,
dan merupakan desa nelayan terbesar di Pulau Lombok. Di dalam teluk
terdapat banyak teluk-teluk kecil lainnya, misalnya Teluk Jor, Teluk
Kecibing, dan Teluk Telune. Teluk Jukung merupakan lokasi
penangkapan ikan (fishing ground) yang ramai. Di bagian teluk yang
dekat dengan Selat Alas terdapat budidaya kerang mutiara. Tidak ada
budidaya yang rumput laut atau kerapu/lobster pada tahun 2000-2002.
Di dalam teluk terdapat sekitar 6 (enam) gili (pulau sangat kecil), 3
(tiga) di antaranya berpenghuni yaitu Gili Maringke, Gili Kodek dan Gili
Belek. Gili Maringke dan Gili Belek merupakan tempat tinggalnya
beberapa pengebom ikan yang terkenal di kalangan nelayan.
3. Profil Masyarakat Nelayan
Sebelum dilakukan perencanaan pembuatan awig-awig dilakukan,
proyek melakukan identifikasi awig-awig atau aturan lokal lain yang
sudah ada, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis melalui
pertemuan-pertemuan dengan masyarakat di sekeliling ketiga teluk,
pada bulan April 2001. Pada saat itu diidentifikasi ada beberapa aturan
yang sebagian besar tidak tertulis yang sudah ada pada masyarakat di
tiga teluk.
Profil masyarakat nelayan di ketiga teluk sebelum proses
penyusunan awig-awig dimulai sebagai berikut.
A. Profil Masyarakat Nelayan di Teluk Ekas
Teluk Ekas merupakan teluk yang dibatasi oleh tiga buah desa,
yaitu Desa Batunampar, Desa Pemongkong dan Desa Sukaraja.
Penelitian tentang profil masyarakat dilakukan dengan mengunjungi 3
(tiga) buah dusun, yaitu Batunampar, Ujung, Saung, dan Ekas. Di
semua dusun yang dikunjungi menempatkan pengeboman ikan dan
pemotasan ikan merupakan masalah serius yang belum bisa diatasi.
1) Dusun Batunampar
Masyarakat nelayan di Batunampar diperkirakan sekitar 300
orang yang kebanyakan mengaku sebagai Suku Bajo. Tidak ada kapal
nelayan yang mempunyai motor >5.5 PK. Sebagian besar dari mareka
juga sebagai petani rumput laut. Beberapa orang di antara penduduk
melakukan budidaya lobster.
Sebagian kecil masyarakat Dusun Batunampar pernah mendengar
adanya awig-awig yang mengatur tentang larangan pengeboman,
larangan pemotasan dan pengaturan penggunaan mini purse seine.
Menurut mareka awig-awig tersebut dibuat oleh LSM YKR dengan dana
dari Proyek Co-Fish. Awig-awig tersebut juga mengatur tentang
perlindungan terumbu karang, pengaturan jumlah lampu pada bagan
dan pengamanan laut. Tetapi awig-awig yang dibuat tahun 2000 ini
tidak pernah diakui dan ditaati oleh masyarakat.
Awig-awig yang lama yang sangat dipatuhi masyarakat adalah
tradisi Selamatan Laut. Pada saat diadakannya selamatan tersebut
tidak diperbolehkan adanya penangkapan selama 3-4 hari dengan
periode sekali dalam 3 (tiga) tahun.
Masyarakat Dusun Batunampar umumnya merasakan ada
beberapa masalah dengan sumberdaya perikanan sebagai sumber
pendapatan mareka yang utama. Masalah tersebut antara lain
menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan, menghilangnya beberapa
sumberdaya perikanan seperti jenis ikan cerubuk, dan cumi-cumi.
Mareka berprasangka bahwa menurunnya ikan-ikan tersebut akibat
adanya jaring klitik yang biasanya dioperasikan oleh masyarakat dari
Dusun Ujung (Desa Pemongkong). Karena itu, mareka mengusulkan
kalau akan dibuat awig-awig maka perlu adanya pengaturan alat
tangkap terutama dalam hal: ukuran mata jaring pada bagan, bekas
bagan di teluk, ukuran mata jaring klitik, pengurangan penggunaan
jaring oros (pull-net) dan penggunaan kompressor di dalam teluk.
Masyarakat Batunampar juga mengaku adanya konflik antar
nelayan seperti antara nelayan pengguna jala oras (Danish seine)
dengan nelayan purse seine, nelayan pengguna pancing dan mini
purse seine, nelayan pengguna jaring dengan pembudidaya kerang
mutiara.
Hasil-hasil lain dari diskusi dengan masyarakat Batunampar
adalah:
Praktek penangkapan yang merusak lingkungan diatur dalam awigawig dengan sanksi berat yang tidak hanya ditujukan untuk
pengebom, pemotas dan yang menggunakan racun tetapi juga
untuk penggunaan alat yang mengganggu seperti bagan dan
kompressor.
3) Dusun Ekas
Jumlah nelayan di Dusun Ekas sekitar 200 orang yang sebagian
besar adalah Suku Sasak. Tidak ada nelayan yang mempunyai kapal
dengan motor >5.5 PK. Kebanyakan nelayan juga merupakan petani
rumput laut. Sama dengan di dua dusun sebelumnya, di Dusun Ekas
juga dijumpai sebagian masyarakat pernah mendengar adanya awigawig yang dibuat oleh YKR dan tidak bisa diimplementasikan. Adanya
tradisi Selamatan Laut juga sama dengan Dusun Batunampar dan
Ujung.
Masyarakat
nelayan
Dusun
Ekas
mempunyai
masalah
sumberdaya perikanan yang sama dengan dua dusun lainnya, yaitu
menurunnya hasil tangkapan, menghilangnya beberapa sumberdaya
perikanan seperti ikan kembung, lemuru, dan cumi-cumi. Mareka juga
menilai terjadinya kerusakan padang lamun akibat penangkapan ikan
yang menggunakan potas. Biasanya pemotas datang dari luar Dusun
Ekas.
Nelayan di Ekas menginginkan adanya pengaturan alat tangkap
dengan menghentikan penggunaan bagan terapung di dalam teluk
dan penggunaan kompressor yang dapat merusak terumbu karang,
serta perlu adanya pembuatan aturan ukuran mata jaring. Masyarakat
Ekas pernah ada konflik antara nelayan pengguna pancing dengan
mini purse seine, nelayan dengan pengguna potassium, nelayan
dengan pembudidaya kerang mutiara.
Hasil-hasil diskusi yang lain sebagai berikut:
menghentikan
disepakati
masyarakat
jika
Masa depan yang lebih baik dengan memiliki lebih banyak alat
tangkap ( 50 % nelayan tidak memiliki alat tangkap sendiri),
memiliki long line dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan
lepas pantai.
4. Penyusunan Awig-awig
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan
maksud untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan masyarakat. Penggabungan awig-awig desa menjadi awigawig kawasan dimaksudkan untuk keseragaman aturan yang berlaku,
hal ini sangat tepat karena pengelolaan sumberdaya perikanan telah
didelegasikan kepada KPPL kawasan dan adanya kesamaan
kepentingan antara masyarakat dalam kawasan untuk mengatur
sumberdaya perikanan.
Proses
penyusunan
awig-awig
pengelolaan
sumberdaya
perikanan di Lombok Timur dilakukan dengan beberapa tahapan yang
berbeda metodenya yaitu:
A. Studi Dokumentasi
Pelaksanaan studi dilakukan dengan menghimpun awig-awig desa
yang telah dibuat dan selanjutnya melakukan pengkajian untuk
mengetahui ruang lingkup, kesesuaian dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, kelompok masyarakat yang melaksanakan
awig-awig dan bagaimana cara melakukannya (hukum acaranya).
Dari hasil studi ditemukan bahwa dari 6 (enam) desa yang ada di
wilayah tiga kawasan (Teluk Jukung, Teluk Ekas, Teluk Serewe) ada 4
desa yang memiliki awig-awig yang dibuat tertulis yaitu desa Sukaraja,
Pemongkong (Serewe), Batu Nampar (Saung), dan Tanjung Luar.
Sedangkan desa yang lain memiliki awig-awig secara lisan yang isinya
sama dengan desa yang memiliki awig-awig tertulis. Awig-awig desa
yang mempunyai substansi sama memuat tentang pengeboman,
pemotasan, pelarangan perusakan dan penebangan bakau dan
sanksinya. Dalam awig-awig tersebut tidak ada kejelasan siapa yang
berwenang menjatuhkan sanksi pada setiap pelanggaran dan
bagaimana prosesnya, serta tidak mengacu pada format penyusunan
perundang-undangan dalam Keppres No.44 tahun 2000 tentang
petunjuk penyusunan peraturan perundang-undangan.
10
Penggunaan
bagan.
lokasi
semi-permanen, misal
jala oros,
budidaya keramba,
11
Penebangan mangrove.
C. Sosialisasi
Sosialisasi diperlukan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat di luar rapat KPPL untuk mengetahui tentang hasil-hasil
setiap rapat KPPL. Jika ada masyarakat yang tidak bisa menerima hasil
suatu rapat KPPL, maka ia bisa menyatakan keberatan kepada wakil
kelompoknya di dalam KPPL.
Beberapa metode yang dipergunakan dalam sosialisasi awig-awig
ini adalah :
1. Menempelkan pada papan sosialisasi, dilakukan di setiap
dusun/desa sesuai dengan kebutuhan dan ditempatkan pada lokasi
yang mudah dilihat masyarakat seperti tempat pelelangan ikan,
pendaratan ikan, kantor desa dan lainnya.
2. Brosur/foto kopi hasil kesepakatan FGD, dilakukan
memperbanyak dan mengedarkan kepada masyarkat.
dengan
12
13
Teknis
14