Anda di halaman 1dari 13

Suplementasi tempe meningkatkan status besi dan perkembangan anak

Lidya Diah Wulandari Sidharta, JC Susanto Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Latar belakang. Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan dampak negatif pada
kesehatan terutama anak-anak, baik menurunkan daya tahan tubuh, mengganggu
konsentrasi belajar dan perkembangan anak.
Tujuan penelitian. Mengetahui manfaat pemberian tempe bersamaan makan pada
anak dengan peningkatan kadar hemoglobin, kadar serum iron dan feritin, status
antropometri, dan perkembangan pada anak.
Desain penelitian. Penelitian one group pretest and posttest yang dilakukan di
daerah Bululor Semarang pada 30 anak usia 12 -18 bulan yang memenuhi kriteria
inklusi, diberikan tempe yang telah digoreng sebesar 25 gram sehari 3 kali pada saat
makan selama 6 bulan. Sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pengukuran
antropometri berupa WAZ,HAZ, WHZ dan pemeriksaan laboratorium kadar
hemoglobin, serum iron, feritin, serta perkembangan dengan tes Bayley berupa MDI
(Mental Developmental Index) dan PDI (Psychomotor Developmental Index).
Analisis statistik menggunakan uji t berpasangan, Wilcoxon test.
Hasil. Terjadi kenaikan status antropometri (WAZ,HAZ,WHZ), status besi (serum
besi, feritin) dan status perkembangan (MDI, PDI) yang bermakna secara
statistik(p<0,05), walaupun didapatkan juga adanya peningkatan kadar hemoglobin
yang tidak bermakna secara statistik (p=0,057) dengan rerata delta kenaikan
hemoglobin sebesar 0,20,55 gr/dl.
Kesimpulan. Pemberian tempe pada anak usia 12-18 bulan bersamaan makan
selama enam bulan dapat meningkatkan serum besi, feritin, WAZ, HAZ, WHZ dan
MDI, PDI, dan mempertahankan kadar hemoglobin dalam rentang normal.
Kata kunci: anemia defisiensi besi, tempe, kadar hemoglobin, serum besi, feritin,
MDI,PDI.

Article
Tempeh Supplementation Increase Iron Status and Children Development

Lidya Diah Wulandari Sidharta and JC Susanto


Departement of Pediatrics Faculty of Medicine
Diponegoro University /Dr. Kariadi Hospital, Semarang Indonesia

Background: Iron deficiency anemia could impact childrens health which leads to
immunity impairment, lack of concentration in school and their development.
Objective: to discover the benefit of tempeh supplementation in meal times on
increasing haemoglobin, serum iron, feritin, anthropometric status and development.
Method: This was a pre dan post one group study which held in Bululor Semarang
area. 30 children aged 12 -18 months who met the inclusion criteria were given 25
grams of tempeh while eating three times daily for 6 months. Before and after the
suplementation, we measured WHZ, haemoglobin, iron serum, feritin, and also
development test with Bayleys test which consist of Mental Developmental Index
(MDI) and Psychomotor Developmental Index (PDI). We used paired T and wilcoxon
test for statistic analises.
Result: There is an increase anthropometric status (WAZ, HAZ, WHZ), iron status
(serum iron, ferritin) and development status (MDI, PDI), which was statistically
significant (p <0.05), although we also found elevated levels of hemoglobin were not
statistically significant (p = 0.057) with a mean increase in hemoglobin delta of 0.2
0.55 g / dl.
Conclusion: Tempeh supplementation in meal times for 6 months old could increase
haemoglobin, iron serum, feritin, WHZ, MDI and PDI in children from 12 months old.
Keywords: Iron deficiency anemia, tempeh, haemoglobin, iron serum, feritin, WHZ,
MDI and PDI

PENDAHULUAN
Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak anak didunia yang masih
banyak, WHO memperkirakan 27% anak-anak di dunia menderita anemia karena
kekurangan zat besi, sebagian besar berasal dari negara sedang berkembang baik
di Asia maupun Afrika Selatan.1 Berdasarkan SKRT 2007 prevalensi anemia pada
anak usia 1-4 tahun di Indonesia sekitar 27,7%. 2 Jika anemia defisiensi besi atau
defisiensi

besi

terjadi

pada

awal

kehidupan

maka

dapat

mengganggu
2

perkembangan.3 Anemia defisiensi besi yang terjadi pada saat bayi dapat
menyebabkan terjadinya hambatan perkembangan saat usia

8 sampai 9 tahun

meskipun telah dilakukan terapi besi. Temuan ini konsisten dengan efek jangka
panjang anemia defisiensi besi yang terjadi saat awal mielinasi dan saat
pembentukan jaringan neurologis prefrontal striatal.4 Pengamatan perkembangan
kognitif baru dapat dilakukan setelah anak berumur 6 bulan karena anemia defisiensi
besi biasanya mulai muncul disaat anak berusia 6-12 bulan, karena saat usia inilah
cadangan besi yang ada saat anak lahir sudah mulai menipis sedangkan asupan
diet anak kurang mengandung zat besi dimana masa weaning period ini biasa
disebut critical period.5
Zat besi dalam makanan dapat berupa besi heme maupun besi non heme, sebab
besi heme ini walaupun jumlahnya sedikit tetapi mempunyai nilai biovailabilitas
tinggi. Sedangkan besi non heme absorpsinya tergantung pada makanan lainnya
yang dikonsumsi secara bersamaan. Jadi ada makanan yang dapat meningkatkan
penyerapan zat besi seperti vitamin C, pemberian daging merah, sedangkan
pemberian asam fitat, fiber, polifenol, tanin dapat menghambat penyerapan zat besi.
Asam fitat banyak terdapat pada makanan utama seperti sereal. Untuk mengurangi
kadar asam fitat diperlukan enzim phytase yang dapat memecah asam fitat sehingga
tidak menghambat penyerapan zat besi. Makanan yang mengandung enzim phytase
salah satunya adalah tempe, dimana tempe merupakan makanan asli Indonesia
yang berasal dari kedelai. Dengan konsumsi tempe diharapkan berkurangnya faktor
penghambat penyerapan zat besi yaitu asam fitat sehingga akan meningkatkan
penyerapan zat besi.5 Defisiensi besi akan memperlihatkan adanya gangguan
pembentukan pada struktur dendritik daerah hippocampus. 6
Pada penelitian yang dilakukan di Chili, pada anak-anak yang pernah mengalami
anemia kekurangan zat besi saat usia 6 , 12 atau 18 bulan dan kemudian dilakukan
terapi pemberian besi oral, kemudian dilakukan pengamatan dan penilaian potensi
perkembangan memori dan fungsi dari hippocampus saat mereka usia 4 dan 10
tahun. Dari penelitian itu ditemukan bahwa adanya anemia defisiensi besi yang
terjadi pada awal kehidupan terbukti menurunkan metabolisme saraf dan
menurunkan proses neurotransmisi, dimana hal tersebut tidak dapat diperbaiki saat
anak usia 4 tahun meskipun telah dilakukan pengobatan. Saat usia 10 tahun
diperoleh hasil bahwa pada kelompok anak dengan anemia memiliki memori lebih
buruk daripada kelompok kontrol.7
3

Penelitian Cercamondi CI,dkk tahun 2013 di Natitingou, Benin dengan subyek


enam puluh anak sehat dengan usia 19-36 bulan secara randomized cross over
study dilakukan penambahan phytase aktif, asam askorbat dan EDTA pada MP-ASI
yang berupa bubur sereal, bubur jagung, bubur gandum sebelum MP-ASI tersebut
dikonsumsi. Adanya penambahan phytase pada penelitian ini dapat meningkatkan
penyerapan besi. Demikian juga untuk penambahan asam askorbat bersama
phytase dapat meningkatan penyerapan besi. 8 Troesch, 2009 menyatakan
peningkatan absorbsi besi sebesar 5 kali dengan penambahan vitamin C, phytase
pada makanan.9
Penelitian kami bertujuan untuk mengetahui pengaruh asupan tempe terhadap
peningkatan status besi, status antropometri dan perkembangan pada anak usia 12
- 18 bulan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian rancangan pre and post test one group only
dengan lingkup Ilmu Kesehatan Anak divisi nutrisi dan penyakit metabolik. Penelitian
ini dilaksanakan selama 6 bulan setelah mendapat persetujuan dari komisi etik FK
UNDIP/ RS dr Kariadi Semarang. Penelitian berlangsung di daerah Bulu Lor
Semarang pada anak usia 12 18 bulan yang datang ke posyandu.
Kriteria inklusi berupa anak sehat usia 12 18 bulan, anak bertempat tinggal
di daerah Bulu Lor Semarang, orang tua atau wali bersedia menjadi sampel
penelitian (mengisi informed consent), Orang tua bersedia memberikan tempe setiap
kali anak makan selama 3 bulan dan mengisi buku harian. Kriteria eksklusi anak
mendapatkan suplementasi besi sebelum penelitian, riwayat penyakit kronis (lebih
dari 3 bulan).
Subyek penelitian dipilih dengan cara concecutive sampling dan dialokasikan
dengan randomisasi blok. Sesuai dengan hipotesis penelitian, besar sampel dihitung
dengan rumus untuk uji hipotesis. Jika ditentukan (Z= 1.96), kekuatan penelitian
sebesar 90% (Z= 1.44). Berdasarkan penelitian sebelumnya simpang baku kadar
hemoglobin pada anak dengan pemberian phytase sebesar 8 mg/dl.8 Perbedaan
sebesar 5 mg/dl dianggap bermakna.10 Berdasarkan perhitungan diatas, besarnya
sampel yang dibutuhkan minimal 27 anak. Dengan koreksi terhadap kemungkinan
drop out sebanyak 10% maka subyek yang diperlukan 30 anak.
Subyek diberikan perlakuan berupa pemberian tempe 25 gram dengan
ukuran 4 cm x 4 cm x 2 cm sehari 3 kali, selama 6 bulan. Semua subyek pada awal
4

penelitian diukur berat badan, tinggi badan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan
berpengalaman kemudian dinilai WHZ. Serta dilakukan pemeriksaan laboratorium
kadar hemoglobin, serum iron, kadar serum feritin, juga dilakukan pemeriksaan
perkembangan dengan menggunakan perhitungan indeks perkembangan mental
(Mental Development Index/MDI) dan

indeks perkembangan psikomotorik

(Psychomotor Development Index/PDI) menggunakan alat pemeriksaan Bayley test


saat awal dan akhir penelitian. Setiap bulan dilakukan pengukuran antropometri,
dilakukan edukasi mengenai pemberian makan. Untuk mengetahui pengaruh
pemberian tempe terhadap kadar hemoglobin, serum besi, feritin, WHZ, status
perkembangan berupa MDI dan PDI dialkukan analis data secara statistik Paired t
test jika distribusi data normal atau Wilcoxon test jika distribusi data tidak normal.
Nilai p dianggap bermakna apabila p < 0.05. Etika penelitian ini dimintakan Ethical
clearance dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran UNDIP/RSDK. Persetujuan orang
tua atau wali diberikan secara tertulis dalam bentuk informed consent setelah
mendapatkan penjelasan tentang penelitian ini.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 30 orang anak sehat

usia 12 bulan 18 bulan

didaerah Bulu lor Semarang yang memenuhi kriteria penelitian. Subyek penelitian
diambil secara consecutive sampling.
Karakteristik subyek penelitian tertera pada Tabel 1. Didapatkan 60% subyek
berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 1. Frekuensi jenis Kelamin


Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Frekuensi
18
12
30

Persen
60.0
40.0
100.0

Tidak didapatkan adanya pengaruh pemberian tempe terhadap kadar


hemoglobin anak (p:0,057) sesuai Tabel 2. Tetapi jika dilihat dari rerata Hb ada
kecenderungan kenaikan sebelum dan setelah pemberian tempe, dengan delta
rerata kenaikan Hb sebesar 0,20,55 gr/dl.

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Tempe terhadap Kadar Hemoglobin Anak


Kadar Hemoglobin

Simpang
N
30
30

Hemoglobin awal
Hemoglobin akhir
*p<0,05

Rerata
11.2400
11.4400

Baku
.73700
.69857

p
0,057*

Didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan pada pemberian tempe
terhadap kadar serum besi anak (p:0,0001), dan kadar feritin anak (p:0,031) sesuai
Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Pemberian Tempe terhadap Kadar Serum Besi dan Feritin
Anak
Variabel
Serum Besi Awal
Serum Besi Akhir
Kadar Feritin Awal
Kadar Feritin Akhir
*
p<0,05

N
30
30
30
30

Median
36,00
66,00
38,26
32,25

Minimal
14
14
5,6
5,6

Maksimal
67
89
98,7
79,1

p
0,0001*
0,031*

Ada pengaruh pemberian tempe terhadap Antropometri anak (p < 0,05), dimana
terdapat kenaikan secara bermakna rerata WAZ, HAZ, dan WHZ anak sebelum dan
setelah diberi tempe.
Tabel 4. Pengaruh Pemberian Tempe terhadap Antropometri
Antropometri

Simpang
N

WHZ sebelum perlakuan


WHZ setelah perlakuan
WAZ sebelum perlakuan

Rerata
30 -1.0940
30 0.3487
30 -0.61

WAZ setelah perlakuan

30 -0.11

Baku
0.61531
0.73204
0.48

p
0,0001*
< 0,001*

0.77

HAZ sebelum perlakuan


30 0.47
0.52
< 0,001*
HAZ setelah perlakuan
30 0.76
-0.82
*
P<0,05 WHZ : weight for height score WAZ : Weight for Age
6

HAZ : Height for Age


Ada

pengaruh

yang

signifikan

pada

pemberian

tempe

terhadap

perkembangan anak MDI (p: 0,0001) dan PDI (p: 0,0001), dimana rerata MDI anak
sebelum diberi tempe sebesar 88,2014,26 naik menjadi 94,6612,37 setelah diberi
tempe. Sedangkan rerata PDI anak sebelum diberi tempe sebesar 90,5717,98 naik
menjadi 97,1016,27 setelah diberi tempe.

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Tempe Terhadap Perkembangan Anak (MDI & PDI)

Perkembangan
p
N
Rerata
Simpang baku
MDI sebelum perlakuan
30
88.20
14.26
0,0001*
MDI setelah perlakuan
30
94.66
12.37
PDI sebelum perlakuan
30
90.57
17.98
0,0001*
PDI setelah perlakuan
30
97.10
16.27
*
P<0,05 MDI : Mental Development Index PDI : Psychomotor Development Index
Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian pre dan post test one group untuk
mengetahui pengaruh asupan tempe terhadap status besi, status antropometri, dan
perkembangan pada anak usia 12-18 bulan di daerah Bulu Lor dalam periode waktu
Agustus 2015 Februari 2016.
Menurut Sandberg AS,dkk, fitat yang mengandung fosfat myo-inositol dengan
kurang dari tiga kelompok fosfat tidak akan menghambat penyerapan zat besi,
berupa sereal, kacang-kacangan, dan biji-bijian berminyak. Kandungan fitat dalam
sereal bervariasi dari 0,06% menjadi 2,22%, nasi disosok mengandung jumlah fitat
terendah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menggunakan bahan
dasar nasi disosok untuk MPASI dengan kandungan fitat paling rendah sehingga
tidak menghambat penyerapan besi. 11 Pada penelitian ini, pemberian tempe dapat
mempertahankan kadar Hemoglobin dalam rentang normal selama penelitian dan
menunjukan kecenderungan meningkat pada sebelum dan sesudah perlakuan
walaupun tanpa adanya perbedaan bermakna secara statistik.
Serum besi merupakan jumlah besi yang beredar dalam tubuh yang terikat
untuk transferin. Sekitar 65% dari besi dalam tubuh terikat dalam molekul
hemoglobin dalam sel darah merah dan 4% terikat dalam molekul myoglobin. Sekitar
30% dari besi dalam tubuh disimpan sebagai feritin atau hemosiderin dalam limpa,
sumsum tulang dan hati. Sejumlah kecil zat besi dapat ditemukan dalam molekul lain
7

dalam sel di seluruh tubuh. 12 Berdasarkan WHO dan diperkuat oleh Hoffman R,
2000, kadar serum besi menunjukan ikatan besi terhadap transferin di dalam darah,
menunjang pengukuran distribusi zat besi ke sumsung tulang dan jaringan lain,
tetapi nilainya dipengaruhi oleh variasi diurnal dan paska pemberian asupan, dan
mudah terkontaminasi oleh asupan besi dari diet. 11,8 Nilai serum besi tersebut dapat
diasumsikan distribusi zat besi dalam keadaan baik dan respon produksi eritrosit dan
cadangan besi dalam keadaan yang cukup. Adanya pengurangan fitat dengan
phytase, serta adanya pemasakan, perendaman dan perkecambahan pada
penelitian dengan menggunakan kacang faba menunjukkan bahwa oksidasi polifenol
dalam kacang faba, dapat digunakan untuk meningkatkan bioavailabilitas besi dalam
makanan.11 Menurut Abd El-Hady dan Habiba (2003), Ramakrishna, dkk (2006)
adanya penurunan kandungan asam fitat oleh karena proses pembuatan tempe,
seperti pencucian mengeluarkan asam fitat ke dalam air rendaman, Sharma dan
Khetarpaul, 1997 menyatakan aktivitas phytase juga mengurangi kadar asam fitat
dalam produk fermentasi. Reyes Moreno,dkk 2004 menyatakan hubungan antara
penurunan kandungan asam fitat dan peningkatan waktu fermentasi dapat
dijelaskan oleh sintesis enzim phytase oleh Rhizopus, yang hidrolisis asam fitat.
Elyas,dkk

dan

Khandelwal,dkk

mendapatkan

adanya

penurunan

polifenol

menunjukkan kemampuan flora mikro untuk fermentasi fenolat. 13 Pada penelitian ini
didapatkan hasil perbedaan yang bermakna (p:0,0001), pada pemberian tempe
terhadap kadar serum besi anak dimana median sebelum diberi tempe sebesar 36
naik menjadi 66 setelah diberi tempe, dengan delta median kenaikan kadar serum
besi sebesar 6,5.
Troesch B,dkk pada penelitiannya tahun 2009 menyatakan pada kelompok
penelitian yang dilakukan pemberian asam askorbat (vitamin C) dan phytase (190
phytase unit), NaFeEDTA dapat meningkatkan absorbsi besi sebesar 7,4% (5 kali)
bila dibandingkan absorbsi besi yang hanya 1,5% pada makanan yang sama tanpa
penambahan (p<0.001).9 Hal ini juga ditunjang dengan hasil kadar serum feritin
sebelum dan sesudah perlakuan yang menunjukan adanya perbedaan yang
signifikan, menunjukkan adanya manfaat pemberian tempe yang mengandung
phytase pada saat makan.
Subyek pada penelitian ini tergolong gizi baik (rerata WHZ > -2 SD) serta didapatkan
adanya perbaikan status gizi dengan peningkatan rerata WHZ menjadi 0,34 0,74
SD setelah perlakuan. Pada penelitian ini diberikan edukasi pola makan dengan MP8

ASI serta jenis makanan yang mengandung zat besi baik berupa besi heme maupun
besi non heme, MP-ASI yang dianjurkan berupa ASI ditambah pemberian nasi
dengan komponen yang terdiri dari beras putih, daging, sayur berwarna hijau tua,
dan minyak dengan jumlah sesuai rekomendasi.
Pengamatan perkembangan kognitif baru dapat dilakukan setelah anak
berumur 6 bulan karena anemia defisiensi besi biasanya mulai muncul disaat anak
berusia 6-12 bulan, dimana masa weaning period ini biasa disebut critical period. 5
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan adanya pengaruh pemberian tempe
terhadap perkembangan anak baik pada indeks perkembangan mental maupun
indeks perkembangan motorik sebelum dan sesudah penelitian. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Lozoff,dkk pada tahun 2000 dimana adanya defisiensi
besi yang berat dan kronis pada masa bayi yang merupakan masa kritis, masa
pertumbuhan, dan diferensiasi otak biasanya akan menetap. Dalam pemantauan
selanjutnya pada masa anak ditemukan fungsi kognitif yang buruk dan rendahnya
prestasi sekolah,

anak cenderung merasa cemas, memiliki ganguan perhatian.

Walaupun anemia dapat dikoreksi dengan pemberian besi tetapi nilai tes
perkembangan motorik dan mental tidak dapat dikoreksi. 14
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan antara lain pada penelitian
ini pemberian phytase dalam bentuk tempe yang sudah dimasak, dikarenakan
kesulitan mendapatkan phytase dalam bentuk makanan yang siap saji ataupun
bentuk suplemen makanan, belum dilakukan pemeriksaan kadar phytase pada
setiap subyek penelitian dikarenakan tidak tersedianya reagen, penelitian ini hanya
menggunakan satu kelompok perlakuan tanpa membandingkan dengan kelompok
kontrol, serta dilakukan pada satu daerah tertentu saja, tanpa membandingkan
dengan daerah lain, belum adanya kontrol terhadap infeksi yang dapat berpengaruh
terhadap status gizi, kadar Hb, kadar serum feritin pada penelitian.
Kesimpulan
Penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar serum besi
dan serum feritin, berat badan, perkembangan pada pemberian tempe saat makan
pada anak usia 12-18 bulan. Terdapat peningkatan kadar hemoglobin pada
pemberian tempe walaupun secara statistik tidak bermakna. Sebaiknya dilakukan
pemberian tempe pada saat anak makan pada anak mulai usia 12 bulan, dapat
dilakukan penelitian mengenai pemberian tempe pada anak dengan menggunakan

populasi sampel lebih banyak, dilakukan blinding, ada kelompok kontrol sebagai
pembanding.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoltzfus RJ. Iron Interventions for Women and Children in Low-Income
Countries. J Nutr. 2011:1S-7S.
2. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Laporan Nasional 2007. Dalam:
Departemen Kesehatan, editor. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2008.
3. Lozoff B, Smith JB, Clark KM, Perales CG, Rivera F, Castillo M. Home
Intervention Improves Cognitive and Social-Emotional Scores in Iron-Deficient
Anemic Infants. Pediatrics 2010;126:e884e94.
4. Algarn C, Nelson C, Peirano P, Westerlund A, Reyes S, Lozoff B. Irondeficiency anemia in infancy and poorer cognitive inhibitory control at age 10
years. Dev Med Child Neurol. 2013;55(5):453-8.
5. King FS, Burgess A. Starting Other Food. Nutrition for Developing Countries.
New York: Oxford university Press.1993:123-40.
6. Rattehallia D, Pickarda L, Tselepisb C, Sharmac N, Iqbal TH. Iron deficiency
without anaemia : Do not wait for the haemoglobin to drop? Health Policy and
Technology. 2013;2:45-58.
7. Congdon EL, Westerlund A, Algarin CR, D P, Peirano, Gregas M, et al. Iron
deficiency in infancy is associated with altered neural correlates of recognition
memory at 10 years. Pediatrics. 2012;160(6):1027-33.
8. Cercamondi CI, Egli IM, Mitchikpe E, Tossou F, Hessou J, Zeder C, et al. Iron
Bioavailability from a Lipid-Based Complementary Food Fortificant Mixed with
Millet Porridge Can Be Optimized by Adding Phytase and Ascorbic Acid but
Not by Using a Mixture of Ferrous Sulfate and Sodium Iron EDTA. J Nutr
2013:1-7.
9. Troesch B,Egli I, Zeder C, Hurrell RF, de Pee S, Zimmermann MB.
Optimization of a phytase-containing micronutrient powder with low amounts
of highly bioavailable iron for in-home fortication of complementary foods.
Am J Clin Nutr 2009;89:53944.
10. Torbjorn L,Lonnerdal B, Persson LA, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O.
Effects of weaning cereals with different phytate contents on hemoglobin, iron
10

stores, and serum zinc: a randomized intervention in infants from 6 to 12


months of age. Am J Clin Nutr. 2003;78:168-75.
11. Dogra N. Preventing Iron-Deficiency Anemia in Children in Developing
Countries Why it is Necessary and How it Must be Approached. The
Meducator. 2012;1(22):1-17.
12. Murray R, Granner D, Rodwell V. Harpers Illustrated Biochemistry. diakses
dari: http://www.accesemedicine.com.
13. Beard JL. Why Iron Deficiency Is Important in Infant Development. J Nutr.
2008;138:2534-6.
14. Lozzof B, Beard J, James C, Barbara F, Michael G, Timothy S. Long-Lasting
Neural and Behavioral Effects of Iron Deficiency in Infancy. Nutr Ref.
2006;64:S34-S91.

11

1Stoltzfus RJ. Iron Interventions for Women and Children in Low-Income Countries. J Nutr. 2011:1S-

7S.
2 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Laporan Nasional 2007. Dalam: Departemen Kesehatan,

editor. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2008.


3 Lozoff B, Smith JB, Clark KM, Perales CG, Rivera F, Castillo M. Home Intervention Improves

Cognitive and Social-Emotional Scores in Iron-Deficient Anemic Infants. Pediatrics 2010;126:e884


e94.
4 Algarn C, Nelson C, Peirano P, Westerlund A, Reyes S, Lozoff B. Iron-deficiency anemia in infancy

and poorer cognitive inhibitory control at age 10 years. Dev Med Child Neurol. 2013;55(5):453-8.
5 King FS, Burgess A. Starting Other Food. Nutrition for Developing Countries. New York: Oxford

university Press; 1993. hal. 123-40.


Rattehallia D, Pickarda L, Tselepisb C, Sharmac N, Iqbal TH. Iron deficiency without anaemia : Do
not wait for the haemoglobin to drop? Health Policy and Technology. 2013;2:45-58.
6

7 Congdon EL, Westerlund A, Algarin CR, D P, Peirano, Gregas M, et al. Iron deficiency in infancy is

associated with altered neural correlates of recognition memory at 10 years. Pediatrics.


2012;160(6):1027-33.
Cercamondi CI, Egli IM, Mitchikpe E, Tossou F, Hessou J, Zeder C, et al. Iron Bioavailability from a
Lipid-Based Complementary Food Fortificant Mixed with Millet Porridge Can Be Optimized by
Adding Phytase and Ascorbic Acid but Not by Using a Mixture of Ferrous Sulfate and Sodium Iron
EDTA. J Nutr 2013:1-7.
8

9 Troesch B,Egli I, Zeder C, Hurrell RF, de Pee S, Zimmermann MB. Optimization of a

phytase-containing micronutrient powder with low amounts of highly bioavailable iron for inhome fortication of complementary foods. Am J Clin Nutr 2009;89:53944.
Torbjorn L,Lonnerdal B, Persson LA, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O. Effects of weaning
cereals with different phytate contents on hemoglobin, iron stores, and serum zinc: a randomized
intervention in infants from 6 to 12 months of age. Am J Clin Nutr. 2003;78:168-75.
10

Dogra N. Preventing Iron-Deficiency Anemia in Children in Developing Countries Why it is


Necessary and How it Must be Approached. The Meducator. 2012;1(22):1-17.
11

Murray R, Granner D, Rodwell V. Harpers Illustrated Biochemistry. diakses dari:


http://www.accesemedicine.com.
12

13

Beard JL. Why Iron Deficiency Is Important in Infant Development. J Nutr. 2008;138:2534-6.

14 Lozzof B, Beard J, James C, Barbara F, Michael G, Timothy S. Long-Lasting Neural and

Behavioral Effects of Iron Deficiency in Infancy. Nutr Ref. 2006;64:S34-S91.

Anda mungkin juga menyukai