Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset S PDF
Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset S PDF
Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
Oleh
Antariksa
Yang terhormat,
-
Judul di atas saya pilih karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: Pertama,
kawasan bersejarah yang memiliki karakter lokal, unik, seperti terdapatnya bangunanbangunan bersejarah perlu pemahaman historis dan arsitekturnya. Kedua, agar makna kultural
yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa
kini, dan masa mendatang akan dapat terpelihara. Ketiga, bahwa kawasan bersejarah
memiliki peran pertumbuhan kota yang terbentuk oleh suatu peradaban budaya.
sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan,
dan pola kehidupan.
Kehidupan merupakan bagian dari identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan
sosial. Maka, identitas dapat dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas
dapat semata bertransformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang
terjadi pada lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha pelestarian yang
layak sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita dengan
masa lalu.
Dengan demikian, menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan
menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan
hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya
telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya
(Sidharta & Budhiardjo, 1989). Hal yang sama juga ditegaskan oleh Rapoport (1990), bahwa
budaya sebagai suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga.
Kebudayaan ini akan terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (value), gaya
hidup (life style) dan akhirnya aktifitas (activities) yang bersifat konkrit.
Sebagai sesuatu yang berdiri di tengah perubahan yang terus berlangsung, tentu saja
bangunan kuno-bersejarah tak bisa terhindar dari tumbuhnya banguan baru di kawasannya.
Masalahnya sekarang adalah, bagaimana sebaiknya menempatkan bangunan baru di kawasan
bersejarah agar di antara bangunan lama dan baru ada persesuaian? Dengan demikian, tujuan
konservasi tidak semata untuk meningkatkan mutu kawasan kota secara fisik saja, tetapi juga
untuk menjaga stabilitas perkembangan kawasan atau bangunan itu sendiri.
Namun ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan untuk menjawab semua
permasalahan dalam pelestarian, yaitu (Raj Ishar, 1986): (1) Apa yang ingin kita konservasi?
Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?; (2) Mengapa kita ingin mengkonservasi? Karena
aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk meningkatkan lingkungan
dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?; dan (3) Untuk siapa kita lakukan
konservasi? Pengguna saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?.
dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi
dan revitalisasi (Marquis-Kyle & Walker, 1996).
Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari
konsep pelestarian yang bersifat statis, yaitu bangunan yang menjadi objek pelestarian
dipertahankan sesuai dengan kondisi aslinya. Konsep yang statis tersebut kemudian
berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan lebih luas.
Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga
karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas
merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau
bangunan bersejarah.
Sebenarnya, istilah bangunan kuno telah digunakan dalam arti yang luas untuk
menunjukkan bangunan-bangunan baik objek tidak bergerak, permukiman, area bersejarah,
artistik, arsitektur, sosial, budaya maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan
bangunan kuno, menunjukkan adanya variasi dari aktivitas yang terlibat di dalamnya,
sebagai contoh, restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi. Dengan
demikian, konservasi dalam lingkup bangunan dan perkotaan, adalah semua proses untuk
memelihara bangunan atau kawasan sedemikian rupa, sehingga makna kultural yang berupa
nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan
masa mendatang akan dapat terpelihara.
Bangunan kuno sebagai salah satu warisan budaya secara jelas merumuskan tujuan
pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan dengan kalimat memayu hayuning bawana.
Artinya adalah, menjaga atau melindungi keselamatan dunia dalam melestarikan warisan
budaya. Hal ini dipertegas lagi oleh para leluhur-leluhur kita, seperti diungkapkan,
wewangan kang umure luwih saka paroning abad, haywa kongsi binabad, becik den
mulyakna kadya wujude hawangun, artinya bangunan dengan umur yang lebih dari 50 tahun
merupakan bangunan sejarah dan budaya, dapat digunakan sebagai penelitian, menambah
pengetahuan dan lain kebutuhan kemajuan serta bermanfaat sebagai tuntutan hidup
(Yosodipuro, 1994). Hal senada juga diungkapkan pula oleh leluhur kita dalam sebuah petuah
bijak Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad, artinya kalau sudah melewati
separuh abad atau 50 tahun, jangan sampai dihancurkan.
bagian atap bangunan yang terbuat dari batu granit. Bangunan itu terletak di bagian tengah
dari istana dinasti Yi, yang ditaklukkan oleh pemerintah Jepang di tahun 1910. Pada
kesempatan itu Presiden Kim Young Sam mengatakan, hanya dengan membuka bagian atap
dari bangunan ini, kita dapat dengan sungguh-sungguh mengembalikan wujud dari istana
Kyongbokkung, hal ini merupakan simbol kekuasaan yang sangat penting dalam sejarah
nasional kita. (The Daily Yomiuri August 16, 1995)
Sebenarnya yang paling menarik adalah munculnya protes dari masyarakat setempat
yang ingin mempertahankan warisan budayanya. Sebuah protes yang dilakukan warga
masyarakat sudah menjadi satu kesadaran, bahwa masyarakat telah ikut membuat satu
lompatan dalam membantu kelancaran proses pelestarian bangunan kuno dan kawasan
bersejarah.
Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota hendaknya dipertimbangkan
masak-masak, karena setiap kota mempunyai budaya dan sejarah yang mungkin berbeda
dengan kota-kota lainnya. Demikian juga, kalau kita bandingkan dengan beberapa kota-kota
di negara Asia lainnya mempunyai sejarah dan warisan budaya yang sangat panjang.
Penghuni dari masing-masing kota tersebut hidup dengan masa lalu dan masa sekarang,
sekaligus fisik dan spiritualnya. Adalah benar bahwa sistem tradisi di Asia didapati sangat
berat untuk menghadapi tantangan dari dunia Barat. Pertanyaan yang paling sukar adalah
bagaimana untuk menetapkan nilai tradisi yang harus dimodifikasi tanpa menghilangkan
identitas kebudayaan individu di dalam proses modernisasi.
jumlahnya telah mencapai 937 juta orang. Beberapa tempat wisata terkenal telah menjadi
melimpah jumlahnya, dan pada tahun 1995 WTO telah menyelenggarakan konferensi
internasional di San Marino membahas masalah bagaimana caranya mengurangi jumlah dari
3.4 trilyun dolar industri wisata per tahunnya (Stanger, 1995).
Beberapa cara pun telah dilakukan, seperti pada Montmartres Sacr-Coeur Basilica di
Athena, yang akan mengambil langkah untuk mengurangi jumlah wisatawan. Contoh lain
yang menarik, adalah kota tua Salsburg yang melarang bus-bus besar yang membawa
wisatawan untuk masuk ke pusat jantung kota. Atau para kurator di Giverny di bagian utara
Prancis menolak kunjungan wisatawan dalam jumlah besar pada saat bunga-bunga di taman
kota tersebut berkembang.
kompleks bangunan atau permukiman. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan konsep
fisik untuk warisan arsitektur.
Mengacu dari beberapa hasil pertemuan internasional dapat digunakan sebagai bahan
acuan untuk pelaksanaan pelestarian di Indonesia. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menangani pelestarian antara lain adalah, keinginan untuk menyusun kembali bangunan
dengan alasan kesatuan arsitektural dan seni yang berhubungan dengan kriteria-kriteria
sejarah dan dapat diputuskan apabila berdasarkan data-data yang dapat diandalakan, dan
bukan suatu anggapan (Carta del Restauro Italiana 1931, 2). Semua elemen-elemen yang
mempunyai nilai sejarah dan artistik harus dilestarikan, dan mengembalikan ke bentuk
aslinya tanpa memasukkan elemen-elemen baru (Carta del Restauro Italiana 1931, 5) (Eder,
1986).
Merekomendasikan bahwa pendidik harus mendorong anak-anak dan kaum muda untuk
meninggalkan diri merusak bangunan kuno, dan bahwa mereka harus dididik untuk lebih
tertarik dalam perlindungan bukti-bukti nyata dari seluruh peradaban (The role of education
in the respect of monuments: Conclusion of the Athens Conference, 21-30 October 1931, VII.
b). Perlu mempertimbangkan agar institusi-institusi dan asosiasi-asosiasi diberikan
kesempatan untuk meleburkan keinginannya ke dalam pekerjaan konservasi (The
conservation of monuments and international collaboration: Conclusion of the Athens
Conference, 21-30 October 1931) (Eder, 1986).
Konservasi dan restorasi dari bangunan kuno harus mempunyai pernaungan bagi segala
ilmu dan teknik yang dapat disumbangkan untuk studi dan perlindungan warisan arsitektur
(Article 2. Definitions: Venice Charter 1964, ICOMOS). Kemudian untuk pelestarian dan
pengungkapan nilai sejarah dan keindahan dari bangunan kuno harus berdasar atas bahan dan
dokumen yang asli. Untuk beberapa kasus restorasi harus didahului dan diikuti dengan studi
arkeologi dan sejarah (Article 9. Restoration: Venice Charter 1964, ICOMOS) (Eder, 1986).
Program preservasi juga pernah dilakukan oleh pemerintah Amerika, yang dipelopori
oleh senator Wyche Fowler dengan National Historic Amandment Actnya. Mempunyai
tujuan untuk memperkuat program pendidikan preservasi dan apresiasi serta teknik restorasi,
dan membentuk sebuah badan yang diberi nama National Center for Preservation
Technology sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri. Program ini diharapkan dapat
mempertegas kembali kewenangan pemerintah federal dalam mempreservasi bangunan;
mempertegas pemerintah di dalam perlindungan hak milik bersejarah; menambah program
untuk menyelamatkan arkeologi; dan membuat peraturan preservasi secara nasional guna
penyelamatan bangunan bersejarah (Architectural Record, 3/1991).
Kiranya perlu dipahami dan diikuti, bahwa perkembangan peraturan pelestarian sudah
beranjak dari sekitar pelestarian bangunan, benda-benda bersejarah atau kawasan saja. Akan
tetapi, mencakup suatu kawasan kota yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilestarikan.
Nampaknya, perlu juga dikembangkan dengan lebih luas lagi melalui intangible cultural
properties. Seperti, pelestarian seni tradisional (tarian, musik dan teater) serta kerajinan
(tenun, keramik, perak, dan sebagainya), yang mempunyai nilai seni dan sejarah yang tinggi.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah, dengan cara mengembangkan seluruh wilayah
sebagai museum hidup, atau dengan istilah lain disebut ecological museum atau
ecomuseum. Diwujudkan melalui tiga elemen, yaitu warisan, partisipasi, dan museum,
ketiga hal itu harus seimbang. Untuk warisan akan mewakili alam dan budaya, serta industri
tradisionil pada wilayah yang telah diberikan. Kemudian, demi masa depan mereka perlu
adanya partisipasi dari penduduk setempat dalam operasional dan manejemennya. Terakhir,
adalah museum itu sendiri, dapat dipakai sebagai fungsi dari pelestarian alam dengan tradisitradisinya yang dapat ditampilkan sebagai sebuah wilayah yang dilestarikan (Ohara, 1998).
10
11
memutuskan atau menentukan bangunan maupun kawasan bersejarah sebagai tempat yang
dilindungi dan dilestarikan.
Untuk itu, perlu diambil sikap yang bijaksana dalam memilih mana warisan budaya
yang perlu dilindungi dan mana yang tidak, sehingga tidak mempunyai kesan bahwa langkah
pelestarian ini hanya membabibuta dan tidak efisien. Hal di atas, sudah sesuai dengan apa
yang dijelasankan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah pada Bab X
Pasal 92 ayat (1), pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk
menciptakan sinergi pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta. Kemudian pada ayat
(2) ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikut
sertaan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemilikan.
12
sumber, walaupun tetap memelihara nilai mendasar dari arsitektur sebelumnya (Miksic,
2002).
Pada abad ke-16 Belanda memperkenalkan gaya arsitektur mereka ke kawasan
Indonesia, dan selanjutnya banyak unsur arsitektur Eropa masuk ke dalam tradisi arsitektur
setempat. Dengan masuknya kebudayaan Belanda yang membawa ilmu pengetahuan dan
teknologi mengawali perkembangan bentuk arsitektur kolonial di Indonesia. Peletakan
gagasan ini bukan proses satu arah, tetapi orang Belanda memakai unsur arsitektur pribumi
guna menciptakan bentuk arsitektur kolonial yang kemudian dikenal dengan gaya Hindia.
Pada dasawarsa awal abad ke-20 para penganut modernisme Belanda beralih ke gaya
setempat sebagai sumber ilham untuk arsitektur tropik baru yang menggabungkan bentuk
tardisional (Tjahjono & Davinson, 2002). Banyak di antaranya menyesuaikan dengan budaya
dan iklim setempat, karena kepekaan mereka terhadap iklim tropis. Selain memperkenalkan
modernisme, tidak sedikit arsitek kolonial Belanda yang mendalami tardisionalisme
Nusantara (Sumalyo, 2005).
Abad ke-19 merupakan tahun-tahun perubahan yang sangat berarti. Tahun-tahun
tersebut menunjukkan munculnya kesadaran tentang nasionalisme baru dalam perkembangan
gaya arsitektur yang mencerminkan jatidiri budaya bangsa. Muncul adanya dua aliran,
kelompok yang pertama yang menganut prinsip fungsionalis ketat yang sejalan dengan
gerakan modernisme di Eropa. Kelompok kedua, mencoba mengimbangi etos modernis
dengan memasukkan unsur arsitektur asli setempat. Pada dasawarsa 1950-an, ketika
Indonesia baru merdeka perasaan dalam dunia arsitektur ditunjukkan dengan menerima
segala unsur modernisme yang menonjolkan paham internasionalisme pada saat itu.
Kemudian arsitek Indonesia mulai berpaling ke gagasan modernisme yang berlanjut hingga
tahun 1970-an dan 1980-an. Dengan kemajuan teknologi dan modernisasi menyebabkan
perkembangan arsitektur semakin kompleks bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang cepat menghasilkan pembangunan besar-besaran disemua tingkat. Mulai dari
perumahan sederhana sampai ke pabrik, bandar udara, pusat perdagangan, dan bangunan
tinggi. Kemudian pascamodernisme telah mendorong pencarian arsitektur baru, sehingga
kini arsitek Indonesia menjelajahi kekayaan warisan arsitektur mereka dengan tujuan
mengembangkan alternatif yang pasti terhadap maraknya gaya modernisme. Dasawarsa
terakhir abad ini kita saksikan perkembangan pesat dari pemikiran dan pendekatan baru yang
berpengaruh dalam memperkaya dunia arsitektur melebihi ragam sebelumnya. Dengan
bangunan dan lingkungan yang beragam dari pemikiran yang rasional sampai penggunaan
nilai-nilai setempat dan tradisional dapat memberikan keragaman warisan arsitektur
Indonesia.
13
menyediakan instrumen yang sesuai dengan perundangan, baik pada tingkat nasional,
regional maupun lokal (daerah).
Para akademisi perlu untuk mempertebal kepeduliannya akan hal konservasi bangunan
dan kawasan. Hendaknya mulai menyusun inventarisasi bangunan di kawasannya dan
kemudian meminta pemerintah daerah setempat untuk membuat surat keputusan atau perda
dengan otonomi yang kuat untuk melindungi bangunan dan kawasannya, lengkap dengan
pendanaan konservasinya. Dengan demikian, di satu sisi, kontrol terhadap pemerintah daerah
dan pengelola cagar budaya sebagai penyelenggara dengan segenap peraturannya akan
berlangsung lebih efektif.
Prinsip kerjasama pemerintah setempat, pengelola cagar budaya, akademisi, lembaga
swadaya masyarakat, pemerhati konservasi serta pengusaha, dapat dijadikan sebagai jaminan
jalan ke luar bahwa arsitektur dan sejarah merupakan ekspresi jatidiri bangsa.
Dalam konteks pelestarian di Indonesia kendala yang dihadapi adalah ketergantungan
terhadap sumber dana tertentu, yakni subsidi pemerintah. Kurangnya keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan pelestarian. Untuk itu perlu pendekatan persuasif secara berkesinambungan.
Di samping itu, masih lemahnya peraturan daerah yang berkaitan dengan bangunan dan
kawasan bersejarah, demikian juga sebagai produk hukum Undang-Undang No 5 Tahun 1992
tentang Cagar Budaya masih membebani masyarakat yang menempati atau memiliki benda
cagar budaya tersebut.
Mengingat bahwa arsitektur Indonesia mempunyai rentang sejarah yang amat panjang.
Maka, dengan sendirinya tatanan kehidupan kolektif yang mapan akan melahirkan keterikatan
emosional dengan arsitektur lamanya. Demikian juga, sejarah arsitektur Indonesia
berhubungan dengan sejarah kebangsaan telah melahirkan arsitektur candi, arsitektur
tradisional, arsitektur Islam, arsitektur kolonial, dan arsitektur modern. Upaya untuk
menyatukan unsur-unsur yang membentuk sejarah arsitektur Indonesia, sebaiknya
memperhatikan asal-usul geografis aneka tradisi yang menyumbang warisan arsitektur
Indonesia.
Kelekatan kita dengan komunitas -masyarakat, tradisi-budaya, kearifan lokal, warisan
arsitektur- harus dilihat bahwa komunitas ini menjadi milik kita bersama. Karena pelestarian
arsitektur dengan aspek kesejarahannya dapat berfungsi sebagai pendidikan moral, penalaran,
politik, kebijakan, perubahan, masa depan, dan keindahan. Untuk itu, pelestarian arsitektur
yang berbasis pada kesejarahan perlu mendapat tempat bagi pengembangan budaya bangsa.
Di akhir dari bagian penutup ini, saya ingin menyampaikan pesan dan harapan kepada
para arsitek dan perencana kota. Kini kita hidup dalam suatu era garis pembatas yang kabur
(an age of blurred linea) dan membuka intellectual frontiers, suatu era yang sangat menarik
tetapi sekaligus membingungkan. Bangunan-bangunan lama dihancurkan diganti dengan
bangunan baru/ruko, menjamurnya papan-papan reklame, hilangnya ruang terbuka hijau
(RTH), berubahnya fungsi lahan menjadi pusat perdagangan, dan akhirnya membuat konsep
tata ruang bergeser menjadi tata uang. Hal tersebut sangat menakjubkan sekaligus
menyakitkan. Untuk itu, berikanlah kota-kota itu rasa keabadian dan keindahan yang penuh
arti bagi manusia sekelilingnya akan kepercayaan dan kelestarian. Karena makna dan tujuan
arsitektur itu adalah untuk melindungi dan menaikkan kehidupan manusia di atas bumi dan
memenuhi keyakinan untuk hidup yang lebih mulia.
Hadirin yang saya muliakan
Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah
membantu saya menjadikan saya hingga jenjang akademik tertinggi ini.
14
Secara khusus terima kasih saya kepada pemerintah RI melalui Menteri Pendidikan
Nasional atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan sebagai
Guru Besar di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Kepercayaan yang telah diberikan ini
tentunya tidak terlepas dari usulan dan penilaian oleh Senat Universitas Brawijaya dan Senat
Fakultas Teknik terhadap diri saya, untuk itu saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga. Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya kepada
Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito sebagai Rektor Universitas Brawijaya dan Ketua Senat Universitas
Brawijaya yang telah mengusulkan diri saya kepada Menteri Pendidikan Nasional untuk
jabatan akademik tertinggi ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya juga menyampaikan rasa terima kasih saya
secara tulus kepada Prof. Drs. H. Hasyim Baisoeni, Prof. Dr. Ir. Suhardjono, Dipl. HE., MPd,
dan Prof. Ir. Budiono Mismail, MSEE., PhD yang telah banyak memberikan bimbingan
selama berkarier sebagai dosen di Fakultas Teknik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada Ir. Imam Zaky, MT selaku Dekan Fakultas Teknik, para Guru Besar, dan para mantan
Dekan Fakultas Teknik atas dorongan dan nasihat-nasihatnya sehingga saya bisa mencapai
jenjang akademik tertinggi ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para rekan sejawat dosen Jurusan
Arsitektur atas pengusulannya dan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk
mengemban sebagai Guru Besar. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota yang selama ini banyak membantu dalam pengembangan
keilmuan saya. Kepada rekan sejawat dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Teknik, saya
mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang terbina dengan baik selama ini yang
memungkinkan saya mencapai jabatan Guru Besar ini.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya
kepada guru dan pembimbing saya dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, terutama
pembimbing disertasi saya di Kyoto Institute of Technology Prof. Hyuga Susumu yang
selama tujuh tahun telah banyak memberikan bantuan dan menempa diri saya dengan
pemahaman mengenai budaya dalam sejarah arsitektur, juga kepada Prof. Nakamura Masao,
Prof. Nagai Norio, Prof. Kawabe Satoshi, dan Prof Miyajima Yashuo, saya sampaikan
penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya.
Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada cahaya hidup saya, Retno Kristiarti,
SH dan kedua anak saya Antamara Visvaka dan Arenata Yoshiari, terima kasih atas
dukungan, pengorbanan dan doa restu yang telah diberikan selama ini, saya sampaikan
penghargaan terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus permohonan maaf saya.
Pada saat yang penuh kebahagiaan seperti ini, saya ingin menyampaikan terima kasih
kepada kedua orang tua saya, ayah saya Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH dan ibu
saya Prof. Dr. Ir. Titi Sudarti yang telah mendidik dan membesarkan saya dan memberikan
setuhan dalam perjalanan hidup saya, sehingga apa yang saya capai ini dapat menambah
kebanggaan dan kebahagiaan beliau berdua. Terutama kepada ayah saya terima kasih atas
saran, masukan, dan komentar untuk buku pidato pengukuhan saya ini. Kepada ayah mertua
almarhum Sujud, SH dan ibu mertua saya Dra. Soeminah, saya sampaikan terima kasih dan
penghargaan atas dorongan kepada saya selama ini. Kepada adik-adik saya, Drs. Psi. RM. H.
Aditya, Ir. RM. Astungkoro, dan RA. Antari Innaka, SH., MH, kakak sepupu saya Prof. Dr.
Ir. Mary Astuti, SU dan Rumiyani B.Sc serta saudara-saudara saya yang berkesempatan
hadir, saya sampaikan terima kasih untuk bantuan, perhatian dan rasa persaudaraan yang
hangat. Demikian pula kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang
telah memberikan bantuan baik moril maupun materiil, saya ucapkan terima kasih.
Akhirnya, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim pertimbangan guru
besar Universitas Brawijaya yang telah memberikan masukan-masukan berharga guna
15
penyempurnaan materi pada buku pidato pengukuhan saya. Kepada panitia penyelenggara,
baik di tingkat universitas maupun fakultas, terima kasih atas jerih payahnya dalam
membantu saya melaksanakan acara ini. Kepada para hadirin yang telah berkenan sabar
mengikuti acara ini saya ucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya, mohon maaf bila ada
hal-hal yang tidak berkenan dalam pidato penyampaian ini. Semoga kita semua senantiasa
mendapat limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT. Amien.
16
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1991. Preservation. Architectural Record. March 3.
Anonim, 1992. Hotel Atau Mogok Makan. TEMPO. 29 Agustus.
Anonim, 1992. Kyoto temples ban guests of hotel planning high-rise. The Japan Times.
December 2.
Anonim, 1994. Group lobbies for Atomic Bomb Dome world heritage site. The Daily
Yomiuri. January 29.
Anonim, 1995. S. Korea starts razing colonial symbol. The Daily Yomiuri. August 16.
Anonim, 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Surabaya: Karya Utama.
Anonim, 2003. Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia
- ICOMOS.
Anonim. 1992. Main Gempur di Keraton. TEMPO. 10 Oktober.
Appleyard, D. 1979. The Conservation of Europe Cities. ed. London: The MIT Press.
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Eder, C. 1986. Our Architectural Heritage: From Consciousness to Conservation, translated
by Professor Ayler Bakkalciouglu. United Kingdom: Unesco.
Jokilehto, J. 1995. Cultural heritage: Diversity and Authenticity. Journal of the Society of
Architectural Historians of Japan. No. 24, March. pp. iv- xi.
Kurokawa, K. 1988. Rediscovering Japanese Space. Tokyo: Kodansha.
Larsen, K.E. 1994. Architectural Preservation in Japan. ICOMOS International Wood
Committee. Trondheim: Tapir Publishers.
Marquis-Kyle, P. & Walker, M. 1996. The Illustrated BURRA CHARTER. Making good
decisions about the care of important places. Australia: ICOMOS.
Miksic, J. 2002. Arsitektur Periode Awal Islam. Arsitektur. Seri Indonesian Heritage. Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Ohara, K. 1998. The Image of Ecomuseum in Japan. Pacific Friend. A Window on Japan,
April. Vol. 25 No. 12. pp. 26-27.
Prijotomo, J. 2002. Warisan Klasik Indonesia. Arsitektur. Seri Indonesian Heritage. Edisi
Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Raj Ishar, Y. 1986. The Challenge to Our Cultural Heritage. Washington DC: Unesco and
Smithsonian Institution Press.
Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum
Press.
Sidharta & Budihardjo, E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Besejarah Di
Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soeroto, M. 2003. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia. Jakarta: Gahalia
Indonesia.
Stanger, T. 1995. The Madding Crowds. Newsweek. July 17.
Sumalyo, Y. 2005. Arsitektur di Indonesia Dalam Perkembangan Dunia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar. Makasar: Universitas Hasannudin.
Tjahjono, G. & Davison, J. 2003. INDONESIA: Arsitektur Di Indonesia. Arsitektur. Seri
Indonesian Heritage. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
17
Tunggul, H.S. 1997. Peraturan Perundang-Undangan tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta:
Harvarindo.
Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat: Bangunan Budaya Jawa Sebagai
Tuntutan Hidup Pembangunan Budi Pekerti Kejawen. Solo: Macrodata.
Zancheti, S.M. & Jokilehto, J. 19??. Reflection on Integrated Conservation Planning.
18
A. Data Pribadi:
Nama
NIP
Pangkat/Golongan
Jabatan Fungsional
Tempat/Tgl. lahir
Jenis Kelamin
Agama
Nama Istri
Nama Anak
Nama Ayah
Nama Ibu
Alamat Kantor
No. Tilp dan Fax.
E-mail
Alamat Rumah
No. Telp
: Antariksa
: 131 476 915
: Penata Tk I/IIId
: Lektor Kepala
: Yogyakarta, 14 September 1957.
: Pria
: Islam
: Retno Kristiarti, SH
: 1. Antamara Visvaka
2. Arenata Yoshiari
: Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH
: Prof. Dr. Ir. Titi Sudarti
: Jl. Mayjen Haryono 167, Malang 65145
: (0341) 567486; (0341) 567486
: antariksa@ub.ac.id;
mr.antariksa@gmail.com
kanthong57@yahoo.com
http://antariksajournals.blogspot.com
: Pondok Blimbing Indah Blok P8-16,
Malang 56124
: (0341) 413399
B. Riwayat Pendidikan:
1970 Tamat SD Negeri Ungaran I, Yogyakarta
1973 Tamat SMP Negeri V, Yogyakarta
1976 Tamat SMA Negeri VI, Yogyakarta
1982 Sarjana Muda Arsitektur dari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
1983 Sarjana Arsitektur dari Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
1992 Master of Engineering (MEng) dari Department of Architecture and Design, Faculty
of Engineering and Design, Kyoto Institute of Technology.
1996 Doctor of Philosophy (PhD) dari Department of Architecture and Design, Faculty of
Engineering and Design, Kyoto Institute of Technology.
19
C. Riwayat Jabatan:
1 Maret 1985
1 Oktober 1987
1 Oktober 1990
1 April 1999
1 April 2007
Gol. III/a
Gol. III/b
Gol. III/c
Gol. III/d
Gol. III/d
D. Riwayat Pekerjaan:
1985 sampai sekarang sebagai Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1996-1999 sebagai Staf Pembantu Dekan I Bidang Penelitian Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya.
1996 sampai sekarang sebagai Pemimpin Redaksi JURNAL TEKNIK Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya.
1998 sampai sekarang sebagai Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknik
(Engineering) Universitas Brawijaya.
1999-2003 sebagai Sekretaris Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2003 sampai sekarang sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2003-2007 sebagai Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
2005 sampai sekarang sebagai penyunting ahli Jurnal Arsitektur KOMPOSISI Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
2007 sampai sekarang sebagai reviewer Akreditasi Jurnal DP2M Direktorat Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
E. Keikutsertaan pada Organisasi Profesi:
- Architecture Institute of Japan (1993 sampai sekarang)
- Society of Architecture Historians of Japan (1994 sampai sekarang)
- Asia and West Pacific Network for Urban Conservation (1996 sampai sekarang)
20
21
22
Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005, Studi Perkembangan dan Pelestarian
Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur,
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Kristen
Petra, Vol. 33, No. 2, Desember, hlm, 112-124. ISSN: 0126-219X.
(terakreditasi)
Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya
di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah, Jurnal PlanNIT Jurusan Planologi
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional, Volume 3
No. 2 Desember, hlm. 124-133. ISSN: 1412-1347.
Hadiahwati, A., Antariksa & Wicaksono, A. D., 2005. Studi Tingkat Vitalitas Kegiatan
Perdagangan Lama di Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya, Jurnal RUAS
Jurusan Arsitektur dan Jurusan PWK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Volume 3, Nomor 2, Desember, hlm. 110-125. ISSN: 1693-3702.
Artha, Y.A., Antariksa & Hariyani, S., 2006. Studi Pelestarian Bangunan Kuno di
Kawasan Kampung Kuno Peneleh Surabaya, Jurnal Ilmu-Ilmu Teknik
(Engineering), Lembaga Penelitian Universitas Brwijaya, Volume 18 Nomor 1,
April, hlm. 86-94. ISSN: 1410-4121. (terakreditasi)
Rakhmawati, I., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2006. Studi Pelestarian Kawasan Ampel
Kota Surabaya, JURNAL TEKNIK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Volume XIII, No. 2, Agustus, hlm. 115-127. ISSN: 0854-2139. (terakreditasi)
Antariksa, 2006. Study on the Development and Change in the Plans of Sanctuary and
Veranda of the Abbots Quarter (hj) of Rinzai Zen Sect Buddhist Monastery in
Kyoto, Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan Jurusan PWK Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, Volume 4, Nomor 1, Juni, hlm. 64-71. ISSN: 1693-3702.
Antariksa, 2006. Arsitektur Bangunan Rumah Teuku Sabi Silang di Blang Krueng, Aceh
Darussalam Pasca Gempa dan Tsunami, JURNAL TEKNIK, Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, Volume XIII No.3, Desember. hlm. 188-201. ISSN: 14104121. (terakreditasi)
Pratomo, A. S., Antariksa & Hariyani, S., 2006. Pelestarian Kawasan Kampung Batik
Laweyan Kota Surakarta, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Kristen Petra, Vol. 34, No. 2,
Desember, hlm, 93-105. ISSN: 0126-219X. (terakreditasi)
Handajani, R. P., Antariksa & Samadhi, T. N., 2006. Fenomena Pintu Butulan di
Kampung Candi Panggung Kota Malang, Jurnal RUAS Jurusan Arsitektur dan
Jurusan PWK Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Volume 4, Nomor 2,
Desember, hlm. 102-117. ISSN: 1693-3702.
Wulandari, K. V., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Pusat Kota
Pasuruan, Jurnal Ilmiah Arsitektur, Jurusan Arsitektur Fakultas Desain dan
Teknik Perencanaan, Universitas Pelita Harapan, Vol 4, No. 1, Januari, hlm. 4869. ISSN: 1693-6825.
Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan
Cirebon, Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Fakultas Teknik Universitas Kristen
Indonesia, Vol. 17, No. 1, Februari, hlm. 48-66. ISSN: 0853-9723.
(terakreditasi)
23
25
26
Jepang dan Post Post-Modernnya, BATA MERAH, Edisi Maret-April, 1996, hal. 2-3.
Obsesi Pendidikan Tinggi di Indonesia, SOLID, Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya, 22, Agustus 1996, hal. 13-14.
Peningkatan Penelitian, Etika Akademis dan Model Kurikulum di Perguruan Tinggi,
SOLID, Majalah Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, 24, Agustus
1997, hlm. 12-14.
K. Artikel dalam Surat Kabar:
Peran Arsitek di Simpang Jalan, Suara Indonesia, 15 September 1984.
Ke Arah Manakah Pendidikan Arsitektur Kita?, Suara Indonesia, 14 Januari 1985.
Rumah Susun Sumber Masalah Baru, Suara Indonesia, 23 Februari 1985
Sejauh Mana UHC82 Berfungsi Terhadap Karya Arsitektur, Suara Indonesia, 11 April
1985.
Wajah Arsitektur Indonesia Yang Resah, Suara Indonesia, 27 April 1985.
Perkembangan Arsitektur Rumah Tinggal: Etalase Yang Penuh Asesories, Suara
Indonesia, 13 Juni 1985.
Dicari, Arsitektur Yang Beridentitas, Suara Indonesia, 26 September 1985.
Efisensi dan Diversifikasi Pada Pendidikan Arsitektur, Kedaulatan Rakyat, 29 November
1985.
Arsitek dan Arsitekturnya: Perjalanan Yang Memprihatinkan, Suara Indonesia, 2 Januari
1986.
Dampak Perkembangan Industri Terhadap Arsitektur, Suara Indonesia, 28 Agustus 1986.
Arsitek Bertanggung Jawab Akan Semrawutnya Kota, Suara Indonesia, 21 November
1986.
Ajaklah Masyarakat Membangun Lingkungan, Suara Indonesia, 6 Januari 1987.
Arsitek Ikut Bertanggung Jawab Terhadap Masalah Kebakaran, Suara Indonesia, 8
September 1987.
Kaki Lima: Suatu Pendekatan Sosio-Arsitektural, Suara Indonesia, 26 Januari 1988.
Gado-Gado Arsitektur Post Modern, Suara Indonesia, 8 Juni 1988.
Pelestarian Bangunan Kuno, Suara Indonesia, 23 Juli 1988.
Perencanaan dan Pengembangan Kota-Kota Pantai, Suara Indonesia, 6 Agustus 1988.
Pelestarian Kota Malang yang Terintegrasi, Surabaya Post, 2 April 2001.
Mengarsitekturkan Pedagang Kaki Lima, Surabaya Post, 25 Juni 2001.
Menata Kembali PKL, Jawa Pos Radar Malang, 26 Juli 2001, hlm. 21.
Pelestarian Cagar Budaya, Jawa Pos Radar Malang, 18 Agustus 2001, hlm. 21.
Pelestarian Alun-Alun Kota, Jawa Pos Radar Malang, 26 September 2001, hlm. 25.
Pelestarian Pusat Kota, Jawa Pos Radar Malang, 23 Oktober 2001, hlm. 25.
Dari Kota Indis ke Kota Ruko, Jawa Pos Radar Malang, 16 Agustus 2002, hlm. 36.
Reklamenisasi Ruang Kota, Kompas, 16 Oktober 2002, hlm. 18.
Intelektual Semu, Mimbar Tabloid Kampus Universitas Brawijaya No, 324 Tahun
XXX/VII/2002, hlm 9-10.
Tragedi Tata Ruang Kota Malang, Jawa Pos Radar Malang, 10 Juni 2003, hlm. 26.
28
Pelestarian Bangunan Kuno, Masih Bisakah?, Jawa Pos Radar Malang, 18 Juni 2003, hlm.
26.
Wali Kota dan Ruang Kota, Jawa Pos Radar Malang, 16 Juli 2003, hlm. 21.
Bangunan Bersejarah Makin Memprihatinkan, Jawa Pos Radar Malang, 8 Maret 2005,
hlm.26
Ruang Kota dan Tata Ruang yang Radikal, Kompas Jawa Timur, 13 Juni 2007, hlm D.
Moralitas Ruang Publik Kota, Kompas Jawa Timur, 9 Juli 2007, hlm. D.
29