sehingga memperkuat
perubahan vasKular.
DAG dan second messanger lainnya menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya IL-1 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulatunt
Factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL-2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFa suatu
sitokin pro inflamasi yang dapat mengaktifasi sel T makrofag dan granulosit
meginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik
ditempat terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, nyeri,
bila
iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit betupa eritema,
edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan
3
kelainan kulit berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum
oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai gambaran klinis yang
yang luas. Sehingga adakalanya sulitdibedakan dengan dermatitis kontak alergi.
Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam bergantung pada sifat iritan.
Pasien biasanya mengeluh sakit, iritasi, rasa terbakar, dan
gatal-gatal. Gatal
biasanya kurang intens daripada gatal yang disebabkan DKA. Dua bentuk utama
dari DKI adalah akut dan kumulatif. DKI kumulatif lebih umum dari pada yang
akut. DKI akut dapat memberi gejala akut dalam beberapa menit setelah terpapar
zat yang bersifat iritasi kuat seperti asam kuat dan alkalis. Biasanya, paparan
tersebut menghasilkan perkembangan yang cepat seperti rasa terbakar dan gatal
disertai eritema, pedih, dan udem, serta bula, mungkin juga nekrosis. Pinggiran
kulit berbatas tegas, dan pada umunya berbatas asimetris biasanya hal ini
berlangsung dalam beberapa minggu. Sebaliknya, iritasi lemah menghasilkan DKI
kumulatif. Penyebab DKI kumulatif ialah kontak berulang ulang iritan lemah
( faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau
dingin, juga bahan misalnya detergen, sabun pelarut, tanah bahkan juga air).
Dermatitis kontak iritan kumulatif dapat memberikan gejala klasik seperti
kulit kering, eritema, skuama, muncul likenifikasi dengan fisur, hiperkeratosis,
ekskoriasi. DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebih banyak ditemukan ditangan dibandingkan dengan dibagian lain tubuh.
Pemeriksaan penunjang
Uji tempel atau Patch Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas 70%
sampai 80%. Hal ini berguna untuk mengkonfirmasi diagnosis dermatitis kontak
diindikasikan hanya bila peradangan dan menghindari dicurigai agen penyebab.
6. PENGOBATAN
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanaan dengan
sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab atau emolien untuk
5
dermatitis
ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklus, suhu dan kelembaban
lingkungan vehikulum dan PH. Juga factor individu misalnya kulit pada lokasi
kontak (keadaan statum korneum, ketebalan epidermis ), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit , terpajan sinar matahari).
4.
PATOMEKANISME
Kulit menyediakan pertahanan pertama dan garis yang paling penting dari
pertahanan terhadap agen berbahaya eksogen, dan ini adalah salah satu utama
fungsi fisiologis kulit. Pertahanan ini masih jauh dari sempurna, karena banyak
zat yang dapat menembus mudah ke dalam dan melalui epidermis, bahkan ketika
antigen masih utuh. Penghalang utama epidermis berada hampir seluruhnya di
stratum corneum. Hal ini biasanya berganti setiap 17-27 hari, tetapi fungsi
penghalang dapat dipulihkan dalam 2-5 hari setelah terganti. Stratum korneum
tampaknya berfungsi sebagai unit homogen, jumlah terbesar dari penetran selalu
ditemukan di lapisan terluar. Kerusakan pada stratum korneum biasanya diikuti
dengan peningkatan penyerapan perkutan dan kehilangan air transepidermal,
kenaikan air transepidermal sebanding dengan penurunan ketebalan stratum
korneum.
Studi ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa epidermal lipid adalah kontributor
penghalang utama, yang terdiri dari ceramides (45-50%), kolesterol (25%), asam
lemak bebas (10-15%) dan lipid lainnya termasuk sulfat kolesterol. Lipid disusun
sebagai membran ditumpuk lembar di ruang antar. Ini mengikuti bahwa kelainan
yang diwariskan dari jalur mungkin mengakibatkan fungsi penghalang terganggu
biasanya berhubungan dengan ichthyosisr, selain penghalang lipid, persimpangan
ketat antara epidermal Sel-sel juga telah terbukti memberikan blok kehilangan air.
Claudin-1 (protein penting dari sambungan ketat) untuk bahan-bahan tertentu,
mungkin ada penghalang kedua di atau dekat persimpangan dermal-epidermal
atau lapisan membran tetapi, untuk
penghalang utama.
T CD3
mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya sel T soesifik ini
ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel
T untuk
mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 ( IL-2R). sitokin ini akan
menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak. Turunan
sel ini yaitu sel T memori (sel T teraktifasi) akan meninggalkan kelenjar getah
bening dan beredar keseluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi.Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu.
Menurut konsep danger sign (sinyal bahaya) bahwa sinyal antigenetik
murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritannya
menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi, kontak
bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berlangsung dari alergen kontak
sendiri, dari ambang rangsangan yang rendah terhadap respon iritan, dari bahan
kimia inflamasi pada kulit yang meradang, ataupun kombinasi dari ketiganya. jadi
sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal dari sinyal antigen
sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu tindakan yang
mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi.
Pada fase elisitasi yaitu fase kedua hipersensitivitas tipe lambat terjadi
pada pajanan ulang alergen. Seperti pada fase sensitilisasi hapten akan ditangkap
oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh
HLA-DR kemudian diekspesikan dipermukaan sel. Selanjutnya kompleks HLADR antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi baik dikulit
maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivas. Dikulit proses aktivasi
lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1
yang menstimulasi sel-T untuk memproduksi IL-2dan mengekspresi IL-2R, yang
akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T
teraktifasi juga mengeluarkan IFN yang akan mengaktifkan keratinosis
mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR. berinteraksi dengan sel T dan leukosit yang
lain yang mengekspresi molekul LFA-4. Sedangkan HLA-DR memungkinkan
10
keratinosis untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4 + dan juga tersebut.
HLA-DR
Keratinosis menghasilkan juga sejumlah sitokin antara IL-1, IL-6, TNFa, dan
GMCSF, semuanya dapat mengaktifasi sel T. IL-1 dapat menstimlasi keratinosis
menghasilkan eikosinoid. Sitokin dan eikosinoid ini akan mengaktifkan sel mast
dan makrofag. Sel mast yang berada di dekat pembuluh darah dermis akan
melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2 dan
PGD2, dan leukotriene B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast
(prostaglandin) maupun dari keratinosis atau leukosit menyebabkan dilatasi
vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti
komplemen kinin dan mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu
faktor kemotaktik dan eucosinoid akan menarik netrofil, monosit dan sel darah
lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian
tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase elisitasi umumnya
berlangsung 24-48 jam.
Di
laboratorium,
gangguan
penghalang
telah
ditunjukkan
untuk
tubuh respon imun yang penting dalam menghasilkan dermatitis sedangkan reaksi
alergi dermatitis kontak secara histologis hampir selalu eksematous dan agak
monomorfik, yang menimbulkan iritasi pleomorfis jauh lebih besar.
5.
DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak alergi diduga dari presentasi klinis ruam, yang
12
13
Pemeriksaan Penunjang
Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap zat yang
bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan dan tindakan korektif
dapat diambil.tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika gatal parah
atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang ditempel ini perlu
dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi positif mungkin tidak muncul
sebelumnya menunjukkan interpretasi reaksi uji tempel.
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel: 9
1) Dermatitis harus sudah sembuh, 2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu
minggu setelah pemakaian kortikosteroid, 3) Uji tempel dibuka setelah dua hari,
kemudian dibaca, 4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan
uji tempel memberikan hasil negatif palsu, 5) Uji tempel dengan bahan standar
jangan lakukan pada penderita urtikaria.
Provocative Use Test
Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang mendekati
positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik. Pemeriksaan ini juga
digunakan untuk menguji produk-produk untuk kulit. Bahan di gosok ke kulit
normal pada bagian dalam lengan atas beberapa kali sehari selama lima hari.
Uji Photopatch
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak terhadap
zat seperti sulfonamid, fenotiazin, asam p-aminobenzoic, oxybenzone, 6-metil
kumarin, musk ambrette, atau tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar
diterapkan selama 24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari
ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam.
6.
PENGOBATAN
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah
sehari selama 5-7 hari . Kortikosteoroid ini diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan
eritema, edema, bula atau vesikel. Jika pasien merasa nyaman setelah terapi awal
ini, dosis dapat dikurangi sebesar 50 persen selama lima sampai tujuh hari ke
depan. Laju pengurangan dosis steroid tergantung pada faktor-faktor seperti
tingkat keparahan dan durasi dari dermatitis kontak alergi, dan seberapa efektif
alergen dapat dihindar.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid topikal atau
makrolaktam (pimecromilus atau tacrolimus). Kortikosteroid topikal telah terbukti
efektif untuk pengobatan dermatitis kontak jika yang mendasari alergen atau
iritan dihindari. Pengobatan lain adalah siklosporin, tacrolimus, pimecrolimus,
dan sinar UV memiliki telah terbukti mengurangi peradangan sel serta
meningkatkan pelindung untuk tingkat tertentu, sehingga membantu untuk
menormalkan proliferasi dan diferensiasi.
7.
DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas dapat
15
8.
PROGNOSIS
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh baahaan kontaknya dpat
disingkirkan. Prognosisnya kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen ( dermatosis atopik, dermatitis numularis,
atau psoriasis ), atau terpajan oleh alergen yang tidk mungkin dihindari, misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat dilingkungan
penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Yancey KB, Allen DM. Allergic Contact Dermatitis In: Jorizzo JL RJ,
editor. Dermatology. 1. 2 ed: Mosby.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tan C-H, Rasool S, Johnston GA. Contact Dermatitis: Allergic and Irritant.
Elsevier Clinics in Dermatology. 2014:340-1.
16
10.
11.
17