Anda di halaman 1dari 29

Pelestarian Bangunan Kuno

Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa

Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Oleh

Antariksa

Disampaikan pada Rapat Terbuka


Senat Universitas Brawijaya
Malang, 3 Desember 2007

Yang terhormat,
-

Bapak Rektor/Ketua Senat Universitas Brawijaya


Para Guru Besar dan Anggota Senat Universitas Brawijaya
Para Pimpinan Universitas, Fakultas, Jurusan dan Lembaga di Lingkungan
Universitas Brawijaya
Para sejawat dosen dan Civitas Akademika Universitas Brawijaya, khususnya sejawat
dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Para tamu undangan, hadirin, sahabat, saudara yang kami muliakan.

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarrohkatuh


Alhamdulillah, sambil mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, perkenankanlah
saya menyampaikan pidato ilmiah pengukuhan Guru Besar dalam rapat terbuka senat
Universitas Brawijaya ini. Dalam kesempatan yang berbahagia ini, judul pidato yang ingin
saya bawakan adalah:
Pelestarian Bangunan Kuno
Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa

Judul di atas saya pilih karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama,
kawasan bersejarah yang memiliki karakter lokal, unik, seperti terdapatnya bangunanbangunan bersejarah perlu pemahaman historis dan arsitekturnya. Kedua, agar makna kultural
yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa
kini, dan masa mendatang akan dapat terpelihara. Ketiga, bahwa kawasan bersejarah
memiliki peran pertumbuhan kota yang terbentuk oleh suatu peradaban budaya.

Hadirin yang saya hormati,


Pelestarian dalam bangunan maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya
tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya satu bangunan kuno-bersejarah pada suatu
kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu.
Seorang ahli hukum dari Universitas Kopenhagen, Denmark, JJA Worsaae pada abad ke-19
mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa
mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang
dilaluinya. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh filosuf Aguste Comte dengan Savoir
Pour Prevoir, yang diartikan sebagai mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk
menentukan masa depan. Melihat hal tersebut, maka masa lalu yang diungkapkan dengan
keberadaan fisik dari bangunan kuno-bersejarah akan ikut menentukan dan memberikan
identitas yang khas bagi suatu kawasan perkotaan di masa mendatang.
Kenyataannya arsitektur merupakan wakil dari citra kebudayaan dalam suatu komunitas
satu bangsa. Merupakan bagian dari sejarah dan tradisi yang telah berlangsung di tempat
mereka berada. Kurokawa (1988), mengatakan bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai
sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti, bentuk arsitektur,
elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah
2

sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan,
dan pola kehidupan.
Kehidupan merupakan bagian dari identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan
sosial. Maka, identitas dapat dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas
dapat semata bertransformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang
terjadi pada lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha pelestarian yang
layak sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita dengan
masa lalu.
Dengan demikian, menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan
menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan
hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya
telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya
(Sidharta & Budhiardjo, 1989). Hal yang sama juga ditegaskan oleh Rapoport (1990), bahwa
budaya sebagai suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga.
Kebudayaan ini akan terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (value), gaya
hidup (life style) dan akhirnya aktifitas (activities) yang bersifat konkrit.
Sebagai sesuatu yang berdiri di tengah perubahan yang terus berlangsung, tentu saja
bangunan kuno-bersejarah tak bisa terhindar dari tumbuhnya banguan baru di kawasannya.
Masalahnya sekarang adalah, bagaimana sebaiknya menempatkan bangunan baru di kawasan
bersejarah agar di antara bangunan lama dan baru ada persesuaian? Dengan demikian, tujuan
konservasi tidak semata untuk meningkatkan mutu kawasan kota secara fisik saja, tetapi juga
untuk menjaga stabilitas perkembangan kawasan atau bangunan itu sendiri.
Namun ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan untuk menjawab semua
permasalahan dalam pelestarian, yaitu (Raj Ishar, 1986): (1) Apa yang ingin kita konservasi?
Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?; (2) Mengapa kita ingin mengkonservasi? Karena
aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk meningkatkan lingkungan
dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?; dan (3) Untuk siapa kita lakukan
konservasi? Pengguna saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?.

Pengertian Konservasi dan Preservasi


Hadirin yang saya muliakan,
Istilah konservasi sedikit telah mengalami perubahan, kemudian muncul dengan
istilah baru, yaitu bangunan kuno-bersejarah. Istilah konservasi dan preservasi itu sendiri,
telah digunakan dengan berbagai macam pengertian. Preservation (preservasi), adalah sejenis
campur tangan (intervensi) yang mempunyai tujuan untuk melindungi dan juga memperbaiki
bangunan bersejarah, dan pada umumnya kata preservation banyak digunakan di Amerika
(USA). Conservation (konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin
secara utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan
tradisional, atau dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis, sedangkan
kata conservation lebih banyak digunakan di UK dan Australia (Larsen, 1994).
Pendapat lain mengenai preservasi adalah, upaya preservasi sesuatu tempat persis
seperti keadaan aslinya tanpa adanya perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran,
sedangkan konservasi, adalah upaya untuk mengkonservasi bangunan, mengefisienkan
penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dalam Piagam Burra,
pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi

dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi
dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996).
Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari
konsep pelestarian yang bersifat statis, yaitu bangunan yang menjadi objek pelestarian
dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Konsep yang statis tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan lebih luas.
Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga
karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas
merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau
bangunan bersejarah.
Sebenarnya, istilah bangunan kuno telah digunakan dalam arti yang luas untuk
menunjukkan bangunan-bangunan baik objek tidak bergerak, permukiman, area bersejarah,
artistik, arsitektur, sosial, budaya maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan
bangunan kuno, menunjukkan adanya variasi dari aktivitas yang terlibat di dalamnya,
sebagai contoh, restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi. Dengan
demikian, konservasi dalam lingkup bangunan dan perkotaan, adalah semua proses untuk
memelihara bangunan atau kawasan sedemikian rupa, sehingga makna kultural yang berupa
nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan
masa mendatang akan dapat terpelihara.
Bangunan kuno sebagai salah satu warisan budaya secara jelas merumuskan tujuan
pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan dengan kalimat memayu hayuning bawana.
Artinya adalah, menjaga atau melindungi keselamatan dunia dalam melestarikan warisan
budaya. Hal ini dipertegas lagi oleh para leluhur-leluhur kita, seperti diungkapkan,
wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsi binabad, becik den
mulyakna kadya wujude hawangun, artinya bangunan dengan umur yang lebih dari 50 tahun
merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan sebagai penelitian, menambah
pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta bermanfaat sebagai tuntutan hidup
(Yosodipuro, 1994). Hal senada juga diungkapkan pula oleh leluhur kita dalam sebuah petuah
bijak Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad, artinya kalau sudah melewati
separuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan.

Sejarah Perkembangan Badan Internasional untuk Pelestarian


Hadirin yang saya muliakan,
Ada beberapa aspek penting dalam konservasi yang seharusnya perlu diketahui dengan
munculnya beberapa badan internasional. Sebenarnya peraturan untuk perlindungan
bangunan dan benda kuno telah dimulai sejak abad ke-15 di Italy. Pada tahun 1700 konsep
pelestarian pertama kali dirintis oleh seorang arsitek dari Inggris, yaitu Vanberg. Kemudian
pada abad ke-19 beberapa negara mulai membuat peraturan perundangan, dan melakukan
langkah-langkah administrasi untuk melindungi warisan budayanya (cultural heritage).
Seperti, Church State (1802), Yunani (1834), Prancis (1869), Inggris 1882), dan Jepang
(1897).
Ada beberapa kegiatan dan pertemuan internasional, antara lain tahun 1899, Jerman
mengorganisasi beberapa negara membahas mengenai pelestarian dan sejarah. Kemudian
pada tahun 1904, International Union of Architects mengadakan pertemuan di Madrid
mempublikasikan sebuah deklarasi mengenai restorasi bangunan-bangunan bersejarah, dan
lebih ditekankan pada pelatihan-pelatihan. Pada tahun 1930, IMO (International Museum

Office) mengadakan pertemuan internasional di Roma, mendiskusikan mengenai konservasi


dan manajemen dari museum-museum beserta koleksi-koleksinya. Tahun 1931, pertemuan di
Athena membahas mengenai perlindungan dan restorasi bangunan-bangunan bersejarah.
Diutamakan untuk perlindungan (protection) dan restorasi (restoration) dari bangunanbangunan bersejarah sebagai persiapan deklarasi internasional mengenai kebijakan
pelestarian.
Pada akhir perang dunia ke-2 tahun 1945, League of Nation (perhimpunan bangsabangsa) direformasi menjadi United Nation, kemudian International Institute of Co-operation
menjadi UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), dan
International Museum Office menjadi ICOM (International Council on Museum).
Pada tahun 1956, UNESCO melahirkan pusat studi internasional untuk konservasi dan
restorasi cagar budaya, yang sekarang dinamakan ICCROM. Kemudian pada tahun 1965,
diselenggarakan sebuah konferensi yang tujuannya untuk mendirikan International Council
on Monuments and Sites, ICOMOS. Organisasi-organisasi tersebut akhirnya melebur menjadi
empat badan (lembaga) penting dan tersebar diseluruh dunia, dan hanya berhubungan dengan
permasalahan pelestarian warisan budaya. UNESCO dan ICCROM menjadi organisasi antarpemerintah (dan kebijakan-kebijakannya diputuskan oleh para anggotanya), ICOM dan
ICOMOS menjadi organisasi non-pemerintah (yang anggotanya adalah individu atau
organisasi).
Pertemuan di Venice (1964), merupakan konggres internasional ke-2 para arsitek dan
teknisi untuk bangunan-bangunan bersejarah yang menghasilkan sebuah dokumen diberi
nama Venice Charte. Isi dari dokumen tersebut adalah petunjuk dasar mengenai konservasi.
Meskipun di Eropa waktu itu Venice Charte masih menjadi perdebatan dalam kaitannya
dengan pendekatan pelestarian untuk warisan budaya. Perbedaan pendapat yang terjadi
sebenarnya dapat dilihat melalui dua tahapan wilayah, yang dicirikan oleh Jokilehto (1995)
sebagai: 1) pergerakan konservasi, ide-ide yang berkembang pada akhir abad ke-19, hanya
menekankan keaslian bahan dan nilai dokumentasi; dan 2) teori konservasi modern,
didasarkan pada penilaian kritis pada bangunan kuno-bersejarag yang berhubungan dengan
keaslian, keindahan, sejarah, dan penggunaan nilai-nilai lainnya. Di samping itu, terdapat dua
macam gerakan pelestarian, yaitu gerakan pelestarian kebendaan yang umumnya dilakukan
oleh para arsitek, pakar sejarah arsitektur, perencana kota, pakar geologi dan jurnalis. Kedua,
adalah gerakan pelestarian kemasyarakatan, yaitu gerakan pelestarian yang melibatkan para
pakar ilmu sosial, arsitek, pekerja sosial, kelompok swadaya masyarakat, bahkan tokoh
politik.
Pada tahun 1976, ICOMOS Australia memulai untuk meninjau kembali kegunaan
Venice Charte. Pertemuan tersebut mengambil tempat di dekat kota pertambangan Burra di
Australia bagian selatan. Hasil dari pertemuan tersebut diberi nama Burra Charter (Piagam
Burra). Secara umum mereka dapat menerima konsep dari Venice Charte, hanya dalam
bentuk penulisannya dibuat sedemikian rupa, agar dapat digunakan dan dipraktekkan di
Australia. (Marquis-Kyle & Walker, 1996)
Di Indonesia upaya pelestarian terhadap warisan budaya sebenarnya telah dimulai sejak
masa kolonial. Untuk pertama kalinya dibentuk komite khusus pada tahun 1822 sebagai
lembaga pemerintah. Dengan tujuan mengeksplorasi sumber daya budaya Indonesia untuk
meningkatkan citra Belanda di luar negeri. Peran negara tersebut menjadi semakin kuat
dengan ditetapkannya Monumenten Ordonantie, Staatsblad 238/1931, atau dikenal dengan
MO 1931. Secara tegas gedung-gedung yang termasuk cagar budaya tidak boleh dibongkar
atau diubah bentuknya, baik living monument (keraton, rumah adat, bangunan bersejarah)
maupun dead monument (candi-candi).

Kemudian dalam perjalanan sebagai pengganti MO 1931 di atas, Pemerintah Indonesia


juga telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya. Di dalamnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya,
adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50
(lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya yang
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Tunggul, 1997).
Undang-undang di atas dipertegas lagi dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia
yang dicetuskan oleh Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, yang bertekad untuk
bersama-sama melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa Warsa Pelestarian Pusaka
Indonesia 2004-2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai berikut:
1. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam
adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan
karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendirisendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain
sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan
pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu;
2. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud;
3. Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai
landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan,
karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam
keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk
pusaka masa mendatang; dan
4. Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan,
perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan, dan/atau pengembangan secara
selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam
menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.

Beberapa Kasus dalam Pelestarian


Hadirin yang saya hormati,
Di tahun 1970-an di negara-negara Barat ada semacam tren melakukan penggusuran
bangunan-bangunan tua untuk memberikan ruang bagi bangunan-bangunan baru. Belakangan
tindakan itu diratapi banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka menyebutnya sebagai
architecture suicide, bunuh diri arsitektural. Disebut begitu karena justru pemerintah
merekalah yang menghancurkan arsitektur-arsitektur tua dan bersejarah yang seharusnya
dilindungi.
Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam perkembangan kota modern adalah,
hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan oleh bangunan-bangunan bergaya
internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus dan tak berjiwa. Karena itulah
warisan budaya menjadi penting mengingat gencarnya kegiatan modernisasi dan globalisasi
kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama
disetiap kota.
Kegiatan pelestarian bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Kinerja kegiatan
pelestarian sering mengalami benturan dengan kepentingan pembangunan, sehingga
pelestarian bangunan dan kawasan dianggap sebagai penghalang pembangunan yang
mengakibatkan timbulnya pertentangan-pertentangan dalam pelestarian.
6

Permasalahan pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan


bangunan-lingkungan kuno/kawasan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan
bangunan-lingkungan/kawasan modern. Di sisi lain masih banyak ditemukan adanya upaya
pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu
sendiri. Pelestarian juga harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena
pelestarian harus dianggap sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan
budaya itu sendiri. Selain itu, permasalahan pelestarian secara makro terdiri dari aspek
ekonomi, sosial, dan fisik, sedangkan permasalahan mikro pelestarian berkaitan dengan
sistem pengelolaan warisan budaya yang terdiri dari aspek legal, sistem administrasi, piranti
perencanaan, kuantitas dan kualitas tenaga pengelola, serta pendanaan.
Keprihatinannya dalam bidang arsitektur dan perkotaan di Indonesia dikemukakan oleh
Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota di Indonesia saat ini banyak yang menderita
sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka
disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaan arsitektur dan kota yang dikerjakan tidak
atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi
yang bermotif komersial, sehingga menghasilkan karya berkualitas rendah.
Satu peristiwa yang menarik perhatian banyak orang pada tahun 1991 adalah, adanya
rangkaian aksi protes yang dilakukan oleh para seniman dan budayawan dengan rencana akan
dibongkarnya Gedung Senisono di Yogyakarta. Para seniman dan budayawan bermaksud
ingin mempertahankan gedung tersebut, karena dikatakan secara ilmiah pun gedung itu
memang mempunyai arti sejarah, bahkan di tempat inilah Konggres Pemuda I, tahun 1945
berlangsung (TEMPO, 11 Mei 1991). Kemudian disusul dengan kejadian di Keraton
Surakarta, para puteri Keraton Kasunanan Surakarta melancarkan protes mogok makan
dengan akan dibangunnya sebuah hotel baru di dalam kawasan keraton yang kabarnya akan
merobohkan Bangsal Keputren (TEMPO, 29 Agustus 1992). Masalah tersebut berlanjut
dengan munculnya para mahasiswa yang membentuk aksi solidaritas untuk melestarikan
budaya setempat dengan dirobohkannya sebagian dari bangunan di kawasan keraton tersebut
(TEMPO, 10 Oktober 1992).
Lain di Indonesia lain pula yang terjadi di Kota Kyoto. Warga Kota Kyoto dan
organisasi keagamaan menolak rencana pemilik Kyoto Hotel menaikkan ketinggian bangunan
dari 31 meter (8 lantai) menjadi 60 meter (16 lantai). Hal itu dilakukan, karena akan merusak
lansekap dan peninggalan sejarah kota tersebut. Bahkan dua kuil besar di kota Kyoto, yaitu
kuil Kinkaku-ji dan kuil Kiyomizudera memasang papan pengumuman di depan pintu masuk
ke kuil tersebut. Isi dari pengumuman adalah, menolak para wisatawan yang menginap di
Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang mempunyai afiliasi untuk mengunjungi kedua kuil
tersebut. Selain itu, pada kuil-kuil yang lain, dipasang papan-papan pengumuman yang
bertuliskan: kita menolak bangunan tinggi yang akan menghancurkan sejarah dan lansekap
Kota Kyoto. Perlu diketahui, sejak dulu bangunan-bangunan yang terdapat di pusat Kota
Kyoto ketinggianya dibatasi, yaitu 45 meter (The Japan Times, December 2, 1992). Masih di
Jepang, di Kota Hiroshima sebuah kelompok yang terdiri dari 15 organisasi mengusulkan
untuk mengubah perundangan agar Atomic Bomb Dome direkomendasikan dan didaftarkan
ke United Nation sebagai salah satu warisan sejarah dunia (world heritage). Sebaliknya, di
akhir tahun 50-an beberapa penduduk Hiroshima justru mendukung penghancuran bangunan
tersebut untuk memindahkan kenangan dari perang dunia. Namun akhirnya, pemerintah kota
tetap memberikan pendanaan untuk pemeliharaan bangunan tersebut. (The Daily Yomiuri
January 29,1994)
Pada tahun 1995, untuk memperingati akhir perang dunia ke-2 Pemerintah Korea
Selatan memulai dengan penghancuran simbol kekuasaan pemerintahan kolonial Jepang,
yang dibangun tahun 1926. Sebuah penderek raksasa menarik dan melepas ujung dome

bagian atap bangunan yang terbuat dari batu granit. Bangunan itu terletak di bagian tengah
dari istana dinasti Yi, yang ditaklukkan oleh pemerintah Jepang di tahun 1910. Pada
kesempatan itu Presiden Kim Young Sam mengatakan, hanya dengan membuka bagian atap
dari bangunan ini, kita dapat dengan sungguh-sungguh mengembalikan wujud dari istana
Kyongbokkung, hal ini merupakan simbol kekuasaan yang sangat penting dalam sejarah
nasional kita. (The Daily Yomiuri August 16, 1995)
Sebenarnya yang paling menarik adalah munculnya protes dari masyarakat setempat
yang ingin mempertahankan warisan budayanya. Sebuah protes yang dilakukan warga
masyarakat sudah menjadi satu kesadaran, bahwa masyarakat telah ikut membuat satu
lompatan dalam membantu kelancaran proses pelestarian bangunan kuno dan kawasan
bersejarah.
Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota hendaknya dipertimbangkan
masak-masak, karena setiap kota mempunyai budaya dan sejarah yang mungkin berbeda
dengan kota-kota lainnya. Demikian juga, kalau kita bandingkan dengan beberapa kota-kota
di negara Asia lainnya mempunyai sejarah dan warisan budaya yang sangat panjang.
Penghuni dari masing-masing kota tersebut hidup dengan masa lalu dan masa sekarang,
sekaligus fisik dan spiritualnya. Adalah benar bahwa sistem tradisi di Asia didapati sangat
berat untuk menghadapi tantangan dari dunia Barat. Pertanyaan yang paling sukar adalah
bagaimana untuk menetapkan nilai tradisi yang harus dimodifikasi tanpa menghilangkan
identitas kebudayaan individu di dalam proses modernisasi.

Permasalahan Pelestarian dan Wisatawan


Hadirin yang saya hormati,
Keselamatan bangunan kuno tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja,
tetapi para wisatawan pun yang mengunjungi tempat ataupun bangunan bersejarah juga ikut
bertanggung jawab. Julius John Norwich mengatakan, bahwa polusi dari wisatawan tidak
hanya akan menghancurkan bangunan bersejarah saja, tetapi menghancurkan seluruh atmosfir
dari bangunan itu (Architecture Record, 3/1991) Sebagai contoh, jika anda berkunjung ke
Westminster Abbey tiga hari sebelum perayaan Natal akan terlihat seperti department store,
dan atmosfir kekhidmatan dari bangunan itu menjadi hilang.
Kota Venice di Italy, yang pada suatu hari di tahun 1987 kedatangan luapan wisatawan
sebanyak 66.000 ribu orang, sehingga merusak infra struktur kota tersebut, dan akhirnya
penguasa setempat menutup jalan yang menghubungkan kota Venice dengan tanah daratan.
Di Vatican, banyak wisatawan yang memadati Sistine Chapel selama kegiatan sehari-hari dan
menyebabkan suhu temperatur naik mencapai 41 derajat. Naiknya suhu tersebut
menyebabkan uap udara naik sampai ke langit-langit bangunan dan akibatnya memproduksi
fungus (jamur).
Demikian juga lukisan dalam gua di Lascaux, Prancis juga ditutup untuk para
wisatawan dengan alasan yang sama. Atau ruangan besar sebelah selatan dari Canterbury
Cathedral, sekarang lebih rendah 1.5 inchi dari dua puluh tahun yang lalu, akibat dari pijakan
kaki para wisatawan setiap harinya.
Menurut World Tourism Organization yang berpusat di Madrid menjelaskan, bahwa
industri wisata di dunia meluas sekitar empat persen per tahunnya. Prancis, adalah merupakan
tempat tujuan dari para wisatawan yang setahunnya menarik sekitar 60 juta pengunjung.
Menurut WTO jumlah pelancong yang bepergian ke luar negeri mencapai 528 juta orang,
sedangkan prediksi yang dilakukan oleh organisasi tersebut untuk tahun 2004 yang lalu saja,

jumlahnya telah mencapai 937 juta orang. Beberapa tempat wisata terkenal telah menjadi
melimpah jumlahnya, dan pada tahun 1995 WTO telah menyelenggarakan konferensi
internasional di San Marino membahas masalah bagaimana caranya mengurangi jumlah dari
3.4 trilyun dolar industri wisata per tahunnya (Stanger, 1995).
Beberapa cara pun telah dilakukan, seperti pada Montmartres Sacr-Coeur Basilica di
Athena, yang akan mengambil langkah untuk mengurangi jumlah wisatawan. Contoh lain
yang menarik, adalah kota tua Salsburg yang melarang bus-bus besar yang membawa
wisatawan untuk masuk ke pusat jantung kota. Atau para kurator di Giverny di bagian utara
Prancis menolak kunjungan wisatawan dalam jumlah besar pada saat bunga-bunga di taman
kota tersebut berkembang.

Kebijakan dalam Pelestarian


Hadirin yang saya hormati,
Pada tingkat kebijakan (politik), selalu terdapat konflik terbuka yang objektif antara
kepentingan pusat dan daerah. Seorang penentu kebijakan mungkin melihat bangunan kunobersejarah sebagai masalah dalam mengembangkan pusat kotanya. Di samping itu,
kepentingan pusat (nasional) mengakui bahwa bangunan kuno-bersejarah maupun kawasan
bersejarah sebagai salah satu contoh warisan budaya (cultural heritage) yang perlu untuk
dipertahankan. Demikian juga bagi pemilik bangunan kuno-bersejarah, tidak pernah
memahami bahwa bangunannya itu dapat memberikan aset.
Perseteruan antara tujuan pelestarian perkotaan dan hasrat modernisasi telah menjadi
masalah serius, dan berakibat pada sisa-sisa warisan budaya yang semakin berkurang,
terutama di kawasan kota. Dalam tingkat pelaksanaan, sebaiknya penentu kebijakan
(pemerintah kota) dan perencana kota dapat bekerjasama untuk menata kawasan dengan
menggunakan peraturan tanpa menghadirkan permasalahan baru.
Isu kebijakan yang paling utama adalah, apakah konservasi fisik itu selalu mempunyai
manfaat? Apakah konservasi sosial itu mempunyai tujuan untuk memelihara masyarakat yang
ada?, dan harus dijadikan prioritas. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
menangani masalah konservasi antara lain: (1) Teknik konservasi, banyak teknik-teknik yang
digunakan dalam menangani konservasi bangunan maupun kawasan dari berbagai negara
telah dipublikasikan dan disajikan dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik dalam konsep
maupun teknis pelaksanaannya, namun belum sepenuhnya dapat diadaptasi dan
dikembangkan dengan baik; (2) Peraturan pemerintah daerah setempat, masih banyak
peraturan-peraturan yang belum banyak dipublikasikan kepada masyarakat, terutama yang
berkaitan dengan konservasi bangunan kuno-bersejarah maupun kawasan, sehingga banyak
bangunan-bangunan kuno yang dirobohkan atau dihancurkan untuk kemudian diganti dengan
bangunan-bangunan baru: (3) Peraturan perundangan Benda Cagar Budaya (Undang-Undang
No 5 Tahun 1992) masih terlihat tumpang-tindih dengan peraturan daerah, khususnya dalam
melindungi masing-masing bangunan kuno maupun kawasan bersejarah untuk tiap daerah,
baik mengenai usia bangunan, style, ornamen, bahan, dan lain sebagainya.

Konsep dan Pendekatan dalam Pelestarian


Hadirin yang saya hormati,
Sebagai konsep pengembangan, bangunan kuno-bersejarag tidak hanya
mempertimbangkan pada kawasan sekitarnya saja, tetapi merupakan suatu bagian dari seluruh

kompleks bangunan atau permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan konsep
fisik untuk warisan arsitektur.
Mengacu dari beberapa hasil pertemuan internasional dapat digunakan sebagai bahan
acuan untuk pelaksanaan pelestarian di Indonesia. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menangani pelestarian antara lain adalah, keinginan untuk menyusun kembali bangunan
dengan alasan kesatuan arsitektural dan seni yang berhubungan dengan kriteria-kriteria
sejarah dan dapat diputuskan apabila berdasarkan data-data yang dapat diandalakan, dan
bukan suatu anggapan (Carta del Restauro Italiana 1931, 2). Semua elemen-elemen yang
mempunyai nilai sejarah dan artistik harus dilestarikan, dan mengembalikan ke bentuk
aslinya tanpa memasukkan elemen-elemen baru (Carta del Restauro Italiana 1931, 5) (Eder,
1986).
Merekomendasikan bahwa pendidik harus mendorong anak-anak dan kaum muda untuk
meninggalkan diri merusak bangunan kuno, dan bahwa mereka harus dididik untuk lebih
tertarik dalam perlindungan bukti-bukti nyata dari seluruh peradaban (The role of education
in the respect of monuments: Conclusion of the Athens Conference, 21-30 October 1931, VII.
b). Perlu mempertimbangkan agar institusi-institusi dan asosiasi-asosiasi diberikan
kesempatan untuk meleburkan keinginannya ke dalam pekerjaan konservasi (The
conservation of monuments and international collaboration: Conclusion of the Athens
Conference, 21-30 October 1931) (Eder, 1986).
Konservasi dan restorasi dari bangunan kuno harus mempunyai pernaungan bagi segala
ilmu dan teknik yang dapat disumbangkan untuk studi dan perlindungan warisan arsitektur
(Article 2. Definitions: Venice Charter 1964, ICOMOS). Kemudian untuk pelestarian dan
pengungkapan nilai sejarah dan keindahan dari bangunan kuno harus berdasar atas bahan dan
dokumen yang asli. Untuk beberapa kasus restorasi harus didahului dan diikuti dengan studi
arkeologi dan sejarah (Article 9. Restoration: Venice Charter 1964, ICOMOS) (Eder, 1986).
Program preservasi juga pernah dilakukan oleh pemerintah Amerika, yang dipelopori
oleh senator Wyche Fowler dengan National Historic Amandment Actnya. Mempunyai
tujuan untuk memperkuat program pendidikan preservasi dan apresiasi serta teknik restorasi,
dan membentuk sebuah badan yang diberi nama National Center for Preservation
Technology sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri. Program ini diharapkan dapat
mempertegas kembali kewenangan pemerintah federal dalam mempreservasi bangunan;
mempertegas pemerintah di dalam perlindungan hak milik bersejarah; menambah program
untuk menyelamatkan arkeologi; dan membuat peraturan preservasi secara nasional guna
penyelamatan bangunan bersejarah (Architectural Record, 3/1991).
Kiranya perlu dipahami dan diikuti, bahwa perkembangan peraturan pelestarian sudah
beranjak dari sekitar pelestarian bangunan, benda-benda bersejarah atau kawasan saja. Akan
tetapi, mencakup suatu kawasan kota yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilestarikan.
Nampaknya, perlu juga dikembangkan dengan lebih luas lagi melalui intangible cultural
properties. Seperti, pelestarian seni tradisional (tarian, musik dan teater) serta kerajinan
(tenun, keramik, perak, dan sebagainya), yang mempunyai nilai seni dan sejarah yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah, dengan cara mengembangkan seluruh wilayah
sebagai museum hidup, atau dengan istilah lain disebut ecological museum atau
ecomuseum. Diwujudkan melalui tiga elemen, yaitu warisan, partisipasi, dan museum,
ketiga hal itu harus seimbang. Untuk warisan akan mewakili alam dan budaya, serta industri
tradisionil pada wilayah yang telah diberikan. Kemudian, demi masa depan mereka perlu
adanya partisipasi dari penduduk setempat dalam operasional dan manejemennya. Terakhir,
adalah museum itu sendiri, dapat dipakai sebagai fungsi dari pelestarian alam dengan tradisitradisinya yang dapat ditampilkan sebagai sebuah wilayah yang dilestarikan (Ohara, 1998).

10

Pelestarian yang Terintegrasi


Hadirin yang saya muliakan,
Perencanaan pelestarian yang terintegrasi harus diprogramkan sebagai proses yang
secara fundamental berdasar pada pengertian dan kejelasan dari nilai kehidupan dalam
komunitas perkotaan. Solusinya harus diformulasikan berdasar pada kelangsungan hidup
mereka, dan kemungkinan implementasinya. Usulan harus jelas dalam waktu, mengakar pada
budaya, ekonomi, dan struktur politik dari masyarakat perkotaan. Di samping itu, proses
perencanaan pelestarian mempunyai beberapa fase, di antaranya adalah (Zancheti &
Jokilehto, 19??): a) analisa dan penilaian; b) persiapan dari alternatif solusinya; c) negosiasi
dan implementasi; serta d) monitoring dan kontrol.
Kemudian ada tujuh prinsip dalam konservasi perkotaan yang berkelanjutan di
antaranya:
1. merupakan sebuah proses bukan sebuah projek;
2. konservasi membutuhkan keseimbangan dalam pengembangan dan kebutuhan
penghuni;
3. merupakan gabungan jangka-panjang yang berkelanjutan: sosial (= penghuni);
ekonomi (= skala-kecil perusahaan setempat); budaya (= konservasi); dan ekologi (=
sumber daya alamkesadaran)
4. lingkungan hidup harus ditingkatkan melalui pro-aktif dan program yang mendukung;
5. perbaikan keadaan ekonomi penghuni merupakan bagian dari pendekatan;
6. dibutuhkan partisipasi yang luas dari stakeholders termasuk komunitas setempat; dan
7. pengembangan projek skala besar harus dihindari.
Kenyataannya, semua akan tergantung pada keistimewaan dari masing-masing kawasan
perkotaan. Pemerintah daerah, pedagang, pengembang, kalangan atas, golongan menengah,
pekerja dan kaum miskin, berlomba untuk mencari tempat atau lahan kosong, atau berpindah
untuk mencarai kawasan yang hijau. Pedagang menginginkan modernisasi, bangunan mewah,
efisiensi, dan adanya pencapaian yang baik ke suatu kawasan; pemuda, golongan atas dan
menengah serta anak-anak, ingin tinggal di tempat mereka dapat melakukan aktifitasnya;
pihak pemerintah kota, menginginkan untuk menarik pajak berdasarkan tempat mereka
berada; wisatawan menginginkan kebersihan dari kawasan bersejarah dan hotel-hotel yang
menyenangkan.
Penggabungan antara kelompok yang berbeda sangat tergantung pada isu dan keadaan
di antaranya adalah:
(1)
Dalam beberapa kasus dewan kota dan badan pengembangan masyarakat,
mempunyai pekerjaan mempromosikan dana untuk pengembangan kawasan bersejarah di
kota-kota, dan juga pada kelompok masyarakat miskin;
(2)
Kepentingan dari pedagang, pengembang rumah mewah dan pemilik tanah
yang saling berkompetisi, seharusnya mereka membentuk koalisi yang terbuka;
(3)
Para pemerhati konservasi dan kelompok masyarakat, sambil mengikuti
tujuan-tjuan yang berbeda, sewaktu-waktu dapat saling dikombinasikan untuk pengembangan
kawasan bersejarah; dan
(4)
Para akademisi dan pengelola cagar budaya harus dapat mengintegrasikan
antara perundangan cagar budaya dan kajian ilmiah untuk konservasi bangunan maupun
kawasan.
Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan merupakan pertimbangan dari tinjauan
sisi sejarah arsitektur maupun perkotaan. Konsep pelestarian dapat dipertanggung-jawabkan
secara akademis, dan dapat memberikan sumbangan pada pengelola cagar budaya dalam

11

memutuskan atau menentukan bangunan maupun kawasan bersejarah sebagai tempat yang
dilindungi dan dilestarikan.
Untuk itu, perlu diambil sikap yang bijaksana dalam memilih mana warisan budaya
yang perlu dilindungi dan mana yang tidak, sehingga tidak mempunyai kesan bahwa langkah
pelestarian ini hanya membabibuta dan tidak efisien. Hal di atas, sudah sesuai dengan apa
yang dijelasankan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah pada Bab X
Pasal 92 ayat (1), pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk
menciptakan sinergi pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta. Kemudian pada ayat
(2) ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikut
sertaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemilikan.

Sekilas Sejarah Arsitektur di Indonesia


Hadirin yang saya hormati,
Sejarah arsitektur merupakan identitas budaya suatu suku bangsa, karena di dalamnya
terkandung peri kehidupan yang mengakar pada kepribadian bangsa. Sejarah arsitektur
Indonesia yang berhubungan dengan kebangsaan berjalan dalam lima periode yang panjang,
lahirlah arsitektur candi, arsitektur tradisional, arsitektur Islam, arsitektur kolonial, dan
arsitektur modern. Mereka menampilkan suatu kilasan perbedaan bentuk dan tradisi teknologi
yang mencerminkan keragaman daerah dan kekayaan warisan sejarah.
Arsitektur candi mewakili periode klasik Indonesia sebagai arsitektur masa lalu dengan
bangunan dari batu dan batu bata menanungi lambang dewa-dewa Hindu dan Buda di awal
abad ke-9. Meski agama dan arsitektur India memainkan peran dalam menghias dan bentuk
baru dalam mengungkapkan konsep yang ada sebelumnya, tetapi unsur dasar dari tata
semesta secara nyata menambah konsep prasejarah Indonesia. Selama periode ini, arsitektur
berevolusi sebagai reaksi terhadap perubahan agama, politik, dan kecenderungan umum
manusia dalam menginginkan perubahan gaya. Beberapa bangunan periode ini dianggap
sebagai bagian warisan kebudayaan dunia (Prijotomo, 2002).
Kekayaan seni budaya Nusantara merupakan aset bangsa yang tidak ada duanya di
dunia. Lahirlah arsitektur tradisional merupakan bagian dari kebijakan dan kearifan
pembangunan ruang hidup masyarakat. Keberadaannya lekat dengan hidup keseharian
masyarakat tradisional yang masih menganut tata kehidupan kolektif (Soeroto, 2003).
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, mempunyai kelompok-kelompok suku
yang satu dengan lain sangat berbeda dalam tradisi dan adat membentuk budaya yang khas,
termasuk dalam lingkungan hidup tempat bangunan dan arsitektur di dalamnya (Sumalyo,
2005). Setiap suku bangsa memiliki arsitektur tradisional dan membentuk wilayah budaya
yang bertumpu pada adat istiadat dan kepercayaan yang diyakininya. Arsitektur
Indonesiarumah adat dalam segala bentuk kedaerahannyatermasuk dalam tradisi bangunan
kuno dapat ditemukan di kepulauan Indonesia.
Islam menyebar di Nusantara melalui asimilasi, perdagangan, dan penaklukan secara
militer yang dilakukan mulai abad ke-12 membentuk titik perhatian utama pembaharuan
arsitektur dan pembangunan kota. Dengan pengaruh arsitektur yang perubahannya lebih
bersifat ideologis daripada teknologis, dan kedatangannya ke Indonesia tidak menyebabkan
revolusi dalam gaya bangunan. Kedatangannya memberikan pemahaman terhadap kesesuaian
dan bentuk arsitektur yang sudah ada, diciptakan atau ditafsirkan kembali untuk memenuhi
kebutuhan Islam. Dengan menampilkan bangunan baru, seperti masjid dan makam
melahirkan arsitektur yang digubah ke dalam wajah tradisional. Sebaliknya, arsitektur periode
peralihan (abad ke-14 hingga ke-16) memberikan cerminan gagasan baru dari berbagai

12

sumber, walaupun tetap memelihara nilai mendasar dari arsitektur sebelumnya (Miksic,
2002).
Pada abad ke-16 Belanda memperkenalkan gaya arsitektur mereka ke kawasan
Indonesia, dan selanjutnya banyak unsur arsitektur Eropa masuk ke dalam tradisi arsitektur
setempat. Dengan masuknya kebudayaan Belanda yang membawa ilmu pengetahuan dan
teknologi mengawali perkembangan bentuk arsitektur kolonial di Indonesia. Peletakan
gagasan ini bukan proses satu arah, tetapi orang Belanda memakai unsur arsitektur pribumi
guna menciptakan bentuk arsitektur kolonial yang kemudian dikenal dengan gaya Hindia.
Pada dasawarsa awal abad ke-20 para penganut modernisme Belanda beralih ke gaya
setempat sebagai sumber ilham untuk arsitektur tropik baru yang menggabungkan bentuk
tardisional (Tjahjono & Davinson, 2002). Banyak di antaranya menyesuaikan dengan budaya
dan iklim setempat, karena kepekaan mereka terhadap iklim tropis. Selain memperkenalkan
modernisme, tidak sedikit arsitek kolonial Belanda yang mendalami tardisionalisme
Nusantara (Sumalyo, 2005).
Abad ke-19 merupakan tahun-tahun perubahan yang sangat berarti. Tahun-tahun
tersebut menunjukkan munculnya kesadaran tentang nasionalisme baru dalam perkembangan
gaya arsitektur yang mencerminkan jatidiri budaya bangsa. Muncul adanya dua aliran,
kelompok yang pertama yang menganut prinsip fungsionalis ketat yang sejalan dengan
gerakan modernisme di Eropa. Kelompok kedua, mencoba mengimbangi etos modernis
dengan memasukkan unsur arsitektur asli setempat. Pada dasawarsa 1950-an, ketika
Indonesia baru merdeka perasaan dalam dunia arsitektur ditunjukkan dengan menerima
segala unsur modernisme yang menonjolkan paham internasionalisme pada saat itu.
Kemudian arsitek Indonesia mulai berpaling ke gagasan modernisme yang berlanjut hingga
tahun 1970-an dan 1980-an. Dengan kemajuan teknologi dan modernisasi menyebabkan
perkembangan arsitektur semakin kompleks bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang cepat menghasilkan pembangunan besar-besaran disemua tingkat. Mulai dari
perumahan sederhana sampai ke pabrik, bandar udara, pusat perdagangan, dan bangunan
tinggi. Kemudian pascamodernisme telah mendorong pencarian arsitektur baru, sehingga
kini arsitek Indonesia menjelajahi kekayaan warisan arsitektur mereka dengan tujuan
mengembangkan alternatif yang pasti terhadap maraknya gaya modernisme. Dasawarsa
terakhir abad ini kita saksikan perkembangan pesat dari pemikiran dan pendekatan baru yang
berpengaruh dalam memperkaya dunia arsitektur melebihi ragam sebelumnya. Dengan
bangunan dan lingkungan yang beragam dari pemikiran yang rasional sampai penggunaan
nilai-nilai setempat dan tradisional dapat memberikan keragaman warisan arsitektur
Indonesia.

Hadirin yang saya muliakan,


Penutup
Pada bagian ini, saya ingin menyampaikan bahwa pekerjaan merancang bangunan atau
merencanakan suatu kota harus mempertimbangakan keharmonisan antar bangunan dan
kawasan barunya. Dengan demikian, diharapkan adanya kesinambungan antar bangunan baru
dengan kawasan lamanya. Hal ini penting, karena perkotaan atau bangunan dapat
memberikan identitas atau karakteristik dari suatu kota terhadap sejarah masa lalunya.
Konservasi yang terintegrasi harus dibuat secara penuh dari seluruh perundangan dan
peraturan yang ada, dan tentunya dapat disumbangkan untuk melindungi dan mengkonservasi
warisan arsitektur. Seperti peraturan perundangan yang ada, adalah belum cukup untuk tujuan
tersebut. Oleh karena itu, dalam otonomi daerah sekarang ini, perlu ditambah dengan

13

menyediakan instrumen yang sesuai dengan perundangan, baik pada tingkat nasional,
regional maupun lokal (daerah).
Para akademisi perlu untuk mempertebal kepeduliannya akan hal konservasi bangunan
dan kawasan. Hendaknya mulai menyusun inventarisasi bangunan di kawasannya dan
kemudian meminta pemerintah daerah setempat untuk membuat surat keputusan atau perda
dengan otonomi yang kuat untuk melindungi bangunan dan kawasannya, lengkap dengan
pendanaan konservasinya. Dengan demikian, di satu sisi, kontrol terhadap pemerintah daerah
dan pengelola cagar budaya sebagai penyelenggara dengan segenap peraturannya akan
berlangsung lebih efektif.
Prinsip kerjasama pemerintah setempat, pengelola cagar budaya, akademisi, lembaga
swadaya masyarakat, pemerhati konservasi serta pengusaha, dapat dijadikan sebagai jaminan
jalan ke luar bahwa arsitektur dan sejarah merupakan ekspresi jatidiri bangsa.
Dalam konteks pelestarian di Indonesia kendala yang dihadapi adalah ketergantungan
terhadap sumber dana tertentu, yakni subsidi pemerintah. Kurangnya keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan pelestarian. Untuk itu perlu pendekatan persuasif secara berkesinambungan.
Di samping itu, masih lemahnya peraturan daerah yang berkaitan dengan bangunan dan
kawasan bersejarah, demikian juga sebagai produk hukum Undang-Undang No 5 Tahun 1992
tentang Cagar Budaya masih membebani masyarakat yang menempati atau memiliki benda
cagar budaya tersebut.
Mengingat bahwa arsitektur Indonesia mempunyai rentang sejarah yang amat panjang.
Maka, dengan sendirinya tatanan kehidupan kolektif yang mapan akan melahirkan keterikatan
emosional dengan arsitektur lamanya. Demikian juga, sejarah arsitektur Indonesia
berhubungan dengan sejarah kebangsaan telah melahirkan arsitektur candi, arsitektur
tradisional, arsitektur Islam, arsitektur kolonial, dan arsitektur modern. Upaya untuk
menyatukan unsur-unsur yang membentuk sejarah arsitektur Indonesia, sebaiknya
memperhatikan asal-usul geografis aneka tradisi yang menyumbang warisan arsitektur
Indonesia.
Kelekatan kita dengan komunitas -masyarakat, tradisi-budaya, kearifan lokal, warisan
arsitektur- harus dilihat bahwa komunitas ini menjadi milik kita bersama. Karena pelestarian
arsitektur dengan aspek kesejarahannya dapat berfungsi sebagai pendidikan moral, penalaran,
politik, kebijakan, perubahan, masa depan, dan keindahan. Untuk itu, pelestarian arsitektur
yang berbasis pada kesejarahan perlu mendapat tempat bagi pengembangan budaya bangsa.
Di akhir dari bagian penutup ini, saya ingin menyampaikan pesan dan harapan kepada
para arsitek dan perencana kota. Kini kita hidup dalam suatu era garis pembatas yang kabur
(an age of blurred linea) dan membuka intellectual frontiers, suatu era yang sangat menarik
tetapi sekaligus membingungkan. Bangunan-bangunan lama dihancurkan diganti dengan
bangunan baru/ruko, menjamurnya papan-papan reklame, hilangnya ruang terbuka hijau
(RTH), berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perdagangan, dan akhirnya membuat konsep
tata ruang bergeser menjadi tata uang. Hal tersebut sangat menakjubkan sekaligus
menyakitkan. Untuk itu, berikanlah kota-kota itu rasa keabadian dan keindahan yang penuh
arti bagi manusia sekelilingnya akan kepercayaan dan kelestarian. Karena makna dan tujuan
arsitektur itu adalah untuk melindungi dan menaikkan kehidupan manusia di atas bumi dan
memenuhi keyakinan untuk hidup yang lebih mulia.
Hadirin yang saya muliakan
Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah
membantu saya menjadikan saya hingga jenjang akademik tertinggi ini.

14

Secara khusus terima kasih saya kepada pemerintah RI melalui Menteri Pendidikan
Nasional atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan sebagai
Guru Besar di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Kepercayaan yang telah diberikan ini
tentunya tidak terlepas dari usulan dan penilaian oleh Senat Universitas Brawijaya dan Senat
Fakultas Teknik terhadap diri saya, untuk itu saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya kepada
Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito sebagai Rektor Universitas Brawijaya dan Ketua Senat Universitas
Brawijaya yang telah mengusulkan diri saya kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk
jabatan akademik tertinggi ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya juga menyampaikan rasa terima kasih saya
secara tulus kepada Prof. Drs. H. Hasyim Baisoeni, Prof. Dr. Ir. Suhardjono, Dipl. HE., MPd,
dan Prof. Ir. Budiono Mismail, MSEE., PhD yang telah banyak memberikan bimbingan
selama berkarier sebagai dosen di Fakultas Teknik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada Ir. Imam Zaky, MT selaku Dekan Fakultas Teknik, para Guru Besar, dan para mantan
Dekan Fakultas Teknik atas dorongan dan nasihat-nasihatnya sehingga saya bisa mencapai
jenjang akademik tertinggi ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para rekan sejawat dosen Jurusan
Arsitektur atas pengusulannya dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk
mengemban sebagai Guru Besar. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota yang selama ini banyak membantu dalam pengembangan
keilmuan saya. Kepada rekan sejawat dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Teknik, saya
mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang terbina dengan baik selama ini yang
memungkinkan saya mencapai jabatan Guru Besar ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya
kepada guru dan pembimbing saya dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, terutama
pembimbing disertasi saya di Kyoto Institute of Technology Prof. Hyuga Susumu yang
selama tujuh tahun telah banyak memberikan bantuan dan menempa diri saya dengan
pemahaman mengenai budaya dalam sejarah arsitektur, juga kepada Prof. Nakamura Masao,
Prof. Nagai Norio, Prof. Kawabe Satoshi, dan Prof Miyajima Yashuo, saya sampaikan
penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya.
Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada cahaya hidup saya, Retno Kristiarti,
SH dan kedua anak saya Antamara Visvaka dan Arenata Yoshiari, terima kasih atas
dukungan, pengorbanan dan doa restu yang telah diberikan selama ini, saya sampaikan
penghargaan terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus permohonan maaf saya.
Pada saat yang penuh kebahagiaan seperti ini, saya ingin menyampaikan terima kasih
kepada kedua orang tua saya, ayah saya Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH dan ibu
saya Prof. Dr. Ir. Titi Sudarti yang telah mendidik dan membesarkan saya dan memberikan
setuhan dalam perjalanan hidup saya, sehingga apa yang saya capai ini dapat menambah
kebanggaan dan kebahagiaan beliau berdua. Terutama kepada ayah saya terima kasih atas
saran, masukan, dan komentar untuk buku pidato pengukuhan saya ini. Kepada ayah mertua
almarhum Sujud, SH dan ibu mertua saya Dra. Soeminah, saya sampaikan terima kasih dan
penghargaan atas dorongan kepada saya selama ini. Kepada adik-adik saya, Drs. Psi. RM. H.
Aditya, Ir. RM. Astungkoro, dan RA. Antari Innaka, SH., MH, kakak sepupu saya Prof. Dr.
Ir. Mary Astuti, SU dan Rumiyani B.Sc serta saudara-saudara saya yang berkesempatan
hadir, saya sampaikan terima kasih untuk bantuan, perhatian dan rasa persaudaraan yang
hangat. Demikian pula kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang
telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil, saya ucapkan terima kasih.
Akhirnya, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim pertimbangan guru
besar Universitas Brawijaya yang telah memberikan masukan-masukan berharga guna
15

penyempurnaan materi pada buku pidato pengukuhan saya. Kepada panitia penyelenggara,
baik di tingkat universitas maupun fakultas, terima kasih atas jerih payahnya dalam
membantu saya melaksanakan acara ini. Kepada para hadirin yang telah berkenan sabar
mengikuti acara ini saya ucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya, mohon maaf bila ada
hal-hal yang tidak berkenan dalam pidato penyampaian ini. Semoga kita semua senantiasa
mendapat limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT. Amien.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah


Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

16

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991. Preservation. Architectural Record. March 3.
Anonim, 1992. Hotel Atau Mogok Makan. TEMPO. 29 Agustus.
Anonim, 1992. Kyoto temples ban guests of hotel planning high-rise. The Japan Times.
December 2.
Anonim, 1994. Group lobbies for Atomic Bomb Dome world heritage site. The Daily
Yomiuri. January 29.
Anonim, 1995. S. Korea starts razing colonial symbol. The Daily Yomiuri. August 16.
Anonim, 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Surabaya: Karya Utama.
Anonim, 2003. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia
- ICOMOS.
Anonim. 1992. Main Gempur di Keraton. TEMPO. 10 Oktober.
Appleyard, D. 1979. The Conservation of Europe Cities. ed. London: The MIT Press.
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Eder, C. 1986. Our Architectural Heritage: From Consciousness to Conservation, translated
by Professor Ayler Bakkalciouglu. United Kingdom: Unesco.
Jokilehto, J. 1995. Cultural heritage: Diversity and Authenticity. Journal of the Society of
Architectural Historians of Japan. No. 24, March. pp. iv- xi.
Kurokawa, K. 1988. Rediscovering Japanese Space. Tokyo: Kodansha.
Larsen, K.E. 1994. Architectural Preservation in Japan. ICOMOS International Wood
Committee. Trondheim: Tapir Publishers.
Marquis-Kyle, P. & Walker, M. 1996. The Illustrated BURRA CHARTER. Making good
decisions about the care of important places. Australia: ICOMOS.
Miksic, J. 2002. Arsitektur Periode Awal Islam. Arsitektur. Seri Indonesian Heritage. Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Ohara, K. 1998. The Image of Ecomuseum in Japan. Pacific Friend. A Window on Japan,
April. Vol. 25 No. 12. pp. 26-27.
Prijotomo, J. 2002. Warisan Klasik Indonesia. Arsitektur. Seri Indonesian Heritage. Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Raj Ishar, Y. 1986. The Challenge to Our Cultural Heritage. Washington DC: Unesco and
Smithsonian Institution Press.
Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum
Press.
Sidharta & Budihardjo, E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Besejarah Di
Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeroto, M. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Jakarta: Gahalia
Indonesia.
Stanger, T. 1995. The Madding Crowds. Newsweek. July 17.
Sumalyo, Y. 2005. Arsitektur di Indonesia Dalam Perkembangan Dunia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar. Makasar: Universitas Hasannudin.
Tjahjono, G. & Davison, J. 2003. INDONESIA: Arsitektur Di Indonesia. Arsitektur. Seri
Indonesian Heritage. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

17

Tunggul, H.S. 1997. Peraturan Perundang-Undangan tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta:
Harvarindo.
Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat: Bangunan Budaya Jawa Sebagai
Tuntutan Hidup Pembangunan Budi Pekerti Kejawen. Solo: Macrodata.
Zancheti, S.M. & Jokilehto, J. 19??. Reflection on Integrated Conservation Planning.

18

Data Riwayat Hidup

A. Data Pribadi:
Nama
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan Fungsional
Tempat/Tgl. lahir
Jenis Kelamin
Agama
Nama Istri
Nama Anak
Nama Ayah
Nama Ibu
Alamat Kantor
No. Tilp dan Fax.
E-mail

Alamat Rumah
No. Telp

: Antariksa
: 131 476 915
: Penata Tk I/IIId
: Lektor Kepala
: Yogyakarta, 14 September 1957.
: Pria
: Islam
: Retno Kristiarti, SH
: 1. Antamara Visvaka
2. Arenata Yoshiari
: Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH
: Prof. Dr. Ir. Titi Sudarti
: Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145
: (0341) 567486; (0341) 567486
: antariksa@ub.ac.id;
mr.antariksa@gmail.com
kanthong57@yahoo.com
http://antariksajournals.blogspot.com
: Pondok Blimbing Indah Blok P8-16,
Malang 56124
: (0341) 413399

B. Riwayat Pendidikan:
1970 Tamat SD Negeri Ungaran I, Yogyakarta
1973 Tamat SMP Negeri V, Yogyakarta
1976 Tamat SMA Negeri VI, Yogyakarta
1982 Sarjana Muda Arsitektur dari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
1983 Sarjana Arsitektur dari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
1992 Master of Engineering (MEng) dari Department of Architecture and Design, Faculty
of Engineering and Design, Kyoto Institute of Technology.
1996 Doctor of Philosophy (PhD) dari Department of Architecture and Design, Faculty of
Engineering and Design, Kyoto Institute of Technology.

19

C. Riwayat Jabatan:
1 Maret 1985
1 Oktober 1987
1 Oktober 1990
1 April 1999
1 April 2007

Assisten Ahli Madya


Assisten Ahli
Lektor Muda
Lektor Madya/Lektor Kepala
Guru Besar

Gol. III/a
Gol. III/b
Gol. III/c
Gol. III/d
Gol. III/d

D. Riwayat Pekerjaan:
1985 sampai sekarang sebagai Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1996-1999 sebagai Staf Pembantu Dekan I Bidang Penelitian Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya.
1996 sampai sekarang sebagai Pemimpin Redaksi JURNAL TEKNIK Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1998 sampai sekarang sebagai Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknik
(Engineering) Universitas Brawijaya.
1999-2003 sebagai Sekretaris Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2003 sampai sekarang sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2003-2007 sebagai Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2005 sampai sekarang sebagai penyunting ahli Jurnal Arsitektur KOMPOSISI Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
2007 sampai sekarang sebagai reviewer Akreditasi Jurnal DP2M Direktorat Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
E. Keikutsertaan pada Organisasi Profesi:
- Architecture Institute of Japan (1993 sampai sekarang)
- Society of Architecture Historians of Japan (1994 sampai sekarang)
- Asia and West Pacific Network for Urban Conservation (1996 sampai sekarang)

F. Publikasi dalam Jurnal Ilmiah:


Internasional
Antariksa & Hyuga S., 1995, Study of the hond (kyakuden, hj) of Rinzai Zen Sect
Buddhist Temples in Kyto, in the Early Modern Age (1) Typical
Reconstruction Plans. JIMBUN Memoirs of the Faculty of Engineering and
Design Kyto Institute of Technology, Vol. 43 (March). pp. 121-140. ISSN:
0389-5076. (in Japanese)
Antariksa, 1996, Study of the hond (kyakuden, hj) of Rinzai Zen Sect Buddhist
Temples in Kyto, in the Mid-Modern Age (2) Typical Reconstruction Plans
Journal of Architecture, Planning and Environmental Engineering (Transactions
of AIJ), No. 484., June, pp. 239-249. ISSN: 1340-4210.
Antariksa, 1996, Study of the hond (kyakuden, hj) of Rinzai Zen Sect Buddhist
Temples in Kyto, in the Late Modern Age (3) Typical Reconstruction Plans.

20

Journal of Architecture, Planning and Environmental Engineering (Transactions


of AIJ), No. 485., July, pp. 237-248. ISSN: 1340-4210.
Antariksa, 1999, Student Participation in Architectural Conservation: Using Educational
Processes to Understand Cultural Heritage, Centre for Australian-Asia Studies
Research Paper Heritage in Asia Series 99-1-H, Deakin University, pp. 1-32,
ISBN: 0 7300 2509.
Nasional
Paraton, H., Pangarsa, G. W. & Antariksa, 1997, Kompleks Ratu Boko, Bukan Candi?
Penelusuran Fungsi Bangunan Situs Ratu Boko, JURNAL TEKNIK, Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya, Volume IV No.9, Desember. hal. 23-28. ISSN:
1410-4121.
Yunita, E., Pangarsa G. W. & Antariksa, 1998, Penelusuran Perkembangan Tipologis
Arsitektur Perumahan Perdesaan Trowulan, JURNAL TEKNIK, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, Volume V No.2, Agustus, hal. 11-26. ISSN: 1410-4121.
Antariksa, 2000, Study on the History and Architecture of the Rinzai Zen Sect Buddhist
Monasteries in Kyoto, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Kristen Petra, Vol. 28, No. 1, Juli,
hlm, 44-53. ISSN: 0126-219X. (terakreditasi)
Antariksa, 2000, The Types of Plans and Interior Design at Memorial Cloisters of
Daitoku-ji and Myoshin-ji Temples in Kyoto, in the Edo Period [1596~1868]
(The Development and Changes of the Partition Borders, Floor and Ceiling,
Jurnal TEKNISIA, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam
Indonesia, volume V Nomor 3 Desmber, hlm. 204-218. ISSN: 0853-8557.
(terakreditasi)
Antariksa, 2001, Study of the hond (kyakuden, hj) of Rinzai Zen Sect Buddhist
Temples in Kyto, in the Early Edo Period (1596~1681), -The Development and
Change in the Typical Plans of the Sanctuary and Veranda-, Media Teknik,
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, No. 1 Th. XXIII Edisi Februari, hlm.
3-14. ISSN: 0216-3012. (terakreditasi)
Antariksa, 2001, Study on The Architecture of Zen Buddhist Temples Bracket
Complexes (kumimono), Jurnal TEKNOLOGI (Journal of Technology) Fakultas
Teknik Universitas Indonesia, Edisi No. 1, tahun XV Maret, hlm. 85-95. ISSN:
0215-1685. (terakreditasi)
Antariksa, 2001, Space in Japanese Zen Buddhist Architecture, Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektur, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas
Kristen Petra, Vol. 29, No. 1, Juli, hlm, 75-84. ISSN: 0126-219X. (terakreditasi)
Ratnasari, D., Widiastutik, R. & Antariksa, 2002, Studi Ornamen pada Keraton Sumenep
Madura, Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik (Engineering) Lembaga Penelitian Universitas
Brawijaya, Volume 14 Nomor 1, hlm. 1-14. ISSN: 1410-4121. (terakreditasi)
Antariksa, 2002, Study on The Philosophy and Architecture of Zen Buddhism in Japan,
On syncretism religion and monastery arrangement plan, Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektu, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas
Kristen Petra, Vol. 30, No. 1, Juli, hlm, 54-60. ISSN: 0126-219X. (terakreditasi)
Antariksa, 2002, The Types of Plans and Interior Design at Memorial Cloisters of
Daitoku-ji and Myoshin-ji Temples in Kyoto, in the Edo Period [1596~1868]
The Development and Changes of The Entrance Hall and Veranda, Jurnal

21

TEKNISIA Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia,


Volume VIII Nomor 2, Agustus, hlm. 116124. ISSN: 0853-8557.
(terakreditasi)
Pangarsa, G. W., Antariksa & Tjahjono, R., 2003, Simbolisme Bangunan Bertiang Lima
pada Arsitektur Muslim di Jawa, Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan Program
Studi PWK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Tahun I, Nomor 1, Juni, hlm.
3-10. ISSN: 1693-3702.
Antariksa, 2003, The Types of Plans and Interior Design at Memorial Cloisters of
Daitoku-ji and Myoshin-ji Temples in Kyoto, in the Edo Period [1596~1868] The Development and Changes of the Sanctuary-, Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektur, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas
Kristen Petra, Vol. 31, No. 2, Desember, hlm, 102-110. ISSN: 0126-219X.
(terakreditasi)
Virgyani, A., Antariksa & Wicaksono, A. D., 2004, Studi Penataan Kawasan Konservasi
Kembang Jepun Surabaya, Jurnal Teknologi, Kejuruan, dan Pengajaran, Fakultas
Teknik Universitas Negeri Malang, tahun ke-27 Nomor 1 Februari, hlm. 87-100.
ISSN: 0852-0062. (terakreditasi)
Wulandari, Antariksa & Hariyani, S. 2004. Studi Perkembangan Kawasan Alun-Alun
Kota Semarang, Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik (Engineering), Lembaga Penelitian
Universitas Brawijaya, Volume 16 Nomor 1, April, hlm. 1-12. ISSN: 1410-4121.
(terakreditasi)
Antariksa, Tjahjono, R. & Pamungkas, S. T., 2004. Pelestarian dan Perlindungan
Bangunan Kuno-Bersejarah di Kawasan Jalan Gunung-Gunung Kota Malang,
Jurnal ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia), Volume 3 Nomor 2 April,
hlm. 107-123. ISSN: 1412-2067.
Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan
Kota, Jurnal PlanNIT Jurusan Planologi, Institut Teknologi Nasional Malang,
Volume 2 No. 2 Desember, hlm. 98-112. ISSN: 1412-1347.
Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan, Jurnal Sains
dan Teknologi EMAS, Fakultas Teknik Universitas Kristen Indonesia, Vol. 15,
No. 1, Februari, hlm. 64-78. ISSN: 0853-9723. (terakreditasi)
Antariksa, 2005. Metode dan Teknik Tradisionil Dalam Arsitektur Jepang, MINTAKAT
Jurnal Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Merdeka
Malang, Volume 6 Nomer 1, Maret, hlm. 517-526. ISSN: 1411-7193.
Dwi Ari, I. R. & Antariksa, 2005. Studi Karakteristik Pola Permukiman Di Kecamatan
Labang Madura, Jurnal ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia), Volume 4
Nomor 2 April, hlm. 78-93. ISSN: 1412-2067.
Dewi, A., Antariksa & Susanto, S., 2005, Pengaruh Kegiatan Berdagang Terhadap Pola
Ruang-Dalam Rumah Toko di Kawasan Pecinan Kota Malang, Jurnal Dimensi
Teknik Arsitektur, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Universitas Kristen Petra, Vol. 33, No. 1, Juli, hlm, 17-26. ISSN: 0126-219X.
(terakreditasi)
Setyawan, A. B., Waloejo, B. S. & Antariksa, 2005. Studi Pelestarian Kawasan Masjid
Menara Kudus Kabupaten Kudus Jawa Tengah, Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik
(Engineering), Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya, Volume 17 Nomor 2,
Oktober, hlm. 227-241. ISSN: 1410-4121. (terakreditasi)

22

Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005, Studi Perkembangan dan Pelestarian
Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Kristen
Petra, Vol. 33, No. 2, Desember, hlm, 112-124. ISSN: 0126-219X.
(terakreditasi)
Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya
di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah, Jurnal PlanNIT Jurusan Planologi
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional, Volume 3
No. 2 Desember, hlm. 124-133. ISSN: 1412-1347.
Hadiahwati, A., Antariksa & Wicaksono, A. D., 2005. Studi Tingkat Vitalitas Kegiatan
Perdagangan Lama di Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya, Jurnal RUAS
Jurusan Arsitektur dan Jurusan PWK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Volume 3, Nomor 2, Desember, hlm. 110-125. ISSN: 1693-3702.
Artha, Y.A., Antariksa & Hariyani, S., 2006. Studi Pelestarian Bangunan Kuno di
Kawasan Kampung Kuno Peneleh Surabaya, Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik
(Engineering), Lembaga Penelitian Universitas Brwijaya, Volume 18 Nomor 1,
April, hlm. 86-94. ISSN: 1410-4121. (terakreditasi)
Rakhmawati, I., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2006. Studi Pelestarian Kawasan Ampel
Kota Surabaya, JURNAL TEKNIK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Volume XIII, No. 2, Agustus, hlm. 115-127. ISSN: 0854-2139. (terakreditasi)
Antariksa, 2006. Study on the Development and Change in the Plans of Sanctuary and
Veranda of the Abbots Quarter (hj) of Rinzai Zen Sect Buddhist Monastery in
Kyoto, Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan Jurusan PWK Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, Volume 4, Nomor 1, Juni, hlm. 64-71. ISSN: 1693-3702.
Antariksa, 2006. Arsitektur Bangunan Rumah Teuku Sabi Silang di Blang Krueng, Aceh
Darussalam Pasca Gempa dan Tsunami, JURNAL TEKNIK, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, Volume XIII No.3, Desember. hlm. 188-201. ISSN: 14104121. (terakreditasi)
Pratomo, A. S., Antariksa & Hariyani, S., 2006. Pelestarian Kawasan Kampung Batik
Laweyan Kota Surakarta, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Kristen Petra, Vol. 34, No. 2,
Desember, hlm, 93-105. ISSN: 0126-219X. (terakreditasi)
Handajani, R. P., Antariksa & Samadhi, T. N., 2006. Fenomena Pintu Butulan di
Kampung Candi Panggung Kota Malang, Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan
Jurusan PWK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Volume 4, Nomor 2,
Desember, hlm. 102-117. ISSN: 1693-3702.
Wulandari, K. V., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Pusat Kota
Pasuruan, Jurnal Ilmiah Arsitektur, Jurusan Arsitektur Fakultas Desain dan
Teknik Perencanaan, Universitas Pelita Harapan, Vol 4, No. 1, Januari, hlm. 4869. ISSN: 1693-6825.
Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan
Cirebon, Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Fakultas Teknik Universitas Kristen
Indonesia, Vol. 17, No. 1, Februari, hlm. 48-66. ISSN: 0853-9723.
(terakreditasi)

23

G. Penelitian tidak dipublikasikan:


Internasional
Hyuga, S., Antariksa, Takai, A., Iwanami, Y., Teranishi, M., Kawashima, Y., Naomachi,
T. & Anzai, S., 1991, Obama no Machinami (Laporan Penelitian Mengenai Kota
Lama Obama), Obamashi, Fukui, Japan. (in Japanese unpublished)
Hyuga, S., Antariksa, Yagazaki, Z., Takai, A., Iwanami, Y. & Shimada, Y., 1993,
Maizurushi nishichiku rekishi teki kenzbutsu chsa hkokusho (Laporan
Penelitian Mengenai Sejarah dan Arsitektur Bangunan di Wilajah Bagian Barat
Kota Maizuru), Maizurushi, Kyoto, Japan. (in Japanese unpublished)
Hyuga, S., Antariksa, Shimada, Y. & Kizawa, Y., 1994, Kyumaruoka ie jutaku utsuken
fukugen kji hkokusho (Laporan Penelitian Mengenai Restorasi dan
Rekonstruksi Rumah Tinggal Maruoka di Kayacho), Kayacho, Kyotofu, Japan.
(in Japanese unpublished)
Antariksa, 2005. Evaluation and Action Plan to Restore Cultural Heritage in Wood
Construction in Darussalam Aceh (Project: Emergency and Transition Aid for
Tsunami Disaster Victim in Indonesia), The Deutsche Gesellschaft Fuer
Technische Zusammenarbeit (GTZ) Germany, Contract No.: 0090/16-04-04.
(unpublished)
Nasional
Antariksa, Triwinarto, J. & Pamungkas, S. T., 1997, Pelestarian Bangunan dan
Lingkungan Kuno di Kawasan Pusat Kota Pasuruan: Penetapan Makna Kultural
dan Strategi Implementasi Kebijaksanaan Pelestarian, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Surat Perjanjian No. 116/PT 13.H4.FT/N4/1997. (tidak
dipublikasikan)
Triwinarto, J., Hasyim, A. W. & Antariksa, 1998, Morfo-Tipologi Arsitektural Setasiun
Kereta Api Jaman Kolonial Belanda di Jakarta, Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya. Surat Perjanjian No. 148/PT 13.H4.FT/N4/1998. (tidak
dipublikasikan)
Antariksa, Pangarsa, G. W. & Tjahjono, R., 2001. Simbolisme Bangunan Bertiang Lima
pada Arsitektur Muslim di Jawa, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Surat
Perjanjian No. 155/J10.1.31/PG/01. (tidak dipublikasikan)
Antariksa, Tjahjono, R., Purwono, E. H. & Triwinarto, J., 2001. Studi Pelestarian
Komplek Bangunan Pendopo Kabupaten Malang. Dinas Permukiman Pemerintah
Kabupaten Malang. Surat Perjanjian: 650/1076/429.129/2001. (tidak
dipublikasikan)
Antariksa, Tjahjono, R., Waloejo, B. S. & Nugroho, A. M., 2002. Studi Kawasan Wisata
Wendit Kabupaten Malang. Dinas Permukiman Pemerintah Kabupaten Malang.
Surat Perjanjian No: 650/049/429.11/2002. (tidak dipublikasikan)
Antariksa & Santosa, H., 2002. Perencanaan dan Tata Lingkungan Alun-Alun Kota
Madiun. Dinas Tata Kota Pemerintah Kota Madiun. (tidak dipublikasikan)
Antariksa, Tjahjono, R., Hariyani, S. & Nugroho, A. M., 2003. Penataan Kawasan
Bersejarah di Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang. Dinas Permukiman
Pemerintah Kabupaten Malang. Surat Perjanjian: 650/07-TR/421.103/2003. (tidak
dipublikasikan)
Antariksa, Tjahjono, R., Pamungkas, S. T. & Nugroho, A. M., 2003. Studi Penentuan
Kriteria Bangunan Untuk Perlindungan dan Pelestarian Bangunan Bersejarah
24

Sebagai Dasar Penerbitan Perijinan Kota Malang. Badan Perencana


Pembangunan Kota Malang. Surat Perjanjian: 074/350/420.402/2003 (tidak
dipublikasikan)
Dwi Ari, I. R. & Antariksa, 2004. Studi Transformasi Pola Permukiman di Kecamatan
Labang, Bangkalan-Madura, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. No. Kontrak 513-4/PRD.1.5/2004. (tidak
dipublikasikan)
Antariksa, Tjahjono, R., Harijani, S. & Nugroho, A. M., 2004. Studi Tata Ruang
Kawasan Bersejarah Candi Singosari, Badut dan Kidal Kabupaten Malang.
Dinas Permukiman Pertamanan dan Kebersihan Kabupaten Malang. Surat
Perjanjian: 650/07-TR/421.103/2004. (tidak dipublikasikan)
Sasongko, W. & Antariksa, 2005. Pengaruh Sistem Kekerabatan Terhadap Perubahan
Tatanan Rumah Madura Perantauan Di Buring Malang, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. Surat Perjanjian No. 26/J10.1.31/PG/2005. (tidak
dipublikasikan)

H. Karya Pengabdian Pada Masyarakat


Pendidikan dan Pelatihan Penggunaan Search Engine bagi Staf Pengajar/Karyawan
Perguruan Tinggi Swasta di Kotamadya Malang. 1997. Lembaga Pengabdian
pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 46/PT13.H4.FT/PG/97.
(tidak dipublikasikan)
Penyuluhan dan Perencanaan Perancangan Lingkungan Masjid Al Ihsan desa Gadang
Kecamatan Sukun Kotamadya Malang. 1997. Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 48/PT13.H4.FT/PG/97. (tidak
dipublikasikan)
Penyuluhan dan Perancangan Lingkungan Masjid Jamik Ar Raudlah Dati II Banyuwangi.
1997. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak
51/PT13.H4.FT/PG/97. (tidak dipublikasikan)
Memasyrakatkan Metode Penggalian Pasir Kali yang Berwawasan Lingkungan pada
Masyarakat Penambang Pasir di Desa Gedek Kabupaten Majokerto. 1998.
Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak
73/PT13.H4.FT/PG/98. (tidak dipublikasikan)
Penyuluhan Tentang Pembangunan Rumah Sangat Sederhana dan Lingkungan yang Sehat
bagi Masyarakat Bantaran Sungai yang Terkena Program Resettlement di
Kalurahan Kotalama, Kotamadya Malang. 2000. Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 87/PT13.H4.FT/PM/2000. (tidak
dipublikasikan)
Penyuluhan Perencanaan dan Perancangan Surau dan Taman Pendidikan Salman Al-Farizi
Mulyoagung Malang. 2000. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas
Brawijaya. No. Kontrak 99/J10.1.31/PM/2000. (tidak dipublikasikan)
Perencanaan dan Perancangan STK Bustanul Athfal dan TPQ Arafah di Kelurahan
Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. 2001. Lembaga Pengabdian
pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 102/J10.1.31/PM/2001.
(tidak dipublikasikan)

25

Pengembangan Kompleks Bangunan Pendidikan Al-Maarif di Lawang, Kabupaten


Malang. 2002. Lembaga Pengabdian pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No.
Kontrak 1/J10.1.31/PM/EKS/2002. (tidak dipublikasikan)
Pengembangan Perencanaan dan Perancangan Masjid Al-Ghifari di Kawasan Perumahan
Griya Shanta, Jalan Soekarno-Hatta Malang. 2003. Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 25/j10.1.31/PM/2003. (tidak
dipublikasikan)
Pengembangan Bangunan TK Dharma Wanita Universitas Brawijaya. 2004. Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak
59/J10.1.31/PM/2004. (tidak dipublikasikan)
Redesain Hutan Kota Taman Malabar Kota Malang. 2004. Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat Universitas Brawijaya. No. Kontrak 60/J10.1.31/PM/2004. (tidak
dipublikasikan)
I. Karya Tulis Makalah:
Peranan Sejarah & Teori Dalam Perancangan, Kuliah Tamu Jurusan Arsitektur Fakultas
Teknik, Universitas Kristen PETRA, Surabaya, 5 Juli, 1996.
Conservation of Colonial Architecture: How to Save Our Architectural Heritage in
Malang, Fifth International Symposium and Workshop of Asia and West Pacific
Network for Urban Conservation, Yogyakarta, September 28-October 1, 1996.
Pedoman Penelitian dan Penulisan Jurnal Ilmiah, Lokakarya Sehari Penulisan Ilmiah
dalam rangka Ulang Tahun Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, 22
Oktober 1996.
Sejarah Arsitektur Jepang dan Penelitian Sejarah Arsitektur, Kuliah Tamu Program Studi
Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 21
Februari 1997.
Urban Conservation: General Approaches to Save the Architectural Heritage, International
Symposium on Saving Our City Environment Towards Anticipating Urbanization
Impacts In 21st Century, Universitas Merdeka, Malang, September 8-9, 1997.
The Participation of Students in Architectural Conservation: Using the Educational Media
to Understanding the Cultural Heritage (in sample cases of Kraton Kasepuhan,
Cirebon; northern area of alun-alun, Surakarta; and Taman Sari, Yogyakarta),
Third International Forum UNESCO, Deakin University, Australia, October 4 - 8,
1998.
Penerapan Peningkatan Mutu Sarana dan Prasarana Pendidikan, Pelayanan Akademik
yang Bermutu dan Pengembangan Kriteria/Standar Mutu Dalam Rangka Menuju
Mutu Pendidikan yang Lebih Baik, Malang Universitas Brawijaya 30-31 Maret
1999.
Proporsi dan Ukuran dalam Arsitektur Tradisionil Jepang, Naskah Arsitektur Nusantara:
Jelajah Reflektif Arsitektural, Simposium Nasional 34 Tahun Jurusan Arsitektur
ITS, 9 September 1999.
Tata Cara Perancangan Silabus, Lokakarya Evaluasi dan Peningkatan Mutu Kurikulum
dalam Rangka Peningkatan Relevansi di Jurusan Pengairan, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, 2 Oktober 1999.
Laporan Penelitian dan Karya Tulis Ilmiah, Penataran Penelitian dan Penulisan Karya
Ilmiah bagi Widyaiswara PPPG dan BPG, Proyek Pengendalian Lembaga

26

Penataran, Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis. Direktorat Jenderal


Pendidikan Dasar dan Menengah, 10 Oktober 22 Oktober 1999.
Peran Akademisi Dalam Pelestarian Bangunan Kuno (Peninggalan Kolonial Belanda),
Seminar Publikasi Ilmiah Pasca 2000, Program Pascasarjana Universitas
Brawijaya, 18 Maret 2000.
Studi Pelestarian Bangunan Komplek Pendopo Kabupaten Malang, Seminar Peningkatan
Potensi Penataan Ruang, Dinas Permukiman Kabupaten Malang 17 Januari 2002
Prosedur Penelitian Ilmiah, Diklat Metodologi Penelitian bagi Peserta LKIP tahun
2002/2003 Universitas Brawijaya 3 4 Mei 2002.
Preservasi Kota dan Bangunan Yang Terintegrasi, Relevansi Preservasi Kota Dalam
Rangka Upaya Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurusan Planologi ITN
Malang 18 Maret 2002
Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah, Krida Teknik Mahasiswa Baru, Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya 26 Oktober 2002.
Tata Tulis dan Kaidah Penulisan ilmiah, Diklat LKTI Mahasiswa Baru 2003-2004 Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya 4
Februari 2004.
Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Perancangan Kota, Stadium General
Perancangan Kota Untuk Kota Kecil, Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah
dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional
Malang, 21 Juni 2004.
Metode Penelitian dan Penulisan IImiah, Diklat Karya Tulis Ilmiah Pekan Olah Raga dan
Seni (PIOS), Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 18 Desember 2004
Tata Cara dan Sistematika Penulisan Karya Tulis Ilmiah, Diklat Karya Tulis Ilmiah Pekan
Olah Raga dan Seni (PIOS), Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 8 Desember
2005
Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar dalam Penulisan Proposal Penelitian, Lokakarya
Penulisan Proposal Penelitian, BPP Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 11
Maret 2006.
Pelestarian Cagar Budaya dan Bangunan Bersejarah, Workshop tentang Penyelamatan
Cagar Budaya dan Bangunan Bersejarah, INDOGEMENT-LPA Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Brawijaya dengan DPRD Kota Malang, Hotel Gadjah
Mada, 21 Maret 2007.
Metode Pengajaran dan Organisasi Studio, Seminar Metode Pembelajaran Studio
Perancangan Arsitektur di Perguruan Tinggi Indonesia, Dies Natalis ke-42
Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 29 Oktober 2007.
J. Karya Tulis dalam Majalah
Dampak dari Perkembangan Arsitektur, PROPORSI, Majalah Arsitektur Ilmiah Populer,
Edisi No. 5 Th. 1985.
Sebuah Catatan Menjelang Lepas Landas: Efisiensi Pendidikan Tinggi, SOLID, Majalah
Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, No: 1 Th. I, Oktober, 1986.
Arsitektur dan Kebudayaannya: Sebuah Telaah Filosofis, SOLID, Majalah Mahasiswa
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, No. 2 Tahun 2, 1987.
Arsitektur Seni dan Keindahan, SOLID, Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya, No. 3 Tahun I, Juli 1987
Apa yang Terjadi Dalam Arsitektur Post-Modern?, BATA MERAH, Edisi Mei-Juni, 1996,
hal. 4-7.
27

Jepang dan Post Post-Modernnya, BATA MERAH, Edisi Maret-April, 1996, hal. 2-3.
Obsesi Pendidikan Tinggi di Indonesia, SOLID, Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, 22, Agustus 1996, hal. 13-14.
Peningkatan Penelitian, Etika Akademis dan Model Kurikulum di Perguruan Tinggi,
SOLID, Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 24, Agustus
1997, hlm. 12-14.
K. Artikel dalam Surat Kabar:
Peran Arsitek di Simpang Jalan, Suara Indonesia, 15 September 1984.
Ke Arah Manakah Pendidikan Arsitektur Kita?, Suara Indonesia, 14 Januari 1985.
Rumah Susun Sumber Masalah Baru, Suara Indonesia, 23 Februari 1985
Sejauh Mana UHC82 Berfungsi Terhadap Karya Arsitektur, Suara Indonesia, 11 April
1985.
Wajah Arsitektur Indonesia Yang Resah, Suara Indonesia, 27 April 1985.
Perkembangan Arsitektur Rumah Tinggal: Etalase Yang Penuh Asesories, Suara
Indonesia, 13 Juni 1985.
Dicari, Arsitektur Yang Beridentitas, Suara Indonesia, 26 September 1985.
Efisensi dan Diversifikasi Pada Pendidikan Arsitektur, Kedaulatan Rakyat, 29 November
1985.
Arsitek dan Arsitekturnya: Perjalanan Yang Memprihatinkan, Suara Indonesia, 2 Januari
1986.
Dampak Perkembangan Industri Terhadap Arsitektur, Suara Indonesia, 28 Agustus 1986.
Arsitek Bertanggung Jawab Akan Semrawutnya Kota, Suara Indonesia, 21 November
1986.
Ajaklah Masyarakat Membangun Lingkungan, Suara Indonesia, 6 Januari 1987.
Arsitek Ikut Bertanggung Jawab Terhadap Masalah Kebakaran, Suara Indonesia, 8
September 1987.
Kaki Lima: Suatu Pendekatan Sosio-Arsitektural, Suara Indonesia, 26 Januari 1988.
Gado-Gado Arsitektur Post Modern, Suara Indonesia, 8 Juni 1988.
Pelestarian Bangunan Kuno, Suara Indonesia, 23 Juli 1988.
Perencanaan dan Pengembangan Kota-Kota Pantai, Suara Indonesia, 6 Agustus 1988.
Pelestarian Kota Malang yang Terintegrasi, Surabaya Post, 2 April 2001.
Mengarsitekturkan Pedagang Kaki Lima, Surabaya Post, 25 Juni 2001.
Menata Kembali PKL, Jawa Pos Radar Malang, 26 Juli 2001, hlm. 21.
Pelestarian Cagar Budaya, Jawa Pos Radar Malang, 18 Agustus 2001, hlm. 21.
Pelestarian Alun-Alun Kota, Jawa Pos Radar Malang, 26 September 2001, hlm. 25.
Pelestarian Pusat Kota, Jawa Pos Radar Malang, 23 Oktober 2001, hlm. 25.
Dari Kota Indis ke Kota Ruko, Jawa Pos Radar Malang, 16 Agustus 2002, hlm. 36.
Reklamenisasi Ruang Kota, Kompas, 16 Oktober 2002, hlm. 18.
Intelektual Semu, Mimbar Tabloid Kampus Universitas Brawijaya No, 324 Tahun
XXX/VII/2002, hlm 9-10.
Tragedi Tata Ruang Kota Malang, Jawa Pos Radar Malang, 10 Juni 2003, hlm. 26.

28

Pelestarian Bangunan Kuno, Masih Bisakah?, Jawa Pos Radar Malang, 18 Juni 2003, hlm.
26.
Wali Kota dan Ruang Kota, Jawa Pos Radar Malang, 16 Juli 2003, hlm. 21.
Bangunan Bersejarah Makin Memprihatinkan, Jawa Pos Radar Malang, 8 Maret 2005,
hlm.26
Ruang Kota dan Tata Ruang yang Radikal, Kompas Jawa Timur, 13 Juni 2007, hlm D.
Moralitas Ruang Publik Kota, Kompas Jawa Timur, 9 Juli 2007, hlm. D.

29

Anda mungkin juga menyukai