Anda di halaman 1dari 14

PENYUSUNAN AWIG-AWIG

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI


PESISIR SELATAN KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Imam Bachtiar
FKIP Universitas Mataram

Lalu Husni
Fakultas Hukum Universitas Mataram

Romdiana
PMC Co-Fish Selong

1. Pendahuluan
Penggunaan kearifan lokal sebagai pondasi pengelolaan
sumberdaya merupakan pendekatan yang relatif baru di Indonesia.
Pengelolaan semacam ini biasanya diistilahkan dengan istilah
pengelolaan partisipatif, pengelolaan kolaboratif atau kadang disebut
juga pengelolaan berbasis masyarakat. Beberapa proyek yang
mempromosikan pengelolaan sumberdaya perikanan atau kelautan
secara partisipatif adalaf COREMAP, Proyek Pesisir, Proyek Co-Fish, dan
Proyek MCRM. Sayangnya publikasi tentang keberhasilan atau
kegagalan dari hasil-hasil kegiatan proyek tersebut sangat kurang.
Karena itu, perlu dirintis penulisan ilmiah atau publikasi lain tentang
pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif yang masih sulit
ditemukan di Indonesia.
Di Kabupaten Lombok Timur, proyek yang mengupayakan
pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif telah dimulai
sejak tahun 1999, yaitu Proyek Co-Fish (Hardjo et al., 2003). Pada
tahun ketiga, tahun 2001, Proyek Co-Fish mulai mengupayakan
terbentuknya rencana pengelolaan secara partisipatif. Rencana
pengelolaan yang terbentuk di akhir tahun 2001 kemudian
dimplementasikan oleh masyarakat (secara partisipatif) dengan
sebuah keberhasilan. Implementasi dari rencana pengelolaan yang
disusun sebagai awig-awig tersebut telah banyak menurunkan angka
pengeboman dan pemotasan ikan (Bachtiar, 2003).
Awig-awig
merupakan bagian dari produk hukum, maka awig-awig yang disusun
dalam pengelolaan partisipatif ini mengacu pada ketentuan formal
yakni Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 2000 tentang teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga mempunyai
validitas yang sempurna.
Makalah ini dimaksudkan untuk mendiseminasikan proses
penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan pantai dalam
bentuk awig-awig di Kabupaten Lombok Timur. Diharapkan tulisan ini
bisa menyumbangkan pengalaman yang bisa diadaptasikan di lokasi
lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif.

2. Kondisi Geografis
Kawasan pesisir selatan Kabupaten Lombok Timur secara umum
terdiri atas pantai yang berpasir dan pantai yang berbatu keras (rocky
shores). Pantai yang berpasir terdapat di dalam tiga teluk dan di
sekitarnya, sedangkan pantai yang berbatu keras terbentang di bagian
selatan Desa Pemongkong, antara Bagian timur Teluk Ekas hingga
Pantai Kaliantan dan di antara bagian timur Teluk Serewe hingga
Tanjung Ringgit.
Perencanaan
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
pantai
didasarkan pada kawasan pengelolaan, misalnya teluk, yaitu Teluk
Ekas, Teluk Serewe dan Teluk Jukung. Pada proyek sejenis lainnya di
Indonesia, kawasan pengelolaan didasarkan pada desa (Fraser et al.,
1999). Pemilihan kawasan teluk sebagai basis perencanaan
sumberdaya perikanan pantai secara partsisipatif karena alasan
kemudahan pengawasan dan tingginya intensitas penangkapan ikan.
Ketiga teluk yang dipilih tersebut mempunyai karakteristik
oseanografis yang berbeda karena posisi mulut teluk yang berbeda.
Teluk Ekas dan Teluk Serewe menghadap ke Samudera Hindia,
sedangkan Teluk Jukung menghadap ke Selat Alas (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Ketiga Teluk


Teluk Ekas, yang luasnya sekitar 6.350 hektar, dikelilingi oleh 6
(enam) buah desa, yaitu Desa Pemongkong, Desa Sukaraja, Desa
Batunampar, Desa Kelongkong, dan Desa Awang. Dua desa yang
disebut terakhir di bawah administrasi Kabupaten Lombok Tengah.

Teluk Ekas pernah menjadi sentra budidaya rumput laut. Tetapi dengan
banyaknya kasus penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut
sangat berkurang pada saat ini. Lokasi di Teluk Ekas yang masih
banyak dilakukan budidaya rumput laut adalah Ekas dan Batunampar.
Teluk Serewe merupakan teluk kecil yang berada di dalam
administrasi satu desa saja, Desa Pemongkong. Teluk Serewe dikelilingi
oleh tiga buah dusun, yaitu Dusun Serewe, Dusun Pengoros dan Dusun
Ketangga. Dusun Serewe dikenal oleh masyarakat luar kawasan
sebagai tempatnya para pengebom ikan. Di sekeliling teluk banyak
terdapat vegetasi mangrove dengan ketebalan yang rendah, antara
10-50 meter. Di dalam teluk terdapat padang lamun di perairan
dangkal dan terumbu karang di lokasi yang lebih dalam. Teluk Serewe
pernah menjadi sentra produksi rumput laut. Dengan banyaknya kasus
penyakit rontok (ais-ais), budidaya rumput laut juga sangat berkurang.
Teluk Jukung merupakan teluk yang sangat terbuka. Di sebelah
utara teluk terdapat PPI yang paling besar di Propinsi NTB, PPI Tanjung
Luar. Tanjung Luar merupakan desa yang paling padat di kawasan ini,
dan merupakan desa nelayan terbesar di Pulau Lombok. Di dalam teluk
terdapat banyak teluk-teluk kecil lainnya, misalnya Teluk Jor, Teluk
Kecibing, dan Teluk Telune. Teluk Jukung merupakan lokasi
penangkapan ikan (fishing ground) yang ramai. Di bagian teluk yang
dekat dengan Selat Alas terdapat budidaya kerang mutiara. Tidak ada
budidaya yang rumput laut atau kerapu/lobster pada tahun 2000-2002.
Di dalam teluk terdapat sekitar 6 (enam) gili (pulau sangat kecil), 3
(tiga) di antaranya berpenghuni yaitu Gili Maringke, Gili Kodek dan Gili
Belek. Gili Maringke dan Gili Belek merupakan tempat tinggalnya
beberapa pengebom ikan yang terkenal di kalangan nelayan.
3. Profil Masyarakat Nelayan
Sebelum dilakukan perencanaan pembuatan awig-awig dilakukan,
proyek melakukan identifikasi awig-awig atau aturan lokal lain yang
sudah ada, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis melalui
pertemuan-pertemuan dengan masyarakat di sekeliling ketiga teluk,
pada bulan April 2001. Pada saat itu diidentifikasi ada beberapa aturan
yang sebagian besar tidak tertulis yang sudah ada pada masyarakat di
tiga teluk.
Profil masyarakat nelayan di ketiga teluk sebelum proses
penyusunan awig-awig dimulai sebagai berikut.
A. Profil Masyarakat Nelayan di Teluk Ekas
Teluk Ekas merupakan teluk yang dibatasi oleh tiga buah desa,
yaitu Desa Batunampar, Desa Pemongkong dan Desa Sukaraja.
Penelitian tentang profil masyarakat dilakukan dengan mengunjungi 3
(tiga) buah dusun, yaitu Batunampar, Ujung, Saung, dan Ekas. Di
semua dusun yang dikunjungi menempatkan pengeboman ikan dan
pemotasan ikan merupakan masalah serius yang belum bisa diatasi.

1) Dusun Batunampar
Masyarakat nelayan di Batunampar diperkirakan sekitar 300
orang yang kebanyakan mengaku sebagai Suku Bajo. Tidak ada kapal
nelayan yang mempunyai motor >5.5 PK. Sebagian besar dari mareka
juga sebagai petani rumput laut. Beberapa orang di antara penduduk
melakukan budidaya lobster.
Sebagian kecil masyarakat Dusun Batunampar pernah mendengar
adanya awig-awig yang mengatur tentang larangan pengeboman,
larangan pemotasan dan pengaturan penggunaan mini purse seine.
Menurut mareka awig-awig tersebut dibuat oleh LSM YKR dengan dana
dari Proyek Co-Fish. Awig-awig tersebut juga mengatur tentang
perlindungan terumbu karang, pengaturan jumlah lampu pada bagan
dan pengamanan laut. Tetapi awig-awig yang dibuat tahun 2000 ini
tidak pernah diakui dan ditaati oleh masyarakat.
Awig-awig yang lama yang sangat dipatuhi masyarakat adalah
tradisi Selamatan Laut. Pada saat diadakannya selamatan tersebut
tidak diperbolehkan adanya penangkapan selama 3-4 hari dengan
periode sekali dalam 3 (tiga) tahun.
Masyarakat Dusun Batunampar umumnya merasakan ada
beberapa masalah dengan sumberdaya perikanan sebagai sumber
pendapatan mareka yang utama. Masalah tersebut antara lain
menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan, menghilangnya beberapa
sumberdaya perikanan seperti jenis ikan cerubuk, dan cumi-cumi.
Mareka berprasangka bahwa menurunnya ikan-ikan tersebut akibat
adanya jaring klitik yang biasanya dioperasikan oleh masyarakat dari
Dusun Ujung (Desa Pemongkong). Karena itu, mareka mengusulkan
kalau akan dibuat awig-awig maka perlu adanya pengaturan alat
tangkap terutama dalam hal: ukuran mata jaring pada bagan, bekas
bagan di teluk, ukuran mata jaring klitik, pengurangan penggunaan
jaring oros (pull-net) dan penggunaan kompressor di dalam teluk.
Masyarakat Batunampar juga mengaku adanya konflik antar
nelayan seperti antara nelayan pengguna jala oras (Danish seine)
dengan nelayan purse seine, nelayan pengguna pancing dan mini
purse seine, nelayan pengguna jaring dengan pembudidaya kerang
mutiara.
Hasil-hasil lain dari diskusi dengan masyarakat Batunampar
adalah:

Masa depan yang lebih baik menurut nelayan Batunampar adalah


mempunyai alat tangkap sendiri (kondisi sekarang 45% masyarakat
tidak mempunyai alat tangkap sendiri), mempunyai long line dan
kapal yang lebih baik untuk penangkapan lepas pantai, dan
mempunyai keramba untuk budidaya kerapu dan lobster.

Praktek penangkapan yang merusak lingkungan diatur dalam awigawig dengan sanksi berat yang tidak hanya ditujukan untuk
pengebom, pemotas dan yang menggunakan racun tetapi juga
untuk penggunaan alat yang mengganggu seperti bagan dan
kompressor.

Suaka perikanan mungkin dilakukan dan dapat diterima


masyarakat, tetapi penangkapan ikan menggunakan pancing harus
diperbolehkan.

Pengaturan ukuran minimum ikan tangkap sangat sulit dilakukan


pada masyarakat, akan lebih baik jika dilakukan pengaturan ukuran
mata jaring.
Pengaturan mata jaring minimum akan dilakukan dalam awig-awig.

Penangkapan pengebom ikan pada awal tahun 2000, dan mantan


pengebom tersebut berjanji akan menangkap pengebom ikan jika
disediakan Speed boat dan HT.
2) Dusun Ujung

Dusun Ujung dihuni oleh sekitar 200 orang nelayan, yang


sebagian besar dari Suku Sasak. Tidak ada nelayan yang mempunyai
motor kapal >5.5 PK. Pada tahun 2001, baru ada seorang penduduk
yang melakukan budidaya lobster. Di dalam Teluk Ekas, masyarakat
nelayan Ujung mempunyai alat tangkap yang berbeda dengan
masyarakat di lokasi lainnya, Batunampar dan Ekas. Masyarakat Ujung
menggunakan alata tangkap kompresor dan jaring klitik. Kedua alat
tangkap ini dikeluhkan oleh masyarakat Batunampar dan Ekas.
Masyarakat Dusun Ujung juga mengaku sebagian mengetahui
adanya awig-awig yang dibuat oleh YKR dan didanai oleh Proyek CoFish. Tetapi awig-awig tersebut juga tidak mendapat pengakuan
masyarakat dan tidak bisa diimplementasikan. Di dusun ini juga ada
tradisi Selamatan Laut yang sama dengan tradisi di Batunampar.
Masyarakat Ujung merasa masalah-masalah dengan sumberdaya
perikanan
yang
utama
adalah:
penurunan
hasil
tangkap,
menghilangnya beberapa jenis sumberdaya ikan seperti ikan lemuru,
ikan julung-julung, ikan cerubuk, dan cumi-cumi, serta berkurangnya
luas kawasan padang lamun. Menurut nelayan Ujung, menurunnya
tangkapan ikan atau menghilangnya beberapa jenis ikan tertentu
tersebut karena adanya budidaya kerang mutiara di ujung Teluk Ekas.
Konstruksi budidaya kerang mutiara dianggap menghalangi masuknya
ikan ke dalam teluk.
Di Dusun Ujung tidak ada nelayan pengebom, tidak ada
penangkapan ikan dengan racun, sedangkan pengguna jaring oros
tidak menyadari bahwa jaring mereka bisa mengganggu kelestarian
penangkapan sumberdaya ikan.
Hasil-hasil yang lain sebagai berikut:

Nelayan Ujung memimpikan masa depan yang lebih baik sebagai


nelayan dan pembudidaya kerapu dan lobster, memiliki alat
tangkap yang labih banyak (40% nelayan tidak memiliki alat
tangkap sendiri), memiliki long line dan kapal yang lebih baik untuk
penangkapan lepas pantai.

Suaka perikanan mungkin bisa dibentuk jika yang melakukannya


adalah pemerintah dengan pengawasan yang efektif, akan tetapi
hal ini bisa menimbulkan konflik baru antar nelayan.

Pengaturan waktu penangkapan mustahil untuk dilakukan karena


mereka tidak mempunyai cukup makanan untuk hari esok.

3) Dusun Ekas
Jumlah nelayan di Dusun Ekas sekitar 200 orang yang sebagian
besar adalah Suku Sasak. Tidak ada nelayan yang mempunyai kapal
dengan motor >5.5 PK. Kebanyakan nelayan juga merupakan petani
rumput laut. Sama dengan di dua dusun sebelumnya, di Dusun Ekas
juga dijumpai sebagian masyarakat pernah mendengar adanya awigawig yang dibuat oleh YKR dan tidak bisa diimplementasikan. Adanya
tradisi Selamatan Laut juga sama dengan Dusun Batunampar dan
Ujung.
Masyarakat
nelayan
Dusun
Ekas
mempunyai
masalah
sumberdaya perikanan yang sama dengan dua dusun lainnya, yaitu
menurunnya hasil tangkapan, menghilangnya beberapa sumberdaya
perikanan seperti ikan kembung, lemuru, dan cumi-cumi. Mareka juga
menilai terjadinya kerusakan padang lamun akibat penangkapan ikan
yang menggunakan potas. Biasanya pemotas datang dari luar Dusun
Ekas.
Nelayan di Ekas menginginkan adanya pengaturan alat tangkap
dengan menghentikan penggunaan bagan terapung di dalam teluk
dan penggunaan kompressor yang dapat merusak terumbu karang,
serta perlu adanya pembuatan aturan ukuran mata jaring. Masyarakat
Ekas pernah ada konflik antara nelayan pengguna pancing dengan
mini purse seine, nelayan dengan pengguna potassium, nelayan
dengan pembudidaya kerang mutiara.
Hasil-hasil diskusi yang lain sebagai berikut:

Nelayan di Ekas mendefinisikan masa depan yang lebih baik


sebagai memiliki lebih banyak alat tangkap (saat ini 30% nelayan
tidak memiliki alat tangkap sendiri), memiliki sarana tangkap yang
dapat digunakan menangkap ikan sampai ke Flores, dan memiliki
keramba budidaya kerapu.

Kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan seperti


nelayan pengebom harus ditangkap, dipenjara dan didenda dengan
uang dalam jumlah yang banyak.

Pembentukan suaka perikanan, beberapa orang menyatakan setuju


tapi banyak masyarakat Dusun Ekas yang tidak setuju.

Pengaturan ukuran tangkap minimum menurut masyarakat tidak


dapat dilakukan.

Pengaturan waktu tangkap hanya bisa dilakukan jika mereka tidak


kekurangan makanan dalam waktu yang lama.

Masyarakat merasa bahwa pemerintah harus


pembuatan mata jaring yang berukuran kecil.

Penangkapan nelayan pengebom menurut Kadus terjadi tahun


1988 dan 1991.

menghentikan

B. Profil Teluk Jukung


Teluk Jukung merupakan kawasan teluk yang dikelilingi oleh 4
(empat) buah desa yaitu Desa Tanjung Luar, Desa Pijot, Desa Jerowaru,
dan Desa Pemongkong. Desa Tanjung Luar dan Pijot termasuk dalam
wilayah Kecamatan Keruak, sedangkan Desa Jerowaru dan
Pemongkong termasuk dalam wilayah Kecamatan Pembantu Jerowaru.
Penelitian profil masyarakat dilakukan di dua dusun, Dusun Toroh
Selatan (Desa Tanjung Luar) dan Dusun Telong-elong (Desa Jerowaru).
Di semua dusun yang dikunjungi menempatkan pengeboman ikan dan
pemotasan ikan merupakan masalah serius yang belum bisa diatasi.
1) Dusun Toroh Selatan
Dusun Toroh Selatan merupakan dusun yang sangat padat
komunitas nelayannya. Sebagian besar mengaku sebagai Suku Bajo.
Tidak ada kegiatan budidaya rumput laut atau biota lainnya, karena
kondisi perairan di Teluk Jukung relatif terbuka sehingga sering datang
gelombang besar.
Masyarakat Toroh Selatan telah mempunyai awig-awig sendiri
yang dibuat oleh Desa Tanjung Luar, disamping awig-awig yang sama
(oleh YKR) dengan di Teluk Ekas yang tidak berlaku. Awig-awig Desa
Tanjung Luar tersebut dibuat dalam Keputusan Desa Nomor
04/LMD/1994, tanggal 14 Nopember 1994. Di dalam awig-awig diatur
pembagian zona penangkapan antara nelayan tradisional dengan
nelayan mini purse seine. Di Toroh Selatan juga dikenal tradisi
Selamatan Laut. Disamping itu juga ada tradisi lain yaitu tidak ada
penangkapan pada hari raya selama 2 hari setiap tahun.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan
yang dirasakan adalah menurunnya hasil tangkapan dengan sangat
cepat, hilangnya beberapa sumberdaya perikanan, seperti ikan lemuru
(Sardine), cumi-cumi. Karena itu mareka menginginkan alat tangkap
yang digunakan oleh masyarakat perlu diatur terutama ukuran mata
jaring pada bagan, dan bekas bagan di teluk. Konflik antar nelayan
sering terjadi antara nelayan jaring bendera (gill net) dengan nelayan
mini purse seine.
Hasil-hasil diskusi yang lain sebagai berikut:

Harapan masa depan yang lebih baik didefinisikan sebagai memiliki


alat tangkap yang lebih banyak, memiliki long line dan kapal yang
lebih baik untuk penangkapan ikan lepas pantai.

Pengebom ikan merupakan sumber dari semua masalah yang


mengurangi hasil tangkapan nelayan.

Suaka perikanan tidak mungkin dilakukan jika hal ini mengurangi


daerah tangkapan nelayan, tetapi beberapa nelayan lainnya setuju
untuk memiliki satu lokasi suaka perikanan yang berukuran kecil.

Pengaturan ukuran tangkapan minimum dianggap tidak mungkin


dilakukan,
karena menurut masyarakat
ikan
kecil
juga

menghasilkan uang. Masyarakat merasa tidak mengkhawatirkan


kondisi masa yang akan datang tetapi hanya mengkhawatirkan
makanan mereka untuk hari ini.

Pengaturan ukuran minimum mata jaring juga tidak mungkin


karena menurut masyarakat pengaturan tersebut mengurangi hasil
tangkapan, kadang kala ikan yang muda lebih mahal dari ikan
dewasa.

Penangkapan pengebom di Dusun Toroh Selatan dilakukan dua kali


yaitu pada tahun 1997 dan tahun 2000.

Tidak ada patroli pengamanan sejak tahun 1998.

Bantuan atau dukungan pemerintah adalah mendesak dibutuhkan


masyarakat untuk merevisi awig-awig.

2) Dusun Telong - elong


Telong-elong merupakan dusun yang terletak di mulut Teluk Jor. Di
dusun ini terdapat sekitar 200 orang nelayan yang mempunyai
spesialisasi menangkap ikan teri. Mareka tidak mempunyai alat
tangkap lain selain untuk penangkapan ikan teri. Pada bulan April
tahun 2001, tidak ada budidaya rumput laut atau budidaya
ikan/lobster.
Masyarakat nelayan di sini juga pernah mendengar tentang awigawig yang sama dengan yang di Teluk Ekas, dan juga tidak pernah
diimplementasikan. Tradisi Selamatan Laut dimana selama 3 hari
tidak ada kegiatan penangkapan ikan juga dikenal di kawasan ini.
Masalah-masalah perikanan yang dihadapi umumnya sama
seperti penurunan hasil tangkapan, hilangnya beberapa sumberdaya
perikanan seperti lemuru (sardine) dan cumi-cumi. Masalah yang
khusus dihadapi nelayan Telong-elong adalah bagan yang dimiliki oleh
masyarakat dari desa lain. Keberadaan bagan dianggap menurunkan
penangkapan karena mengurangi wilayah penangkapan.
Tercatat pernah terjadi konflik antara nelayan pengguna jaring
dengan mini purse seine, nelayan pengguna bagan dengan nelayan
jaring, pemilik bagan dengan pemilik jaring oros (pull net). Karena itu
mareka mengusulkan adanya pengaturan alat tangkap terutama
jumlah bagan yang diijinkan dan penanganan bekas bagan di Teluk
Jukung. Mareka merasa menghentikan penggunaan bagan sama
pentingnya dengan menghentikan nelayan pengebom. Penggunaan
bagan harus diatur oleh pemerintah di tingkat kabupaten.
Hal-hal lain yang terungkap dalam diskusi adalah:

Masyarakat mendefinisikan masa depan yang lebih baik dengan


memiliki alat tangkap sendiri (15 % masyarakat tidak memiliki alat
tangkap sendiri), memiliki perlengkapan penangkapan yang bisa
digunakan untuk penangkapan pada wilayah lepas pantai yang
lebih jauh.

Penangkapan ikan dengan bom merupakan sumber dari segala


masalah yang dapat menurunkan hasil tangkapan nelayan.

Suaka perikanan mungkin bisa


pengebom ikan bisa dihentikan.

Pengaturan ukuran tangkapan minimum hanya dilakukan pada ikan


tangkapan yang tidak mempengaruhi penghasilan mereka.

Pengaturan waktu penangkapan, hal ini disetujui jika nelayan dari


desa lain yang memanfaatkan sumberdaya di wilayah tersebut juga
setuju.

Pengaturan jumlah sarana penangkapan, menurut masyarakat


sangat tidak mungkin karena tidak baik menghentikan seseorang
mencari uang untuk kehidupannya.

Tidak pernah terjadi penagkapan pengebom ikan.

disepakati

masyarakat

jika

C. Profil Teluk Serewe


Teluk Serewe merupakan teluk kecil yang dikelilingi oleh tiga
dusun yang termasuk dalah satu wilayah administrasi Desa
Pemongkong.
Peneliti hanya melihat profil Dusun Serewe sebagai wakil dari
Teluk Serewe. Hal ini dilakukan karena kemiripan komunitas di ketiga
dusun, dan transportasi yang lebih sulit ke kedua dusun lainnya.
Di Dusun Serewe terdapat sekitar 125 orang nelayan. Sebagian
besar nelayan juga menanam rumput laut pada musim yang baik. Alat
tangkap yang banyak digunakan nelayan di sini adalah kompresor,
mini purse seine, dan jaring tasik. Penggunaan kompresor disinyalir
nelayan lain sebagai alat bantu pengeboman ikan.
Di Teluk Serewe sudah ada awig-awig yang melarang penebangan
mangrove di dalam teluk. Awig-awig ini tidak tertulis dan disepakati
pertengahan tahun sembilan-puluhan. Di tahun 2001, juga sudah ada
awig-awig yang melarang penggunaan potassium dan pengeboman
ikan di dalam Teluk Serewe juga sudah berjalan baik. Karena itu,
pengebom ikan dari Dusun Serewe biasanya beroperasi ke luar teluk
atau ke teluk yang lain. Di sini juga ada tradisi Selamatan Laut,
sebagaimana di lokasi yang lain.
Masalah-masalah perikanan yang utama menurut masyarakat
adalah penurunan hasil tangkapan ikan seperti ikan layang, lemuru
dan cumi-cumi, serta rusaknya terumbu karang akibat pengeboman di
masa lampau.
Hasil-hasil identifikasi lainnya tentang profil masyarakat Dusun
Serewe sebagai berikut:

Masa depan yang lebih baik dengan memiliki lebih banyak alat
tangkap ( 50 % nelayan tidak memiliki alat tangkap sendiri),
memiliki long line dan kapal yang lebih baik untuk penangkapan
lepas pantai.

Dulu ada masalah kegiatan penangkapan ikan dengan bom tetapi


sekarang kegiatan ini sudah berkurang di dalam teluk.

Suaka perikanan mungkin dibentuk di kawasan Teluk Serewe


selama pembentukannya dilakukan oleh pemerintah.

Pengaturan ukuran tangkap minimum mungkin dilakukan jika


pemerintah
dapat
mensosialisasikan
dengan
masyarakat
bagaimana cara pengaturan yang baik.

Pengaturan waktu tangkap, ini mungkin dilakukan jika pemerintah


mengirim aturan yang sama kepada masyarakat di teluk yang lain.

Pengaturan ukuran mata jaring minimum, ini mungkin dilakukan


jika pemerintah dapat memperlihatkan pentingnya pengaturan
tesebut.

Tidak pernah terjadi penangkapan para pengebom.

4. Penyusunan Awig-awig
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu dengan
maksud untuk memelihara ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan masyarakat. Penggabungan awig-awig desa menjadi awigawig kawasan dimaksudkan untuk keseragaman aturan yang berlaku,
hal ini sangat tepat karena pengelolaan sumberdaya perikanan telah
didelegasikan kepada KPPL kawasan dan adanya kesamaan
kepentingan antara masyarakat dalam kawasan untuk mengatur
sumberdaya perikanan.
Proses
penyusunan
awig-awig
pengelolaan
sumberdaya
perikanan di Lombok Timur dilakukan dengan beberapa tahapan yang
berbeda metodenya yaitu:
A. Studi Dokumentasi
Pelaksanaan studi dilakukan dengan menghimpun awig-awig desa
yang telah dibuat dan selanjutnya melakukan pengkajian untuk
mengetahui ruang lingkup, kesesuaian dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, kelompok masyarakat yang melaksanakan
awig-awig dan bagaimana cara melakukannya (hukum acaranya).
Dari hasil studi ditemukan bahwa dari 6 (enam) desa yang ada di
wilayah tiga kawasan (Teluk Jukung, Teluk Ekas, Teluk Serewe) ada 4
desa yang memiliki awig-awig yang dibuat tertulis yaitu desa Sukaraja,
Pemongkong (Serewe), Batu Nampar (Saung), dan Tanjung Luar.
Sedangkan desa yang lain memiliki awig-awig secara lisan yang isinya
sama dengan desa yang memiliki awig-awig tertulis. Awig-awig desa
yang mempunyai substansi sama memuat tentang pengeboman,
pemotasan, pelarangan perusakan dan penebangan bakau dan
sanksinya. Dalam awig-awig tersebut tidak ada kejelasan siapa yang
berwenang menjatuhkan sanksi pada setiap pelanggaran dan
bagaimana prosesnya, serta tidak mengacu pada format penyusunan
perundang-undangan dalam Keppres No.44 tahun 2000 tentang
petunjuk penyusunan peraturan perundang-undangan.

10

B. Focused Group Discussion (FGD)


FGD
merupakan
metode
studi
dengan
mengumpulkan
masyarakat antara 25 sampai dengan 30 orang dari berbagai elemen
seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, KPPL desa, KPPL kawasan, dan
nelayan yang memiliki akses dalam memanfaatkan sumberdaya laut di
wilayah tersebut. Jumlah pertemuan untuk FGD ini disesuaikan dengan
permasalahan yang berkembang dari diskusi sebelumnya dan jumlah
desa yang ada dalam masing-masing kawasan.
Fokus masalah yang dibahas dalam FGD khususnya ditingkat
dusun/desa adalah:
1. Menyatukan pandangan dengan masyarakat tentang pentingnya
penggabungan awig-awig desa menjadi awig-awig kawasan untuk
memperoleh kesatuan hukum dan menghindari terjadinya konflik
pengelolaan sumberdaya perikanan.
2. Memperoleh masukan dari masyarakat tentang masalah yang
dipandang perlu diatur dalam awig-awig seperti wilayah tangkapan,
jenis ikan dan alat tangkap. Budidaya laut, pengeboman,
pemotasan dan bahan berbahaya lain, perlindungan mangrove,
KPPL dan sanksi.
3. Tim pelaksana juga menawarkan hal-hal penting yang perlu diatur
dalam awig-awig, seperti perlindungan pasir pantai, karang dan
batu laut, sumberdaya pengelolaan dan prosedur penjatuhan
sanksi.
4. Merumuskan isi atau norma dari ruang lingkup masalah yang sudah
disepakati untuk dijabarkan pada pasal-pasal dalam awig-awig. Halhal yang dirumuskan dalam awig-awig meliputi; penggunaan jala
oras yang bagi sebagian masyarakat masih menginginkan sebagai
alat tangkap tradisional maka penggunaannya dibatasi dari Tanah
Beak sampai dengan Ujung; pelarangan jenis ikan yang tidak boleh
ditangkap seperti ikan lumba-lumba, penyu, duyung, napoleon,
lobster yang bertelur sedangkan cumi-cumi masih masuk dalam
pasal himbauan; pelarangan pengambilan pasir pantai dan batu
laut; tentang pelaksanaan awig-awig yang menjadi tugas dari KPPL
kawasan dibantu oleh KPPL desa dan unsur masyarakat; tentang
sumberdaya pengelolaan yaitu dari iuran anggota KPPL, iuran
nelayan, penjualan hasil budidaya pengelolaan suaka perikanan,
dan dari pengenaan sanksi denda; dan tentang pembahasan sanksi
dan prosedurnya bagi pelanggar awig-awig.
Secara umum rencana pengelolaan sumberdaya perikanan pantai
yang telah disepakati di tiga kawasan di Lombok Timur mengatur:

Pembagian wilayah penangkapan antara perikanan tradisional dan


komersial.

Zonasi alat tangkap yang menimbulkan konflik:


kompresor.

Penggunaan
bagan.

lokasi

semi-permanen, misal

jala oros,

budidaya keramba,

11

Penangkapan SDPi tertentu: lobster yang bertelur, ikan hias.

Jumlah lampu yang digunakan dalam perahu dan bagan.


Rencana pengelolaan tersebut melarang:

Penggunaan alat tangkap merusak: bom dan potas.

Pengambilan pasir, batu dan karang dari pantai dan teluk.

Penebangan mangrove.

Penangkapan satwa liar langka: duyung, lumba-lumba, penyu.

Perdagangan ikan hasil pengeboman ( di Teluk Jukung).

C. Sosialisasi
Sosialisasi diperlukan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat di luar rapat KPPL untuk mengetahui tentang hasil-hasil
setiap rapat KPPL. Jika ada masyarakat yang tidak bisa menerima hasil
suatu rapat KPPL, maka ia bisa menyatakan keberatan kepada wakil
kelompoknya di dalam KPPL.
Beberapa metode yang dipergunakan dalam sosialisasi awig-awig
ini adalah :
1. Menempelkan pada papan sosialisasi, dilakukan di setiap
dusun/desa sesuai dengan kebutuhan dan ditempatkan pada lokasi
yang mudah dilihat masyarakat seperti tempat pelelangan ikan,
pendaratan ikan, kantor desa dan lainnya.
2. Brosur/foto kopi hasil kesepakatan FGD, dilakukan
memperbanyak dan mengedarkan kepada masyarkat.

dengan

Setelah berjalan 14 hari, kedua cara tersebut dievaluasi dan


dapatkan hasil bahwa cara pertama kurang efektif karena minat baca
masyarakat yang rendah, karena itu pelaksana kegiatan memfokuskan
pada cara kedua yakni dengan brosur/foto copy awig-awig.
Dihentikannya sosialisasi tertulis di papan pengumuman
mendapat protes dari proyek karena masyarakat di luar KPPL tidak bisa
mengetahui dengan cepat kesepakatan-kesepakatan yang diambil
dalam rapat KPPL. Kurangnya sosialisasi tertulis ini membuahkan
protes dari masyarakat Dusun Ujung yang salah paham tentang
pelarangan penggunaan jaring klitik di dalam Teluk Ekas. Kurangnya
sosialisasi tersebut membuat proyek harus bekerja keras pada awal
tahun 2002 untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang awig-awig
yang telah disepakati.
D. Penetapan Melalui Rapat/Diskusi Paripurna
Penetapan awig-awig kawasan yang telah disusun bersama
masyarakat dilaksanakan dalam rapat/diskusi paripurna tingkat
kawasan masing-masing. Rapat yang diadakan untuk menetapkan dan
mengesahkan awig-awig tersebut dihadiri oleh aparat Pemda
khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan), Polisi, Babinsa,

12

dan kepala-kepala desa yang masyarakatnya ikut memanfaatkan


sumberdaya perikanan di kawasan tersebut.
Dalam rapat tersebut, banyak masukan perbaikan isi awig-awig
dari Dislutkan dan kepala-kepala desa. Awig-awig kawasan yang sudah
dibahas dalam rapat/diskusi paripurna tersebut segera diadakan
perbaikan sebagaimana saran yang berkembang dalam diskusi.
Setelah revisi awig-awig bisa disepakati, awig-awig kemudian ditandatangani oleh Kepala Desa/Ketua Lembaga Musyawarah Desa masingmasing kawasan, dan diketahui oleh Camat. Pada awalnya
direncanakan bahwa awig-awig juga akan diketahui oleh Bupati.
Rencana ini kemudian dibatalkan karena ada pemikiran bahwa
sebaiknya awig-awig dicoba diimplementasikan lebih dahulu sebelum
disyahkan oleh Bupati.
5. Kegiatan Pendukung Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pada saat masyarakat yang diwakili KPPL menyusun rencana
pengelolaan yang kemudian diangkat sebagai awig-awig kawasan, ada
dua kegiatan lain yang secara bersamaan dilaksanakan oleh proyek.
Kedua kegiatan yang berperan sebagai pendukung utama
implementasi rencana pengelolaan tersebut adalah pelatihan
pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (CFRM) dan MSE
(monitoring, surveilance and enforcement), serta peningkatan
kesadaran masyarakat (KIE=kampanye, informasi dan edukasi).
Pelatihan CFRM dan MSE dimaksudkan untuk memberikan arahan
kepada KPPL sebagai penyusun dan pelaksana penegakan awig-awig
dalam pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum. Pada
pelatihan MSE dibahas batas-batas kewenangan KPPL dan prosedur
penanganan kasus pelanggaran. Pelatihan kini dilaksanakan untuk
menghindari kecenderungan overacting dan over-confidence para
anggota KPPL dalam melaksanakan kewenangannya. Masyarakat
pesisir selatan Lombok Timur terkenal sangat tinggi motivasinya dalam
pengamanan swakarsa (Pamswakarsa). Hal ini membuat Kecamatan
Jerowaru merupakan markas pusat dari 2 (dua) buah pamswakarsa
terkenal di Pulau Lombok, yaitu Ampibi dan Ababil. Tingginya motivasi
tersebut
bisa
mendorong
KPPL
untuk
bertindak
melebihi
kewenangannya. Karena itu, pelatihan MSE ini sangat penting.
Kegiatan KIE (IEC) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
pengelolaan
dan
penghentian
pengeboman/pemotasan ikan, serta mensosialisasikan rencana
pengelolaan yang telah disepakati. KIE dilaksanakan melalui khotbah
Jumat, pengajian umum, radio spot, artikel di koran lokal, penyuluhan
guru-guru, serta informasi tertulis di papan pengumuman.
6. Kesimpulan dan Saran
Masyarakat pada umumnya mempunyai motivasi yang sangat
tinggi untuk berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang
partisipatif.
Penyusunan awig-awig pengelolaan tersebut berjalan
dengan sangat antusias, dan implementasinya juga menunjukkan hasil

13

yang sangat baik. Kegiatan pendukung yaitu pelatihan MSE dan


kegiatan KIE juga dianggap berperan penting dalam memberikan
pengetahuan dan motivasi kepada masyarakat tentang pengelolaan
partisipatif. Kegiatan ini telah dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk ikut mengelola sumberdaya perikanan dengan
pemanfaatan yang bertanggung jawab.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan partisipatif, sosialisasi
memegang peranan yang sangat penting. Sosialisasi perlu
dilaksanakan secara lisan dan tertulis, melalui jalur formal dan
informal, melalui tokoh-tokoh pemerintahan maupun keagamaan.
Referensi
Bachtiar, I. 2003. Pengelolaan sumberdaya Perikanan Partisipatif di
Lombok Timur. Dalam: S. Hardjo, L. Wardi, A. Syahdan, M.
Taufik
(eds.).
Kumpulan
Tulisan
Ilmiah
tentang
Pembangunan
Masyarakat
Pantai
dan
Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan. Universitas 45 Mataram. Pp. -.
Fraser, N., B.R. Crawford, A.J. Siahaimena, F. Pua, C. Rotinsulu. 1999.
Transforming unsustainable and destructive coastal
resource use practices in the villages of Tumbak and
Bantenan, North Sulawesi, Indonesia. Phuket Marine
Biological Center Special Publication 20:5-20.
Hardjo, S., L. Wardi, A. Syahdan, dan M. Taufik. 2003. Pendahuluan.
Dalam: S. Hardjo, L. Wardi, A. Syahdan, M. Taufik (eds.).
Kumpulan
Tulisan
Ilmiah
tentang
Pembangunan
Masyarakat
Pantai
dan
Pengelolaan
Sumberdaya
Perikanan. Universitas 45 Mataram. Pp. -.
Keputusan

Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000 tentang


Penyusunan Peraturan Perundangan-undangan.

Teknis

14

Anda mungkin juga menyukai