Pereoperatif Pada Pasien DM
Pereoperatif Pada Pasien DM
Disusun Oleh:
Zulkarnain
Pembimbing:
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An
Pendahuluan
penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain, peran
pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya
guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan, penyulit
DM, dan penatalaksanaannya akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Dalam konteks ini keberadaan
organisasi perkumpulan penyandang diabetes seperti PERSADIA, menjadi sangat
dibutuhkan, yang akan membantu meningkatkan pengetahuan mereka tentang DM
dan memikirkan kepentingan mereka sendiri semaksimal mungkin.
Diabetes sering dihubungkan dengan anestesia dan dengan pembedahan berdasarkan
atas jumlah mutlak pasien dengan DM dan banyaknya komplikasi dari penyakit DM
(misalnya vaskuler, opthalmologik, ginjal, jantung) yang membutuhkan intervensi
pembedahan. Suatu laporan belakangan ini diperkirakan bahwa hampir 50% individu
dengan DM akan menjalani pembedahan dalam hidup mereka
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut
WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
Klasifikasi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berubahnya
homeostasis glukosa yang disebabkan karena kurangnya produksi insulin (DM tipe I)
atau karena resistensi insulin (DM tipe II)
Endokrinopati
Infeksi
Kedua hormon ini mengatur regulasi glukosa agar selalu normaglikemia. Pada
keadaan istirahat, hepar menghasilkan 10 gram glukosa per jam yang dibagikan 6
gram per jam ke otak (tana perlu insulin) dan 4 gram per jam untuk hepar, otot dan
jaringan adipose dengan bantun insulin (Unger, 1982).
Glukagon mempunyai efek positif untuk merangsang sekresi insulin,
sebaliknya insulin mempunyai pengaruh menekan sekresi glukagon. Glukagon
melalui hepar mempunyai fungsi produksi glukosa, dan insulin merangsang ambilan
glukosa di hepar, otat dan jaringan adipose. Apabila makanan yang mengandung
karbohidrat diberikan maka timbul sekresi insulin yang sekaligus menekan sekresi
glukagon, sehingga tidak timbul hiperglikemia. Sebaliknya, pada waktu olah raga,
amilan glukosa meningkat, tubuh memerlukan glukosa dengan jalan meningkatkan
sekrei glukagon agar produksi glukosa dari hepar meningkat; sekresi insulin menurun
karena ditekan oleh katekolamin sehingga hipoglikemia dapat diindarkan.
Pada DM tipe 2. Sekresi sel-B terganggu dan mungkin juga terdapat kelainan
reseptor di perifer, maka ambilan glukosa di hepar, otot dan jaringan adipose
menurun, sehingga hiperglikemia tidak dapat dihindarkan. Pada waktu anestesi dan
operasi kadar hormon-hormon kontra meningkat (ACTH, Growth hormon,
Vasopressin, Prolaktin, TSH, Peningkatan aktivitas saraf simpatis) sehingga
mekanisme regulasi glukosa akan lebih sulit (Elliott et al, 1983) (Hawkins et al, 1983)
(Lee HA, 1983).
IIA. Pada DM tipe-1 keadaan berbeda dengan DM tipe-2, karena sel B pada
DM tipe-1 tidak lagi bekerja (Gambar 2). Akibatnya sel-A mengeluarkan glukagon
berlebihan (supresi oleh insulin tidak ada) yang selanjutnya akan meningkatkan
sekresi glukosa dari hepar lebih dari 20 gram/jam. Karena kekurangan insulin absolut,
ambilan glukosa di hepar, otot dan jaringan adipose menurun (kurang dari 1
gram/jam) sedangkan untuk otak tetap dapat dipenuhi 6 gram per jam (tidak
diperlukan insulin). Akibat dari ini semua adalah hiperglikemia yang disertai ekskresi
glukosa lewat urine melebihi 14 gram/jam (glukosuria).
IIB. Pada DM tipe-1 dengan regulasi baik, mekanisme regulasi glukosa dapat
dipahami melalui Gambar-3. Apabila penderita mendapatkan injeksi insulin, maka
sumber insulin bersifat otonom. Hambatan insulin eksogen terhadap sekresi glukagon
tetap ada meskipun pada waktu hipoglikemia (karena ambilan glukosa oleh jaringan
perifer berjalan terus).
Insulin
Sekresinya menurun waktu operasi karena peningkatan noradrenalin; tetapi sekresi
insulin ini dapat ditingkatkan dengan adrenergik bloker. Periode supresi ini
sangat erat berhubungan dengan Acute phase of injury dan Ebb phase. Apabila
tidak ada komplikasi, sekresi insulin akan menjadi normal pada hari ke-7.
Kortisol
Meningkat cepat dan dalam beberapa jam sudah mencapai kadar puncak. Kadar
kortisol ini menggambarkan besar kecilnya operasi dan dapat dipakai sebagai
petunjuk adanya penyulit. Karena itu kadar kortisol disebut juga Sepsis score.
Peningkatan kortisol ini akan memberi pengaruh metabolic. Kortisol mulai normal
pada hari ke-4.
Glukagon
Glukagon juga meningkat sekresinya pada waktu operasi yang terjadi 18-48 jam
sesudah operasi. Glukagon akan merangsang glukoneogenesis dan glikogenolisis
dan juga meningkatkan ambilan asam amino (hepatic amino acid uptake) dalam
hepar. Glukagon akan normal kembali pada hari ke-5.
Hormon Tiroid
Tidak terlalu jelas peningkatan sekresinya pada waktu operasi. Yang jelas rasio T3-r
T3 turun disebabkan karena peningkatan kortisol, atau oleh karena adaptasi
terhadap peningkatan aktivitas metabolic. Namun demikian analgesia epidural
yang menekan peningkatan sekresi kortisol akibat operasi, tidak mempengaruhi
rasio T3-rT3 tersebut.
-
Katekolamin
Mempunyai efek yang menonjol pada metabolisme karbohidrat. Adrenalin
meningkatkan glikogenolisis di hepar, otot dengan akibat peningkatan keluarnya
laktat dari otot.
Pada waktu operasi atau puasa, glukosa harus diproduksi oleh tubuh sendiri
(terutama hepar) dengan kecepatan 180-240 gr/24 jam ( 10 gr/jam) untuk
mempertahankan hidup jaringan yang essensial (otak: 6 gr/jam); sebagian besar
energi untuk otot dipenuhi oleh asam lemak dan keton bodies. Hepar dan ginjal
adalah organ penghasil glukosa, tetapi pada keadaan puasa 90% kebutuhan glukosa
dapat dipenuhi oleh hepar.
Glukosa ini berasal dari glikogenolisis (short term) dan glukoneogenesis.
Enzim fosforilase akan diaktifkan dan menghasilkan G-6-P (Glucose-6-Phosphate)
dan dari sinilah glukosa dilepaskan. Enzim G-6-P ini hanya terdapat di hepar dan
ginjal, tidak terdapat dalam otot. Bahan glukoneogenik yang perlu diketahui, antara
lain: (Elliott et al, 1983).
1. Piruvat
2. Laktat ( 50% dari seluruhnya)
3. Alanin, Glutamin dan Glisin
4. Gliserol (5-10%)
Meskipun otot tidak memiliki enzim G-6-P, secara indirek otot dapat
menghasilkan glukosa melalui bahan glukoneogenik.
Laktat
Pada olah raga atau hipotensi, laju produksi laktat meningkat tajam dan
menghasilkan ion hydrogen yang berlebihan, sehingga dapat mengakibatkan
asidemia (asidosis laktat).
Hepar yang normal, perharinya dapat mengambil 400 gr laktat. Organ yang dapat
menggunakan laktat adalah jantung.
Gliserol
Merupakan bahan glukoneogenik yang dilepaskan dari jaringan adipose (sekitar 510% dari seluruhnya). Sebagian besar (80-90%) gliserol mengalami metabolisme
di dalam hepar dan bahan ini diutamakan untuk glukoneogenesis sewaktu puasa.
Alanin
Merupakan sumber utama bahan glukoneogenik yang berasal dari protein. Apabila
keadaan puasa berlangsung terus maka glikogenolisis hepatik menurun sedangkan
glukoneogenesis meningkat. Cadangan glikogen di hepar hanya 72 gr dan di otot
245 gr, sedangkan kebutuhan glukosa untuk jaringan tubuh yang essensial adalah
180-240 gr/24 jam. Cadangan glikogen tubuh hanya cukup untuk sekitar 24 jam,
maka selanjutnya kekurangan akan dipenuhi melalui glukoneogenesis. Bila
kebutuhan glukosa masih berlangsung terus maka protein tubuh akan dibongkar
oleh kortisol. Proteolisis ini dapat meningkatkan mortalitas, apabila tidak segera
diatasi. Tetapi kadar keton bodies akan meningkat melalui proses lipolisis,
sedangkan pada waktu puasa proses ini meningkat pula. Susunan Saraf Pusat (SSP)
akan menggunakan keton bodies ini sebagai sumber energi (sebagai oxidative
fuel). Pada saat ini kebutuhan glukosa total akan turun separuhnya dan ginjal akan
menjadi sumber produksi glukosa.
Karena stress operasi berlangsung terus, maka terjadi peningkatan ACTH, GH,
vasopressin dan kortisol yang mana kortisol akan meningkatkan proteolisis dan
lipolisis, laju glukoneogenesis meningkat dan terjadi hiperglikemia.
Pada fase ini, laju metabolik tidak meningkat, bahkan cenderung menurun
sehingga hiperglikemia dan peningkatan kadar asam lemak dapat berlangsung lama.
NPE (Nutrisi Par Enteral) jangan diberikan pada fase ini karena laju metabolik
rendah dan hormon-hormon kontra masih tinggi.
2.
Pada fase ini timbul peningkatan laju metabolik dan proses katabolik.
NPE dapat dimulai dengan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi,
sedangkan asam amino untuk regenerasi dan sintesis protein visceral (jangan
diperhitungkan sebagai sumber energi).
BEBERAPA HAL YANG PERLU DIKETAHUI UNTUK DM ANESTESIOPERASI
Perlu diketahui bahwa penderita DM mudah mengalami infeksi karena
beberapa faktor di bawah ini (Askandar T, 2002).
1. Hiperglikemia (glukosa darah lebih dari 200 mg/dl).
2. Adanya dehidrasi, asidosis, defisiensi (albumin, elektrolit, mineral dll).
3. Status nutrisi yang kurang
4. Angiopathy
5. Neuropathy
6. Faktor hormonal
Oleh karena itu faktor-faktor tersebut di atas harus benar-benar diperhatikan
karena dapat mencetuskan resiko DM yang berat seperti sepsis dan lain-lain.
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh hiperglikemia (lebih dari 200
mg/dl) antara lain: (Askandar T, 2002) (Stevens A et al., 1987)
1. Faal leukosit menurun (faal hemotaksis, fagositosis, bakterisida intraseluler
menurun; demikian pula fungsi limfosit dan monosit. Akibatnya penderita DM
mudah mengalami infeksi. Infeksi merupakan penyulit pada post operasi tersering
pada DM (1/3 kasus) dan menyebabkan 20% kasus kematian post operasi.
2. Gangguan Reologi:
-
Mudah terjadi agregasi trombosit, demikian pula akan mudah timbul agregasi
eritrosit dan lekosit, yang memudahkan terjadinya trombosis.
3. Faal endotel juga terganggu, yang merupakan predisposisi timbulnya agregasi
tromosit dan kemudian trombosis.
4. Status immunology humoral dan selluler menurun: kemunduran fungsi sel Tsuppresor dan lain-lain.
5. Pembentukan jaringan: granulasi terhambat (sintesis fibroblast dan kolagen
tertekan pada hiperglikemia), luka sukar sembuh.
Beberapa faktor yang menunjukkan prognosis kurang baik untuk penderta DM
yang mengalami operasi adalah:
1. Regulasi DM yang tidak optimal (glukosa darah > 200 mg/dl)
2. Umur lebih dari 60 tahun
3. Hepar (hepatopati diabetik)
4. Ginjal (nefropati diabetik)
Terapia insulin pada pasien perioperatif
Beberapa persiapan sebelum operasi, antara lain melakukan pengendalian metabolik
(kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dL, kadar glukosa darah 2 jam setelah makan
<200 mg/dL), serta menentukan keadaan kardiovaskular, neurologi, dan fungsi ginjal.
Penatalaksanaan pasien DM perioperatif tergantung dari berat ringannya tindakan
pembedahan.
A. Operasi kecil
Penggunaan obat antidiabetik oral atau insulin dapat diteruskan bila kadar glukosa
darah sudah terkendali dengan baik. Pasien-pasien ini tidak memerlukan persiapan
khusus seperti puasa dan sesudah tindakan dapat makan seperti biasa.
B. Operasi sedang
Operasi sedang yang elektif merupakan kasus yang paling sering ditemukan oleh para
spesialis penyakit dalam saat persiapan prabedah seperti operasi laparatomi, bedah
tumor kandungan, bedah tulang, dan bedah saraf. Persiapannya sama dengan operasi
besar, yang pada dasarnya harus dilakukan sebaik mungkin sebelum menjalani
tindakan operasi. Perlu dicatat kepentingan pemantauan kadar glukosa darah selama
operasi. Untuk hal tersebut petugas cukup menggunakan reflectance meter yang dapat
digunakan di kamar operasi. Operasi yang lama dapat meningkatkan kadar glukosa
darah. Bila kadar glukosa darah tinggi maka perlu diberikan insulin.
C. Operasi besar
Bagi pasien yang akan menjalani operasi besar yang memerlukan anestesi umum dan
dipuasakan, dibutuhkan infus insulin dan glukosa serta pemantauan kadar glukosa
darah setiap jam. Pemberian infus insulin dan glukosa dapat diberikan secara terpisah,
misalnya insulin kerja singkat dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% dengan
konsentrasi 0,5 unit/ml dan larutan dekstrose 5% atau 10% tergantung keperluan.
Infus insulin ditambahkan pada infus dekstrosa dan kecepatan infus disesuaikan
dengan kadar glukosa darah. Pada operasi yang memerlukan pembatasan cairan
seperti pada pasien gagal ginjal dan penyakit jantung kongestif, sebagai asupan
karbohidrat dapat digunakan dekstrosa 50%.
Tindakan operasi jantung dan pintas kardiopulmonar seringkali memerlukan dosis
insulin yang tinggi untuk mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik.
Pengendalian kadar glukosa darah yang baik selama operasi akan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas pasien DM. Kadar glukosa darah yang baik pada persiapan
dan selama operasi dipertahankan pada kadar 100125 mg/dL. Hal yang perlu
mendapat perhatian pada pasien DM yang memerlukan tindakan operasi darurat
adalah waktu terakhir mendapat suntikan insulin dan penilaian status metabolik
melalui pemantauan kadar glukosa darah.
Bagi pasien yang akan menjalani operasi elektif, pemberian insulin umumnya dimulai
apabila ditemukan kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL. Sementara itu, bagi
pasien DM di ruang intensif yang akan menjalani operasi, insulin dapat mulai
diberikan bila kadar glukosa darah lebih dari 110 mg/dL. Target kadar glukosa darah
yang diinginkan untuk pasien kritis yang akan menjalani operasi adalah 80 110
mg/dL, sementara untuk pasien dengan operasi lainnya, target kadar glukosa darah
adalah 90-140 mg/dL.
D. Penatalaksanaan pasca tindakan operasi
Pada operasi besar, infus dekstrosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien bisa
makan, kemudian dimulai dengan pemberian insulin subkutan sesuai kebutuhan. Bagi
pasien yang memerlukan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja
singkat setiap enam jam dan perlu pengawasan untuk menghindari terjadinya
hipoglikemia. Pasien yang tidak bisa makan dan harus mendapat nutrisi parenteral
dapat mengalami gangguan metabolik yang berat. Penggunaan infus insulin pada
pasien-pasien tersebut mengikuti aturan dosis seperti yang ditunjukkan pada table.
Kadar glukosa darah dipertahankan pada kisaran 80 110 mg/dL untuk pasien kritis
dan kisaran 90 140 mg/dL untuk pasien operasi lainnya.
Respon penderita DM terhadap anestesi-operasi
Anestesi-operasi menimbulkan suatu stress dimana stress ini akan memperberat
adanya hiperglikemia. Hal tersebut karena terjadi penurunan toleransi karbohidrat
dimana penderita DM manifestasinya berupa meningkatnya kebutuhan insulin 5.
Stress
pembedahan
lebih
besar
pengaruhnya
daripada
stress
anestesinya.
Dimana hal tersebut akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas anestesipembedahan. Seperti kita ketahui bahwa pembuluh darah penderita diabetes jauh
lebih tua dibandingkan dengan penderita non DM dari umur kronologis yang sama.
Pemeriksaan meliputi keadaan sirkulasi/jantung, faal ginjal, keseimbangan elektrolit
dan keadaan metabolik disamping pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan
kemungkinan adanya infeksi, keadaan asidosis, bagaimana regulasinya dll, sehingga
pasien dalam keadaan stabil/optimal.
Secara ringkas maka perlu diadakan suatu pendekatan lebih sistematis untuk
menilai keadaan klinis penederita
1. Menentukan tipe diabetesnya
2. Penilaian beratnya penyakit ( DM )
Bila
didapatkan
acetonuria
tanpa
glukosuria,
hal
ini
kemungkinan
Karena penyulit pasca operasi terbanyak adalah infeksi ( dua pertiga kasus ),
maka penderita DM yang kurang baik persiapannya atau karena keadaan preoperasi
sebelumnya, akan cenderung mengalami sepsis.
Tetralogi terapi DM dengan sepsis yang perlu diingat adalah :
Regulasi cepat
Koreksi defisit ( cairan, albumin, elektrolit, trace elemen )
NPE ( Nutrisi Par-Enteral ) harus segera dimulai pada hari kedua ( paling lambat hari
ketiga ) dengan syarat kadar glukosa darah kurang dari 200 250 mg/dL ( bila belum
laksanakan regulasi cepat terlebih dahulu )
Antibiotika ( selama 1 2 minggu )
Daftar Pustaka