Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Memasuki era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi, media sosial
menjadi sangat penting dalam proses komunikasi antar masyarakat. Media sosial kini
bukan hanya penghubung antar satu manusia dengan manusia lainnya, tetapi juga
menjadi sarana akses informasi baik berupa kebijakan pemerintah, berita terkini bahkan
sebagai salah satu sarana jual beli. Berkembangnya berbagai aplikasi smartphone dan
mudahnya akses media sosial, kini menjadikan media sosial bukan lagi digunakan pada
tujuan utamanya. Masyarakat yang tidak cerdas menggunakan media sosial,
menimbulkan masalah lain dalam perkembangan era digital.
Fenomena unggah foto di media sosial, akhir-akhir ini menjadi salah satu bagian
dari perkembangan era digital. Masyarakat dengan mudah kini dapat mengakses dan
memperlihatkan aktifitas mereka dengan mengunggah fotonya ke beberapa media sosial
seperti facebook, instagram, atau lebih privat dengan menjadikan display picture BBM
(Blackberry Messenger). Pada akhir tahun 2014 dunia dan pengguna internet dikagetkan
dengan munculnya foto selfie perawat dan dokter di Rumah Sakit Fengcheng, Xian,
Tiongkok saat berada di ruang operasi. Foto tersebut banyak menuai kritik dari
masyarakat, hal ini terjadi karena foto tersebut mengambil latar belakang ruang operasi
dengan staff medis yang masih terlibat dalam kegiatan operasi. Biro Kesehatan
Masyarakat Xian memutuskan memecat Direktur Rumah Sakit, wakil direktur, kepala
perawat, dokter anastesi, serta delapan staf yang terlibat dalam foto tersebut. Keputusan
itu diambil karena berfoto di ruang operasi menyalahi prosedur medis dan memberi efek
negatif terhadap publik.1
Agustus 2015, foto selfie seorang dokter wanita di Malaysia menjadi viral di media
sosial. Foto tersebut memperlihatkan dokter mengacungkan dua jari, sementara tangan
kanannya memegang kelamin pasien yang terbaring di tempat tidur. Foto yang diunggah
oleh akun Kak Long Disini, memperlihatkan dokter dengan beberapa perawat yang
membantu perawatan pasien. Ketua Komite Kesehatan dan Lingkungan Johor Baru
mengatakan perilaku dokter ini tidak bisa dimaafkan.2
1

http://dunia.tempo.co/read/news/2014/12/26/118631033/berfoto-selfie-saat-operasi-dokterbedah-dipecah, diakses 10 November 2015


2
http://www.tribunnews.com/internasional/2015/08/25/dokter-dikecam-lantaran-selfiesambil-pegang-kemaluan-pasien, diakses 10 November 2015

Bulan Oktober 2015 munculnya foto selfie perawat di ruang operasi RSUD Sultan
Daeng Raja Bulukumba Sulawesi Selatan menuai banyak kritik dari masyarakat
Indonesia. Foto tersebut menunjukkan 3 perawat sedang berfoto dengan pasien si
belakang mereka, sebelum melakukan tindakan operasi.3 Kasus pengunggahan foto
kedua terjadi di ruang IGD RSUD Palagimata Bau-Bau, Sulawesi Selatan. Dokter dan
sejumlah perawat juga mengambil foto selfie saat melakukan tindakan medis pada
korban pembacokan. Kedua peristiwa ini menjadi headline pemberitaan pada berbagai
media massa di Indonesa, dan memunculkan berbagai tanggapan yang beragam dari
masyarakat.4
Pada kasus pengunggahan foto yang dilakukan oleh perawat di ruang IGD RSUD
Palagimata, ketika melakukan klarifikasi direktur rumah sakit menyatakan hasil audit
internal terhadap dokter dan perawat yang bersangkutan melakukan pengambilan foto
tersebut dengan alasan kepentingan forensik.5 Memang bukan menjadi hal yang baru
apabila dalam praktik klinis, seorang perawat atau dokter jaga di IGD mengambil foto
keadaan pasien untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada dokter spesialis yang
kompeten untuk masalah seorang pasien. Namun tentu akan menjadi suatu masalah
hukum, apabila foto yang diambil diunggah ke media sosial tanpa sepengetahuan pasien.
Dokter diwajibkan berdasarkan profesinya untuk menyimpan rahasia yang
dipercayakan kepadanya, sepertinya juga misalnya profesi lainnya dimana unsur
kepercayaan merupakan sesuatu yang mutlak. 6 Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa
rahasia profesi merupakan hak dari si pemegang rahasia (dokter, rumah sakit) juga tidak
untuk kepentingan kedokteran;fungsi rahasia medis hanya untuk mengadakan
kepercayaan antara si pencari dan si pemberi pertolongan, dan dengan demikian
bermanfaat untuk kepentingan umum mengenai kesehatan rakyat, baik secara jasmani
maupun rohani.7 Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 13 menyatakan Setiap dokter

http://www.makassar.tribunnews.com/2015/10/26/selfie-dekat-pasien-operasi-3-perawatrsud-bulukumba-disanksi, diakses 10 November 2015


4

http://www.regional.kompas.com/read/2015/10/21/20414381/Saat.Tangani.Korban.Pembaco
kan.Dokterdan.Perawat.Malah.Selfie, diakses 10 Novmber 2015
5

http://www.regional.kompas.com/read/2015/10/21/20414381/Saat.Tangani.Korban.Pembaco
kan.Dokterdan.Perawat.Malah.Selfie, diakses 10 November 2015
6
Guwandi. 1992. Rahasia Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
hal 40
7
Guwandi.2005. Hukum Medik (Medical Law). Jakarta :Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, hal 236

wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang seorang penderita bahkan juga
setelah penderita itu meninggal.8
Pasal 3 ayat (1) Permenkes No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
menyatakan bahwa Rahasia Kedokteran mencangkup data dan informasi mengenai:
identitas pasien; kesehatan pasien meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran; dan hal lain
yang berkenaan dengan pasien.
Pengunggahan foto tenaga kesehatan yang sedang melakukan tindakan kedokteran
di media sosial merupakan salah satu bentuk tindakan membuka rahasia kedokteran.
Pasal 48 ayat (2) Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
menyatakan bahwa Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya unrtuk kepentingan
kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.
Tenaga kesehatan yang ada di Indonesia juga terlibat dalam tren era digital, dimana
dalam melakukan komunikasi antar tenaga kesehatan kini juga telah memanfaatlkan
berbagai aplikasi media sosial. Tenaga kesehatan sebagai komunitas dalam pergaulannya
di jejaring media sosial akan membentuk sebuah komunitas virtual. Wilson dalam R.
Sugihartati menjelaskan paling tidak ada tiga karakteristik dari komunitas virtual di
media sosial, yang membedakannya dengan komunitas tatap muka, yaitu: (1) liberty,
kebebasan dari kondisi sosial geografis yang membatasi identitas yang melekat pada diri
seseorang; (2) equality, penghilangan hierarki yang berhubungan identitas yang melekat;
dan (3) fraternity, hubungan yang terbentuk antar-anggota dalam komunitas tersebut.9
Equality sebagai karakteristik kedua pada komunitas virtual membentuk pola
pemikiran dimana ketika sudah masuk pada komunitas virtualnya, tenaga kesehatan
sudah terlepas dari identitas yang melekat padanya. Melalui karakteristik pertama yaitu
liberty, maka anggota dari komunitas virtual tersebut memiliki suatu kebebasan untuk
berekspresi. Unggah foto di media sosial merupakan salah satu bentuk eksistensi dari
seseorang, dimana tujuannya adalah menunjukkan ekspresi. Pasal 19 Deklarasi HAM
PBB menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
bersekpresi, dalam hal ini mencangkup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat
8

Konsil Kedokteran indonesia. hal 39


Sugiharti, Rahma. 2014. Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial
Kontemporer. Jakarta : Kencana, hal 52
9

tertentu tanpa mendapatkan ganguan, dan untuk mencari, menerima dan meyampaikan
informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa batasan.10Meskipun ada
jaminan untuk berekspresi, namun dalam menjalankannya hak tersebut tidaklah tanpa
batas.
Perilaku unggah foto tenaga kesehatan saat melakukan tindakan kedokteran, kini
sudah menjadi sebuah fenomena dengan banyaknya kita jumpai dalam lingkup pergulan
kita di media sosial. Rekan-rekan yang berprofesi di dunia medis, dengan bangga akan
mengambil foto saat mereka terlibat dalam tindakan kedokteran dan mengunggahnya di
media sosial. Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil dan sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Media sosial yang fungsi utamanya untuk memudahkan komunikasi antar
masyarakat, oleh sebagian orang kini disalah artikan sebagai media untuk menunjukkan
eksistensi diri tanpa memikirkan kewajiban profesi. Dalam menjalankan profesinya,
tenaga kesehatan baik itu dokter, perawat, bidan ataupun tenaga kesehatan lain harus
memiliki etika profesi. Etika profesi kedokteran merupakan pedoman batin (conscience)
bagi dokter yang berakar pada hati nurani karena profesi sejak perintisannya telah
membuktikan sebagai profesi yang luhur dan mulia 11. Fenomena unggah foto tenaga
kesehatan saat melakukan tindakan medis di media sosial, memunculkan pertentangan
antara hak kebebasan berekspresi dan tanggung jawab profesi. Maka dengan latar
belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pelanggaran hak
pasien atas rahasia medis pada perilaku unggah foto tenaga kesehatan saat melakukan
tindakan kedokteran.

I.2. PERUMUSAH MASALAH


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah yaitu:

10

Deklarasi HAM Universal PBB tahun 1948


IDI Wilayah Jawa Tengah. 2006. Pencegahan dan Penanganan Kasus Dugaan
Malpraktik. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro, hal 2
11

1. Bagaimanakah perlindungan hak pasien atas Rahasia Kedokteran ditinjau dari etika
dan hukum?
2. Bagaimanakah perilaku unggah foto di media sosial oleh tenaga kesehatan saat
melakukan tindakan kedokteran dalam perspektif etika dan hukum?
3. Apakah terjadi pelanggaraan hak pasien atas rahasia kedokteran pada perilaku unggah
foto di media sosial oleh tenaga kesehatan saat melakukan tindakan kedokteran?

I.3. TUJUAN
Dari rumusan penelitian di atas, maka dapat ditentukan tujuan yang hendak dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hak pasien atas rahasia kedokteran ditinjau dari etika dan hukum;
2. Untuk mengetahui perilaku unggah foto di media sosial oleh tenaga kesehatan saat
melakukan tindakan kedokteran dalam perspektif etika dan hukum;
3. Untuk mengetahui pela]nggaran hak pasien atas rahasia kedokteran pada perilaku
unggah foto di media sosial oleh tenaga kesehatan saat melakukan tindakan medis.
I.4. MANFAAT
Dari uraian di atas, maka dapat ditentuan manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pengetahuan agar masyarakat
mendapatkan perlindungan atas haknya dalam rahasia kedokteran;
2. Bagi IDI, PPNI, IBI dan organisasi profesi lainnya
Penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu rekomendasi (rekomendasi akan
diberikan dalam bentuk melakukan diseminasi hasil penelitian di salah satu rumah
sakit di Kota Semarang) untuk memperbaiki sistem pengawasan praktik kedokteran,
keperawatan dan kebidanan, agar anggotanya terhindar dari perilaku yang melanggar
hak pasien;
3. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan akan menjadi salah satu tambahan referensi utamanya dalam
peningkatan pengetahuan tentang aspek hukum rahasia kedokteran, sehingga

pengetahuan tentang rahasia kedokteran menjadi salah satu pembekalan bagi siswa
sebelum terjun ke klinik.

I.5. KERANGKA PEMIKIRAN


I.5.1. KERANGKA KONSEP
Pasal 28 J ayat(2) UUD
1945,
Dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk pada
pembatasan
yang
ditetapkan dengan Undangundang....

Pasal 28 F UUD 1945,


Setiap orang berhak
untuk
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi
dan
lingkungan
sosialnya.......

Pasal 19 Deklarasi
Universal HAM PBB
setiap orang berhak
atas
kebebasan
berpendapat
dan
berekspresi, dalam hal
ini mencangkup......

Muncul berbagai foto selfie yang


diupload oleh tenaga kesehatan saat
melakukan tindakan medis

Pasal 3 ayat (1) Permenkes No 36 tahun 2012


tentang Rahasia Kedokteran menyatakan
bahwa Rahasia Kedokteran mencangkup data
dan informasi mengenai: identitas pasien;
kesehatan
pasien
meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau
tindakan kedokteran; dan hal lain yang
berkenaan dengan pasien

Pasal 5 ayat (1) Permenkes RI No 36 tahun


2012 Rahasia kedokteran dapat dibuka
hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan
pasien
sendiri,
atau
I.5.2.
KERANGKA
TEORI perundangberdasarkan
ketentuan
undangan

Tenaga medis melakukan


rahasia kedokteran

pembukaan

Bagaimanakah hak pasien atas rahasia


kedokteran?

Manusia sebagai homo sacius dalam kehidupannya tidak dapat terlepas dari

kehidupan bersama dengan manusia lainnya. Kebersaamaan ini sering menimbulkan


pergesekan hak antara satu individu dan individu lainnya. Untuk menyelaraskan hak

antar individu tersebut dibutuhkan aturan untuk menyelenggarakan kehidupan


masayarakat yang tertib dan teratur, sehingga aturan inilah yang kemudian mendapat
legitimasi dari warga masyarakat dan diakui sebagai hukum.12
Hans Kelsen menyebutkan bahwa hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah
produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-undang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,
baik dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan ini menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya
aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.13
Utrech menyatakan kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu. 14
Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama. Hukum mengatur dan
menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya maka tata
hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. 15 Kaedah hukum
merupakan pedoman tentang bagaimana seyogyanya manusia bertingkah laku di dalam
masyarakat: kaedah hukum merupakan ketentuan tentang perilaku. Pada hakekatnya apa
yang dinamakan kaedah adalah nilai, karena berisi apa yang seyogyanya harus
dilakukan, sehingga harus dibedakan dari peraturan konkrit yang dapat dilihat dalam
bentuk kalimat-kalimat. Kaedah hukum dapat berubah sementara undang-undangnya
(peraturan konkritnya) tetap.16 Karena kaedah hukum itu melindungi kepentingan
manusia maka harus ditaati, harus dilaksanakan, dipertahankan dan bukan dilanggar.17
12

Elvandari, Siska. 2015. Hukum Penyelesaian Sengketa Medis. Jogjakarta:


Thafamedia
13
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, hal
158
14
Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum . Bandung: Citra
Aditya Bakti, hal 23
15
Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Jogjakarta :
Liberty, hal 28
16
Ibid, hal 33
17
Ibid, hal 37

Indonesia menganut konsep negara hukum yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, hasil amandemen yang ketiga.
Pasal tersebut menyatakan dengan tegas bahwa: Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Tujuan negara adalah untuk memelihara ketertiban hukum (rechsorde). Oleh
karena itu, negara membutuhkan hukum dan sebaliknya pula hukum dijalankan dan
ditegakkan melalui otoritas negara.18 Albert Venn Dicey dalam magnum opus-nya,
introduction to the Law of the Constitution memperkenalkan istilah the Rule of Law yang
secara sederhana diartikan dengan keteraturan hukum. Menurut Dicey, ada tiga unsur
fundamental dalam rule of law, yaitu: (1) supremasi hukum, dalam arti seseorang hanya
boleh dihukum kalau melanggar hukum; (2) kedudukan yang sama dalam menghadapi
hukum. Petunjuk ini berlaku, baik bagi masyarakat biasa maupun para pejabat; dan (3)
terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan
pengadilan.19
Pecahnya revolusi Amerika dan revolusi Perancis pada abad 18 mempengaruhi
perkembangan pemikiran hak asasi manusia dalam sejarah pemikiran konstitusi. Melalui
peristiwa ini kemudian lahirlah pemikiran untuk mengakomodir hak-hak sipil dalam
sejumlah pengakuan kebebasan dasar, antara lain bebas atas penyiksaan, bebas untuk
tidak dihukum tanpa proses peradilan, kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan
kebebasan menyampaikan pendapat, serta untuk menyampaikan ide-ide politiknya.
Kemudian ide untuk memasukkan tertuang dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia (HAM).20 Sebagai Negara hukum, pemerintah Indonesia juga memiliki peranan
dalam menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pemerintah dalam hal ini harus mampu memperjuangkan bukan hanya hak-hak politik,
melainkan juga hukum dan keadilan sosial, antara lain hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan yang berkenaan dengan itu, termasuk di dalamnya adalah hak atas
kesehatan.21
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan
pembangunan bidang kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia

18

Sudargo Gautama. 1973. Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung:


Alumni, hal 20
19
Majda El Muhtaj. 2015. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta :
Kencana, hal 21
20
Wiratman, Herlambang Perdana. 2009. Kebebasan Berkspresi, Penelusuran
Pemikiran dalam Konstitusi Indonesia. Jurnal Konstitusi. Volume 8 Nomor 1
21
Siska Elvandari, Op Cit hal 8

dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan.22 Pada pelaksanaan SKN terdapat


berbagai unsur yang dalam pembahasan SKN lebih dikenal sebagai subsistem SKN.
Subsistem SKN terdiri dari enam bagian yaitu subsistem upaya kesehatan; subsistem
sumber daya manusia kesehatan; subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan;
subsistem manajemen dan informasi kesehatan; dan subsistem pemberdayaan masyarakat.
Subsistem sumber daya manusia kesehatan atau yang lebih kita kenal sebagai tenaga
kesehatan, merupakan salah satu bagian terpenting dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bida ng
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Hakikat profesi dalam pemberian pelayanan kesehatan merupakan sebuah panggilan
hidup yang mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada pendidikan yang
harus dilaksanakan dengan kesungguhan kerja, kerendahan hati, dan integritas ilmiah dan
sosial serta penuh tanggung jawab.23 Maka berdasarkan pada hakikat tersebut, profesi
tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesi harus selalu menghormati hak-hak
pasien yang didasari pada nilai-nilai luhur, keluhuran budi dan kemuliaan demi
kepentingan pasien.24 Pada profesi tenaga medis, dikenal 6 asas etik yang bersifat
universal, yaitu: (1) asas menghormati pasien; (2) asas kejujuran; (3) asas tidak
merugikan; (4) asas manfaat; (5) asas kerahasiaan; dan (6) asas keadilan.25
Pada pelayanan kesehatan antara tenaga kesehatan dan pasien menimbulkan
hubungan terapeutik. Darmono menyebutkan pelayanan kesehatan harus berdasarkan
ilmu pengetahuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kehormatan profesi pada tenaga
kesehatan terletak pada kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan, hal ini tidak berarti
kedudukan pasien yang lemah dapat disalahgunakan. Dokter dan tenaga kesehatan sejak
awal harus berpegang pada standard etis profesi dengan asas-asas Premum non nocere
atau sejak awal tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, merugikan atau
mencelakakan pasien.
22

26

Dalam perjanjian terapeutik ada dua pihak yang masing-masing

Sistem Kesehatan Nasional, 2009


Hendrojono, Soewono. 2005. Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi
Terapeutik, Suatu Tinjauan Yuridis Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Surabaya: Srikandi, hal 16
24
Elvandari, Siska. Op cit, hal 18
25
Ari Yunanto Helmi. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Jogjakarta : Penerbit
Andi, hal 7
26
IDI Wilayah Jawa Tengah. Op Cit, hal 56
23

10

memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan saling dihormati. Hak dari pasien
dari satu sisi, akan menjadi kewajiban bagi tenaga kesehatan di sisi lain, demikian juga
sebaliknya.
Pelayanan kesehatan memadukan berbagai asuhan yang datang dari berbagai profesi
kesehatan. Di dalam menjalankan asuhannya, masing-masing dari tenaga kesehatan
memiliki standar asuhan yang diatur oleh profesi masing-masing. Dalam pelayanan
kesehatan, sebagai masyarakat tentu kita sering mendengar istilah malpraktik. Malpraktik
pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya
kewajiban-kewwajiban yang harus dilakukan.27 Sedangkan Koeswadji menjelaskan
bahwa malpraktik secara harfiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang
berakaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik
yang megandung ciri-ciri khusus.28
Secara garis besar malpraktik dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu:
1) Malpraktik medik, merupakan bentuk kelalaian profesional yang menyebabkan
terjadinya luka berat pada pasien/penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan
maupun pembiaran oleh dokter/tergugat.29
2) Malpraktik yuridis, adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam melaksanakan
profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku. Malpraktik
yuridis meliputi:
a. Malpraktik perdata jika dokter tidak melakukan kewajibannya yaitu tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati.30
b. Malpraktik pidana dapat terjadi jika perbuatan yang dilakukan memenuhi
rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun perbuatan negatif (tidak
melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalaian.31
Contoh malpraktik pidana yaitu:

27

Veronika Komalawati. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, hal 87
28
Hermien Hadiati Koeswadji. 1998. Hukum Kedokteran. Bandung: Citra Aditya
Bakti, hal 124
29
Ibid, hal 122-123
30
Sofwan Dahlan. 2000. Hukum Kesehatan. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hal 61
31
Ibid, hal 60

11

a) Pasal 322 KUHP yaitu membocorkan rahasia kedokteran yang diadukan oleh
penderita
b) Pasal 359, 360 dan 361 KUHP yaitu karena kelalaiannya sehingga
mengakibatkan kematian atau luka-luka
c) Pasal 531 KUHP yaitu tidak memberikan pertolongan kepada orang yang
berada dalam keadaan bahaya maut.32
Hubungan tenaga kesehatan dan pasien pada awalnya dilandasi atas rasa
kepercayaan yang tinggi. Pasien akan bersedia menceritakan segala hal yang terkait
dengan penyakitnya dan bersedia menerima tindakan medis yang lain, karena dia yakin
bahwa rahasia medisnya akan disimpan oleh tenaga kesehatan yang merawatnya. Hak
pasien atas segala sesuatu yang berkenaan dengan proses perawatannya kita kenal
dengan hak atas rahasia kedokteran. Pasal 3 ayat (1) Permenkes No 36 tahun 2012
tentang Rahasia Kedokteran menyatakan bahwa Rahasia Kedokteran mencangkup data
dan informasi mengenai: identitas pasien; kesehatan pasien meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau
tindakan kedokteran; dan hal lain yang berkenaan dengan pasien33.
Hak pasien atas rahasia kedokteran adalah bagian dari prinsip moral otonomi.
Konsultasi medis dapat terjadi dengan pengungkapan informasi kepada seorang dokter,
yaitu dengan tujuan mengobati pasien dan bukan alasan untuk yang lain. Informasi ini
adalah milik pasien yang mengungkapkan informasi dan tidak boleh diberikan pada orang
ketiga tanpa persetujuan yang bersifat spesifik 34. Dalam menjalankan praktik
profesionalnya, seorang dokter dan tenaga kesehatan selain harus tunduk pada norma etika
dan hukum, juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang tercantum juga
dalam konvenan hak asasi manusia.
Sebagai seorang individu terlepas dari profesinya sebagai dokter atau tenaga
kesehatan, seseorang sebagai profesional di bidang kesehatan juga memiliki hak atas
kebebasan berekspresi. Hak atas kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang
mutlak. Kebebasan bereskpresi telah banyak digambarkan sebagai sesuatu yang sangat
penting bagi kebebasan untuk mengembangkan dan mendiskusikan ide-ide dalam
mencari kebenaran dan pemahaman, otonomi dan pemenuhan diri individu, dan
32

Guwandi. 1991. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal
35-65
33
Ibid hal 3
34
Idries, Abdul Muim dan Agung Legowo Tjiptomartono. 2008. Penerapan Ilmu
Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto

12

partisipasi efektif dalam politik kehidupan masyarakat yang demokratis. Pasal 19


Deklarasi HAM PBB menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan
berpendapat dan bersekpresi, dalam hal ini mencangkup kebebasan untuk berpegang
teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan ganguan, dan untuk mencari, menerima
dan meyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa batasan35.
Penggunaan dan akses media sosial merupakan salah satu contoh dalam
menggunakan kebebasan berekspresi. Pelaksanaan kebebasan bereskpresi dijamin oleh
Undang-undang Dasar 1945, pasal 28 J ayat (2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil dan
sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.36
Hak Asasi Manusia yang diakui dalam Undang-undang Dasar 1945, bukan
sebebas-bebasnya, tetapi HAM yang dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasannya
ditetapkan dengan Undang-undang. Pelaksanaan HAM dalam UUD tidak boleh terpisah
dengan pembatasan HAM yang terdapat dalam pasal 28 J UUD 1945. Patrialis Akbar
berpendapat bahwa pasal-pasal mengenai HAM dalam UUD 1945 telah dikunci oleh
pasal 28 J. Maksudnya ketentuan-ketentuan soal HAM dari pasal 28 A sampai 28 I telah
dibatasi oleh pasal 28 J.37 Undang-undang merupakan sebuah sistem, dimana dalam
memahami sebuah pasal dalam undang-undang janganlah pasal tersebut dikeluarkan dari
sistem undang-undang dan dilihat lepas dari pasal-pasal lain dalam undang-undang
tersebut, akan tetapi harus tetap ada di dalam sistem undang-undang yang bersangkutan
dan dikaitkan dengan pasal-pasal lain di dalam sistem undang-undang tersebut.38
Karena hukum itu sifatnya umum, yang berarti bahwa dapat berlaku dalam
pelbagai situasi, maka membuka peluang akan adanya penyimpangan-penyimpangan
atau pengecualian-pengecualian.39 Nieuwenhuis (1979) menyatakan bahwa asas hukum
tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi dalam banyak hal juga menciptakan
35

Ibid hal 4
Ibid, hal 5
37
http/www.hukumonline.com-Berita_Ketentuan HAM dalam UUD Dikunci oleh
Pasal 28 J. Html, diakses pada 08 Januari 2016
38
Sudikno, Metokusumo. 2011. Teori Hukum. Jogjakarta: Universitas Atma Jaya,
hal 56
39
Ibid, hal 54
36

13

satu sistem: satu sistem, yang tidak akan ada tanpa asas itu. Asas hukum itu membentuk
sistem tentang checks and balance. Bahwa asas hukum sering menunjuk kepada
kaidah yang berlawanan itu merupakan suatu anugerah. Karena menunjuk kepada arah
yang berlawanan maka saling mengendalikan atau membatasi dan dengan demikian ada
keseimbangan.40
Sebagai manusia dan bagian dari masyarakat, tenaga kesehatan yang memberikan
layanan kesehatan di Indonesia juga dijamin atas kebebasan berekspresi. Tenaga
kesehatan yang ada di Indonesia juga terlibat dalam tren era digital, dimana dalam
melakukan komunikasi antar tenaga kesehatan kini juga telah memanfaatlkan berbagai
aplikasi sosial media. Berbagai aplikasi media sosial kini memudahkan komunikasi antar
tenaga kesehatan, dimana aplikasi perpesanan instan kini dapat dijadikan media untuk
melakukan konsultasi antara perawat dengan dokter ataupun antara dokter dengan dokter
spesialis lainnya. Akan tetapi jika tren penggunaan aplikasi sosial media dan pelaksanaan
kebebasan bereskpresi digunakan secara tidak cerdas, maka akan memunculkan masalah
baru bagi pemberi layanan kesehatan.
Telah disampaikan sebelumnya salah satu bentuk malpraktik pada bidang
kedokteran adalah malpraktik pidana, dimana salah satu contohnya adalah pembukaan
rahasia kedokteran. Dalam praktiknya banyak ditemui beberapa profesional kesehatan
menggunakan gambar tampilan berupa aktivitasnya saat melakukan tindakan kedokteran
pada pasien. Tindakan ini tentu melanggar pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 29 tahun
2004 yang berbunyi setiap dokter atau dokte gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. Apabila pasien yang bersangkutan
dalam foto tersebut mengadukan ke polisi, maka dokter atau tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dikenakan pasal 322 KUHP yang berbunyi barang siapa dengan
sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya,
baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 6
bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.41
Ada asas hukum yang berbunyi bahwa setiap orang dianggap tahu akan undangundang. Bahkan ketidaktahuan akan undang-undang tidak merupakan alasan pemaafan
(ignorantia legis excusat neminem).42 Maka pernah membaca atau tidak mengenai aturan
40

Sudikno, Mertokusumo. 2014. Penemuan Hukum. Jogjakarta : Cahaya Atma


Pustaka, hal 8
41
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara
42
Sudikno, Metokusumo. 2011. Teori Hukum. Jogjakarta: Universitas Atma Jaya,
hal 18

14

perundangan tentang rahasia kedokteran dan juga sanksi yang terdapat dalam KUHP,
tenaga kesehatan maupun mahasiswa kesehatan tetap dianggap mengetahui tentang
peraturan tersebut. Unggah foto oleh tenaga kesehatan ataupun mahasiswa kesehatan
yang sedang melakukan tindakan kedokteran, walaupun menurut mereka tidak
bermaksud untuk membuka rahasia kedokteran, bukan menjadikan alasan tersebut untuk
membebaskan mereka dari sanksi yang ada.
Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang, yang mengandung arti bahwa
setiap orang terikat atu harus patuh pada hukum positif. 43 Maka berdasarkan hal ini, jika
terdapat aduan dari pasien atas peristiwa unggah foto yang dilakukan tenaga kesehatan
saat melakukan tindakan kedokteran, berdasarkan hukum positif akan terjawab bahwa
tindakan tenaga kesehatan tersebut salah. Akan tetapi jika berbicara tentang hak asasi
manusia, utamanya adalah hak atas kebebasan berekspresi, maka tindakan tersebut
merupakan salah satu bentuk cara tenaga kesehatan sebagai seorang individu untuk
mengekespreksikan dirinya. Maka berdasarkan kedua hak dan kewajiban tersebut,
dibutuhkan sebuah cara untuk menilai apakah mengunggah foto tenaga kesehatan saat
melakukan tindakan kedokteran tepat jika dipandang dari segi hukum, etika dan HAM.
Sebagai jawaban untuk menganilisa permasalah tersebut, maka digunakan teori hukum.
Teori hukum digunakan dalam penelitian ini, karena teori hukum akan membahas dan
menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan atau
permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan
metode interdisipliner.44

I.6. METODE PENELITIAN


I.6.1. METODE PENDEKATAN
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Dalam studi
sosial, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang mandiri (otonom),
tetapi sebagi suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel
sosial yang lain45. Pada penelitian hukum sosiologis, maka yang diteliti awalnya adalah
43

Ibid, hal 33
Sudikno Mertokusumo. Op cit, hal 90
45
Ronny Hanitijo Soemitro. 1988. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalia Pustaka, hal 34
44

15

data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di
lapangan, atau terhadap masyarakat46. Pendekatan yuridis sosiologis pada penelitian ini
diawali dengan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap peraturan perundangan dan
kajian pustaka mengenai hak atas kebebasan berekspresi dan hak pasien atas rahasia
kedokteran. Setelah semua peraturan perundangan dan kajian pustaka diinventaris, maka
selanjutnya peneliti melakukan kajian terhadap fenomena yang ada di masyarakat yaitu
dengan melakukan wawancara mendalam kepada beberapa tenaga kesehatan yang
pernah melakukan unggah foto saat melakukan tindakan medis di media sosial.
I.6.2. SPESIFIKASI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian eksplanatoris. Yang dimaksud
dengan penelitian eksplanatoris yaitu suatu penelitian dengan tujuan menjelaskan gejalagejala hukum yang sudah ada berdasarkan pengetahuan dan pengertian yang ada untuk
menguji kebenaran suatu hipotesis, menerangkan sebab-akibat dari suatu variabel 47.
Penelitian ini bersifat eksplanatoris karena dalam penelitian ini, peneliti akan
menjelaskan sebab dari perilaku unggah foto tenaga kesehatan saat melakukan tindakan
medis dan akibatnya terhadap hak pasien atas rahasia kedokteran.
I.6.3. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL
a. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yang akan dipelajari, yaitu:
1) Variabel dependen: perilaku unggah foto di media sosial oleh tenaga kesehatan saat
melakukan tindakan kedokteran.
2) Variabel independen: pelanggaran hak pasien atas rahasia kedokteran.
b. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1) Tindakan kedokteran : tindakan kedokteran adalah suatu tindakan berupa
pertolongan dan prosedur medis yang dilakukan dalam proses perawatan pasien.48

46

Soejono Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Penerbit


Universitas Indonesia, hal 52
47
Program Studi Magister Hukum-Unika Soegijapranata. 2005. Petunjuk Penulisan
Usulan Penelitian dan Tesis
48
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1966 tentang Rahasia Kedokteran

16

2) Rahasia kedokteran : rahasia kedokteran adalah data dan informasi tentang


kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan
pekerjaan atau profesinya.49
3) Tenaga kesehatan : tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan50
4) Pasien : pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan yang berwenang51
5) Hak kebebasan berekspresi : hak untuk mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya52
6) Hak pasien : seperangkat hak yang melekat pada manusia dalam menerima layanan
kesehatan53
I.6.4. JENIS DATA
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis
sosiologis, oleh karena itu jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan
dikuatkan dengan data sekunder. Data primer yang digunakan diperoleh dengan
melakukan wawancara mendalam kepada narasumber yang mengetahui pokok kajian,
sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari berbagai bahan
hukum, yaitu:
a) Bahan hukum primer : yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu Deklarasi
HAM Universal PBB tahun 1948, Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945, Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Undang-undang
RI Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, Undang-undang
RI Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang RI Nomor 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran, Undang-undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan,
49

Ibid.
Ibid
51
Ibid
52
Wiratman, Herlambang Perdana, op. cit., hal 9
53
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun 2012 tentang rahasia
kedokteran
50

17

Undang-undang RI Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1966 tentang Rahasia Kedokteran, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
b) Bahan hukum sekunder : yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buku teks, jurnal-jurnal nasional, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana,
kasus-kasus hukum.
c) Bahan hukum tersier : yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,
esiklopedia dan lain-lain yang berkaitan dengan pokok permasalahannya.
I.6.5. METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode pendekatan yuridis sosiologis,
oleh karena itu data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder yang bersifat kualitatif, maka metode yang digunakan adalah wawancara
mendalam dan studi kepustakaan. Wawancara mendalam adalah proses pengumpulan
data dengan teknik wawancara, dimana peneliti menggunakan panduan wawancara yang
berisi beberapa pertanyaan pokok yang akan digali kebenarannya. Wawancara mendalam
dalam penelitian ini akan dilakukan pada beberapa pihak, yaitu; (1) tenaga kesehatan
dalam lingkup pertemanan peneliti di media sosial yang pernah mengunggah foto saat
melakukan tindakan kedokteran; (2) pakar hukum dalam bidang hak asasi manusia; (3)
pengurus organisasi profesi kesehatan (pengurus IDI, PPNI).
Teknik pengumpulan data yang kedua adalah dengan menggunakan studi pustaka.
Studi kepustakaan adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan dan mempelajari, serta
memahami data yang berupa teks otoritatif (peraturan perundang-undangan, kebijakan
publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal, artikel, kamus, ensiklopedia dan
lainnya yang bersifat publik maupun privat.
I.6.6. METODE ANALISIS DATA
Data yang telah terkumpul melalui studi kepustakaan maupun lapangan selanjutnya
akan diolah untuk menjawab permasalahan yang ada. Analisa data pada penelitian ini
menggunakan analisa data kualitatif. Bogdan dan Bliken mengatakan bahwa analisis
kaulitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengoorganisasikan

data,

memilah-milahnya

menjadi

satuan

yang

dapat

18

dikelola,mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 54 Adapun
langkah-langkah analisa data kualitatif adalah sebagai berikut:
a) Pengumpulan data
Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data dengan melakukan wawancara pada
informan penelitian yang telah ditentukan, dimana selanjutnya data hasil wawancara
yang merupakan data primer akan direkam dan dibuat catatan lapangan. Selanjutnya data
sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta tersier akan
dikumpulkan melalui kajian pustaka.
b) Reduksi data
Reduksi data adalah identifikasi satuan yaitu bagian terkecil yang ditemukan dalam
data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian, kemudian
memberikan kode pada setiap satuan agar dapat ditelusuri datanya berasal dari sumber
mana supaya dapat ditarik kesimpulan.55
Dalam penelitian ini, proses reduksi data dilakukan dengan memilih dan
mengelompokkan data hasil wawancara berdasarkan kemiripan data.
c) Penyajian data
Miles dan Huberman menyatakan bahwa penyajian data adalah pengumpulan
informasi terusan yang memberi kemungkinan adanya penarikan simpulan dan
pengambilan tindakan.56 Pada penelitian ini data yang telah dikelompokkan pada tahap
reduksi data selanjutnya diorganisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut
disajikan secara deskriptif yang didasarkan pada aspek yang diteliti, sehingga
dimungkinkan diperoleh gambaran seluruhnya dari aspek yang diteliti.
d) Verifikasi data
Tahap selanjutnya dari analisa data kualitatif adalah dengan melakukan verifikasi
data. Verifikasi data adalah tahapann dimana peneliti akan kembali ke lapangan untuk
melakukan cross-check data yang telah disajikan oleh peneliti dengan informan
penelitian, sehingga akan didapatkan keabsahan data.

54

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya, hal 278
55
Ibid, hal 288
56
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. 2011. Bandung:
Alfabeta, hal 62

19

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Selfie
II. 1. 1. Definisi
Selfie adalah sebuah jenis self-portrait foto, dimana biasanya diambil dengan kamera
digital genggam atau kamera ponsel. Selfies juga sering dikaitkan dengan jejaring sosial,
seperti Instagram. Orang-orang biasanya melakukan foto Selfie dengan cara menggunakan

20

kamera yang dipegang dengan lengan panjang atau di hadapan cermin. Foto selfie biasanya
juga menggukan ekpresi yang berlebihan di hadapan camera.
Awal Mula foto Selfie ditemukan oleh Robert Cornelius yang merupakan seorang
berkebangsaan Amerika yang juga seorang perintis dalam dunia fotografi. Dia membuat
sebuah ekspresi dirinya sendiri pada tahun 1839 dimana ini merupakan salah satu dari foto
seseorang yang pertama kali. Lalu karena proses fotonya lambat, kemudian dia mengungkap
lensa yang mengalami tembakan selama satu menit atau lebih. Kemudian dia mengganti
penutup lensa.
Debut pertama Portabel kotak kamera Kodak Brownie dimulai pada tahun 1900 yang
menyebabkan teknik fotografi diri sendiri menjadi lebih luas . Kemudian metode ini biasanya
media cermin untuk menstabilkan kamera baik pada objek dekat atau pada tripod saat
framing melalui viewfinder di bagian atas kotak.
Seorang wanita berkebangsaan Rusia bernama Anastasia Nikolaevna merupakan salah
satu remaja pertama yang mengambil foto dirinya sendiri dengan menggunakan cermin untuk
dikirim ke temannya pada tahun 1914 di saat usianya baru 13 tahun. Kemudian di dalam surat
yang menyertai fotonya itu, dia mengatakan "Saya mengambil gambar diriku sendiri dengan
melihat cermin. Hal itu sangat mengagetkan dimana tangan saya gemetar."
Sebuah konsep meng-upload foto diri sendiri ( sekarang dikenal sebagai super
selfies ) ke internet, meski dengan kamera sekali pakai (bukan smartphone), ke halaman Web
pertama kali diciptakan oleh Australia pada September 2001, termasuk foto yang diambil di
akhir 1990-an (ditangkap oleh Internet Archive pada bulan April 2004) . Kemudian
penggunaan awal Selfie dapat ditelusuri pada tahun 2002. Dann ini pertama kalinya muncul
di sebuah forum internet Australia ( ABC online ) pada tanggal 13 September 2002.

II. 1. 2. Perkembangan Foto Selfie


Istilah " Selfie " dibahas oleh seorang fotografer bernama Jim Krause pada tahun
2005, walaupun foto bergenre Selfie sudah meluas mendahului istilahnya. Kemudian pada
awal tahun 2000-an, sebelum Facebook menjadi jaringan sosial online yang dominan, foto
diri sendiri sering terjadi di MySpace . Tapi seorang penulis bernama Kate Losse
menceritakan bahwa antara tahun 2006 dan 2009 ( ketika Facebook menjadi lebih populer
daripada MySpace ) foto diri sendiri sering diambil di depan cermin kamar mandi. Dan ini
menjadi indikasi buruk bagi pengguna jejaring sosial Facebook baru. Lalu pada tahun 2009
dalam gambar hosting dan hosting video situs Flickr, pengguna Flickr menggunakan ' selfies '

21

untuk menggambarkan bentuk foto dirinya sendiri yang diposting oleh kebanyakan gadisgadis remaja.
Selfies kemudian menjadi populer di berbagai tempat dari waktu ke waktu. Pada akhir
tahun 2012 majalah Time membuat Selfie menjadi salah satu "top 10 buzzwords". Menurut
survei tahun 2013, dua pertiga dari wanita Australia berusia 18-35 tahun, berfoto selfies
dengan tujuan yang paling umum untuk posting di akun Facebook. Lalu pada tahun 2013,
kata " Selfie " telah menjadi hal yang biasa untuk dipantau dan dimasukkan dalam online
Oxford English Dictionary. Pada bulan November 2013, kata " Selfie " diumumkan sebagai
"Word Of The Year" oleh Oxford English Dictionary, diman kata tersebut berasal dari
Australia
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi diabad modern ini tidak dipungkiri
memiliki berbagai macam pengaruh terhadap kehidupan manusia, terlebih yang hidup dikotakota besar. Berbagai macam pengaruh itu, baik yang positif maupun negatif hampir menjadi
hal lumrah dalam keseharian, terlebih jika itu sudah menjadi fenomena dan gaya hidup.
Salah satu pengaruh dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang sedang
menjadi fenomena adalah selfie. Begitu banyak orang yang tak mau ketinggalan melakukan
hal yang satu ini, dan kini seolah menjadi rutinitas bagi sebagian orang tanpa mengenal
batasan usia, status, pekerjaan dan lainnya. Entah berapa ribu atau bahkan juta foto selfie
yang diunggah keberbagai jejaring sosial ataupun aplikasi smartphone setiap harinya. Itu
menunjukkan bahwa fenomena selfie kini telah menjadi hal wajib, terutama untuk mereka
yang narsis.

II. 1. 3. Kajian Para Ahli Mengenai Selfie


Dari kacamata psikologi, fenomena selfie dianggap psikologi konsumen dari adanya
supply dan demand. Seperti pernyataan dari Psikolog Kasandra Putranto jika selfie
merupakan hal supply dan demand. Demand ketika ada seorang yang ingin menampilkan
gambar dirinya sendiri sedangkan itu didukung dengan adanya (supply) kecanggihan dari
gadget masa kini. Sedangkan menurut Prof. Sherry Turkle dari Massachusetts Institute of
Technology, selfi adalah seperti foto pada umumnya yang berfungsi untuk mengabadikan
sebuat momen yang kemudian diperlihatkan pada orang lain. Pengalaman Prof. Turkle dalam
memperlajari hubungan antara manusia dengan mobile technology selama 15 tahun
menyimpulkan bahwa orang-orang tidak lagi merasa menjadi dirinya sendiri tanpa berbagi

22

pemikiran dan perasaan, sekalipun hal itu belum jelas bagi mereka sendiri. Ia pun
mengatakan selfie mengakibatkan banyak orang mengabaikan hal yang sedang terjadi
disekitarnya karena lebih mementingkan mendokumentasikan momen tersebut tanpa ingin
melewatkannya.
Didalam teori kebudayaan menjelaskan bahwa, kebudayaan adalah
seluruh system gagasan dan rasa, tindakan, serta yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar
(Koentjaraningrat, dalam www.kompasiana.com). Jika teori diatas di korelasikan
dengan fenomena gaya berfoto yang saat ini sedang marak, maka bisa jadi
fenomena berfoto adalah sebuah kebudayaan yang baru muncul. Sebagaimana
pendapat R.Linton mengenai kebudayaan yaitu kebudayaan dapat dipandang
sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang
dipelajari, dimana unsure pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota
masyarakat. Selain itu, hal ini juga didukung dari tinjauan terdahulu dari
penelitian detikNET yang mengkutip dari Huffington yang dipostkan pada
(3/4/2014) manjelaskan bahwa, selfie atau gaya berfoto sendiri dilakukan pada
oktober 1893 oleh pria Amerika Serikat yang bernama Robert Cornelus. Dari
tinjauan ini menguatkan bahwa gaya dalam berfoto merupakan tingkah laku
dihasilkan manusia dan didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat
yang lain
Kemudian jika dipandang dari segi fungsi, maka akan mengacu pada pada
tinjauan terdahulu yang dipost oleh Rosma Widyana pada(18/12/2014) bahwa,
terdapat fungsi pokok dari gaya berfoto yaitu dapat berinteraksi dengan orang
lain. Hal ini diperkuat dengan pengertian dari interaksi sendiri. Interaksi
merupakan hubungan social yang mencakup hubungan timbale balik antara
individu, kelompok, serat individu dangan kelompok yang dapat berupa
tuturkata, jabat tangan, bahasa isyarat, atau tanpa kontak fisik (Hermanto dan
Wiranto, dalam www.kompasiana.com)

Melihat dari sudut pandang psikologi tentang selfie dan akibatnya, rasa-rasanya
sangat nyata hal-hal tersebut terjadi dikehidupan sehari-hari. Lihat saja kecanggihan gadget
saat ini, begitu sangat mendukung seseorang untuk ber-selfie-ria. Terlebih dengan aksesoris
pendukungnya, orang-orang sebelumnya pemalu pun kini seolah tertarik untuk selfie. Pun
begitu dengan berbagai macam akibat dari selfie, baik itu yang postitif, mengejutkan sampai
yang negatif sudah banyak terjadi.
A). Dampak negaif

23
1) Menurut penelitian yang dilakukan di Inggris menyatakan bahwa membagi
terlalu banyak foto ke jejaring social termasuk foto selfie berpotensi
memperburuk hubungan atau membuat pengunggah foto kurang disukai
2) Menurut penelitiaan kami, menemukan bahwa seseorang yang secara
berkala memposting foto miliknya dimedia social sangat membahayakan
pada hubungannya di kehidupan nyata. Kata pimpinan riset Dr David
Hoogton hal ini dikarenakan tidak semua orang berhubungan baik dengan
orang yang memposting foto personalnya.
B). Dampak Positif
1) Menurut Psikolog Paggy Dreyler, selfie bias menguntungkan banyak orang
bila digunakan secara tepat. Misalnya, foto sesuai menjalankan kebiasaan
hidup sehat dibanding sebelumnya.
Menurut Rutledge, bila selfie dilakukan secara benar maka dapat menjadi cara
untuk mengeksplorasi kepercayaan diri saya percaya selfie bias member
dukungan pada orang dengan cara berbeda . misalnya, ketika ia merasa
terpuruk selfie membantu mereka melihat keadaan tersebut sebagi sesuatu
yang normal, sama halnya pria. Ujar Rutledge, dia juga menambahkan selfie
mampu menciptakan keseimbangan dan membuka pikiran kita untuk mengerti

II.2. Pasien
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi.57 Sebagai seorang individu, pasien memiliki
beberapa hak dan kewajiban dalam menerima layanan kesehatan.
Hak dan kewajiban pasien tersebut diatur dalam Undang-undang No 44 tahun 2009
tentang Rumah sakit, yaitu:
1) Hak pasien
a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit;
b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional;
57

Krismono Irwanto. 2011. Ketentuan Teknis Tentang Uji dan Pemeriksaan


Kesehatan Calon Wanita Angkatan Udara dan Implikasinya terhadap
Perlindungan Hak Asasi Manusia. Tesis Magister Hukum Kesehatan UNIKA
Soegijapranata Semarang (tidak diterbitkan). Hal 53

24

e. memperoleh layanan kesehatan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan
yang berlaku di rumah sakit;
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data
medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan medis, alternatif tindakan, resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tanaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. menjalakankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. memperoleh keamanann dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2) Kewajiban pasien
Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit atas pelayanan yang
diterimanya.
II.3. Tenaga Kesehatan

25

Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan mendefinisikan tenaga


kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya, memiliki peran dan fungsi profesi,
yaitu :
a.

Peran sebagai pelaksana


Pelayanan kesehatan merupakan suatu sistem asuhan yang memadukan berbagai
profesi di bidang kesehatan. Misalnya hubungan antara dokter, perawat dan pasien,
dimana masing-maisng profesi menjalankan fungsinya dengan tujuan yang sama.
Dokter menjadi pelaksana kegiatan diagnostik dan terapeutik, sementara perawat
memiliki peran sebagai pelaksana layanan asuhan keperawatan.

b.

Peran sebagai pendidik


Baik dokter, perawat maupun tenaga kesehatan yang lain memiliki peran untuk
mendidik masyarakat lebih mengetahui cara peningkatan kesehatan, sehingga fungsi
preventif yang diharapkan akan tercapai.

c. Peran sebagai peneliti


Untuk

mengembangkan

layanan

asuhan

keperawatan

yang

sesuai

dengan

perkembangan masyarakat, tenaga kesehatan dituntut untuk terus memperbarui ilmu


dan keahliannya. Salah cara untuk memperbarui keilmuannya adalah dengan
melakukan penelitian terkait bidangnya, sehingga akan ditemukan metode yang baru
dalam pemberian layanan asuhan keperawatan.58
Sebagai tenaga kesehatan, selain menjalankan perannya dengan munguasai ilmu dan
kompetensinya, maka tenaga kesehatan juga dituntut untuk memiliki sikap profesional.
Adapun sikap profesional yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan, yaitu:
a. Komitmen:
a) kemampuan seseorang untuk memegang janjinya;
b) bertanggungjawab penuh atas apa yang telah disepakati;
c) konsekuen atas segala resiko yang terjadi atas kesepakatan tersebut.
b. Kepedulian:
a) mampu memberikan perhatian tidak hanya pada tugasnya tetapi hal-hal lain yang
mendukung;
58

Alexandra indriyanti Dewi. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan.


Yogyakarta:Pustaka Book Pubilsher. Hal 307

26

b) mampu berempati pada pasien;


c) mampu memberikan pelayanan yang terbaik pada pasiennya.
c. Loyalitas:
a) kesetian pada pada pekerjaannya;
b) memberikan prioritas pada kewajiban dan tugas;
c) bertanggungjawab penuh pada bidang tugasnya;
d) konsisten di dalam menjalankan tugasnya;
e) menggunakan waktu dengan efisien dan memberikan pelayanan terbaik tanpa
tendensi apa pun.
d. Dedikasi:
a) memiliki semangat untuk mempertahankan kualitas layanan dan pekerjaan;
b) mau meningkatkan potensi diri yang mendukung tugas dan kewajibannya;
c) disiplin dan tegas di dalam menjalankan pekerjaannya.
e. Integritas:
a) memiliki kesatuan pola pikir, pola sikap dan pola tingkah laku;
b) memiliki motivasi yang menentukan kualitas kerja;
c) kesatuan pikiran, sikap dan perilaku ini menjadi landasan dasar profesionalitas
pada pekerjaan karena setiap tingkah laku akan selalu dipertimbangkan, apakah
akan berdampak pada profesinya atau tidak.59
II.4. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah sekumpulan peraturan atau kaidah yang mempunyai isi
berdifat umum dan normatif, umum karena berlaku untuk setiap orang dan normatif
karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau
harus dlakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada
kaedah-kaedah.60
Sebagai pengguna layanan kesehatan, pasien juga berhak untuk mendapatkan
perlindungan hukum. Perlindungan hukum ini merupakan sebuah perbuatan memberi
jaminan atau keamanan, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian dari pelindung kepada
yang dilindungi atas segala bahaya atau resiko yang mengancamnya.61

59

Ibid, Hal 312


Sudikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty, Hal 38
61
Wila Candrawila Suprihadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju,
Hal 29
60

27

Undang-undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 57 menyatakan sebagai


perlindungan pasien, maka:
1) setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan;
2) ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
kepentingan orang tersebut.
II.5. Rahasia Kedokteran
Arti kata rahasia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang
sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Masalah suatu rahasia baru
timbul apabila ada dua pihak atau lebih terkait di dalamnya, pada umumnya satu rahasia
asal mulanya hanya diketahui oleh satu orang. Asal mulanya timbul rahasia kedokteran
adalah dari datanganya seorang pasien yang kepada seorang dokter untuk berobat, lalu
pasien menceritakan tentang apa yang dideritanya. Atas dasar uraian pasien maka dokter
akan mengajukan berbagai pertanyaan, melakukan pemeriksaan badan bahkan kalau
diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti laboratorium, foto rontgent,
dan sebagainya. Atas dasar hal tersebut di atas dokter akan mengambil kesimpulan dan
menegakkan diagnosa penyakitnya. Jadi asal mula rahasia kedokteran adalah dari pasien
sendiri yang menceritakan kepada dokter.62
Pasal 3 ayat (1) Permenkes No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
menyatakan bahwa rahasia Kedokteran mencangkup data

dan informasi mengenai:

identitas pasien; kesehatan pasien meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang, penegakkan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran; dan hal lainlain yang berkenaan dengan pasien.
Kartono Mohamad dalam Rahasia Jabatan Profesi Kedokteran (Media Hospitalia,
No. 96, 1985): keharusan menyimpan rahasia jabatan adalah salah satu kunci utama
kehormatan profesi dokter. Prinsip dari kesediaan pasien untuk membuka segala sesuatu
tentang dirinya kepada dokter adalah karena kepercayaan. Sikap saling percaya ini sangat
62

J. Guwandi. 2007. Pasien, Dokter dan Hukum. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

28

vital bagi profesi dokter, jika hubungan saling percaya ini tidak ada, maka profesi itu
sendiri tidak banyak artinya lagi. Tetapi kepemilikan rahasia itu tetap pada pasien, dokter
hanya dititipi sehingga tidak pula memiliki hak untuk meyerahkan pada pihak lain tenpa
sepengetahuan pemiliknya, prinsip ini harus dipegang teguh oleh setiap dokter.63
Seorang dokter wajib menyimpan rahasia yang diketahuinya tentang seorang pasien
karena berpegang pada sumpah yang diciptakan oleh Hippocrates yang maknanya
tersimpul dalam kalimat: Segala sesuatu yang kulihat dan kudengar dalam melakukan
praktekku, akan kusimpan sebagai rahasia. Pada umumnya kewajiban seorang dokter
untuk merahasiakan hal-hal yang diketahui karena jabatannya berpokok pada normanorma kesusilaan, pada

norma etik, pada perilaku dan tabiat perseorangan sehingga

kemudian norma-norma etik tersebut diangkat menjadi norma hukum.64


Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran bukan hanya mengikat pemberi layanan
kesehatan, tetapi juga semua pihak yang turut terlibat dalam pemberian layanan kesehatan.
Pasal 3 PP No 10 tahun 1966 tentang Rahasia Kedokteran menyebutkan bahwa yang
diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah :
1) tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
2) mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas lapangan pemeriksaan, pengobatan dan
atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan pada waktu
atau selama melaksanakan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
II.6. Etika dan Hukum
Etika adalah usaha manusia untuk mencari norma baik dan buruk. Etik diartikan
juga sebagai the principle of morality atau the field of studi or morals or right conduct.
Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika adalah filsafat tingkah laku atau
filsafat mencari pedoman untuk mengetahui bagaimana manusia bertindak yang benar atau
etis.65
Untuk melihat segi baik dan segi buruk tindakan manusia, diperlukan tolok ukur.
Maka, kita mengenal yang disebut ukuran moral. Ukuran tersebut bisa bersifat subjektif,
bisa pula bersifat objektif. Ukuran subjektif terkait dengan hati nurani. Ukuran objektif
terkait dengan norma umum. Yang subjektif bisa keliru dalam memberikan ukuran, maka
diperlukan yang objektif sebagai patokan atau standar yang objektif.66
63

J. Guwandi, Op. Cit, Hal 74


Oemar Seno Aji. 1991. Profesi Dokter. Jakarta : Erlangga, Hal 186-192
65
Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty, Hal 38
66
Pr. Aloys Budi Purnomo. Etika dan Moral Kehidupan Manusia (Sebuah
Pengantar). Bahan Kuliah Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Hal
64

29

Sasaran etik semata-mata adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan


sengaja. Baik tidaknya suatu perbuatan itu dihubungkan dengan ada tidaknya
keesengajaan: kalau ada unsur sengaja dalam pelanggaran maka tercela. Orang harus
bertanggung jawab atas perbuatannya yang disengaja. Perbuatan yang disengaja harus
sesuai dengan kesadaran etisnya.67
Hukum itu bukanlah sebuah tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan
yang sifatnya non yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Hukum
sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif,
umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang
seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta
menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.68
K. Berten menyatakan terdapat beberapa perbedaan antara hukum dan moral, yaitu:
a.

Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara


sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum
lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral.
Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak diganggu
dengan diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan
tidak etis;

b.

Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum
membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap
batin seseorang;

c.

Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan
dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar
akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan
hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari
dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang tidak tenang;

d.

Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak


negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum
adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai
hukum. Moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang melebihi pada
individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain

67
68

Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, Hal 30


Ibid , Hal 40-41

30

masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak dapat mengubah


atau membatalkan suatu norma moral.69
II.7. Hak Asasi Manusia
Hak asasi ialah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya
bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan bermasyarakat. 70 Dari pengertian
tersebut jelasnya hak asasi itu dimiliki tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras agama atau
kelamin, oleh tersebut bersifat hak asasi dan bersifat universal.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
mendefinisikan bahwa:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai maklhuk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindngan harkat dan martabat manusia
Terdapat dua aliran dalam memandang Hak Asasi Manusia, yaitu HAM yang
bersifat partikularistik dan HAM yang bersifat Universal. Parikularisme HAM identik atau
dianut oleh negara berkembang dan/atau negara timur. HAM yang bersifat partikular dapat
didefiniskan sebagai hak yang menyangkut masalah-masalah individu dan kewajiban
sosialnya yang harus dilakukan seseorang karena sebagai makhluk sosial. Selain itu HAM
yang bersifat partikular ini mengedepankan nilai dan budaya yang relatif dalam negara
tertentu . HAM partikularistik merupakan sebuah HAM yang penerimaan dan
pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi khusus suatu negara.71
Sebagaimana definisi HAM yang diberikan oleh pasl 1 angka (1) UU No 39 tahun
1999, maka dapat disimpulkan HAM yang dianut di Indonesia bersifat partikular, karena
HAM dilekatkan sebagai pemberian Tuhan yang mengedapankan nilai yang relatif.
Pengertian HAM yang diberikan di Indonesia yang menunjukkan kata seperangkat berasal
dari kata dasar perangkat yang artinya perlengkapan, dengan demikian ia (perangkat)
hanyalah sebagai pelengkap bagi kehidupan manusia bukan sebagai inner (inti) yang
melekat pada diri manusia.72
69

Yuliati. 2005. Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dalam UndangUndang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Berkaiatan Dengan
Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (tidak diterbitkan). Hal 47
70
Miriam Budiardjo. 1991. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia, Hal 120
71
Mahfud M.D. 2011. Politik dan Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, Hal
156
72
Mardenis. 2013. Kontemplasi Dan Analisis Trehadap Klasifikasi dan Politik
Hukum Penegakan Ham di Indonesia. Jurnal Rechtsvinding volume 2 Nomor 3

31

II.8. Informasi dan Media


II.8.1. Definisi
Media berbasis TIK adalah bentuk dan cara untuk menyampaikan materi dengan
menggunakan sumber-sumber yang berbasis mikroprosesor, di mana informasi atau
materi yang disampaikan disimpan dalam bentuk digital atau bentuk dan cara yang
dilandaskan teknologi yang digunakan untuk menangani informasi dan membantu
cara komunikasi (pengolahan informasi) dengan bantuan perangkat lunak dan
perangkat keras komputer untuk mengkonversikan atau mengubah, menyimpan,
mengolah, mengirim dan menerima informasi.
1. Teknologi (technology) adalah pengetahuan tata cara pemakaian perangkatperangkat

teknik (baik perangkat keras maupun perangkat lunak komputer)

yang digunakan

manusia untuk memecahkan masalah sehinggga peralatan

yang digunakan dapat bekerja

secara efesien. Mudah dan baik.

2. Informasi (Information) adalah hasil dari kegiatan pengolahan data yang disajikan
sedemikian rupa dan memberikan bentuk yang lebih berarti dari suatu kejadian
dan

memberikan arti bagi penggunanya. Atau informasi dapat diartikan

sebagai pesan yang diterima dan difahami artinya bagi si penerima informasi.
3. Komunikasi (Communication) adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan
proses pemindahan pengaliran dan pengiriman informasi kepada penerima pesan
baik berupa

lisan maupun tulisan dengan menggunakan media transmisi

II.8.2. Etika dalam Informasi dan Media


Dari aspek wujudnya di masyarakat, etika dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni:
etika tertulis dan tidak tertulis. Etika tertulis sendiri bisa terbagi menjadi dua, yaitu: etika
tertulis berdasar kesepakatan dan etika tertulis berdasarkan legal formal atau peraturan
perundangan. Etika tertulis berdasar kesepakatan terbentuk karena adanya kesepakatan
antarpihak yang terkait atau terlibat dan bersifat mengikat para penggunanya, seperti
peraturan kesepakatan dalam penggunaan Kaskus. Adapun etika tidak tertulis merupakan
kumpulan etiket, sopan-santun, nilai-nilai, norma dan kaidah yang lahir dari proses
interaksi antarsesama, yang harus dihormati dan dipatuhi bersama-sama. Dengan
demikian, etika social berkomunikasi pada prinsipnya merupakan panduan berperilaku dan
bertindak yang mengacu pada apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sedangkan etika tertulis legal formal telah dirumuskan dan disahkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE):
Pasal 27

32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
.

Tuntutan pidana yang diberikan kepada pihak-pihak yang melanggar


ketentuan etika seperti yang disebutkan pada pasal 27 ayat1,2,3, dan 4
mendapatkan ketentuan pidana seperti pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE):


Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat
(2),
ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
II.8.3. Undang-undang Terkait
UNDANG-UNDANG

REPUBLIK

INDONESIA

NOMOR

36

TAHUN

2009

TENTANG

KESEHATAN

Pasal 57
(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58

33

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG
TENAGA KESEHATAN
Pasal 58
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
Ayat 1 menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;

II.8. Contoh Kasus


Berfoto Selfie Saat Operasi, Dokter Bedah Dipecat

34

Para Dokter berfoto selfie usai mengoperasi pasienya di Rumah Sakit Fengcheng di Xi'an,
Cina, Agustus lalu. (dailymail)
Dokter Dikecam Lantaran Selfie Sambil Pegang Kemaluan Pasien

Selfie dengan Pasien yang Sakit Parah, Mahasiswa Kedokteran Gigi Dikecam

35

Selfie
Saat

Operasi Pasien, Tenaga Medis di Pangkal Pinang Ini Dikecam

36
Sejumlah tenaga medis di RSIA Muhaya, Pangkal Pinang selfie saat operasi
pasien. (Foto: Tribun Bangka)

Dokter dan Perawat Ini Malah Sempat Selfie Saat Tangani Pasien Kritis

Dokter dan sejumlah perawat di RSUD Palagimata, Baubau, Sulawesi Tenggara selfie saat
menangani seorang pasien korban pembacokan. (Foto: Jawa Pos)

BAB III
PENUTUP
III.1. KESIMPULAN
III.2. SARAN
1.

Bagi dokter atau tenaga kesehatan yang lain, diharapkan dapat menjalankan tugasnya
lebih hati-hati dan mematuhi etika atau standar profesinya. Selain itu, penyuluhan hukum
pun perlu diikuti supaya lebih memahami dan mengerti hukum. Peran lembaga
pengawasan terhadap pelanggaran kode etik perlu ditingkatkan dan diharapkan bertindak
secara objektif.

2.

Bagi aparat penegak hukum, baik Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim diharapkan
proaktif dan jeli dalam melihat indikasi-indikasi medis. Penyuluhan tentang kesehatan
pun perlu diikuti supaya dapat menambah pengetahuan dan terdapat pandangan yang

37

sama dalam menegakkan kasus malpraktek, agar tercipta kepastian hukum dan keadilan
di masing-masing pihak.
3.

Bagi pasien, diharapkan dapat mengikuti berbagai penyuluhan hukum dan kesehatan
supaya menambah pengetahuannya dan lebih bisa memahami hak dan kewajibannya.
Masyarakat pun harus aktif dalam membantu aparat penegak hukum, seperti dengan
memberi dukungan kepada pasien yang mengalami perlakuan yang kurang pantas supaya
penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA

38

Buku/Literatur
Dahlan, Sofwan. 2000. Hukum Kesehatan. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro
Elvandari, Siska. 2015. Hukum Penyelesaian Sengketa Medis. Jogjakarta: Thafamedia
Gautama, Sudargo. 1973. Pengertian Tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni
Guwandi. 1991. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Guwandi. 1992. Rahasia Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Guwandi. 2005. Hukum Medik (Medical Law). 2005. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Helmi, Ari Yunanto. 2010. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Jogjakarta : Penerbit Andi
Hendrojono, Soewono. 2005. Perlindungan Hak-hak Pasien Dalam Transaksi Terapeutik,
Suatu Tinjauan Yuridis Setelah Berlakunya Undang-undang Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Surabaya: Srikandi
IDI Wilayah Jawa Tengah. 2006. Pencegahan dan Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik.
Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro
Idries, Abdul Muim dan Agung Legowo Tjiptomartono. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto
Kode Etik Kedokteran Indonesia. 2004. Jakarta : Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia
Komalawati, Veronika. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Kurnia, Titon Slamet. 2014. Interpretasi Hak-hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (The Jimly Court 2003-2008). Bandung: CV.Mandar Maju
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Kencana
Mertokusumo, Sudikno. 2008. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Jogjakarta: Liberty
Mertokusumo, Sudikno. 2011. Teori Hukum. Jogjakarta : Universitas Atma Jaya
Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhtaj, Mahda El. 2015. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta : Kencana
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta :Ghalia Pustaka
Program Studi Magister Hukum-Unika Soegijapranata. 2005. Petunjuk Penulisan Usulan
Penelitian dan Tesis

39

Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Pustaka
Sugiharti, Rahma. 2014. Perkembangan Masyarakat Informasi dan Teori Sosial Kontemporer.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. 2011. Bandung: Alfabeta
Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum . Bandung: Citra Aditya Bakti
Wiratman, Herlambang Perdana. 2009. Kebebasan Berkspresi, Penelusuran Pemikiran dalam
Konstitusi Indonesia. Jurnal Konstitusi. Volume 8 Nomor 1
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945
Deklarasi HAM Universal PBB tahun 1948
Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-undang No 44 tahun 2004 tentang Rumah Sakit
Undang-undang No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Rahasia Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Rahasia Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan No 36 tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran
Internet
http://dunia.tempo.co/read/news/2014/12/26/118631033/berfoto-selfie-saat-operasi-dokterbedah-dipecah, diakses pada tanggal 10 November 2015
http://www.tribunnews.com/internasional/2015/08/25/dokter-dikecam-lantaran-selfie-sambilpegang-kemaluan-pasien, diakses pada tanggal 10 November 2015
http://www.makassar.tribunnews.com/2015/10/26/selfie-dekat-pasien-operasi-3-perawatrsud-bulukumba-disanksi, diakses pada tanggal 10 November 2015
http://www.regional.kompas.com/read/2015/10/21/20414381/Saat.Tangani.Korban.Pembacok
an.Dokterdan.Perawat.Malah.Selfie, diakses pada tanggal 10 November 2015

Anda mungkin juga menyukai