Anda di halaman 1dari 17

DERMATITIS KONTAK IRITAN, DERMATITIS KONTAK ALERGI

TERAPI DAN PENANGANANNYA


PENDAHULUAN
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis
kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia,
dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana
memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat).
Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah
paparan, batasnya tegas dan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah
reaksi imun yang cenderung melibatkan kulit di sekitarnya (spreading
phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA
dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh.
DERMATITIS KONTAK IRITAN
1. DEFINISI
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit non
imunologik yang menyebabkan kerusakan kulit terjadi langsung tanpa proses
sensitasi. Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis.
2. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup
banyak, terutama yang berhubungan erat dengan pekerjaan ( DKI akibat kerja),
namun angkanya sangat sulit diketahui. Hal ini disebbkan karena banyak
penderita dengan keluhan yang ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.
Dermatitis kontak iritan adalah bentuk paling umum dari penyakit kulit
akibat kerja, yang diperkirakan 70% -80% diantaranya merupakan gangguan kulit
1

akibat kerja. Data US Bureau of Labor Statistics menunjukkan bahwa penyakit


kulit akibat kerja terdapat 30% sampai 45% dari semua pasien yang mederita
penyakit akibat kerja kerja dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an.
Namun, tingkat penyakit kulit akibat kerja telah turun secara dramatis dan pada
tahun 2004, penyakit kulit hanya terdapat 15,6% dari semua data penyakit kerja
yang tidak fatal. Selain penurunan tingkat penyakit, dari data dilaporkan kasus
penyakit kulit akibat kerja menurun dari 89 400 di 1974-38 900 pada tahun 2004,
dengan pertanian, kehutanan, perikanan dan manufaktur akuntansi untuk tingkat
tertinggi kulit kerja non-fatal penyakit. Meskipun demikian, karena keterbatasan
di Biro Statistik Tenaga Kerja survei tahunan sekitar 250.000 pengusaha AS, telah
diperkirakan bahwa jumlah sebenarnya pekerjaan kasus penyakit kulit mungkin
urutan 10-50 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Biro . Di sisi lain, analisis
kompensasi pekerja retrospektif 'dari Oregon (1990-1997) menemukan tingkat
klaim hanya 5,73 per 100 000 karyawan, tapi rendah insiden ini mungkin
mencerminkan pelaporan di Oregon hanya orang-orang dinonaktifkan selama
lebih dari 3 hari.
Insiden penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara lain mirip dengan
yang di AS, dengan kisaran 50 sampai 70 kasus per 100 000 pekerja per tahun.
2000 Studi Epiderm dari Inggris, menemukan tingkat yang sedikit lebih tinggi
dari dermatitis kontak akibat kerja dari 12,9 per 10 000. Pekerjaan berisiko tinggi
yang sering terpapar iritan termasuk katering, pekerja industri mebel, pekerja
rumah sakit (perawat, pembersih, pekerja dapur) , penata rambut, pekerja industri
kimia, pembersih kering, pekerja logam, toko bunga dan pekerja gudang. Dalam
sebuah penelitian, tingkat insiden tertinggi DKI terlihat pada penata rambut (46,9
per 10 000), tukang roti (23,5 per 10 000) dan koki pastel (16,9 per 10 000).
3. ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan sebuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain.
2

Faktor yang dimaksud yaitu : lama kontak, kekerapan, adanya oklusi


menyebabkan kulit lebih permeabel demikian pula trauma fisis dan gesekan. Suhu
dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI misalnya perbedaan
lipatan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia, ras
(kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin lebih banyak
mengenai wanita, penyakit kulit atau sedang dialami.
4. PATOMEKANISME
Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak keratinosit, tetapi
sebagian dapat menembus membrane sel dan merusak lisosom, mitokondria atau
komponen inti. Kerusakan membrane mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan
asam arakidonat (AA) diasilgliserida (DAG), Platelet Activating Factor (PAF),
dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin dan leokotrien.PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vasKular sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan netrofil serta mengaktifasi sel mast
melepaskan histamine, LT dan

PG lain dan PAF

sehingga memperkuat

perubahan vasKular.
DAG dan second messanger lainnya menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya IL-1 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulatunt
Factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL-2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFa suatu
sitokin pro inflamasi yang dapat mengaktifasi sel T makrofag dan granulosit
meginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik
ditempat terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, nyeri,

bila

iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit betupa eritema,
edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan
3

kelainan kulit berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum
oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai gambaran klinis yang
yang luas. Sehingga adakalanya sulitdibedakan dengan dermatitis kontak alergi.
Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam bergantung pada sifat iritan.
Pasien biasanya mengeluh sakit, iritasi, rasa terbakar, dan

gatal-gatal. Gatal

biasanya kurang intens daripada gatal yang disebabkan DKA. Dua bentuk utama
dari DKI adalah akut dan kumulatif. DKI kumulatif lebih umum dari pada yang
akut. DKI akut dapat memberi gejala akut dalam beberapa menit setelah terpapar
zat yang bersifat iritasi kuat seperti asam kuat dan alkalis. Biasanya, paparan
tersebut menghasilkan perkembangan yang cepat seperti rasa terbakar dan gatal
disertai eritema, pedih, dan udem, serta bula, mungkin juga nekrosis. Pinggiran
kulit berbatas tegas, dan pada umunya berbatas asimetris biasanya hal ini
berlangsung dalam beberapa minggu. Sebaliknya, iritasi lemah menghasilkan DKI
kumulatif. Penyebab DKI kumulatif ialah kontak berulang ulang iritan lemah
( faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau
dingin, juga bahan misalnya detergen, sabun pelarut, tanah bahkan juga air).
Dermatitis kontak iritan kumulatif dapat memberikan gejala klasik seperti
kulit kering, eritema, skuama, muncul likenifikasi dengan fisur, hiperkeratosis,
ekskoriasi. DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebih banyak ditemukan ditangan dibandingkan dengan dibagian lain tubuh.

Gambar 1. Dermatitis iritan pustular yang diperoleh dari nikel


Dikutip dari kepustakaan

Gambar 2. Dermatitis kontak iritan diderita tukang las


Dikutip dari kepustakaan

Pemeriksaan penunjang
Uji tempel atau Patch Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas 70%
sampai 80%. Hal ini berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis dermatitis kontak
diindikasikan hanya bila peradangan dan menghindari dicurigai agen penyebab.
6. PENGOBATAN
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat

mekanik, fisis maupun kimiawi serta

menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanaan dengan
sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab atau emolien untuk
5

memperbaiki kulit yang kering . Penggunaan teratur emolien meningkatkan fungsi


pelindung

kulit dan merupakan bagian penting dari manajemen

dermatitis

kontak. Emolien yang mengandung lipid, hidrokarbon, asam lemak, ester


kolesterol, dan trigliserida dapat digunakan tanpa efek samping untuk jangka
panjang pengobatan ringan sampai merangsang perbaikan.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis
dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid topikal telah
terbukti efektif untuk pengobatan dermatitis kontak jika yang mendasari iritan
dihindari. Tacrolimus topikal atau pimecrolimus juga telah terbukti efektif untuk
pengelolaan dermatitis. Kortikosteroid sistemik mungkin diperlukan untuk jangka
pendek , selama fase akut dari kontak yang luas atau berat. Jika tidak diobati,
dermatitis kontak dapat mengembangkan menjadi dermatitis kronis. Pengobatan
sistemik juga dengan imunomodulator (misalnya metotreksat, siklosporin) dan
terapi biologis yang ditargetkan dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
dermatitis kronis yang tidak responsif terhadap langkah-langkah lain. Pengobatan
kondisi kulit yang mendasari (misalnya, atopik dermatitis, psoriasis) juga harus
dioptimalkan.
Pasien dengan DKI harus diberikan informasi tentang bagaimana terbaik
untuk menghindari iritasi baik di rumah maupun ditempat kerja. Setelah iritasi
telah diidentifikasi, langkah-langkah harus diambil (misalnya, penggunaan alat
pelindung diri di tempat kerja) untuk mengurangi risiko eksposur kedepannya.
7. PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan
dengan sempurna, maka pronosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada
DKI kronis penyebabnya multi faktor, juga pada penderita atopi.

DERMATITIS KONTAK ALERGI


1. DEFINISI
Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah sel-mediasi (tipe IV), yang bersifat
lambat, reaksi hipersensitivitas ini disebabkan oleh kulit kontak dengan alergen
lingkungan. Proses sensatisasi terjadi karenaa adanya kontak dengan alergen,
ketika adanya paparan lagi dengan bahan kimia dpat memperburuk reaksi
alerginya.
2. EPIDEMIOLOGI
Dari beberapa studi yang telah meneliti prevalensi dermatitis kontak alergi
pada populasi umum dan subkelompok yang tidak dipilih dari populasi umum.
Pada tahun 2007, Thyssen dan Colleagues melakukan penelitian retrospektif yang
mengulas tentang temuan utama dari studi epidemiologi yang diterbitkan
sebelumnya pada kontak alergi dalam populasi yang tidak dipilih termasuk semua
kelompok usia dan sebagian besar negara penerbitan (terutama Amerika Utara dan
Eropa Barat). Berdasarkan ini data heterogen diterbitkan dikumpulkan antara
tahun 1966 dan 2007, prevalensi median alergi kontak setidaknya satu alergen
pada populasi umum adalah 21,2%. Selain itu, studi ini menemukan bahwa
alergen kontak yang paling umum di populasi umum adalah nikel, thimerosal, dan
aroma campuran. Yang penting, prevalensi alergi kontak tertentu alergen berbeda
antara berbagai negara dan prevalensi ke alergen tertentu tidak harus statis, karena
dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan lingkungan regional, pola
paparan, standar peraturan, dan masyarakat kebiasaan dan nilai-nilai.
3.

ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul

umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan allergen yang belum diproses,


disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif. Dapat menembus statum corneum
sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai factor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi allergen, dosis
7

perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklus, suhu dan kelembaban
lingkungan vehikulum dan PH. Juga factor individu misalnya kulit pada lokasi
kontak (keadaan statum korneum, ketebalan epidermis ), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit , terpajan sinar matahari).
4.

PATOMEKANISME
Kulit menyediakan pertahanan pertama dan garis yang paling penting dari
pertahanan terhadap agen berbahaya eksogen, dan ini adalah salah satu utama
fungsi fisiologis kulit. Pertahanan ini masih jauh dari sempurna, karena banyak
zat yang dapat menembus mudah ke dalam dan melalui epidermis, bahkan ketika
antigen masih utuh. Penghalang utama epidermis berada hampir seluruhnya di
stratum corneum. Hal ini biasanya berganti setiap 17-27 hari, tetapi fungsi
penghalang dapat dipulihkan dalam 2-5 hari setelah terganti. Stratum korneum
tampaknya berfungsi sebagai unit homogen, jumlah terbesar dari penetran selalu
ditemukan di lapisan terluar. Kerusakan pada stratum korneum biasanya diikuti
dengan peningkatan penyerapan perkutan dan kehilangan air transepidermal,
kenaikan air transepidermal sebanding dengan penurunan ketebalan stratum
korneum.
Studi ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa epidermal lipid adalah kontributor
penghalang utama, yang terdiri dari ceramides (45-50%), kolesterol (25%), asam
lemak bebas (10-15%) dan lipid lainnya termasuk sulfat kolesterol. Lipid disusun
sebagai membran ditumpuk lembar di ruang antar. Ini mengikuti bahwa kelainan
yang diwariskan dari jalur mungkin mengakibatkan fungsi penghalang terganggu
biasanya berhubungan dengan ichthyosisr, selain penghalang lipid, persimpangan
ketat antara epidermal Sel-sel juga telah terbukti memberikan blok kehilangan air.
Claudin-1 (protein penting dari sambungan ketat) untuk bahan-bahan tertentu,
mungkin ada penghalang kedua di atau dekat persimpangan dermal-epidermal
atau lapisan membran tetapi, untuk

zat yang paling, lapisan tanduk tetap

penghalang utama.

MEKANISME PROSES IRITASI


Iritasi adalah agen apapun, fisik atau kimia, yang mampu memproduksi
gangguan seluler jika diterapkan untuk waktu yang cukup dan dalam konsentrasi
yang cukup. Memori imunologi tidak terlibat dan dermatitis terjadi tanpa
sensitisasi sebelumnya.banyak bahan kimia menembus kulit, dan banyak zat akan
mengubah atau merusak kulit sel. Dermatitis muncul ketika kapasitas pertahanan
atau perbaikan kulit habis, atau ketika penetrasi bahan kimia merangsang anti
Inflamasi. Iritasi yang kuat akan menimbulkan reaksi klinis di hampir semua
individu, sedangkan dengan iritasi kurang kuat respon mungkin fisiologis.
Mekanisme terjadinya kelainan pada kulit adalah mengikuti repson imun
yang diperantarai oleh cell mediated immune respons atau reaksi immunologik
tipe IV suatu hipersensitifitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.hanya individu yang mengalami sensititasi
dapat menderita DKA.
Pada fase sensitisasi hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati
stratum korneum akan ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada
molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam
keadaan istirahat dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit
kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi setelah keratinosit terpajan oleh hapten
yang juga mempunyai sifat iritan akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan
mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. aktifasi
tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin
tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel termasuk MHC
kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan
oleh keratinosit yaitu TNF-a yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan
granulosit menginduksi perubahan molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga
meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFa menekan produksi E-chaderin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membrane basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening
9

setempat melalui saluran limfe. Dalam kelenjar limfe, sel Langerhans


mempresentasikan spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD4 yang
mengenali HLA-DR sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel sel

T CD3

mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya sel T soesifik ini
ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel

T untuk

mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 ( IL-2R). sitokin ini akan
menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan
sel ini yaitu sel T memori (sel T teraktifasi) akan meninggalkan kelenjar getah
bening dan beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi.Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep danger sign (sinyal bahaya) bahwa sinyal antigenetik
murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi, kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berlangsung dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsangan yang rendah terhadap respon iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, ataupun kombinasi dari ketiganya. jadi
sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigen
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan yang
mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Pada fase elisitasi yaitu fase kedua hipersensitivitas tipe lambat terjadi
pada pajanan ulang alergen. Seperti pada fase sensitilisasi hapten akan ditangkap
oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh
HLA-DR kemudian diekspesikan dipermukaan sel. Selanjutnya kompleks HLADR antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi baik dikulit
maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivas. Dikulit proses aktivasi
lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1
yang menstimulasi sel-T untuk memproduksi IL-2dan mengekspresi IL-2R, yang
akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T
teraktifasi juga mengeluarkan IFN yang akan mengaktifkan keratinosis
mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang
lain yang mengekspresi molekul LFA-4. Sedangkan HLA-DR memungkinkan
10

keratinosis untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4 + dan juga tersebut.
HLA-DR

juga dapat merupakan target sel T sitotoksi pada keratinosit.

Keratinosis menghasilkan juga sejumlah sitokin antara IL-1, IL-6, TNFa, dan
GMCSF, semuanya dapat mengaktifasi sel T. IL-1 dapat menstimlasi keratinosis
menghasilkan eikosinoid. Sitokin dan eikosinoid ini akan mengaktifkan sel mast
dan makrofag. Sel mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan
melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotriene B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast
(prostaglandin) maupun dari keratinosis atau leukosit menyebabkan dilatasi
vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti
komplemen kinin dan mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu
faktor kemotaktik dan eucosinoid akan menarik netrofil, monosit dan sel darah
lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi umumnya
berlangsung 24-48 jam.
Di

laboratorium,

gangguan

penghalang

telah

ditunjukkan

untuk

menginduksi interleukin-1 (IL-1) dan meregulasi kembali Tumor Necrosis


Factor (TNF-) dan Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor
(GMCSF). Ada maka kenaikan Langerhans sel yang diturunkan IL-1 dirangsang
oleh GMCSF dan IL-1 produksi. Bersamaan, hilangnya kalsium ekstraseluler
gradien yang normal merangsang pipih sekresi tubuh dan perbaikan penghalang .
Stres oksidatif juga memberikan kontribusi untuk pengembangan inflammation
dengan berbagai iritasi.
Deterjen di tingkat bawah paparan dominan mempengaruhi lapisan
tanduk, menyebabkan kekeringan dan scaling dengan menghancurkan lisosomal
enzim dalam lapisan tanduk, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi mereka
akan melarutkan membran sel dan kerusakan lisosom. Dengan paparan berulang,
akan ada tanda-tanda inflamasi kronis, dengan peningkatan sintesis DNA,
akantosis dan perubahan metabolisme sel deterjen dan iritan lainnya seperti
minyak puring dan fenol. Iritasi mempengaruhi semua orang, meskipun
kerentanan individu. Sehubungan dengan perkembangan dermatitis bervariasi,
11

tubuh respon imun yang penting dalam menghasilkan dermatitis sedangkan reaksi
alergi dermatitis kontak secara histologis hampir selalu eksematous dan agak
monomorfik, yang menimbulkan iritasi pleomorfis jauh lebih besar.
5.

DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak alergi diduga dari presentasi klinis ruam, yang

kemudian harus didukung oleh riwayat

pajanan terhadap agen diduga dan

kemudian dikonfirmasi oleh Tes Patch.


Gejala klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti oleh edema,
papulovesikel, vesikel atau bulla. Vesikel atau bulla dapat pecah menimbulkan
erosi dan eksudasi (basah). DKA akut ditempat tertentu misalnya kelopak mata,
penis, scrotum, eritema dan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang
kronis terlihat kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
batasnya tidak jelas. DKA akut mungkin melibatkan eritema, vesikel, dan bula,
DKA kronis akan menimbulkan likenifikasi disertai fissur.
Gambaran klinis DKA tergantung pada jenis alergen yang menyebabkan.
Biasanya, dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi penyebaran
dermatitis juga mungkin terjadi. Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi
riwayat pekerjaan, hobi, obat topical, obat sistemik, kosmetik, yang diketahui
menimbulkan alergi. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan misalnya, ada kelainan kulit berukuran nummular
disekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi.

12

Gambar 3 Tampak plak eritem disertai skuam


Dikutip dari kepustakaan

Gambar 4 Tampak eritem,papul yang tersebar dilengan


Dikutip dari kepustakaan

13

Pemeriksaan Penunjang
Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang
bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan korektif
dapat diambil.tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah
atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu
dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul
sebelumnya menunjukkan interpretasi reaksi uji tempel.
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel: 9
1) Dermatitis harus sudah sembuh, 2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu
minggu setelah pemakaian kortikosteroid, 3) Uji tempel dibuka setelah dua hari,
kemudian dibaca, 4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan
uji tempel memberikan hasil negatif palsu, 5) Uji tempel dengan bahan standar
jangan lakukan pada penderita urtikaria.
Provocative Use Test
Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang mendekati
positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik. Pemeriksaan ini juga
digunakan untuk menguji produk-produk untuk kulit. Bahan di gosok ke kulit
normal pada bagian dalam lengan atas beberapa kali sehari selama lima hari.
Uji Photopatch
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak terhadap
zat seperti sulfonamid, fenotiazin, asam p-aminobenzoic, oxybenzone, 6-metil
kumarin, musk ambrette, atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar
diterapkan selama 24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari
ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam.
6.

PENGOBATAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah

upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan


menekan kelainan kulit yang timbul.
Jika dermatitis kontak alergi melibatkan daerah yang luas kulit (lebih dari
20 persen) berikan kortikosteroid seperti prednison, 0,5 sampai 1 mg per kg
14

sehari selama 5-7 hari . Kortikosteoroid ini diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan
eritema, edema, bula atau vesikel. Jika pasien merasa nyaman setelah terapi awal
ini, dosis dapat dikurangi sebesar 50 persen selama lima sampai tujuh hari ke
depan. Laju pengurangan dosis steroid tergantung pada faktor-faktor seperti
tingkat keparahan dan durasi dari dermatitis kontak alergi, dan seberapa efektif
alergen dapat dihindar.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal atau
makrolaktam (pimecromilus atau tacrolimus). Kortikosteroid topikal telah terbukti
efektif untuk pengobatan dermatitis kontak jika yang mendasari alergen atau
iritan dihindari. Pengobatan lain adalah siklosporin, tacrolimus, pimecrolimus,
dan sinar UV memiliki telah terbukti mengurangi peradangan sel serta
meningkatkan pelindung untuk tingkat tertentu, sehingga membantu untuk
menormalkan proliferasi dan diferensiasi.
7.

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang

khas dapat

menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis numularis, dermatitis

atopik, psoriasis. Ada kecenderungan umum ke arah kulitnya yang sifatnya


berminyak, predileksi lesi ini adalah kulit kepala, tempat predileksinya pada
wajah, dada tengah, dan lipatan inguinal. Dermatitis atopik sering onsetnya pada
masa bayi atau anak usia dini. Kulit tampak kering dan meskipun pruritus
merupakan fitur yang menonjol, pruritus akan muncul sebelum lesi, bukan setelah
lesi. Daerah yang paling sering terlibat adalah permukaan fleksura. Batas
dermatitis tidak tegas, dan perkembangan dari eritema ke papula dan ke vesikel
tidak terlihat. Dermatitis psoriatik ditandai oleh plak eritematosa berbatas tegas
dengan sisik warna putih keperakan. Lesi sering didistribusikan secara simetris di
atas permukaan ekstensor seperti lutut atau siku. Dermatitis iritan primer mungkin
hampir tidak bisa dibedakan dalam penampilan fisiknya dari DKA.

15

8.

PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh baahaan kontaknya dpat

disingkirkan. Prognosisnya kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen ( dermatosis atopik, dermatitis numularis,
atau psoriasis ), atau terpajan oleh alergen yang tidk mungkin dihindari, misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat dilingkungan
penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Eczema/Dermatitis. In: Wolff K JR, editor. Fitzpatrick's Color Atlas and


Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2007.
p. 20.

2.

sularsito Sa, djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. Jakarta2011. p. 129-38.

3.

Yancey KB, Allen DM. Allergic Contact Dermatitis In: Jorizzo JL RJ,
editor. Dermatology. 1. 2 ed: Mosby.

4.

Eilkinson SM, M.H.Beck. Contact Dermatitis: Irritant. In: Tony B,


Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks Textbook of
Dermatology V. 8. Oxford: Blackwell Publishing Company; 2010. p.
25.1-.3.

5.

Clark S. Management of Occupational Dermatitis. Dermatol Clin.


2009:366.

6.

Amado A, Sood A, Taylor JS. Contact Dermatitis. In: Goldsmith LA,


I.Katz S, Gilcrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick's
Dermatology In Gerneral Medicine. 1: McGraw-Hill; 2012. p. 258.

7.

Ferri F. Contact Dermatitis. EBM Evidance. 2011:291.

8.

Proksch E, Brasch J. Abnormal epidermal barrier in the pathogenesis of


contact dermatitis. Elsevier Clinics in Dermatology. 2012:341.

9.

Tan C-H, Rasool S, Johnston GA. Contact Dermatitis: Allergic and Irritant.
Elsevier Clinics in Dermatology. 2014:340-1.

16

10.

usatine R, Riojas M. Diagnosis and management of contact dermatitis. Am


Fam Physician. 2010:1-5.

11.

James WD, G.Berger T, Elston DM. Contact Dermatitits and Drug


Eruption. Andrews Disease of The Skin. 10 ed. British: Saunders Elsevier;
2006. p. 94-112.

17

Anda mungkin juga menyukai