Anda di halaman 1dari 17

Naskah Akademis

PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

DRAFT NASKAH AKADEMIS


PERDA TENTANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN PANTAI SECARA PARTISIPATIF DI
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
1. Pendahuluan
Pengelolaan partisipatif merupakan paradigma pengelolaan
sumberdaya yang kini banyak dianut di negara-negara berkembang. Di
Indonesia, paradigma ini baru mulai diperkenalkan sejak pertengahan
dekade sembilan puluhan. Pengelolaan ini kadang disebut sebagai
pengelolaan berbasis masyarakat, pengelolaan kooperatif atau
pengelolaan kolaboratif. Pada dasarnya pengelolaan partisipatif
merupakan pengelolaan sumberdaya yang melibatkan partisipasi
masyarakat, atau yang dilakukan bersama oleh masyarakat dengan
pemerintah (kolaboratif). Tidak ada pedoman yang baku berapa
banyak proporsi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Karena itu
proporsi atau intensitas partisipasi masyarakat sangat bervariasi di
dalam pengelolaan partisipatif.
Pengelolaan partisipatif berada di tengah pendulum dua kutub,
yaitu pengelolaan oleh adat dan pengelolaan oleh pemerintah. Contoh
pengelolaan yang murni dilakukan oleh adat adalah pengelolaan
perdagangan siput Trochus melalui sasi di Maluku, sejak Zaman
Belanda hingga pertengahan tahun 1970-an (Zerner, 1994). Sedangkan
beberapa contoh pengelolaan yang murni dilakukan oleh pemerintah
adalah pembagian wilayah penangkapan ikan, serta larangan
penggunaan bom dan racun. Dari pengalaman pada dua kutub
pendulum ini kita bisa melihat bahwa efektivitas pengelolaan oleh adat
sangat tinggi. Sedangkan pengelolaan oleh pemerintah biasanya tidak
efektif (Fraser et al., 1999).
Dalam beberapa proyek pembangunan sektor kelautan dan
perikanan, pengelolaan partisipatif tersebut kadang dinamakan
pengelolaan kolaboratif (Proyek MCRMP), pengelolaan berbasis
masyarakat (Proyek Pesisir, Proyek COREMAP). Pada saat ini, baru
sebuah PERDA yang disyahkan untuk mengakui keberadaan
pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif. Pada Proyek
Pesisir, di Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, pada tahun
2003 telah disyahkan sebuah PERDA tentang pengelolaan terpadu
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (Patlis et al., 2003). Di dalam
PERDA tersebut pengelolaan yang berbasis masyarakat dilaksanakan
melalui PERDES.
Secara umum, pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian
utama (Wells et al., 1992):

7/30/2016

Semua pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan


untuk terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan
untuk menjamin komitmen dan partisipasi mareka dan untuk
menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mareka
dalam pengelolaan.
8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

Pembagian peran dan tanggung-jawab di dalam pengelolaan


berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan.
Dalam beberapa kasus, kewenangan lebih banyak pada lembaga
masyarakat, pada kasus yang lain kewenangan lebih banyak
pada instansi pemerintah.

Kerangka kerja pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis


konservasi, melainkan juga mencakup tujuan-tujuan ekonomi,
sosial dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap
kebutuhan mareka yang tergantung terhadap sumberdaya,
keseimbangan dan partisipasi.

Pengelolaan partisipatif mensyaratkan adanya tiga kelompok besar


pemangku kepentingan untuk bersama-sama memberikan sumbangan
(kontribusi)
dalam
pengelolaan.
Ketiga
kelompok
pemangku
kepentingan tersebut adalah kelompok masyarakat, kelompok
pengusaha dan kelompok instansi pemerintah. Masyarakat pantai dan
pengusaha perikanan merupakan kelompok pemangku kepentingan
yang merasakan langsung dampak dari pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan. Sedangkan, kelompok instansi pemerintah
merupakan pemegang mandat dari undang-undang yang berkewajiban
untuk melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang ada, agar
dapat bermanfaat secara lestari (sustainable). Pada dasarnya ketiga
kelompok tersebut dapat berkerja secara sinergis, karena mempunyai
kepentingan yang sama. Tetapi kekurang-pahaman dan kurang
komunikasi antar ketiganya bisa menimbulkan perbedaan peran yang
saling bertentangan.
Naskah akademis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang pengelolaan sumberdaya perikanan pantai secara partispatif di
Kabupaten Lombok Timur dan di lokasi lain di Indonesia. Pemahaman
yang sama tentang pengelolaan partisipatif ini sangat diperlukan untuk
mengevaluasi Rancangan PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Pantai Secara Partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
2. Dasar Hukum
Pengelolaan sumberdaya perikanan pantai secara partisipatif adalah
pengelolaan yang dilakukan secara bersama antara pemerintah,
masyarakat dan pihak lain; dalam merencanakan, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi pengelolaan sumberdaya perikanan di
perairan pantai. Penerapan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan
pantai secara partisipatif sangat dimungkinkan di dalam sistem
perundang-undangan Indonesia.
Di dalam UUD 1945 amandemen kedua pasal 18 ayat (5), Pemerintah
Pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah,
dan pasal 18b ayat (2) yang mengakui eksistensi masyarakat hukum
adat dan hak-hak tradisionalnya. Karena itu, Pemerintah Kabupaten
Lombok Timur memiliki kewenangan untuk memilih pola pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai yang di bawah kewenangan yuridisnya,
apakah dikelola sepenuhnya oleh pemerintah Kabupaten, ataukah yang
dikelola bersama antara pemerintah dan masyarakat lokal.
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

Di dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18


ayat 5 telah dinyatakan, bahwa pemerintah kabupaten mempunyai
kewenangan yuridis alam pengelolaan wilayah laut hingga sejauh 4 mil
laut. Kewenangan pengelolaan tersebut perlu dimanfaatkan sebaikbaiknya untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Lombok Timur.
Masyarakat Lombok Timur merupakan masyarakat Suku Sasak yang
sangat taat pada awig-awig. Baik awig-awig adat maupun awig-awig
desa merupakan budaya luhur masyarakat Sasak dalam memelihara
keharmonisan bermasyarakat. Ketaatan masyarakat Lombok Timur
terhadap awig-awig melebihi ketaatan mareka kepada hukum formal.
Kekuatan awig-awig dalam mengatur perilaku masyarakat perlu
dimanfaatkan pemerintah dalam pembangunan desa, termasuk
pembangunan di bidang perikanan di desa-desa pantai. Pada saat ini,
pengelolaan sumberdaya perikanan pantai oleh pemerintah berjalan
kurang efektif. Karena itu, pemerintah Kabupaten Lombok Timur perlu
membuat inisiatif mengunakan kekuatan awig-awig dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan.
Dalam UU 31/2004 tentang Perikanan, juga memberikan pengakuan
terhadap adanya kearifan lokal dalam pengelolaan. Pada pasal 6 ayat
(2) dinyatakan bahwa, pengelolaan perikanan untuk kepentingan
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan
hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta
masyarakat. Di dalam UU 31/2004 pasal 67 lebih lanjut dinyatakan
bahwa masyarakat dapat diikut-sertakan dalam membantu
pengawasan perikanan.
UU 31/2004 tersebut secara jelas menginginkan adanya partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Model
partisipasi tersebut bisa bervariasi dalam penerapannya di setiap
kabupaten. Jika partisipasi masyarakat Lombok Timur dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan bisa dirumuskan dalam suatu
awig-awig, maka peluang keberhasilan pengelolaan sangat tinggi. Hal
ini telah terbukti dengan hasil uji-coba Proyek Co-Fish di perairan
pantai Kabupaten Lombok Timur yang akan diuraikan di bagian
berikutnya.
Pada saat ini Kabupaten Minahasa merupakan kabupaten yang telah
menerapkan pengelolaan partisipatif ini di tingkat desa. Di kabupaten
ini telah terbentuk 25 daerah lindung laut yang dilindungi dengan 25
PERDES (Patlis et al., 2003). Di Lombok Timur, pengelolaan parsipatif
dengan PERDES tidak memungkinkan. Banyak teluk yang berbatasan
dengan lebih dari satu desa akan menyulitkan, karena batas
kewenangan desa di laut tidak diatur dalam perudangan yang ada.
Penerapan PERDES seperti ini bisa memberikan peluang tejadinya
konflik horisontal antar desa dalam memperebutkan wilayah
pengelolaan di laut. Karena itu, di Lombok Timur, pengelolaan
sumberdaya perikanan secara partisipatif menggunakan awig-awig
kawasan yang disyahkan oleh semua desa yang berbatasan, dan yang
akan dilindungi oleh PERDA tentang pengelolaan sumberdaya
perikanan secara partisipatif.

7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

3.

Hasil-hasil Penerapan Pengelolaan


Pantai Secara Partisipatif

Sumberdaya

Perikanan

Penerapan uji-coba pengelolaan secara partisipatif yang dilaksanakan


mulai tahun 2001 telah membuahkan hasil yang sangat baik di
Kabupaten Lombok Timur. Pengeboman dan pemotasan yang menjadi
masalah utama dalam 10 tahun sebelumnya bisa diturunkan secara
drastis. Konflik lokasi penangkapan antara nelayan tradisional dengan
nelayan mini-purse seine juga bisa diatasi.
Di dalam rencana pengelolaan terdapat sanksi yang jelas terhadap
pelanggaran yang mungkin terjadi. Sanksi terhadap pelanggaran pada
umumnya berupa denda uang atau penyitaan hasil tangkapan.
Kuatnya kelembagaan yang terbentuk dan adanya pengakuan formal
pemerintah terhadap lembaga KPPL memberikan dampak yang sangat
besar terhadap berkurangnya pengeboman di kawasan Teluk Ekas dan
Teluk Serewe (Gambar 1). Pada tahun 2002, frekuensi pengeboman
bisa diturunkan hingga 100% di Teluk Ekas dan Teluk Serewe.

Frekuensi bom/bulan

40
35
30
25
20
15
10
5
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
KP T.Jukung

KP T.Serewe

KP T.Ekas

Gambar 1. Frekuensi pengeboman Per Bulan Di Tiga Teluk.


Data Diambil Dari Perkiraan Nelayan. Tahun 2001 Hanya Ada Satu
Pengeboman Per Tahun Di Teluk Ekas.
Di ketiga kawasan teluk, perdagangan ikan hasil pengeboman juga
dilarang. Sanksi terhadap pelanggaran ini adalah penyitaan ikan yang
dijual tersebut untuk kemudian dilelang dan hasilnya untuk dana
operasional KPPL dan pembiayaan kegiatan sosial. Akan tetapi,
efektivitas aturan ini hanya menonjol di Teluk Jukung. Sedangkan di
kedua teluk lainnya, tidak ada laporan kegiatan lembaga pengelola
(KPPL=komite pengelolaan perikanan laut) dalam menertibkan
perdagangan ikan hasil pengeboman, walaupun perdagangan tersebut
pernah dilaporkan sangat tinggi di Teluk Serewe.
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

Sejak diberlakukannya rencana pengelolaan sumberdaya perikanan,


perdagangan ikan hasil pengeboman terus menurun dari 6 (enam)
kasus pada tahun 2001 menjadi nol kasus pada tahun 2004 (Gambar
2). Pelanggaran jalur penangkapan juga bisa dihindari setelah seorang
pelanggar dikenai sanksi peringatan.
Implementasi pelarangan perdagangan ikan hasil pengeboman tidak
hanya membuahkan hasil yang mengesankan, tetapi juga
membuahkan pengembangan lembaga yang unik karena belum pernah
ada di kabupaten lain. Di Tanjung Luar, dimana perdagangan ikan bom
bisa diturunkan secara signifikan, ada kekhawatiran kredibilitas KPPL
menjadi rusak karena salah prosedur dalam menangani ikan hasil
pengeboman. Pada awalnya identifikasi ikan hasil pengeboman
didasarkan pada hasil identifikasi nelayan yang ada di lokasi kejadian.
Jika nelayan yang dianggap ahli identifikasi ikan bom menyatakan
positif, maka ikan tersebut disita sebagai sanksi pelanggaran. Nelayan
yang dijadikan ahli identifikasi bisa berubah tergantung lokasi dan
waktu kejadian. Dikhawatirkan jika KPPL salah menyuruh nelayan
pengidentifikasi ikan bom, maka kepercayaan masyarakat terhadap
KPPL akan rusak.
Gambar 2. Penanganan perdagangan ikan hasil pengeboman di
Tanjung Luar (KPPL Teluk Jukung) selama empat tahun.
Pada tahun 2002, KPPL Teluk Jukung mengadakan diskusi untuk
membahas bagaimana prosedur yang benar dalam mengeksekusi
perdagangan ikan hasil pengeboman. Diskusi yang menghadirkan
Dinas Kelautan dan Perikanan, pakar dari universitas, TNI AL, Polisi,
Proyek Co-Fish dan perangkat desa, akhirnya menghasilkan pemikiran
perlunya dibentuk sebuah tim juri. Tim juri tersebut beranggotakan
beberapa orang nelayan yang dapat dipercaya (amanah) dan diakui
masyarakat mempunyai keahlian identifikasi ikan hasil pengeboman.
Tim juri baru bisa dipilih dan diusulkan oleh KPPL pada tahun 2003 dan
mendapatkan SK dari Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Lombok Timur.
Implementasi rencana pengelolaan suaka perikanan juga belum
mendapatkan pelanggaran yang serius (Karnan, 2003). Pada awal
rencana pembentukan suaka perikanan, sebagian besar masyarakat
tidak menyukainya. Pada umumnya mareka takut bertambah miskin
karena berkurangnya lokasi penangkapan ikan. Tetapi setelah setahun
diimplementasikan, sebagian besar (95%) responden menyetujui
adanya suaka tersebut. Diharapkan dengan bertambahnya jumlah ikan
di dalam suaka, masyarakat akan membentuk sendiri suaka lainnya
secara swadana. Tetapi hal ini biasanya baru bisa terjadi setelah lima
tahun.
2. Pembagian Peran Pemerintah dengan Masyarakat
Dengan mandat dan kewenangan yang sangat jelas, di dalam Undangundang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten
mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama yang tersedia adalah
mengelola sumberdaya secara top-down atau terpusat pada
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

pemerintah (government based), sebagaimana yang biasa dilakukan di


masa lalu. Tetapi pengalaman mengajarkan bahwa pendekatan
pengelolaan
seperti
ini
lebih
banyak
kegagalan
daripada
keberhasilannya (Fraser et al., 1999). Pilihan kedua adalah
bekerjasama
dengan
masyarakat
untuk
menciptakan
suatu
pengelolaan partisipatif. Pilihan kedua tersebut bisa menjanjikan suatu
keberhasilan, seperti yang sudah dilaporkan di beberapa kawasan
(Bachtiar, 2000; Bachtiar, 2004; Bachtiar, 2005). Tetapi karena
paradigma ini masih baru dan belum mapan, maka perlu dikaji secara
mendalam dan serius dampak positif dan negatifnya.
Untuk melakukan pilihan kedua, maka pemerintah kabupaten
memerlukan mitra kolaborasi yang berupa sebuah lembaga yang dapat
mewakili dan diakui oleh masyarakat. Badan Perwakilan Desa (BPD)
bisa merupakan lembaga yang mewakili dan diakui oleh masyarakat.
Tetapi dalam beberapa kasus, BPD belum bisa dianggap cukup
mewakili masyarakat untuk merencanakan dan melakukan pengelolaan
sumberdaya perikanan. Karena itu, pembentukan sebuah lembaga
baru, yaitu lembaga khusus pengelola sumberdaya perikanan,
merupakan suatu kebutuhan. Lembaga pengelola sumberdaya tersebut
harus dipilih sedemikian rupa, sehingga bisa mencerminkan
keterwakilan semua kelompok pemangku kepentingan (stakeholders)
di masyarakat. Dengan pemilihan yang demokratis diharapkan
semua anggota masyarakat pemangku kepentingan dan instansi
pemerintah terkait bisa menerima bahwa lembaga tersebut dapat
mengambil keputusan dan bertindak sebagai wakil masyarakat
pemangku kepentingan. Pembentukan lembaga pengelola sebaiknya
didasarkan atas kawasan pengelolaan, misalnya suatu teluk atau
kawasan kepulauan tertentu, bukan didasarkan atas batas-batas
administatif pemerintahan desa/kecamatan.
Di Kabupaten Lombok Timur, lembaga pengelola tersebut dinamakan
dengan KPPL (komite pengelolaan perikanan laut). Setelah
terbentuknya KPPL, maka pemerintah kabupaten perlu membuat
jalinan kerjasama dengan lembaga pengelola tersebut. Karena jalinan
kerjasama ini dibatasi dalam hal pengelolaan sumberdaya perikanan,
maka pemerintah kabupaten diwakili oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan (Dislutkan). Jalinan kerjasama tersebut dibuat dalam bentuk
SK Kepala Dislutkan kabupaten yang mengesyahkan keberadaan
lembaga pengelola sumberdaya dan menjelaskan kewenangan yang
diberikan kepada mareka.
Proporsi kewenangan yang diberikan
kepada KPPL di Lombok Timur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pembagian peran dalam pengelolaan partisipatif. Angka 0-5
menunjukkan prosentase partisipasi. 0=0%(tidak ada),
1=20%, 2=40%, 3=60%), 4=80%, 5=100%.

Kegiatan

KPPL

Dislutka
n

Perencanaa
n

7/30/2016

Keterangan
Perencanaan yang disusun oleh KPPL
bersama tokoh-tokoh masyarakat
8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

lainnya perlu mendapat persetujuan


dari Dislutkan.
Pemantauan

Pemantauan yang dilakukan oleh KPPL


berdasarkan pesanan Dislutkan.

Pengendalia
n

Hanya Dislutkan yang mengatur


perijinan.

Pengaturan
tata ruang

Pengaturan tata ruang oleh Dislutkan


dengan mendengar aspirasi KPPL.

Penegakan
awig-awig/
hukum

Penegakan hukum oleh KPPL terbatas


pada pelanggaran aturan yang tertuang
dalam kesepakatan (awig-awig). Jika
saksi dan bukti cukup, maka penegakan
hukum formal oleh PPNS merupakan
pilihan pertama.

Sebagai pemegang mandat Undang-undang No. 32 tahun 2004, Dinas


Kelautan dan Perikanan kabupaten perlu mengambil inisiatif untuk
memungkinkan terjadinya pengelolaan partisipatif. White et al. (1994)
telah merinci dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat
diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai berikut.
a) Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi mayarakat
dalam pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog
yang setara antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat
dalam mendiskusikan pengelolaan kolaboratif.
b) Menentukan arah kebijakan pengelolaan sumberdaya yang bisa
mengakomodasi aspirasi masyarakat.
c) Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh semua pemangku
kepentingan (stakeholders) dari banyak instansi bisa berjalan
dengan harmonis.
d) Memberikan pengakuan dan penghargaan
kelompok masyarakat yang berhasil.

terhadap

kegiatan

e) Menegakkan hukum. Penegakan hukum formal oleh pemerintah


akan memberikan motivasi bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengelolaan. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum
terhadap pelanggaran aturan lokal (awig-awig), maka pemerintah
perlu memberikan pengakuan dan dukungan kepada kelompok
masyarakat yang diberi kewenangan di bidang itu.
f) Menyelesaikan konflik dan
pemangku kepentingan.

masalah

yang

muncul

di

antara

g) Memberikan bantuan kepada masyarakat untuk meningkatkan


kapasitas di bidang pengelolaan. Bantuan ini bisa berupa pelatihan,
penyuluhan,
keuangan,
sarana
dan
perlengkapan,
serta
peningkatan kesadaran masyarakat.
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

3. Model Pengelolaan Partisipatif dalam Pengelolaan Sumberdaya


Perikanan
Di Indonesia model pengelolaan partisipatif pada umumnya hanya
mengikuti sebuah model umum dengan beberapa variasi intensitas
peran Dislutkan kabupaten. Model yang lazim dijumpai adalah
masyarakat membentuk sebuah lembaga pengelola, yang hanya terdiri
atas wakil-wakil masyarakat pemangku kepentingan tanpa adanya
wakil pemerintah di dalam lembaga. Lembaga ini bisa berbasis desa
adat (misalnya di Buleleng) atau bisa juga berbasis kawasan (misalnya
di Lombok Barat dan Lombok Timur). Lembaga pengelola berfungsi
sebagai wakil masyarakat untuk menyusun rencana pengelolaan
sumberdaya perikanan dan sekaligus melaksanakan implementasi dari
rencana yang disepakati dalam rapat pleno. Lembaga pengelola juga
mendapat mandat dari masyarakat untuk melaksanakan penegakan
hukum sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah disepakati. Pada
umumnya lembaga pengelola dipilih oleh masyarakat (Lombok Timur,
Minahasa), tetapi bisa juga ditentukan berdasarkan musyawarah adat
setempat (Buleleng, Lombok Barat), atau ketua lembaga bisa
merupakan warisan (misalnya kewang di Haruku).
Dalam model pertama tersebut, peran Dislutkan kabupaten dalam
pengelolaan relatif rendah. Di Buleleng dan Lombok Barat, peran
Dislutkan masih hanya terbatas bersifat mengakui keberadaan
lembaga pengelola dan aturan pengelolaan yang dibuatnya. Di Lombok
Timur, peran Dislutkan lebih besar dimulai dari pembentukan dan
penguatan lembaga, pengakuan formal keberadaan lembaga, dan
pemberian kewenangan pengelolaan yang terbatas kepada lembaga
tersebut.
Model kedua, merupakan modifikasi model yang pertama dengan
menambahkan unsur wakil pemerintah kabupaten sebagai salah satu
unsur di dalam lembaga pengelola. Kehadiran wakil pemangku
kepentingan dari pemerintah kabupaten diharapkan bisa memberikan
arah yang lebih baik dalam menyusun rencana pengelolaan. Tetapi
kehadiran wakil pemerintah ini juga mempunyai potensi untuk
memperkecil peran masyarakat pemangku kepentingan dalam
perencanaan
pengelolaan.
Sebagai
anggota
yang
paling
berpendidikan, wakil pemerintah bisa dikhawatirkan terlalu dominan
sehingga bisa memperkecil inisiatif masyarakat.
Di Kabupaten Lombok Timur, pada mulanya model kedua ini pernah
ditawarkan. Tetapi baik Dislutkan maupun masyarakat pemangku
kepentingan belum bisa menerimanya. Ketika dilaksanakan model
yang pertama, baru disadari bahwa beberapa pasal aturan dalam
rencana pengelolaan tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku,
misalnya lembaga juga menginginkan kewenangan mengendalikan
perijinan. Dari pengalaman ini, setiap kesepakatan yang dibuat
lembaga
pengelola
dalam
pengelolaan
sumberdaya
perlu
dikonsultasikan kepada Dislutkan kabupaten, sebagai pemegang
mandat pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di kawasan
perairan <4 mil laut.
Berdasarkan pengkajian pengelolaan partisipatif di Kabupaten Lombok
Timur, Bachtiar (2003) mengusulkan perlunya kondisi berikut agar
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

pengelolaan partisipatif sumberdaya kelautan dan perikanan bisa


berhasil :
a) Dependensi (ketergantungan) masyarakat yang tinggi terhadap
sumberdaya yang dikelola. Semakin penting sumberdaya yang
akan dikelola, semakin tinggi pula motivasi mengelolanya.
b) Institusi (lembaga) pengelola sebaiknya dibentuk berdasarkan
kawasan pengelolaan, bukan batas-batas administratif.
c) Intervensi pemerintah sangat penting untuk mendukung
pengelolaan partisipatif. Dukungan pemerintah daerah dapat
berupa SK pengakuan lembaga dan pelimpahan sebagian
mandat pengelolaan, seperti tercantum dalam undang-undang,
kepada lembaga pengelola. Intervensi dalam bentuk fisik
penyediaan speed-boat, akan sangat membantu tugas
pengawasan aturan pengelolaan.
d) Representasi semua kelompok pemangku kepentingan harus
tampak nyata di dalam lembaga pengelola, yaitu Komite
Pengelolaan Perikanan Laut (KPPL). Anggota lembaga sebaiknya
dipilih langsung oleh masing-masing kelompok. Jika hal ini tidak
memungkinkan, calon anggota bisa diusulkan oleh BPD dan
setelah terpilih menjadi anggota maka nama anggota lembaga
harus disosialisasikan kepada masyarakat. Diperlukan waktu
setidaknya dua tahun agar lembaga pengelola dikenal dan diakui
oleh masyarakat.
e) Edukasi dalam bentuk pelatihan-pelatihan terhadap pengurus
lembaga pengelolaan sangat diperlukan. Karena lembaga
pengelola pada umumnya masyarakat yang berpendidikan
kurang,
maka
diperlukan
pelatihan-pelatihan
untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang
pengelolaan sumberdaya perikanan. Kegiatan edukasi dalam
bentuk penyuluhan, penyebaran leaflet/brosur, dan kampanye
anti bom/potas juga merupakan kegiatan yang sangat penting
untuk
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
dan
staf
pemerintah.
f) Konsultasi harus sering dilakukan antara KPPL dengan Dinas
Kelautan dan Perikanan. Rencana pengelolaan yang dibuat oleh
KPPL
bersama
tokoh-tokoh
masyarakat
lainnya
harus
dikonsultasikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten
sebagai pemegang mandat pengelolaan perikanan pantai.
g) Sosialisasi penyusunan rencana pengelolaan harus dimulai sejak
pertemuan pertama. Setiap pertemuan harus disosialisasikan
hasil-hasilnya secara tertulis dan lisan kepada masyarakat.
Sosialisasi lisan sangat terbatas tempat dan waktunya, karena
itu sosialisasi tertulis yang tepat lebih penting. Sosialisasi yang
baik akan membuat semua masyarakat merasa ikut terlibat
dalam penyusunan rencana pengelolaan.
4. Kebutuhan Dalam Pengembangan Pengelolaan Partisipatif
Pengembangan pengelolaan partisipatif membutuhkan 4 komponen:
7/30/2016

8:30 PM

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

a) Lembaga pengelola lokal


b) Rencana pengelolaan kawasan pesisir
c) Kelompok alat tangkap
d) Lembaga pertimbangan (penasehat) perikanan kabupaten
Lembaga pengelola lokal merupakan lembaga yang dibentuk
masyarakat yang mendapat kewenangan dari Dislutkan kabupaten
untuk
merencanakan
dan
mengimplementasikan
pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan di kawasan pesisir. Lembaga ini
merupakan wakil dari masyarakat pemangku kepentingan di suatu
lokasi atau kawasan dalam berdiskusi dengan pemerintah kabupaten
tentang rencana dan implementasi pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan di kawasan mareka. Di Kabupaten Lombok Timur,
lembaga pengelola ini disebut dengan KPPL (Komite Pengelolaan
Perikanan Laut).
Rencana pengelolaan kawasan pesisir merupakan aturan dan panduan
bagi masyarakat dan pemerintah kabupaten dalam membuat rencana
pengelolaan partisipatif. Rencana pengelolaan tersebut bisa berupa
perda rencana umum tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang,
rencana pengembangan wilayah dan sebagainya. Di dalam
penyusunan rencana pengelolaan partisipatif, masyarakat dan
Dislutkan harus merujuk kepada rencana-rencana pengelolaan yang
sudah ada, agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi tingkatannya. Jika rencana pengelolaan kawasan pesisir tersebut
belum ada, maka Dislutkan dan masyarakat lokal tidak perlu
menunggu sampai rencana-rencana tersebut dibuat, melainkan harus
berani mengambil langkah menyusun suatu rencana pengelolaan yang
partisipatif.
Adanya kelompok alat tangkap sangat penting untuk memberikan
ruang partisipasi terhadap semua pemangku kepentingan. Kelompok
alat tangkap ini, tidak hanya meliputi nelayan penangkapan saja, tetapi
juga meliputi kelompok pembudidaya kerapu, kelompok petani rumput
laut, kelompok wanita nelayan dan sebagainya. Dengan adanya
kelompok-kelompok tersebut di tingkat kabupaten, maka upaya
pemecahan masalah lebih mudah dilakukan jika terjadi perselisihan
antar kelompok, atau jika pemerintah akan menerapkan suatu
kebijakan baru. Dengan demikian, keberadaan kelompok ini sangat
penting dalam menghindari konflik horisontal maupun vertikal.
Kelompok alat tangkap ini biasanya belum ada di sebagian besar
kabupaten di Indonesia. Di Lombok Timur, pementukan kelompok ini
masih sulit karena kurangnya motivasi nelayan untuk berorganisasi.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan
perikanan dapat ditingkatkan dengan pembentukan suatu lembaga
pertimbangan
(penasihat)
perikanan
kabupaten.
Lembaga
pertimbangan ini dibentuk dari semua wakil dari instansi pemerintah
kabupaten (misalnya: Dislutkan, Bappeda, Dishubpar), wakil dari
kelompok masyarakat pemangku kepentingan (misalnya: kelompok
alat tangkap, kelompok pengusaha dan swasta, lembaga pengelola
lokal), dan wakil dari balai penelitian dan Fakultas Perikanan. Lembaga
pertimbangan mempunyai tugas dan fungsi utama untuk memberikan
saran kepada Dislutkan tentang pengembangan pengelolaan
7/30/2016

8:30 PM

10

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

sumberdaya kelautan dan perikanan, dan mencarikan rekomendasi


pemecahan atas masalah-masalah dalam pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan. Di Kabupaten Lombok Timur, lembaga ini
disebut dengan Komite Kelautan dan Perikanan Kabupaten (KKPK).
5. Masalah Utama (Isu) Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai
Ada 5 (lima) buah masalah utama dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan pantai di Lombok Timur. Kelima masalah tersebut sebagian
besar sudah terbukti bisa diselesaikan melalui penerapan pengelolaan
sumberdaya perikanan secara partisipatif.
a) Alat penangkapan ikan yang merusak.
Penggunaan alat tangkap ikan yang merusak merupakan masalah
utama dalam pengelolaan sumberdaya perikana pantai (Bachtiar et
al., 2004). Alat tangkap tidak ramah lingkungan yang paling sering
digunakan adalah bahan peledak dan bahan racun. Bahan peledak
yang biasanya disebut bom ikan tidak hanya membunuh ikan
secara tidak selektif, melainkan juga merusak habitat ikan yaitu
terumbu karang. Bahan racun mempunyai dampak yang serupa,
tetapi intensitas penggunaannya lebih rendah.
Rusaknya
terumbu
karang
telah
dibuktikan
menurunkan
pendapatan nelayan. Pada terumbu karang yang rusak
penangkapan ikan hanya menghasilkan 2-5 ton/km/tahun,
sedangkan terumbu karang yang kondisinya baik bisa menghasilkan
25-45 ton/km2/tahun (Suharsono dan Soekarno, 1994). Di kawasan
Pasifik barat, panangkapan ikan lestari (sustainable) terumbu
karang yang baik adalah 25 ton/km2/tahun (Salm, 1988).
Nelayan pengebom biasanya memperoleh pendapatan yang lebih
tinggi daripada nelayan yang bukan pengebom. Tetapi tingginya
pendapatan mareka didapatkan dengan cara merugikan nelayan
dan masyarakat yang lain. Dari permodelan Pet-Soede et al. (2000),
dapat dihitung bahwa setiap Rp 10.000,- yang didapatkan oleh
nelayan pengebom, mareka merugikan masyarakat lainnya lebih
dari Rp 40.000,-. Kerugian masyarakat tersebut berasal dari
menurunnya sumberdaya ikan (Rp 14.000,-), menurunnya peluang
usaha pariwisata (Rp 300 hingga Rp 12.000,-) dan hilangnya
pelindung pantai (Rp 600 hingga Rp 19.000,-). Perhitungan tersebut
belum termasuk kerugian sosial dan budaya yang sulit dinilai
dengan uang, misalnya : menurunnya kemampuan anak-anak
nelayan (bukan pengebom) dalam sekolah, hilangnya lokasi
terumbu karang untuk pendidikan masyarakat pantai, dan
hilangnya budaya masyarakat pantai yang berkaitan dengan
terumbu karang. Karena itu, tidak perlu memberikan perlakuan
khusus kepada nelayan pengebom agar mareka mau berhenti dari
pengebom ikan, selain penegakan aturan awig-awig yang tegas.
Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir pengeboman ikan telah
menurun drastis di kawasan pantai selatan Lombok Timur.
Penurunan serupa juga sedang terjadi di kawasan timur dan utara.
Di dalam rencana pengelolaan secara partisipatif (awig-awig),
pengurangan pengeboman dilakukan dengan mengawasi dan
7/30/2016

8:30 PM

11

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

menangkap pengebom di laut, dan dengan melarang perdagangan


ikan bom di seluruh desa pantai di Lombok Timur. Karena itu, kita
perlu memperkuat upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh
masyarakat selama ini dengan sebuah PERDA.
b)

Kerusakan habitat.
Kerusakan habitat merupakan masalah kedua yang sebagian
merupakan akibat langsung dari masalah pertama, penangkapan
ikan yang merusak. Tiga habitat ikan yang sangat penting di
perairan pantai adalah terumbu karang, mangrove dan padang
lamun. Penggunaan bom dan potas (racun) merupakan penyebab
utama kerusakan terumbu karang (Bachtiar, 2004). Penggalian
karang untuk kapur juga perusak terumbu karang yang penting.
Penebangan mangrove dan konversi mangrove untuk tambak telah
merusak hutan mangrove. Madak yang berlebihan dan penggunaan
alat madak yang tidak ramah lingkungan (potas, linggis) telah
banyak merusak ekosistem padang lamun.
Rusaknya habitat ikan mempunyai dampak langsung terhadap
ketersediaan sumberdaya ikan yang berpengaruh pada rendahnya
hasil tangkapan. Luas hutan mangrove di suatu kawasan telah
banyak dilaporkan berpengaruh pada hasil tangkapan udang dan
kepiting. Rusaknya padang lamun juga berkaitan dengan
menurunnya tangkapan udang-udangan, baronang, kerapu dan
duyung.
Penambangan karang untuk kapur memberikan hanya sedikit
keuntungan kepada penambang, tetapi sangat merugikan
masyarakat lainnya. Berdasarkan model yang dikembangkan oleh
Ohman and Cesar (2000), setiap Rp 10.000,- yang didapatkan oleh
penambang karang, mareka merugikan masyarakat lainnya sekitar
Rp 76.000,-. Kerugian masyarakat tersebut berasal dari
menurunnya peluang usaha pariwisata (Rp 42.000,-), hilangnya
pelindung pantai (Rp 22.000,-), menurunnya sumberdaya perikanan
(Rp 6.000,-), dan kerugian lainnya (Rp 6.000,-).
Penanganan terhadap penambang karang harus dibedakan dengan
pengebom ikan. Pendapatan penambang karang lebih kecil dari
pada pendapatan nelayan, karena itu penambang karang
merupakan pilihan pekerjaan yang terakhir. Walaupun demikian,
penerapan penegakan aturan awig-awig yang tegas tetap harus
dilakukan.

c) Tangkap-lebih
Penurunan hasil tangkapan merupakan fenomena yang sangat
umum pada perikanan pantai di Indonesia. Penurunan terjadi
bersamaan dengan jumlah tangkapan yang semakin sedikit dan
ukuran ikan yang semakin kecil. Hal ini berarti bahwa telah terjadi
tangkap-lebih di perairan pantai. Armada dan alat tangkap nelayan
di kawasan ini telah melebihi kemampuan alami sumberdaya ikan
untuk pulih kembali.
Pada umumnya masyarakat nelayan sangat merasakan adanya
penurunan hasil tangkapan, tetapi mareka sulit menerima upayaupaya yang ditawarkan untuk memulihkan kembali sumberdaya
7/30/2016

8:30 PM

12

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

ikan secara alami. Tuntutan kebutuhan dasar hidup sehari-hari


merupakan alasan yang kuat untuk tidak menerima upaya
pemulihan yang ditawarkan. Sebaliknya, penambahan armada
penangkapan di perairan pantai yang sudah jenuh ini terus tidak
terkendali.
Pada saat ini, masalah tangkap-lebih seolah-olah hanya merupakan
masalah para birokrasi, peneliti atau pemerhati nelayan.
Masyarakat nelayan tidak mau tahu atau memikirkan masalah
tangkap-lebih tersebut. Memang, menghilangnya cumi-cumi dari
perairan Lombok Timur merupakan salah satu contoh tangkap lebih
yang sangat jelas bagi nelayan. Walaupun demikian, masih
diperlukan waktu yang lebih lama bagi masyarakat nelayan untuk
menyadari dan membutuhkan pengendalian penangkapan ikan di
perairan pantai.
Adanya awig-awig pengelolaan tentang suaka perikanan dan
kawasan konservasi laut membawa harapan adanya perlindungan
terhadap sebagian habitat dari kegiatan eksploitasi. Perlindungan
sumberdaya ikan di dalam suaka perikanan dan kawasan konservasi
laut diharapkan bisa menyisakan sebagian sumberdaya ikan untuk
ditabung bagi generasi nelayan mendatang.
d) Konflik alat tangkap.
Konflik alat tangkap sebenarnya bisa dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu konflik antar nelayan tradisional, dan konflik antara
nelayan tradisional dengan nelayan/budidaya komersial. Kedua
konflik tersebut telah mengganggu keharmonisan kehidupan
masyarakat nelayan. Dengan kehadiran awig-awig yang mengatur
masalah tersebut, kedua konflik alat tangkap tersebut bisa
diturunkan atau dihilangkan.
Konflik antar nelayan tradisional meliputi konflik penggunaan jaring
oros di Teluk Ekas, penggunaan kompressor di SambeliaPringgabaya, jumlah lampu nelayan di Teluk Ekas, penggunaan
bagan atau bekas bagan di Teluk Ekas. Konflik-konflik tersebut telah
banyak berkurang setelah adanya awig-awig rencana pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai.
Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan komersial telah
lama terjadi. Nelayan mini purse-seine biasanya sebagai pemicu
konflik ketika mareka menangkap ikan di perairan pantai. Awig-awig
Desa tanjung Luar yang dibuat pada tahun 1994 tidak juga mampu
mengatasi masalah tersebut. Masalah bisa teratasi setelah dibuat
Awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan pantai, yang
difasilitasi Proyek Co-Fish tahun 2001. Pelanggaran oleh nelayan
mini purse-seine tanggal 29 Juli 2004 di Teluk Ekas yang ditangkap
oleh KPPL menunjukkan bahwa rencana pengelolaan yang dibuat
oleh KPPL bersama masyarakat bisa mengatasi masalah konflik
semacam ini.
Konflik antara nelayan tradisional dengan pembudidaya komersial
juga terjadi di Teluk Ekas. Nelayan tradisional merasa dirugikan oleh
bekas-bekas jangkar budidaya mutiara di mulut Teluk Ekas.
Walaupun konflik ini tidak pernah tercetus sebagai konflik fisik,
7/30/2016

8:30 PM

13

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

tetapi merupakan ancaman dan gangguan terhadap keharmonisan


masyarakat pantai.
e) Penangkapan satwa laut liar yang dilindungi.
Penangkapan satwa laut yang dilindungi, misalnya duyung, penyu
dan lumba-lumba, sepenuhnya merupakan kewajiban pemerintah
untuk melaksanakan penegakan hukumnya. Tetapi kenyataannya
penegakan hukum formal masalah ini juga tidak bisa dijalankan.
Atas kesadaran masyarakat terhadap kepentingan lingkungan,
sekarang penangkapan dan perdagangan lumba-lumba, duyung,
dan penyu telah dilarang di seluruh desa pantai. Di Teluk Ekas,
penangkap penyu pernah tertangkap dan dikenai sanksi awig-awig,
penyu dilepas kembali ke laut, sedangkan nelayan penangkap
penyu didenda. Di Teluk Jukung, sekarang perdagangan lumbalumba dan duyung juga harus dilakukan dengan sembunyisembunyi. Sebelumnya, perdagangan
lumba-lumba dilakukan
secara bebas di TPI Tanjung Luar. KPPL Teluk Jukung
sudah
menangani perdagangan lumba-lumba sebanyak 6 (enam) kali
sejak tahun 2001.
6. Pembagian kawasan pengelolaan.
Pengelolaan partisipatif di Lombok Timur dilaksanakan berdasarkan
kawasan pengelolaan. Dinas Kelautan dan Perikanan telah membagi
kawasan perairan patai menjadi 6 (enam) kawasan pengelolaan (KP)
(Gambar 3). Keenam kawasan pengelolaan tersebut meliputi: KP Teluk
Ekas, KP Teluk Seriwe, KP Teluk Jukung, KP Labuhan Haji-Sakra Timur,
KP Pringgabaya, dan KP Sambelia (Gambar 3). Pembagian menjadi 6
kawasan pengelolaan merupakan langkah maju dari Kabupaten
Lombok Timur. Adanya kawasan pengelolaan menunjukkan tingginya
keharmonisan kerjasama antar desa, yang mampu mengurangi konflik
antar desa.
KPPL mendapatkan pelimpahan kewenangan dalam penyusunan
rencana pengelolaan dan pelaksanaannya terbatas di masing-masing
KP yang telah ditentukan. Setiap KPPL bertanggung jawab terhadap
pengelolaan di kawasannya masing-masing. Walaupun demikian ada
tiga KP yang berbeda dari lainnya. KP Labuhan Haji-Sakra Timur
dikelola bersama oleh KPPL Labuhan Haji dan KPPL Sakra Timur. KP
Teluk Ekas mempunyai KPPL yang tidak hanya lintas kecamatan tetapi
juga lintas kabupaten, karena terdapat pengurus dari Desa Kelongkong
dan Awang yang di bawah administrasi Kabupaten Lombok Tengah. KP
Teluk Seriwe dikelola oleh KPPL Teluk Seriwe yang semua anggotanya
dari satu desa, Desa Pemongkong.
Di samping adanya pembagian kawasan pengelolaan, di Lombok Timur
juga sudah terdapat 5 (lima) suaka perikanan (SP) dan 2 (dua) buah
kawasan konservasi laut. Baik suaka perikanan mapun kawasan
konservasi tersebut dikelola oleh KPPL.

7/30/2016

8:30 PM

14

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

Gambar 3. Enam kawasan pengelolaan (KP) di wilayah perairan pantai


Kabupaten Lombok Timur. KP Labuhan Haji-Sakra Timur dikelola
bersama oleh KPPL Labuhan Haji dan KPPL Sakra Timur.
7. Perlukah PERDA?
Penerapan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah
diangkat sebagai awig-awig kawasan memungkinkan terjadinya
persinggungan dengan nelayan dari kabupaten di sekitar Lombok
Timur. Karena itu, PERDA yang mengakui keberadaan pengelolaan
partisipatif sangat diperlukan. Pada bulan Agustus 2002, nelayan asal
Bali yang menangkap penyu di Teluk Ekas telah ditangkap oleh KPPL
Teluk Ekas dan dikenai sanksi awig-awig. Pada bulan
Maret 2005,
nelayan dari Kabupaten Sumbawa dikejar oleh KPPL Sambelia karena
mengebom ikan di kawasan konservasi laut Gili Sulat. Kejadiankejadian tersebut menunjukkan bahwa persinggungan tugas KPPL,
dalam rangka menegakkan aturan pengelolaan di dalam awig-awig,
dengan nelayan kabupaten atau propinsi lain tidak bisa dielakkan.
Sehingga PERDA tentang pengelolaan partisipatif ini sangat penting.
Keberadaan PERDA juga dibutuhkan untuk memperkuat partisipasi
masyarakat di dalam pengelolaan. Memang sementara ini sebagian
besar masalah pengelolaan telah bisa diatasi oleh KPPL tanpa
hambatan yang berarti. Tetapi, PERDA sangat dibutuhkan untuk
mengantisipasi adanya kelemahan-kelemahan di dalam penerapan
aturan pengelolaan partisipatif yang diangkat sebagai awig-awig
kawasan tersebut. Dengan adanya PERDA, KPPL sebagai wakil
masyarakat dalam pengelolaan akan lebih percaya diri dan berani,
serta mempunyai motivasi yang lebih baik dalam melaksanakan
tugasnya. Pada bulan Maret 2005, KPPL Sambelia yang menangkap
7/30/2016

8:30 PM

15

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

pengebom dan menyerahkannya ke Polisi mendapat ancaman yang


keras dari keluarga dan kerabat pengebom. Adanya PERDA yang
melindungi KPPL dalam melaksanakan tugasnya akan merupakan
penghargaan yang sangat besar bagi mareka yang telah mengabdikan
diri untuk masa depan masyarakat pantai.
Adanya PERDA yang mengakui kelembagaan KPPL dan KKPK juga bisa
menjamin keberlanjutan kedua lembaga tersebut di masa mendatang.
Pada saat ini, organisasi kedinasan di tingkat kabupaten belum
menemukan titik yang stabil. Perubahan masih sering terjadi seiring
dengan proses pembelajaran demokrasi dan efisiensi penggunaan
anggaran belanja di negara kita. Jika ada PERDA yang bisa mengakui
keberadaan kedua lembaga yang sangat penting dalam pengelolaan
partisipatif tersebut, reorganisasi dalam kedinasan kabupaten Lombok
Timur tidak banyak berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan partisipatif yang baru tumbuh dan berkembang.
8. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengelolaan secara partisipatif menjanjikan kesuksesan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan pantai di Indonesia. Keberhasilan
yang telah dicapai oleh pengelolaan partisipatif di Kabupaten Lombok
Timur, perlu ditindak-lanjuti dengan suatu PERDA yang mengakui
keberadaan lembaga pengelola, lembaga pertimbangan (penasehat)
dan produk-produk yang dihasilkan kedua lembaga tersebut yang
berupa awig-awig pengelolaan sumberdaya perikanan pantai.
Daftar Pustaka
Bachtiar, I. 2000. Community based coral reef management: Lessons
learned from the Marine Tourism Park Gili Indah, Lombok Barat.
Journal of Rural Studies (Komunitas) 3(1):67-77.
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di
Kabupaten Lombok Timur. In: S. Hardjo, M. Taufik, L. Wardi, A.
Syahdan. Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan
Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
Bachtiar, I. (2005). Sustainable coastal development. In: H. Mitsuda, R.
Sayuti (Eds.) Sustainable Lombok in the 21st Century: Rich Nature
and Rich People. Gajah Mada University Press. In perss.
Bachtiar, I., H. Jamani, J. Supriyanto, L.Wardi (2004). Status ekologi dan
sumberdaya perikanan di Kecamatan Keruak. In: S. Hardjo, M.
Taufik, L. Wardi, A. Syahdan. Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang
Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Universitas 45 Mataram. Pp. 10-34.
Fraser, N., B.R. Crawford, A.J. Siahaimena, F. Pua, C. Rotinsulu. 1999.
Transforming unsustainable and destructive coastal resource use
practices in the villages of Tumbak and Bantenan, North Sulawesi,
Indonesia. Phuket Marine Biological Center Special Publication 20:520.
7/30/2016

8:30 PM

16

Naskah Akademis
PERDA tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Secara Partisipatif

Ohman, M.C. and H.S.J. Cesar. 2000. Costs and benefits of coral mining. In:
H.S.J. Cesar (ed.), Collected Essays on the Economics of Coral Reefs.
CORDIO, Kalmar University, Kalmar. Pp. 85-93.
Patlis, J., N. Tangkilisan, D. Karwur, M.E. Ering, J.J. Tulungen, R. Titahelu, M.
Knight. 2003. Case study developing a district law in Minahasa on
community based integrated coastal management. In: Knight, M.
dan S. Tighe (eds.) Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003.
Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett,
Rhode Island-USA. Pp. 60.
Pet-Soede, L., H.S.J. Cesar, and J.S. Poet. 2000. Blasting away: the
economcs of blast fishing on Indonesian coral reefs. In: H.S.J. Cesar
(ed.), Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. CORDIO,
Kalmar University, Kalmar. Pp. 77-84.
Salm, R.V. 1988. Mans use of coral reefs. In : Kenchington, R.A. and
Hudson, B.E.T. (eds.) "Coral Reef Management Handbook". UNESCOROSTEA. Jakarta. pp. 15-22.
Salm, R.V. and Kenchington, R.A. 1988. The need for management. In :
Kenchington, R.A. and Hudson, B.E.T. (eds.) "Coral Reef
Management Handbook". UNESCO-ROSTEA. Jakarta. pp. 9-13.
Soekarno dan Suharsono. 1994. Terumbu karang Indonesia : Potensi,
manfaat dan masalah yang dihadapi. Workshop Ekspor Bunga
Karang Departemen Perdagangan, Jakarta.
Wells, M., Brandon, K. and Hannah, L. 1992. People and Parks: Linking
Protected Area Management with Local Communities. Washington,
D.C.: World Bank/WWF/USAID.
White, A.T.,L.Z. Hale, Y. Renard and L. Cortesi. 1994. Lessons to be learned
from experience. In: White, A.T.,L.Z. Hale, Y. Renard and L. Cortesi
(eds.) Collaborative and Community Based Management of Coral
Reefs. Connecticut: Kumarian Press. pp. 107-120.
Zerner, C. 1994. Tracking sasi: the transformation of a central Mollucan reef
management institution in Indonesia. In: White, A.T.,L.Z. Hale, Y.
Renard and L. Cortesi (eds.) Collaborative and Community Based
Management of Coral Reefs. Connecticut: Kumarian Press. pp. 19-32.

7/30/2016

8:30 PM

17

Anda mungkin juga menyukai