Anda di halaman 1dari 14

WANITA DALAM BUDAYA JAWA

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.

Disusun Oleh:
Nuria Dhotul Janah

133411013

Yatimul Chotimah

13341103

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

I;

PENDAHULUAN
Dewasa kini banyak orang meneriakkan tentang emansipasi wanita. Namun tak
sedikit dari mereka yang kurang memahami arti dari emansipasi yang telah
diperjuangkan pahlawan wanita dari Jepara, R.A Kartini. Mereka hanya melihat dalam
sisi wanita bukan lagi sebagai alat sang suami, sehingga mereka dapat meninggikan
jabatan di atas laki-laki, akan tetapi melupakan kodratnya sebagai wanita Jawa. Dalam
kajian Jawa, wanita sering disebut sebagai kanca wingking. Di mana seorang wanita
menggantungkan seluruh jiwa-raganya pada sang suami. Mereka bertugas meladeni sang
suami dan tak terkecuali tugas mendidik anak-anaknya.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana pandangan atau arti
wanita dalam budaya jawa, baik dari segi peran kedudukan,kekuasaan dan karakteristik
wanita jawa.

II; RUMUSAN MASALAH


A; Apa pengertian wanita dalam budaya jawa?
B; Bagaimana karakteristik wanita Jawa?
C; Apa peran wanita dalam budaya jawa?
D; Bagaimana kedudukan wanita dalam budaya jawa?
E; Bagaimana kekuasaan wanita jawa?

III; PEMBAHASAN

A; Pengertian Wanita Dalam Budaya Jawa.

Dalam masyarakat jawa wanita sering di sebut dengan istilah wadon, wanita,
estri atau putri. Istilah tersebut mempunyai pengertian tresendiri bahkan membawa
konsekuensi ideologi tersendiri. Untuk mebuktikannya mari kita lihat satu-persatu
uraian pengertian di atas:
1; Wadon, kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni wadu, yang secara harfiah

bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering di artikan bahwa perempuan
ditakdirkan menjadi abdi (pelayan) sang guru laki (suami).
2; Wanita, kata ini wanita tersusun dari dua kata bahasa jawa yakni wani (berani)
dan tata (teratur). Dalam pengertian ini wanita memiliki dua pengertian, yaitu
wani ditata (berani / mau diatur) dan wani nata (berani / mau mengatur). Dalam
istilah wani ditata mengandung makna bahwa perempuan harus tetap tunduk dan
mau untuk diatur suami, sedangkan istilah wani nata seorang perempuan harus
berani mengatur rumah tangga, mendidik anak, serta yang terpenting adalah
memenuhi kebutuhan biologis sang suami.
3; Estri, kata estri lahir dari bahasa Kawi yakni estren, yang berarti penjurung
(pendorong). Dari kata estren lalu terbentuklah kata hangestreni yang berarti
mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa seorang estri harus mampu
memberi dorongan (motivasi) kepada sang suami, lebih-lebih jika sang suami
dalam keadaan semangatnya melemah.
4; Putri, yang berarti anak perempuan. Dalam tradisional Jawa, kata ini sering
dikatakan sebagai singkatan putus tri perkawis (gugurnya tiga perkara), yakni
seorang perempuan dalam kedudukan putri dituntut untuk menjalankan
kewajibannya, baik sebagai wadon, wanita, maupun estri.1
B; Karakteristik Wanita Jawa
Karakter wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata
halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung
tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian
diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara
ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi.
Terutama di dusun ini, banyak ditemukan wanita Jawa yang selain mempunyai
ketahanan psikis tinggi juga mempunyai fisik yang kuat. Mereka terbiasa bekerja
keras secara fisik, misalnya mencari rumput untuk pakan ternak (ngarit), memanggul
1 Seri Dian, Kisah dari Kampung Halaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 275-276.

padi hasil panen, atau menggendong dodolan (barang-barang dagangan) dan masih
harus berjalan jauh ke pasar. Pada umumnya wanita Jawa mempunyai kebiasaan
untuk bangun paling pagi dan tidur paling akhir, sementara sepanjang hari megurus
rumah. Meski tetap harus berjualan di pasar, ia masih juga menyiapkan makan untuk
suami dan anak-anaknya. Jarang ditemukan wanita Jawa yang manja dan tidak mau
bekerja.
Suami yang mempunyai kedudukan baik di pemerintahan mengerjakan
pekerjaan kantoran (administratif), sementara sawah dan ladang sebagai kelungguhan
(bayaran atas kedudukannya) diolah oleh istri. Wanita sangat menghargai dan
menjunjung tinggi suami sehingga secara publik tetap suami yang dihargai dan
dihormati. Dalam hal ini, sejak masa anak-anak wanita dididik untuk berbakti kepada
suami, sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggung jawab terhadap istri dan
anaknya.
Seorang wanita Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit
sekalipun. Mereka paling pintar memendam penderitaan pula memaknainya. Mereka
kuat dan tahan menderita. Bagaimana sikap batin seorang wanita Jawa ini
digambarkan dengan cantik oleh Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem.2
Karakteristik wanita atau perempuan dalam budaya Jawa tercantum dalam
buku Kuasa Wanita Jawa karangan Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto
bahwa disebutkan karakteristik wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa yaitu :
1; Bertutur Kata yang Halus
2; Tenang atau Kalem
3; Tidak Suka Konflik atau Mementingkan Harmoni
4; Menjunjung Tinggi Nilai Keluarga
5; Mampu Mengerti dan Memahami Orang Lain
6; Sopan
7; Pengendalian Diri Tinggi dan Terkontrol
8; Daya Tahan untuk Menderita Tinggi
9; Memegang Peranan Secara Ekonom
10;Setia atau Loyalitas Tinggi3
C; Peran Wanita dalam Budaya Jawa

2 Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004),
hlm. 130-131.
3 Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, ,,,hlm 130.

Gambaran kondisi fisik ini juga mempengaruhi konsep pembagian peran antara
laki-laki dan perempuan. Laki-laki dikonsepkan pekerja di luar rumah (wilayah publik),
sedangkan perempuan dikonsepkan pekerja di dalam rumah tangga (wilayah domestik).
Konsep seprti ini sudah melekat di masyarakat khususnya di Jawa, yang kemudian
terisolasi dalam masyarakat dan akhirnya dikenal dengan istilah jender. Menurut
George Peter Murdock dalam penelitiannya, menyebutkan bahwa dalam kelompok
masyarakat, laki-laki cenderung memilih pekerjaan yang maskulin seperti
pertukangan, pertambangan, dan pengangkutan. Sementara perempuan memilih
pekerjaan yang feminim seperti memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga pada
umumnya.
Wanita dalam budaya Jawa berada pada posisi di bawah laki-laki. Contohnya,
dikalangan masyarakat Jawa dikenal istilah konco wingking (teman belakang) yang
biasa disebut Istri. Hal ini menunjukan bahwa wanita tidak bisa sejajar dengan laki-laki,
dan menjadikan pekerjaan seorang wanita di belakang (di dapur), karena dalam budaya
Jawa wilayah kegiatan istri adalah dapur (memasak), sumur (mencuci), dan kasur
(melayani kebutuhan biologis sang suami). Batasan wilayah kerja bagi wanita seperti
itu dapat dirangkaikan sebagai tugas wanita, yaitu macak (berhias untuk menyenangkan
suami), manak (melahirkan anak), dan masak (menyiapkan makanan). Hal itu
menunjukkan sempitnya ruang gerak wanita dikarenakan sibuknya bekerja dalam
wilayah domestik. Kondisi ini memunculkan ungkapan swarga nunut nraka katut,
artinya kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada lakilaki.4
Pemaparan tentang ideal menurut berbagai karya sastra jawa mencerminkan
sebagaimana kedudukan dan peran perempuan keluarga dan masyarakat. Dalam
kehidupan keluarga, perempuan berkedudukan sebagai istri

(garwa), pendamping

suami dan sebagai ibu rumah tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak.
Secara lebih luas sesuai perannya dalam keluarga, perempuan dalam Serat Candrarini
dilukiskan bias:
1; Macak

Wanita dituntut untuk mengabdi dan berbakti, baik keluarga, masyarakat


maupun bangsa. Ia sadar bahwa tanpa berkarya yang berarti seseorang tidak akan
pernah bisa hidup dalam arti yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa karya sangat
4 Sri Suharndjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa, (Yogjakarta: Gama
Media, 2001), hlm. 51-53.

bermanfaat bagi kualitas hidup itu sendiri, idealisme, perkembangan ilmu


pengetahuan, cinta, dan kasih sayang. Dengan berkarya dan bekerja akan tercapai
masyarakat yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi. Yang berarti seorang
perempuan harus bisa merias diri, berdandan, ataupun berbusana yang sebaik
baiknya agar senantiasa tampak cantik, menarik dan mempesona. Hal ini merupakan
kewajiban pokok yang harus dijaga sebagai bentuk perwujudan bekti dalam
melayani suami.
2; Manak

Pengertian tersebut tidak hanya sekedar mengandung, melahirkan, dan


menyusui saja tetapi juga menjaga, memelihara, dan mendidik anak
3; Masak

Mengurusi dapur, karena mengurusi dapur perempuan sering disebut dengan


istilah kanca wingking. Namun, kepandaian memasak tidak hanya mengolah dan
menyediakan makan dan minum, tetapi juga mengatur anggaran belanja dengan
sebaik baiknya.5
Pengertian peran dalam wanita jawa disini adalah keikutsertaannya secara
aktif sesuai adat istiadat jawa. Wanita berperan penting dalam budaya jawa
khususnya pada adat istiadat yang dipergunakan oleh orang jawa.
a; Wanita Berperan sebagai Posisi Sentral

Dalam budaya jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski


perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sangat besar
terhadap sekitarnya. Peran yang sangat besar dari wanita didukung oleh konsepsikonsepsi praktis dari masyarakat jawa sendiri, seperti orang tua yang lebih
memilih ikut anak wanita daripada anak laki-laki karena anak wanita lebih bisa
ngrumati (merawat), aturan pembagian warisan dapat dirundingkan kembali jika
ada yang tidak setuju, lebih mementingkan keselarasan dan menghindari konflik.
Walaupun aturan normatif jawa menunjukkan bahwa posisi wanita di
bawah laki-laki (cenderung paternalistik). Misalnya dalam pengambilan
keputusan keluarga anak laki-laki di beri kesempatan lebih besar untuk terlibat
daripada anak perempuan (wanita), atau dalam pembagian warisan berlaku sistem
sepikul segendongan (anak laki-laki mendapat sepertiga, anak wanita mendapat
sepertiga yang diadopsi hukum islam). Namun dalam pertalian kekerabatan yang
5 Seri Dian, Kisah dari Kampung Halaman,,,hlm.76

menggunakan hitungan baik yaitu dari garis keturunan bapak maupun ibu
(bilateral) sehingga anak laki-laki dan wanita mendapat warisan yang sama.
b; Wanita berperan dalam keharmonisan dan kedekatan

Peran wanita jawa terutama ibu mendapatkan pemujaaan penuh dari


orang-orang jawa. Niels Muder seorang sosiolog yang melakukan riset di jawa
mengatakan bahwa sosok ibu sangat dekat dengan anak-anak, ramah, cahaya
kehangatan dan hiburan, hadir untuk anak-anaknya dan menjadi pusat kehidupan
mereka.6
Sebagai simbol moralitas, kebajikan, pengorbanan diri, kesabaran dan
tanggung jawab, wanita yang posisinya sebagi ibu memikul beban idealisasi yang
juga menjadi alasan mengapa dirinya dihormati lebih dari segalanya. Pengalaman
emosional dan kedekatan dengan ibu serta petuah-petuah moralnya meneguhkan
dirinya menjadi figur dominan dalam kesadaran dan hati nurani anak-anaknya,
dan menjadikannya wakil utama dari suara hati mereka.
Hal tersebut terjadi karena wanita adalah guru pertama bagi sang anak,
sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam Rahim, proses
pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap
rangsangan-rangsangan yang diberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan
merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun
merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut merasa
senang. Hingga anak itu lahir dan hingga anak itu tumbuh dewasa.7
Oleh sebab itu mengabaikan atau melawan kebijakan ibu, menyakiti
dengan alasan apapun, adalah sesuatu yang tak tergambarkan buruknya, yang bisa
menyebabkan perasaan bersalah dan berakibat pada timbulnya rasa dosa. Dekat
dengan ibu, setia padnya, menjadi sesutau ynag amat penting untuk menjaga
kehormatan diri. Mengabaikan perasaan ibu, seperti melawan kehendaknya
(kehendak yang positif) bahkan seandainya sang ibu tidak mengetahui
perbuataanya akan mencederai dirinya dan akhirnya dapat merusak dirinya.
c; Wanita berperan dalam ketergantungan anak laki-laki

Dalam hal ketergantungan, biasanya anak laki-laki akan lebih banyak


tergantungnya

pada

ibu

dibandingkan

anak

perempuan

6 Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,,, hlm. 42.
7 M.Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 45.

atau

wanita

Ketergantungan adalah sesuatu yang normal, sepanjang individu tersebut masih


mempunyai kesadaran atas status, identitas dan perannya. Namun karena lak-laki
yang selalu dimanja menyebabkan laki-laki banyak bergantung pada wanita
daripada wanita bergantung pada laki laki. Hal tersebut menunjukan bahwa
pengaruh ibu sangat besar pada jiwa anak laki-lakinya.
Kualitas hubungan anak kepada ibu menjadi penanda utama identitas,
harga diri, dan sikap moral. Jika nantinya menikah sang ibu tampaknya masih
akan dominan dalam kesadaran anak laki-laki, boleh jadi pengaruh ibu
mengalahkan kehendak istrinya. Atau malah suami yang bersikap seperti anak
sulung kepada istrinya yaitu menjadi semacam bayi tua. Dalam hati nurani
individu yang bergantung pada orang lain, kesadaran pada ibu akan menjadi
sangat penting. Bahkan sering seorang istri mengambil alih sosok ibu suaminya
sebagai representasi suara hati atau menjadi sosok yang menempatkan diri sejajar
dengan ibu.
d; Wanita jawa sebagai konco wingking dan garwa

Di kalangan masyarakat Jawa, perempuan dikenal dengan istilah konco


wingking untuk menyebut istri, hal itu menunjukkan perempuan tempatnya bukan
di depan sejajar dengan laki-laki, melainkan di belakang, di dapur karena dalam
konsep budaya Jawa wilayah kegiatan istri adalah seputar dapur, sumur, dan
kasur. Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan
sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestiknya.8
D; Kedudukan Perempuan

Dari gambaran mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam sastra jawa
yang dihasilkan raja dan pujangga keraton abad XVIII dan XIX diketahui bahwa peran
dan kedudukan perempuan terbatas disektor domestik. Adapun kedudukan perempuan
yang disebutkan dalam beberapa karya sastra jawa tersebut, antara lain sebagai berikut:
1; Sebagai hamba Tuhan
Perempuan jawa pada umumnya menganut agam islam, katolik, protestan,
hindu dan budha. Adapun agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
termasuk perempuan dilingkungan keraton adalah agama islam yang tercampur
dengan unsur-unsur ajaran hindu budha, animisme, dan dinamisme. Pengembangan
kebudayaan jawa yang dimasuki unsur-unsur agama, terutama agama islam
dilakukan oleh raja maupun pujangga. Melalui karya sastra, mereka menganjurkan
agar laki-laki dan perempuan selalu bersyukur atas karunia Tuhan.
8 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa,,, hlm. 6.

2; Sebagai anak atau menantu

Anak perempuan sebelum kawin memiliki kewajiban bekti (mengabdi)


kepada orang tua. Setelah menikah pengabdian sebagai anak bertambah dengan
wajib bekti kepada mertua. Selanjutnya dijelaskan pula alasan mengapa masingmasing perlu mendapatkan penghormatan dari anak. Disebutkan bahwa bapak/ibu
adalah sebagai perantara anak lahir kedunia. Selain orang tua, mertua juga
mempunyai andil dalam menciptakan kebahagian anak/menantu, karena melalui
perantara mertua, perempuan mendapat suami yang dapat memberikan kebahagiaan.
3; Sebagai istri

Dalam sastra jawa banyak ditemukanajaran tentang tugas-tugas istri sebagai


pendamping suami. Karena kedudukan istri ditempatkan sebagai pihak yang harus
berbakti kepada suami. Dalam kedudukan sebagai istri, perempuan berada dalam
posisi yang lebih rendah dari pada suami, sebab dalam konsep jawa istri harus
memperlakukan suami seperti dewa yang dipuji, ditakuti , dan dihormati.
4; Sebagai ibu

Tugas perempuan dalam kedudukannya sebagai ibu tidak banyak disinggung


dalam karya sastra jawa. Yang sering ditemukan dalam karya sastra jawa adalah hak
ibu, termasuk bapak, untuk mendapat penghormatan dan kebaktian dari anak. Hak
orang tua untuk dituruti perintahnya sangat besar, bahkan disamakan dengan raja
karena kedudukan orang tua sebagai panutan (teladan) bagi anaknya sama dengan
raja yang menjadi teladan bagi rakyatnya.9
E; Kekuasaan Wanita Jawa
Kekuasaan wanita jawa adalah kemampuan wanita jawa untuk mempengaruhi,
menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan.10 Kemampuan wanita untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat
keputusan tersebut diambil, melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari
proses adaptasi, sampai pada strategi untuk dapat mengambil keputusan.
Kekuasaan wanita jawa adalah kekuatan yang menyelinap serta strategi yang
dilakukan wanita jawa untuk mendapatkan pengaruh merupakan upaya penaklukan diri
ke dalam dengan mengabdi kepada keluarga. Kekuasaan yang dimiliki wanita jawa
mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di dalam ruang kekuasaan dan mampu
menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.
1; Bermain di Dalam Ruang Kekuasaan
9 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa,,,hlm.63
10 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa,,,hlm 25

Salah satu ciri yang ada dalam wanita jawa adalah kepasifan dan ketenangan,
tidak menunjukkan gejolak pemberontakan atau penurut. Kekuatan kuat dari budaya
jawa menekannya untuk mampu menjaga harmoni dengan mengabdi dan
menghargai laki-laki/suaminya. Wanita selalu menjaga tata krama sopan santun yang
terkadang menjadi jerat budaya bagi kehidupan sosial masyarakatnya dimana wanita
itu sendiri bagian dari warganya.
Dalam hal ini wanita jawa membangun kekuasaan tidak dengan melawan
kekuasaan tetapi justru bermain di dalam kekuasaan itu sendiri. Ruang kekuasaan
yang tetap menggambarkan sifat kekhasannya yaitu sifat lembut, sabar, kalem, dan
tenang. Mereka tidak melawan dengan konfrontatif, menolak peran yang teklah
diberikan oleh masyarakatnya, dan menuntut peran-peran publik. Namun, mereka
terjun langsung dalam ruang kekuasaan tersebut bahkan sebagai alat penerapan
kekuasaan tersebut.
Kekuasaan dalam wanita jawa bukan bersifat publik/formal/impersonal akan
tetapi the personal is political. Kekuasaan justru terjadi di ruang yang paling pribadi,
misalnya di kamar tidur. Setelah itu kekuasaan terpisah pisah dalam lingkup mikro
(keluarga) dan meluas ke lingkup makro (publik). Contohnya adalah ibu ibu yang
memiliki jaringan kuat maka akan pandai bergaul dengan sesama mereka. Tak jarang
pula pembicaraan yang terjadi dengan suaminya dibawa dalam jaringan srawung
(bergaul) tersebut. Hal tersebut akan menentukan kedudukan suaminya di kantor.
Sehingga istri yang tidak pernah srawung bukan hanya dikucilkan, tetapi juga tidak
mendapatkan akses untuk ikut menentukan posisi suami di kantor. Kenyataan
empiris wanita tersebut tidak akan nampak secara formal sehingga kekuasaan atau
kekuatannya cenderung menyelinap diantara celah-celah sempit yang tidak akan
tampak secara publik.
Kekuatan yang menyelinap ini tumbuh subur dalam kultur jawa yang memiliki
konsep bahwa semakin besar kekuasaan seseorang maka semakin ia bersikap halus,
konsep halus dalam kultur jawa sangat menggambarkan feminitasnya yaitu bertutur
kata lembut, hangat, pengendalian diri kuat, perasaan halus, memahami orang lain,
kalem dan tenang. Sehingga berlaku semakin besar kekuasaan akan semakin
eksklusif kekuatan yang berasal dari dirinya. Seseorang yang berkonsepsi jawa
adalah orang yang mampu menyerap sifat - sifat yang bertentangan di dalam dirinya
serta memelihara keseimbangan. Jadi kekuasaan wanita salah satunya adalah mampu
bermain di dalam ruang kekuasaan tersebut karena sikap feminimnya.
2; Penaklukan Diri ke Dalam
Ciri lainnya dari kekuasaan wanita jawa adalah dengan penaklukan diri ke
dalam. Pada ciri ini wanita menempatkan pada posisi subordinat yaitu sebagai pihak
yang dikuasai. Disini wanita secara suka rela menyetujui dan mennerima kekuasaan

laki-laki sebagai sesuatu yang wajar. Wanita tidak pernah mempersoalkan posisi
publik yangdikuasai oleh laki-laki. Sebab ada keyakinan yang tertanam bahwa
apiking suami gumantung ing istri, apiking anak gumantung ibu. Sehingga
masyarakat akan bisa menilai baik buruknya sebai istri atau ibu dengan menyaksikan
kiprah laki-laki dan anak-anaknya di ruang publik.
Namun dalam hal ini wanita jawa mengembangkan sebuah cara khas untuk
mendapatkan kekuasaan dan tetapdapat mempengaruhi sektor publik tanpa
meninggalkan atau melamggar nilai nilai keutamaan kultur jawa yaitu prinsip
keselarasan, hormat, dan terkendali. Dalam memperoleh kekuasaan tersebut
dilakukan dengan pendalaman dan penghalusan rasa terus menerus. Strategi tersebut
terlihat jelas dalam memangku dan melakukan pengabdian total kepada keluarga
atau suami. Dalam hal ini suami akan sangat dimengerti oleh sang istri. Sehingga
suami akan sangat merasa aman, nyaman, damai, dan senang tatkala di rumah. Saat
inilah kemudian apapun yang dikehendaki oleh sang istri akan selalu disetujui oleh
suami. Bahkan kalaupun kehendak istri sangat berkaitan dengan posisi atau
kebijakan-kebijakannya dikantor akan tetap diperjuangkan oleh suami karena
kepercayaan penuh suami kepada istrinya.11

IV;

PENUTUP
A; KESIMPULAN
Perempuan dalam masyarakat jawa disebut Wadon, Wanita, Estri, Putri. keempat
istilah tersebut bukanlah sekedar istilah semata melainkan mengandung konsekuensi
idiologis, yang disini disebut sebagai beban idiologis. Dalam kehidupan keluarga,
perempuan berkedudukan sebagai istri (garwa), pendamping suami dan sebagai ibu rumah
tangga yang melahirkan, menjaga, dan memelihara anak. Karakteristik wanita Jawa sangat
identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka
konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan
memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/terkontrol, daya tahan untuk
menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia/loyalitas tinggi. Dalam
kehidupan wanita Jawa ada istilah masak, macak, manak yang artinya pandai memasak,
pandai berdandan atau bersolek.
Peranan wanita jawa yaitu sebagai posisi sentral, wanita berperan dalam
keharmonisan dan kedekatan, wanita berperan dalam ketergantunagan anak laki-laki,
wanita berperan sebagai konco wingking dan garwa.Kedudukan wanita jawa adalah

11 Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan, Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa,,, hlm 202

sebagai hamba Tuhan, sebagai anak atau menantu, sebagai istri, sebagai ibu. Sedangkan
kekuasaan yang dimiliki wanita jawa mengandung dua ciri, yaitu mampu bermain di
dalam ruang kekuasaan dan mampu menaklukkan didiknya ke dalam keluarga.

B; KRITIK DAN SARAN

Demikian penjelasan dalam makalah ini, kami menyadari dalam pembuatan


makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan.
Karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk makalah kami yang
selanjutnya agar dalam pembuatan makalah berikutnya akan menjadi lebih baik.
Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat bagi
kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Dian, Seri. 1996. Kisah dari Kampung Halaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Handayani , Christina S. & Ardhian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta
Sukri, Sr Suharndjati & Ridin Sofwan. 2001. Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi
Jawa. Yogjakarta: Gama Media
Amin , M.Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media

BIODATA PEMAKALAH
NAMA

: Nuria Dhotul Janah

NIM

: 133411013

TTL

: Brebes, 05 Juni 1996

ALAMAT

: Mlayang Sirampog Brebes

RIWAYAT PENDIDIKAN

: SDN Mlayang 02
MTs Darul Aziz
MA Al-Hikmah 02
UIN WALISONGO Semarang

EMAIL

: rhea.cute93@gmail.com

NAMA

: Yatimul Chotimah

NIM

: 1334110

TTL

ALAMAT

RIWAYAT PENDIDIKAN

EMAIL

Anda mungkin juga menyukai