Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
FADHRUL RAHMAN
NIM: 106043101292
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Fadhrul Rahman
NIM: 106043101292
Pembimbing
(.....................................)
NIP. 196511191998031002
Sekretaris
(.....................................)
NIP. 197412132003121002
Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A
(.....................................)
NIP. 195811101988031001
Penguji I
(.....................................)
NIP. 195008171989021001
Penguji II
ii
(.....................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Jakarta:
22 Maret 2011 M
17 Rabiul Akhir 1432 H
Fadhrul
Rahman
NIM: 106043101292
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis
panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Salawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw
yang telah menebarkan cahaya islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat
menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya islam.
Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut
ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis
lalui. Semua ini karena doa dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi
ini, diantaranya adalah:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. M. Taufiki, M.A dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag.,
M.Si., selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan program studi
iv
Jakarta:
22 Maret
2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
iv
vii
BAB I :
BAB II :
BAB III :
PENDAHULUAN .....................................................................
A. Latar Belakang......................................................................
10
12
14
17
17
24
26
30
35
35
39
45
vii
49
BAB IV :
53
54
56
58
PENUTUP .................................................................................
67
A. Kesimpulan...........................................................................
67
B. Saran ....................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
69
BAB V :
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah munculnya uang seperti yang ada pada masa sekarang ini
melalui tahap dan waktu yang sangatlah panjang. Pada jaman dahulu, jual beli
dilakukan dengan sistem barter. Barter adalah pertukaran barang dengan
barang, jasa dengan barang, atau barang dengan jasa secara langsung tanpa
menggunakan uang sebagai perantara dalam proses pertukaran ini. 1 Karena
kebutuhan setiap orang semakin banyak dan beragam, maka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya tidak mungkin lagi ditempuh dengan cara barter.
Kemudian manusia terdorong untuk mencari cara pertukaran yang
lebih mudah. Saat itulah manusia mulai menggunakan uang barang dalam
melakukan pertukaran. Contoh uang barang yaitu: garam, senjata, dan kulit
hewan. Namun, uang barang tersebut mempunyai kelemahan yakni diantaranya
tidak tahan lama.2
Manusia mulai mencari lagi benda yang dapat digunakan sebagai alat
tukar-menukar. Benda yang dianggap cocok adalah logam. Pada masa lalu,
logam yang digunakan sebagai uang adalah emas atau perak.
Perkembangan ekonomi yang semakin pesat mendorong kegiatan
transaksi menjadi semakin sering dan bahkan semakin kompleks. Hal ini
menimbulkan kesulitan bagi manusia untuk membawa uang logam dalam
23.
2
jumlah besar. Untuk mengatasinya, pemilik emas dan perak cukup melakukan
transaksi dengan menunjukkan bukti penyimpanan emas dan perak yang
berupa surat bukti penyimpanan yang dikeluarkan oleh lembaga yang
menerima titipan emas dan perak.3
Uang kertas yang ditopang emas juga mengalami banyak masalah,
terutama masalah penipuan. Bentuk akhir dari uang itu sendiri terjadi pada
tahun 1941, saat Perang Dunia I. Saat itu diumumkan bahwa uang-uang kertas
tidak bisa ditukarkan dengan emas dan bank-bank penerbit melepaskan
keterikatan antara penerbitan uang dan jumlah emas. Saat itulah uang yang ada
masa sekarang lahir.4
Hampir semua negara di dunia mengeluarkan uang kertas. Di
Indonesia, sekarang beredar uang kertas dan uang logam (bukan emas dan
perak) yang dikeluarkan Bank Indonesia. Kedua jenis uang tersebut memenuhi
syarat-syarat seperti: dapat diterima oleh masyarakat umum, mudah disimpan
dan nilainya tetap, mudah dibawa ke mana-mana, mudah dibagi tanpa
mengurangi nilai, dan ada jaminan (oleh pemerintah).5
Uang adalah standar ukuran harga, yakni sebagai media pengukur
nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas
lainnya.6
Ibid., h. 11.
Jenis-jenis Uang, artikel ini diakses pada tanggal 1 Desember 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang
9
AH. Azharudin Lathif, Fiqh Muamalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 21.
10
Monzer Kahf, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 23.
8
Artinya:
orang
kepada
11
Jalaludin al-Suyuti, Jami al-Shagir, (Jawa Tengah: Menara Kudus, 911H), h. 85.
Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 10.
13
Abdul Al-Hamid Mahmud Al-Baly, Ekonomi Zakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006), h. 1.
14
Sjeichul Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992), h. 37-39.
12
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.
223-224.
16
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 161,
hadits no. 1359.
17
terjadi dikalangan umat Islam di Indonesia, yang menjadi masalah sosial yang
sangat rumit dan kompleks sehingga membutuhkan solusi yang tepat dalam hal
penyelesaiannya.
Untuk menggali lebih lanjut hal ini, penulis merasa tertarik untuk
mengangkat dan mengulasnya dalam skripsi ini dengan judul HUKUM
ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG KERTAS
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka agar mendapatkan
suatu batasan yang tepat sekaligus mencegah pembahasan yang meluas yang
tidak ada kaitannya dengan masalah pokok, maka penulis akan membatasi
permasalahan pada pembayaran zakat fitrah menggunakan uang kertas.
Adapun perumusan masalahnya:
Apakah diperbolehkan mengganti makanan pokok untuk zakat fitrah
dengan uang kertas. Untuk memudahkan menjawab pertanyaan pokok diatas,
maka penulis memperinci pertanyaan tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah uang hingga menjadi uang kertas pada masa sekarang
dan pandangan ulama tentang uang kertas?
2. Bagaimana tata cara pelaksanaan zakat fitrah yang absah menurut para
Imam Madzhab yang empat?
3. Apa alasan yang menyebabkan diperbolehkannya dan dilarangnya
mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat fitrah?
4. Apa hukum zakat fitrah yang diganti dengan uang kertas?
yang absah
10
b. Secara Praktis
1) Menggali dalil dan hukum yang lebih tegas mengenai keabsahan
mengganti makanan pokok dengan uang kertas untuk zakat
fitrah.
2) Menambah wawasan dan wacana bagi penulis dalam khasanah
pengetahuan fiqh khususnya dalam zakat fitrah dan uang.
3) Memberikan kontribusi dan menambah wawasan bagi para
teorisi, praktisi, akademisi dan mahasiswa pada umumnya serta
masyarakat luas, khususnya bagi umat Islam di Indonesia agar
mengetahui hukum mengganti makanan pokok untuk zakat
fitrah dengan uang kertas.
D. Review Studi Terdahulu
Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada
satu penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir sama
dengan yang dituliskan oleh penulis, namun tentunya ada sudut perbedaan
dalam hal pembahasan maupun obyek kajian dalam penelitian ini. Adapun
penelitian tersebut adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh Zaim Saidi20 yang membahas tentang
perbankan syariah yang jauh dari hukum Islam dan hukum uang kertas yang
ada pada saat ini yang mengandung berbagai macam masalah termasuk salah
satunya adalah riba. Ada kesamaan penelitian yang penulis lakukan yakni
permasalahan yang terkandung dalam uang kertas, yang membedakan adalah,
20
11
yang
22
dalam
21
2010).
22
12
13
14
4. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah deskritif analisis, yakni
memaparkan terlebih dahulu data-data mengenai teori-teori tentang zakat
fitrah, serta pendapat ulama mengenai pelaksanaan zakat fitrah menggunakan
uang kertas yang kemudian dianalisis dalam bentuk narasi sehingga menjadi
kalimat yang jelas dan dapat dipahami serta dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah terhadap permasalahan yang penulis ambil.
5. Tekhnik Menarik Kesimpulan
Dalam skripsi ini penulis menggunakan teknik menarik kesimpulan
yang dilakukan secara komparatif, yaitu menarik kesimpulan dari teori-teori
tentang zakat fitrah dan tata cara pelaksanaanya serta hukum membayar zakat
fitrah menggunakan uang kertas.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun buku acuan yang digunakan adalah Buku Pedoman Penulisan skripsi
yang diterbitkan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Selanjutnya agar pembaca mudah memahami skripsi ini dan untuk
memberikan gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan maka penulis
menyusun skripsi ini dalam beberapa bab dangan sistematika sebagai berikut.
15
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG UANG MENURUT HUKUM
ISLAM
A. Pengertian dan Konsep Uang dalam Islam
1. Pengertian Uang Dalam Islam
Uang adalah kebutuhan masyarakat yang paling utama. Dengan uang
kita dapat melakukan berbagai macam hal, seperti membeli berbagai macam
kebutuhan dalam hidup. Oleh karena itu, uang merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan uang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan ekonomi masyarakat, karena setiap usaha masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya memerlukan alat yang dinamakan uang.1
Uang memiliki sejarah yang cukup panjang sebagai alat tukar, baik
ketika uang itu berbentuk emas dan perak maupun saat ini, uang berbentuk
kertas. Untuk mengetahui uang itu sendiri sebagai alat tukar, harus diketahui
terlebih dahulu pengertian uang.
Dan Ismail Hasyim berkata:
Uang adalah sesuatu yang diterima secara luas dalam peredaran,
digunakan sebagai media pertukaran, sebagai standar ukuran nilai
harga, dan media penyimpan nilai, juga digunakan sebagai alat
pembayaran untuk kewajiban bayar yang ditunda.2
Dalam bahasa Arab, uang diistilahkan dengan kata nuqud berarti
membedakan. Oleh karena itu, uang dapat diartikan sebagai pembeda. 3 Namun
Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 3-4.
Ismail Muhammad Hasyim, Mudzakarrat fi al-Nuqud wa al-Bunuk, (Dar alNahdhah al-Arabiyah, Beirut,TT), h. 14.
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990)
cet. Ke-8 h. 464.
2
17
18
terkadang uang dalam bahasa Arab menggunakan istilah seperti: dinar, dirham,
atawiyya, himyarite, nash, nawai dan shaira.4
Menurut para Fuqaha uang adalah apa yang digunakan manusia
sebagai standar ukuran nilai harga dan media transaksi pertukaran. Sedang
berdasarkan pada ungkapan al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sebagai berikut:
Uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga,
media transaksi pertukaran, dan media simpanan. 5 Untuk lebih jelas akan
dibahas dalam pembahasan dibawah ini yakni dalam konsep uang menurut
tokoh ekonomi Islam.
2. Konsep Uang Menurut Tokoh Ekonomi Islam
Pada zaman Nabi Saw. Di kenal dua jenis uang yaitu uang yang
berupa komoditi logam. Dua jenis uang logam yang digunakan adalah emas
(dinar) dan perak (dirham). Logam tembaga juga digunakan secara terbatas dan
tidak sepenuhnya dihukumi sebagai uang, disebut fals atau jamaknya fulus, 6
yang digunakan sebagai alat tukar tambahan untuk membeli barang-barang
murah.7
Para Fuqaha dalam karya-karya mereka menggunakan kata dirham,
dinar, dan fulus. Untuk menunjukan dirham dan dinar mereka gunakan
19
naqdain (mutsanna) dan harga, kata naqd (mufrad) untuk salah satu dari
keduanya, dan kata nuqud (plural) atas gabungan keduanya. 8
Abu Ubaid berkata: Menurutku, dirham dan dinar adalah nilai harga
sesuatu sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga keduanya.9
Disini mengisyaratkan bahwa dirham dan dinar adalah standar ukuran yang
dibayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit
hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada
perbandingan dengan komoditas atau jasa, karena segala sesuatu tidak bisa
menjadi nilai harga bagi keduanya.10
Berikut adalah pandangan para pakar ekonomi Islam mengenai konsep
uang:
a.
Ibnu Taymiah
Konsep uang menurut Ibnu Taymiah. Pembahasan tentang uang
adalah hal yang paling bermakna karena ia beredar dalam perekonomian. Uang
ibarat darah dalam tubuh manusia, jika tekanannya terlalu tinggi atau terlalu
rendah akan membahyakan tubuh. Begitu pula dengan uang jika, terlalu
banyak atau terlalu sedikit akan mengakibatkan inflasi atau deflasi.
Beliau hidup pada masa kerajaan Mamluk, yang mana saat itu beredar
tiga jenis mata uang yaitu, mata uang dinar, dirham dan fullus. Peredaran dinar
sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi kadang-kadang
malah
menghilang, sedangkan yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang
20
dirumuskan oleh Ibnu Taymiah bahwa uang dengan kualitas rendah akan
menendang keluar uang kualitas baik. Pernyataan Ibnu Taymiah inipun diikuti
dalam ekonomi konvensional bad money driven outs good money.11
Ibnu Taymiah menjelaskan bahwa uang berfungsi sebagai media
pertukaran (medium of exchange), pengukur nilai (unit of value) dan bersifat
mengalir (flow concept). Uang digunakan untuk membiayai transaksi riil saja,
sehingga segala sesuatu yang menghambat dan mengalihkan tujuan dan fungsi
uang dilarang. Mengenai kewajiban mencetak uang hanya dengan nilai riil-nya
saja (full bodied money) ini berarti bahwa pemerintah wajib menjaga nilai uang
tersebut.
Ibnu
Taymiah
mengutip
sabda
Rasullulah
SAW
yang
memperingatkan agar setiap muslim jangan merusak nilai mata uang tanpa
alasan kuat. Negara harus sedapat mungkin menghindari anggaran keuangan
defisit dan ekspansi mata uang yang tak terbatas, sebab akan mengakibatkan
terjadinya inflasi dan menciptakan ketidakpercayaan publik atas mata uang
bersangkutan.
Bahan untuk membuat mata uang tidaklah harus terbuat dari logam
mulia (emas dan perak). Tetapi nilai nominal mata uang harus sesuai dengan
nilai intrinstik dalam mata uang tersebut.12
11
h.56-57.
12
Abdul Adhim Islahi, Economic Concept of Ibn Taimiyah (Konsep Ekonomi Ibnu
Taymiyah), Anshari Thayyib (penerjemah), (Surabaya: PT. Bina ilmu, 1997), cet ke-1, h. 180.
21
b. Imam al-Ghazali
Menurut Imam Al-Gazali uang adalah unit hitungan yang digunakan
untuk mengukur nilai komoditas dan jasa, juga sebagai penengah yang
membantu proses pertukaran komoditas dan jasa. Beliau juga mengisyaratkan
uang sebagai alat simpanan karena dibuat dari jenis harta yang bertahan lama,
karena kebutuhan yang berkelanjutan sehingga betul-betul bersifat cair dan
bisa digunakan pada waktu yang dikehendaki. 13
Menurut al-Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan nilai dan
sebagai alat tukar. Uang berfungsi sebagai satuan nilai, bahwa Allah
menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta
sehinnga harta itu bisa diukur dengan keduannya. Allah Taala menjadikan
dinar dan dirham sebagai dua hakim dan penengah diantara harta benda yang
lain. Jadi Allah Taala menjadikan dinar dan dirham untuk berpindah dari satu
tangan ke tangan lain, maka jadilah dinar dan dirham sebagai dua hakim
diantara harta benda dengan adil. 14
Mengenai penciptaan uang, al-Ghazali memperbolehkan mencetak
uang yang tidak mengandung unsur emas dan perak (fiat standard), atau uang
dari bahan campuran asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat
pembayaran yang resmi.15
c. Al-Maqrizi
Konsep uang menurut Al-Maqrizi, berbeda dengan Ibnu Taymiah dan
al-Ghazali, al-Maqrizi menyatakan bahwa mata uang harus terbuat dari emas
13
22
dan perak16, selain dari itu tidak layak disebut dengan mata uang. Dalam hal
pencetkan al-Marqizi sangat menekankan pada kualitas pencetakan mata uang
seperti halnya Ibnu Taymiah. Nilai nominal adalah sama dengan nilai yang
terkandung dalam mata uang tersebut.
Fungsi uang menurut al-Maqrizi adalah sebagai alat tukar dan sebagai
satuan nilai. Menurutnya, dinar dan dirham sangat sesuai dengan syariat Islam.
Uang selain itu (fiat standard) 17 , cenderung rentan terhadap inflasi
yang
16
23
d. Ibnu Khaldun
Konsep uang menurut Ibnu Khaldun, uang tidak harus mengandung
emas dan perak. Yang lebih penting dilakukan adalah menjadikan emas dan
perak sebagai standard nilai uang, sementara pemerintah menetapkan nilainya
secara konsisten.18
e. Ibnu Qayyim
Menurut Ibnu Qayyim, bahwa: Dinar dan dirham adalah nilai harga
barang komoditas. Nilai harga adalah ukuran yang dikenal untuk mengukur
harta maka wajib bersifat spesifik dan akurat, tidak meninggi (naik) dan tidak
menurun. Karena kalau unit nilai harga bisa naik dan turun seperti komoditas
sendiri, tentunya kita tidak lagi mempunyai unit ukuran yang bisa dikukuhkan
untuk mengkur nilai komoditas. Bahkan semuanya adalah barang komoditas.19
Demikianlah menjadi jelas bahwa para fuqaha memberikan definisi
uang dari penjelasan dengan melihat fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu
melalui tiga fungsi:
a. Sebagai standar ukuran untuk menentukan nilai harga komoditi dan jasa.
b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa.
c. Sebagai alat simpanan.
Dan sekarang bisa dikemukakan konsep uang dalam Islam, setelah
memperhatikan konsep para fuqaha diatas. Uang adalah apa yang menjadi
kesepakatan dan digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media
transaksi pertukaran dan media simpanan.
18
19
53.
24
20
21
Ibid., h.49
h.49
25
22
26
c. Meningkatnya konsumsi perak untuk pembuatan pelana dan bejana. 23
C. Jenis-jenis Uang
Dalam masyarakat akan terlihat berbagai macam jenis uang yang
beredar sejak dahulu hingga sekarang. Dari perkembangan-perkembangan
penggunaan uang pada masa lalu dan pada masa sekarang, kita akan melihat
beberapa macam atau jenis uang yang beredar di masyarakat.
Jenis-jenis uang dibagi menjadi empat, yaitu uang komoditas
(commodity money), Uang logam (metallic money), uang kertas dan uang giral
(deposit money/ bank money).24 Berikut adalah penjelasannya.
1. Uang Komoditas (Commodity Money)
Uang komoditas merupakan alat tukar yang memiliki nilai komoditas
apabila tidak digunakan sebagai uang. 25 Uang komoditas juga sering disebut
dengan uang barang. Namun tidak semua barang bisa menjadi uang, diperlukan
tiga hal, agar suatu barang bisa menjadi uang, diantaranya:
a. Kelangkaan (scarcity), yaitu persediaan barang itu harus terbatas untuk
menjaga nilai pertukaran komoditas tersebut.
b. Daya tahan (durability), barang tersebut harus tahan lama sebagai
penyimpan nilai.
c. Nilai tinggi, yaitu barang yang dijadikan uang harus bernilai tinggi. 26
Bangsa Arab Jahiliyah menggunakan unta dan kambing sebagai uang
komoditas (barang). Di Yunani, kerbau sangat berperan penting dalam proses
23
27
27
28
tanpa batas, sistem yang digunakan dinamakan sistem satu logam, apakah
logam itu emas atau perak dan tidak berpengaruh dengan adanya mata uang
bantu.
Sedang sistem dua jenis logam adalah bahwa Negara mengadopsi dua
logam emas dan perak dan menjadikan keduanya sebagai uang utama dan
memberikan keduanya kekuatan penyelesaian tanpa batas. Artinya bahwa
orang yang berutang, sudah melunasi utangnya kepada pihak kreditor, apabila
dia membayar utangnya dengan salah satu mata uang tersebut.31
Dari segi nilai, uang logam ini termasuk yang bernilai penuh atau full
bodied money, yaitu uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai
nominalnya, atau uang yang nilainya sebagai suatu barang untuk tujuan yang
bersifat moneter, sama besarnya dengan nilai sebagai barang biasa atau non
moneter.32
3. Uang Kertas
Uang kertas yang ada pada masa sekarang adalah kertas dengan
gambar tertentu dengan nilai nominal ditentukan secara arbitrer oleh Negara
lewat keputusan politik.33
Uang kertas muncul pertama kali tahun 910 M di Cina. Pada awalnya
mereka menggunakan uang kertas atas dasar penopang logam emas dan perak
100%. Sekitar abad 10 M, pemerintahan Cina menerbitkan uang kertas yang
31
29
tidak ditopang total, dan pada tanggal abad 12, Cina sudah mengenal uang
kertas yang tidak bisa ditukarkan dengan emas dan perak.34
Uang kertas yang ada sekarang dikenal sebagai fiat money yaitu alat
tukar dari kertas dan tidak didukung oleh komoditas apapun.35 Dan uang kertas
sekarang juga dikenal sebagai token money, yaitu uang yang tidak bernilai
penuh atau uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari pada nominalnya. 36
Uang kertas yang beredar saat ini yang dikeluarkan oleh pemerintah
atau Bank Sentral, digunakan sebagai alat tukar yang sah dalam suatu Negara
dan akan diterima oleh masyarakat yang mengakui pemerintah tersebut serta
beredar di kalangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan. Umumnya
masyarakat percaya pada mata uang ini, sekalipun bendanya dibuat dari kertas
yang sama sekali nilainya sangat jauh di bawah nilai daripada emas. Karena
atas dasar kepercayaan itulah, maka disebut juga dengan uang kepercayaan. 37
4. Uang Giral (Bank Money/ Deposit Money)
Dalam kemajuan perkembangan ekonomi, uang kertas dirasakan
mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan transaksi perdagangan dalam
jumlah besar, di mana sejumlah uang kertas harus dibawa-bawa sehingga
menimbulkan resiko tertentu dan tidak praktis. Timbulah gagasan dari
masyarakat dan sejalan juga perkembangan dari perbangkan yaitu untuk
menggunakan uang giral untuk menyelesaikan transaksi perdagangan.38
34
30
Uang giral biasa disebut juga dengan uang bank, yakni uang yang
dikeluarkan oleh bank-bank komersial melalui pengeluaran cek dan alat
pembayaran giro lainnya.39 Dinamakan uang bank karena memandang tempat
penukaran atau bank dimana individu-individu menyimpan uang kertas.40
Para Ekonom Islam tidak pernah menganggap uang bank sebagai
sesuatu yang dapat dikatakan uang, karena dia sebenarnya hanyalah merupakan
alat perintah tertulis untuk melakukan pemindahan uang.41
D. Uang Kertas Dalam Pandangan Islam
Uang yang berlaku sekarang adalah uang kertas dan uang logam.
Untuk uang logam yang berlaku sekarang berbeda dengan uang logam dahulu
yang terbuat dari emas dan perak. Untuk uang logam yang terbuat dari emas
dan perak, saat ini masih ada tetapi terbatas, dan hanya berlaku pada beberapa
negara saja.
Pada dasarnya uang yang digunakan dalam Islam adalah uang yang
tidak mengandung riba dalam penciptaannya. Bentuknya dapat full bodied
money atau fiat money dengan 100% standar emas. Prinsip keduanya sama,
yaitu membatasi penciptaan uang sehingga stabilitas nilai uang terjaga. Namun,
full bodied money mempunyai keunggulan karena ia memiliki fungsi uang
yang sebenarnya, yaitu penyimpan nilai. Sebab, sampai saat ini belum ada
pemerintah yang berhasil menjaga stabilitas nilai uang dengan sistem fiat
money.42
39
31
43
32
dan perak. Sebagai pengganti emas dan perak maka uang ketas dianggap
memiliki karakteristik yang sama dengan emas dan perak.
Pendapat ketiga, memperlakukan uang kertas sebagi fulus yang
memang keberadaanya diakui di awal-awal perkembangan Islam. Namun
secara historis fulus ini hanya digunakan secara terbatas dimana kepercayaan
pelaku ekonomi terjaga, dan juga hanya digunakan untuk transaksi yang
nilainya kecil.
Pendapat keempat, menganggap uang sebagi barang seperti juga
barang-barang lainnya. Dalam pengertian uang sebagi barang maka nilainya
mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Yang menjadi masalah adalah
dengan mudahnya uang kertas dicetak dengan biaya yang murah, maka
penawaran atau supply atas uang bisa dipermainkan relatif tanpa batas oleh
pihak yang mempunyai wewenang mengeluarkan uang kertas.
Pendapat kelima, menganggap uang sebagai salah satu alat tukar
(thaman) diantara thaman-thaman lainnya seperti emas, perak dan fulus.
Pendapat ini dianut ulama-ulama Arab Saudi. Masalah yang menonjol dari
pendapat ini adalah nilai uang kertas sekarang yang tidak bisa dianggap sama
dengan emas dan perak. Nilai uang kertas akan cenderung turun.44
Meskipun masing-masing penafsiran tersebut diatas mempunyai
kekurangannya sendiri-sendiri, boleh dibilang seluruh pemikiran ulama
kontemporer tentang uang kertas memberikan kesimpulan yang hampir sama
44
33
yaitu bahwa uang kertas atau uang fiat adalah halal dan belum ditemukan
pendapat yang mengharamkannya.
Sekali lagi oleh karena manfaat kepraktisannya atau alasan lain kita
dapat secara halal menggunakan uang kertas pada zaman modern ini.
Meskipun
perlu diperhatikan
transaksi yang
34
quran diturunkan ditengah menjadi alat pembayaran yang sah. Karena itu riba
berlaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang
harus dikeluarkan zakat daripadanya. Dan zakat pun sah dikeluarkan dalam
bentuk uang kertas. Begitupula ia dapat digunakan sebagai alat untuk
membayar mahar.47
47
BAB III
PENGERTIAN DAN TATA CARA ZAKAT FITRAH
t/ cq=yJs? $yJ/
35
36
syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan
kadar-nya.3
Menurut garis besarnya, zakat dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
Pertama, zakat harta (zakat al-maal): Misalnya, zakat emas, perak,
binatang ternak, hasil tumbuh-tumbuhan baik berupa buah-buahan maupun
biji-bijian, dan harta perniagaan.
Kedua, zakat jiwa (zakat al-nafs): yang biasa dikenal dengan zakat
fitrah, yaitu zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim pada bulan
Ramadhan menjelang shalat Idul Fitri.4
Penulis membatasi pembahasan ini mengenai zakat fitrah saja. Zakat
secara bahasa berarti al-namaa (tumbuh), al-ziyadah (bertambah), al-sholah
(perbaikkan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik
untuk menyucikan dirinya. Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya
berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak
berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.
Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan fithroh,
yang berarti fitrah/ naluri. Al-Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang
dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan fithroh. Istilah ini digunakan
oleh para pakar fiqh. Sedangkan menurut istilah, zakat fitrah berarti zakat yang
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press,
1988), h. 39.
4
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 1, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.
223-224.
37
diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari
bulan Ramadhan.5
Zakat fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap muslim
baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil, tua ataupun muda, kaya
ataupun miskin dibulan Ramadhan sampai menjelang salat Idul Fitri. Hal ini
berdasarkan hadis dari Ibnu Umar:
:
6
( ) .
Ainul Wafa, Panduan Lengkap Zakat Fitrah, diakses pada tanggal 21 Desember
2010 dari http://jurnalmuslim.com/dakwah/panduan-lengkap-zakat-fitrah.html/
6
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 75-76,
hadits no. 1359.
7
Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 49.
38
Zakat fitrah ini diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah, dua hari
sebelum berakhir puasa Ramadhan, pada tahun itu Nabi Muhammad SAW
berpidato di Masjid menerangkan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah
sebelum pergi ketempat sembahyang melaksanakan shalat Idul Fitri. Ukuran
zakat perjiwa yang dikeluarkan adalah satu sho (gantang = 3,5 liter) makanan
pokok seperti kurma, gandum, atau beras dan sebagainya atau berupa uang
seharga makanan pokok tersebut.8
Zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Hal ini disepakati para ulama,
karena zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang yang berdosa,
sedangkan para nabi terbebas dari hal demikian. Lagi pula, mereka mengemban
titipan-titipan Allah, disamping itu mereka tidak memiliki harta, dan tidak
diwarisi.9
Kelebihan ajaran zakat dibanding aspek-aspek lain dari rukun Islam
yang lain
karena itu, zakat dalam mata rantai peningkatan kesejahteraan umat Islam tak
mungkin diremehkan. Dalam kitab-kitab fiqh, masalah zakat sering
ditempatkan pada bagian kedua dari rub al-ibadah. Dengan demikian, ajaran
zakat akan mudah diketahui posisinya dan merupakan bagian mutlak dari
keislaman sesorang (malum min al-din bi al-darurah).10
1. Hikmah Disyariatkannya Zakat Fitrah
Adapun hikmah zakat fitrah itu adalah sebagai berikut:
39
Pertama, zakat menjaga dan memelihara harta dari perbuatan orangorang jahat yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial.
Kedua, zakat fitrah merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan
orang-orang yang sangat memerlukan bantuan. Setiap orang yang mapan
bertanggung jawab untuk mencukupi kehidupan orang-orang fakir.11
Ketiga, zakat fitrah itu berfungsi mengembalikan manusia kepada
fitrahnya, artinya mensucikan diri mereka dari kotoran-kotoran yang
disebabkan oleh pergaulan dan sebagainya sehingga manusia jauh dari
fitrahnya.12 Ibnu Abbas Berkata:
13
( ) .
40
tersebut merupakan harta miliknya secara penuh, 6) sudah mencapai satu nisab,
dan 7) mencapai satu haul (untuk barang-barang tertentu).14
Berbeda dengan hal itu, kewajiban zakat fitrah tidak didasarkan atas
berapa banyak harta yang dimiliki, akan tetapi pada: orang Islam, menjumpai
terbenam matahari pada akhir bulan Ramadhan, yakni sudah memasuki tanggal
satu Syawal dan, memiliki satu sho bahan makan pokok yang lebih dari
kebutuhan diri dan tanggungannya untuk sehari semalam pada malam hari
raya.15
2. Kelompok Penerima Zakat Fitrah
Kelompok penerima zakat (mustahiq al-zakat) ada delapan: orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf, yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang-orang yang berutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).16
Hal ini di atur dalam QS: At- Taubah: 60.
>$s%h 9$# ur Nk5q=% px9xsJ9$#ur $pkn=t t,#Jy9$#ur 3|yJ9$#ur !#ts)=9 Ms%y9$# $yJR) *
O6ym O=t !$#ur 3 !$# iB Zps ( @69$# $#ur !$# @6y ur tBt9$#ur
14
15
205.
16
41
yang
meneliti orang
yang
membutuhkan, kemudian
17
42
membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan
membanting tulang mati-matian. 20
Gharimin, yaitu orang yang memiliki utang, baik hutang untuk dirinya
sendiri maupun bukan, yakni untuk kepentingan orang banyak yang berada
dibawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda pembunuhan atau
menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi zakat. Jika utang itu
dilakukan untuk kepentingannya sendiri, maka dia tidak berhak mendapatkan
bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap fakir.21
Orang yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah) yang termasuk
dalam kelompok ini adalah para pejuang dijalan Allah yang tidak digaji oleh
markas komando mereka, karena mereka lakukan hanyalah berperang.22
Ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan adalah orangorang yang berpergian (musafir) untuk melaksanakan suatu hal yang baik
(thaah) tidak termasuk maksiat. Dia diperkirakan tidak akan mencapai maksud
dan tujuannya, jika tidak dibantu. Sesuatu yang termasuk perbuatan thaah
adalah ibadah haji, berperang di jalan Allah dan ziarah yang dianjurkan.
Yang tidak berhak menerima zakat adalah, (1) keturunan Nabi
Muhammad saw, (2). Orang kaya, (3). Keluarga muzakki, (4). Orang yang
sibuk beribadah sunnah untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi melupakan
kewajibannya mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga, (5) orang yang tidak
mengakui adanya Tuhan dan menolak adanya Tuhan (mulhid atau atheis).23
20
43
( ) .
24
Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, Aun al-Mabud, Syarah
Sunan Abu Daud, h. 3, hadis no. 1594.
25
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987), h.
958.
44
26
Ibid., h. 958.
Sabiq, Panduan Zakat, h. 210.
28
Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, Aun al-Mabud, Syarah
Sunan Abu Daud, h. 3, hadis no. 1594.
27
45
habis sebelum datangnya hari raya, hal ini terjadi jika zakat fitrah dibagikan
secara individu.29
Dan menurut Yusuf Qardhawi, pendapat Imam Malik dan Imam
Hambali adalah pendapat yang lebih hati-hati. Ia menambahkan bahwa bolehboleh saja pemerintah memungut zakat ini dari masyarakat pada pertengahan
bulan Ramadhan jika hal itu dimaksudkan untuk antisipasi tidak meratanya
distribusi zakat fitrah kepada para mustahiq karena minimnya waktu yang
ada.30
Para ulama sepakat bahwa kewajiban zakat fitrah tidak gugur
meskipun sudah lewat waktunya. Ia tetap merupakan hutang yang menjadi
tanggungan orang yang bersangkutan sehingga dia membayarnya, meskipun
diakhir umurnya.31
C. Jenis dan Kadar Makanan Pokok yang Dikeluarkan untuk Zakat Fitrah
1. Jenis Makanan Pokok yang Dikeluarkan Untuk Zakat Fitrah
Dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah menetapkan
bahwa zakat fitrah dibayarkan pada bulan Ramadhan dan besarnya adalah satu
sho kurma atau satu sho gandum untuk setiap muslim baik orang merdeka
maupun hamba sahaya, laki-laki ataupun perempuan, muda ataupun tua. Hal
ini juga berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri:
:
.
29
30
46
.
. .
) .
32
Artinya: Abu Said al-Khudri berkata: ketika Rasulullah masih bersama kami,
kami mengeluarkan zakat fitrah atas setiap anak kecil, dewasa, orang
merdeka, dan hamba sahaya, sebanyak satu sho makanan, satu sho
keju, satu sho gandum, satu sho kurma dan satu sho kismis. Kami
tetap melakukan hal itu sampai datanglah Muawiyah untuk
melakukan haji dan umroh. Lalu ia berkata di atas mimbar. Diantara
yang ia ucapkan di hadapan orang-orang adalah, aku memandang
dua mudd samra (gandum) Syam setara dengan satu sho kurma.
Maka orang-orang pun mengambil perkataannya tersebut. Abu Said
melanjutkan tetapi aku tetap mengeluarkan zakat seperti yang aku
lakukan sebelumnya, selama aku hidup. (HR. Imam Bukhari dan
Abu Daud)
Menurut Sayyid Sabiq, yang wajib dikeluarkan untuk zakat fitrah
adalah satu sho gandum, kurma, anggur, keju, beras, jagung atau makanan
pokok lainnya.33
Jadi untuk jenis atau barang yang dikeluarkan untuk zakat fitrah
adalah berupa bahan makanan pokok untuk daerahnya sendiri. Apabila ada
beberapa makan pokok yang digunakan pada suatu tempat, maka dipilih yang
paling mayoritas digunakan. Untuk makanan pokok yang disebutkan dalam
hadist Nabi SAW diantaranya adalah keju, gandum, kurma dan kismis. Untuk
di Indonesia, makanan pokok untuk pembayaran zakat fitrah adalah beras.
32
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab Zakat, Juz 3, (Kairo: 1985), h. 76-77,
hadits no. 1361. Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, Aun al-Mabud,
Syarah Sunan Abu Daud, Bab Zakat Fitrah, Juz 5, (al-Maktabah Al-Salafiyah, 1979), h. 5,
hadis no. 1601.
33
Sabiq, Panduan Zakat, h. 206.
47
34
Moh. Rawi Latief dan A. Shomad Robith, Tuntunan Zakat Praktis, (Surabaya:
Indah, 1997), h.132.
35
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt), h. 910.
36
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 911.
37
Muflichun, Hukum Zakat Fitrah Menggunakan Uang, diakses pada tanggal 21
Desember 2010 dari http://blog.beswandjarum.com/muflichun/2009/09/14/zakat-fitrh-fithrahkudus-stain-beswan-opini/comment-page-1/
48
adalah enam ratus delapan puluh lima dirham lebih lima sepertujuh dirham. 38
Dan menurut al-Nawawi dalam kitab al-Syarqawi, menyatakan bahwa 1 sho
sama dengan 2176 gram (2,176).39
Menurut Sayyid Sabiq, satu sho adalah empat mudd. Sedangkan
empat mudd adalah setangkup kedua telapak tangan orang yang sedang, atau
sama dengan sepertiga qadah atau dua qadah. Abu Hanifah membolehkan
mengeluarkan zakat fitrah dengan harga (uang). Beliau juga berkata, jika
seorang muzakki mengeluarkan zakat dengan gandum, maka mengeluarkan
setengah sho itu sudah mencukupi.40
Sebagian ulama berpendapat, untuk segala sesuatu yang wajib
dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah satu sho, kecuali burr (gandum), cukup
hanya setengah sho. Ini adalah pendapat Sufyan, Ibnu Mubarak, dan penduduk
Kufah.41
Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sho'
seperti Kyai Maksum-Kwaron Jombang menyatakan satu sho sama dengan
3,145 liter, atau sekitar 2751 gram. Sedangkan pada umumnya di Indonesia,
berat satu sho dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali
untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan satu
sho adalah 2,75 kg, dengan satu sho sama dengan di bawah 2,176 kg.42
38
49
43
Muhammadiyah Jafar, Tuntunan Ibadat Zakat Puasa dan Haji, (tt: Kalam Mulia,
tth), h. 65.
44
50
mengemukakan
berbagai
kemungkinan dari
51
47
48
Ibid., h. 951.
Qardhawi, Hukum Zakat, h. 952.
52
Menurut Yusuf Qardhawi, Nabi SAW membatasi pada makananmakanan tertentu saja, karena makanan tersebut pada waktu itu merupakan
makanan pokok di lingkungan Arab. Andaikan orang-orang makanan
pokoknya beras seperti di Jepang dan Indonesia misalnya, tentu itu yang
diwajibkan, demikian pula jagung seperti dipesisir Mesir. Karenanya yang
paling baik adalah, seseorang mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan
pokoknya.49
Jadi kesimpulannya, bentuk zakat fitrah adalah berupa makanan pokok
seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat
yang mayoritas sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan
Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama
Hanabilah yang membatasi macam zakat fitrah hanya pada dalil (yang hanya
tercantum dalam nash). Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
mayoritas, yang tidak dibatasi hanya pada dalil. 50
Dan zakat fitrah itu wajib dilakukan dengan makanan pokok di suatu
daerah, untuk makanan lainnya selain makan pokok, itu tidak boleh karena
bertentangan dengan hadits Nabi SAW.
49
BAB IV
HUKUM MEMBAYAR ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG
KERTAS
Hal ini
berdasarkan hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar
RA:
:
2
( ) .
53
54
ulama
Ulama
yang
Memperbolehkan
memperbolehkan
Zakat
membayar
zakat
Fitrah
fitrah
adalah alasan-alasan
yang
melatarbelakangi pendapat
memelihara
kemashlahatan
fakir
miskin
dan
memenuhi
kebutuhannya. Zakat fitrah juga merupakan hak fakir miskin untuk memenuhi
hajat kebutuhan mereka. 5Apabila kebutuhan serta maslahatnya dalam bentuk
uang, maka mengeluarkan uang lebih utama. Seperti, melimpahnya zakat bagi
si miskin, yang menyebabkan si miskin terpaksa menjualnya, sedang uang
dapat dimanfaatkan untuk prioritas kebutuhannya seperti, membeli makanan
dan pakaian yang dikehendaki baginya dan bagi anak-anaknya. 6
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987), h. 955.
Permono, Sumber Sumber Penggalian Zakat, h. 158.
5
Muhammadiyah Jafar, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji, (T.tp., Kalam,
T.th), h 66.
6
Thaha Abdullah Al Afifi, Hak Fakir Miskin, (Indonesia: Dar El Fikr, 1987), h. 113.
4
55
56
10
11
56-57.
57
Berikut
adalah alasan-alasan
yang
melatarbelakangi pendapat
12
58
( ) ....
Artinya: Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah satu sho kurma atau satu
sho syair ....... (HR. Bukhari)
Keempat, menurut pendapat al-Kasani, apabila memperbolehkan zakat
fitrah dengan harga, berarti merubah hukum nash. Hal demikian tidak
diperbolehkan.
Kelima, al-Jaziry berpendapat bahwa, kebanyakan ulama tidak
memperbolehkan menunaikan zakat fitrah dengan uang, sebab Nabi saw tidak
pernah menyebutkan dinar atau dirham. Padahal dua mata uang tersebut juga
berlaku pada saat itu. Hanya saja, apabila merasa kesulitan mengeluarkannya
dengan makanan, maka secara darurat diperkenankan dengan mata uang (emas
dan perak) sebagai ganti dari makanan, sehingga kewajiban tetap terlaksana. 17
C. Analisis Hukum Membayar Zakat Fitrah Menggunakan Uang
Dalam pentarjihan kedua pendapat yang berbeda ini mengenai zakat
fitrah menggunakan uang kertas, menurut penulis bahwa yang jelas kuat itu
pendapat golongan Hanafi dalam masalah ini. Mereka bersandar pada khabarkhabar dan atsar-atsar, sebagaimana halnya pendapat mereka yang diperkuat
dengan pemikiran dan pandangan.
Pada hakikatnya, bahwa menonjolkan segi ibadah dalam zakat dan
mengqiyaskannya dengan shalat dalam memberikan qayid dengan nash yang
bisa diambil, tidak sejalan dengan watak zakat itu sendiri, zakat itu merupakan
16
17
59
kewajiban yang bersifat harta dan ibadah yang mempunyai banyak perbedaan.
Para ulama yang melarang zakat fitrah dengan uang, mewajibkan zakat pada
harta anak-anak dan harta orang gila, padahal shalat tidak wajib bagi mereka.
Pendapat ulama yang melarang ini bertolak belakang dengan pernyataan
mereka yang menyatakan bahwa zakat itu sama dengan ibadah shalat, karena
yang dijadikan alasan untuk menolak pendapat madzhab Hanafi yang
menggugurkan kewajiban zakat dari orang yang bukan mukallaf, berdasarkan
qiyas terhadap shalat.18
Kenyataannya, bahwa pendapat Madzhab Hanafi lebih sesuai dizaman
kita sekarang ini, lebih mudah bagi manusia dan lebih mudah menghitungnya,
dan terutama jika dalam hal ini terdapat kantor atau yayasan yang mengurus
pengumpulan dan pembagian zakat, karena mengambil jenis benda itu akan
menyebabkan bertambahnya biaya pengurusan untuk memindahkan bendabenda zakat dari daerahnya kekantor tersebut.
Pendapat yang memperbolehkan ini juga dianut oleh Imam Bukhari,
sebagai mana Imam Nawawi berkata: Pendapat itulah yang zahir dari
pendapat Madzhab Bukhari dalam Hadits Shahihnya. 19 Berkata Ibnu Rusyd:
Dalam masalah ini Imam Bukhari telah sependapat dengan madzhab Hanafi,
dalam keadaaan ia sendiri banyak berbeda pendapat dengan mereka (dalam
masalah lain), akan tetapi dalil telah membimbingnya sehingga sependapat
dengan mereka. 20 Alasan Imam Bukhari sependapat dengan golongan yang
memperbolehkan adalah pada atsar Muaz yang diriwayatkan oleh Thawus,
18
60
21
61
Ketiga, tidaklah ia menyatakan hal itu dalam urusan zakat, akan tetapi
mungkin kalau shahih- ia berkat pada orang yang wajib membayar upeti,
sehingga ia mengambil biji-bijian, syair dan harga menggantikan posisi upeti.
Keempat, dalil yang menunjukan batalnya khabar ini, adalah ucapan
Muaz dalam khabar itu sendiri: lebih baik bagi penduduk Madinah. Maha
Suci Allah, kalau Muaz menyatakan hal ini, karena ia menjadikan apa yang
tidak diwajibkan Allah, lebih baik dari apa yang diwajibkan-Nya. 22
Yang jelas bahwa alasan-alasan tersebut di atas adalah lemah.
Thawus, walaupun tidak bertemu dengan Muaz, akan tetapi mengetahui
perintahnya dan mendalami sejarah hidupnya, sebagaimana dinyatakan oleh
Imam Syafii. Thawus adalah Imam penduduk Yaman pada masa Thabiin; ia
mengetahui keadaan Muaz dan khabar-khabarnya, karena masanya pun masih
dekat. Pekerjaan Muaz di Yaman serta mengambilnya haga dalam zakat,
menunjukan bahwa hal itu tidak bertentangna dengan sunah Nabi SAW;
dimana ia menjadikan ijtihadnya pada tingkatan yang ketiga setelah Quran
dan Sunnah. Lagi pula, tidak ada seorang pun dari sahabat yang
mengingkarinya, menunjukan kesepakatan mereka akan hukum ini. Adapun
kemungkinan khabar ini adalah dalam masalah upeti, adalah lemah bahkan
batal. Sebagaimana dikemukakan Ahmad Syahir dalam ulasannya dalam
Mahalli karena khabar itu adalah riwayat Yahya bin Adam: Menduduki posisi
sedekah. Adapun alasan Ibnu Hazm yang keempat, adalah penyimpangan dan
pengarahan dari dia sendiri, karena makna lebih dari bermanfaat bagi kamu
22
62
sekalian, karena kebutuhan mereka terhadap pakaian jauh lebih besar daripada
biji-bijian dan syaiir. 23
Ini adalah masalah faktual yang tidak ada perbedaan didalamnya.
Adapun ucapannya: Tidak diwajibkan oleh Allah, maka itulah ucapan yang
diperselisihkan, karenannya tidak bisa berhujjah dengan pengakuan yang
semacam itu. Mengambil harga, karenannya termasuk salah satu yang
disyariatkan oleh Allah.
Ibnu
Taymiah
mengemukakan
satu
pendapat
yang
sifatnya
23
63
Imam Ahmad telah menetapkan boleh dalam masalah itu. Dan seperti
halnya wajib bagi dia, seekor domba pada lima ekor unta, akan tetapi tidak ada
orang yang mau menjual domba, maka baginya cukup mengeluarkan seharga
domba itu, ia tak usah dibebankan untuk pergi kekota lain agar membeli domba
tersebut. Dan sama juga halnya jika para mustahik zakat, meminta diberi
harganya, karena akan lebih bermanfaat bagi mereka, maka hendaknya mereka
diberi, atau menurut petugas hal itu akan lebih bermanfaat bagi orang-orang
fakir, sebagaimana dikutip dari Muaz bin Jabal, bahwa ia berkata pada
penduduk Yaman: datangkanlah oleh kamu sekalian kepadaku dengan baju
karung atau kain, karena hal itu lebih mudah bagi kamu dan lebih baik bagi
kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. 24
Pendapat ini lebih relevan untuk masa sekarang, karena kebutuhan dan
kemaslahatan dizaman kita. Diperbolehkan mengambil harga, selama hal itu
tidak memadharatkan orang-orang fakir atau pemilik harta.
Untuk poin kedua pentarjihan adalah pembayaran zakat fitrah
menggunakan uang (harga) sebagai pengganti makanan pokok telah lama
berkembang dan di praktekan di Indonesia dengan alasan utamanya adalah
untuk kemaslahatan. Kemaslahatan tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan
fakir miskin, karena hakikat dari zakat fitrah itu adalah membuat kecukupan
orang-orang fakir.25 Nabi saw bersabda:
24
25
Ibnu Tayniah, Majmu Fatawa, jilid 25, hal 82-3, cet. Saudiah.
Jafar, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji, h. 66.
64
"
26
( ) . :
( ) ....
Artinya: Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah satu sho kurma atau satu
sho syair ....... (HR. Bukhari)
Menurut penulis, pendapat Abu Hanifah yang maqulul mana (dapat
diterima oleh akal fikiran) dan dapat diterapkan sesuai dengan perkembangan
zaman dan dapat menjawab tuntutan kemaslahatan umat, kapan dan dimana,
26
27
65
29
66
Kedua,
untuk
mempermudah
mengetahui
kemashlatan
yang
32
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan permasalahan mengenai Pembayaran
Zakat Fitrah Menggunakan Uang Kertas, maka dalam hal ini penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut:
Uang kertas yang ada sekarang ini penggunaannya ditafsirkan sebagai
suftaja atau pengganti fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar saja.
Hukum membayar zakat fitrah menggunakan uang kertas bukanlah suatu
kewajiban dalam membayar zakat fitrah, melainkan diperbolehkan untuk alasan
kemaslahatan, yakni apabila yang lebih dibutuhkan adalah uang dibandingkan
dengan makanan pokok dan apabila dalam melaksanakan zakat fitrah
menggunakan makanan pokok mengalami kesulitan. Hal ini berdasarkan kaidah
fiqh:
67
68
B. Saran-saran
Berkaitan dengan topik permasalahan, maka penulis memberikan saransaran
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, al-Imam Taqiyuddin (Alih Bahasa Anas Tohir Syamsuddin), Terjemah
Kifayatul Akhyar. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadii, Aun al-Mabud, Syarah
Sunan Abu Daud. Juz 5, al-Maktabah Al-Salafiyah, 1979.
al-Afifi, Thaha Abdullah, Hak Fakir Miskin. Indonesia: Dar El Fikr, 1987.
al-Arif, M. Nur Rianto, Teori Makroekonomi Islam, Bandung: Alfabeta, 2010.
al-Asqalany, Ibnu Hajar. Fath al-Barii. Juz 3, Bab Zakat Fitrah Sebelum Shalat Id, alMaktabah al-Salafiah.
Ali, Mohammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press,
1988.
Amin, A. Riawan, Menata Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: UIN Press,
2009.
Ash Shawi, Shalah dan Al Mushlih, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam.
Jakarta: Darul Haq, 2008.
Bagir Al-Habsyi, Muhammad, Fiqh Praktis. Bandung: Mizan, 1999.
al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Juz 3, Kairo: 1985
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh Jilid 1. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Fakhruddin, Fiqh Dan Manajemen Zakat Di Indonesia. Malang: UIN Malang
Press, 2008.
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, jilid IV dan VII, Dar al-Khair, 1993.
69
70
Desember 2010.
http://jurnalmuslim.com/dakwah/panduan-lengkap-zakat-fitrah.html/, diakses pada 21
Desember 2010.
http://blog.beswandjarum.com/muflichun/2009/09/14/zakat-fitrh-fithrah-kudus-stainbeswan-opini/comment-page-1/, diakses pada 21 Desember 2010.
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5214497, diakses pada 21 Desember 2010.
Huda, Nurul dkk. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
Iqbal, M. Mengembalikan Kemakmuran Islam Dengan Dinar dan Dirham. Jakarta:
Dinar Club & Spritual Learning Centre, 2009.
Ishlahi, Abdul Adhim, Economic Concept of Ibn Taimiyah (Konsep Ekonomi Ibnu
Taymiyah), Anshari Thayyib (penerjemah), Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997.
71
Jafar, Muhammadiyah, Tuntutan Ibadat Zakat Puasa Dan Haji. tt: Kalam Mulia, tth.
al-Jaziry, Cara Mudah menunaikan Zakat. H. I. Press, 1996.
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Kahf, Monzer Kahf. Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus Ahmadie Thoha, 2000.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta:
International for Islamic Though, 2001.
Latief, Moh. Rawi dan Robith, A. Shomad, Tuntunan Zakat Praktis. Surabaya:
Indah, 1997.
Lathif, AH. Azharudin. Fiqh Muamalah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Mahmud Al-Baly, Abdul Al-Hamid. Ekonomi Zakat. Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Persada, 2006.
Masadi, Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002.
Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: PT: RajaGrafindo Persada, 2007.
Mydin Meera, Ahameed. Perampok Bangsa-bangsa. Jakarta: Mizan, 2010.
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Ekslusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana,
2006.
Permono, Sjechul Hadi. Sumber-Sumber Penggalian Zakat. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992.
Purwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2006.
Qardhawi, Yusuf, Risalah Zakat Fitrah. Surabaya: Pustaka Progresif, 1991.
72
Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 1987.
al-Qasim bin Salam, Abu Ubaid, Al-Amwal, Tahqiq Muhammad Khalil Harras, Dar
al-Fikr, Beirut, 1988.
Sabiq, Sayyid. Panduan Zakat. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2005.
Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Ahmad. al-Qawaid al-Fiqhiyah. T.tp: Pustaka alFurqon, 2009.
Saidi, Zaim, Tidak Syarinya Bank Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Dekolomotif,
2010.
Siddiqi, Muh. Nejatullah, Recent Works on History of Economics Thought in Islam.
Dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (terj) Reading in Islamic
economic Thought, Kuala Lumpur: Longmang Malaysia, 1992.
Sinungan, Muchdarsyah. Uang dan Bank. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana, 2009.
Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Moderinitas. Malang: UIN-Malang Press,
2007.
al-Suyuti, Jalaluddin. Jami al-Shagir. Jawa Tengah: Menara Kudus, 911H.
Rusyd, Ibnu, (Alih Bahasa M. A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah),
Terjemah
73