Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Tanaman Delima Merah (Punica granatum)
1. Deskripsi Tanaman Delima Merah
Tanaman delima adalah tanaman perdu
dengan tinggi 25 m. Batang berkayu, ranting
bersegi, percabangan banyak, berduri pada ketiak
daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau
setelah tua. Daunnya bertangkai berbentuk bulat
telur memanjang, mengkilat, dan berukuran kecil.
Bunga 1-5 kuntum, muncul di ujung percabangan
dan di ketiak daun teratas, bersusun, dan berwarna
merah. Buah buni berbentuk bulat dengan diameter
5-12 cm, keras, halus, dan merah mengkilap. Buah
muda berwarna hijau kemerahan dan menjadi oranye
kecokelatan setelah tua. Daging buah berwarna
merah bening dengan rasa yang manis (Suranto,
2011). Bijinya kecil dan banyak, keras, bentuk bulat
memanjang agak pipih. Tumbuhan ini berbuah
sepanjang tahun.

A
b
c
Gambar 2.1 (a) bunga delima merah, (b) buah
delima merah mentah, (c) buah delima
merah matang (Lim, 2013)
Tanaman delima berasal dari Eropa Tenggara
dan Asia, namun tanaman ini sekarang telah tersebar
7

8
di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran
rendah sampai dengan ketinggian 1000 m dpl
(Dalimartha dan Adrian, 2011).
2. Kandungan Zat Aktif
Buah
delima
mengandung
flavonoids
(antosianin), asam sitrat, asam malat, gula buah
(glukosa, fruktosa, maltosa), vitamin (C, B6, A),
mineral
(kalium,
kalsium,
fosfor,
zat
besi,
magnesium, dan natrium), dan tanin (punicalagin).
Biji delima mengandung senyawa polifenol seperti
asam galat, procatechuic acid, chlorogenic acid,
caffeic acid, ferulic acid, asam kumarat, asam
kaumarat, dan katekin. Kulit buah mengandung
alkaloid pelletierene, granatin, betulid acid, ursolic
acid, isoquercitrin, ellagitanin, resin, triterpenoid,
kalsium oksalat, dan pati (Dalimartha dan Adrian,
2013).
Secara keseluruhan, buah delima kaya akan
senyawa fenol terutama tanin terhidrolisis seperti
ellagitanin (punicalagin, punicalin, pedunculagin,
asam galat, asam elagat, dan galotanin), serta
komponen lain seperti antosianin, flavonoid, dan
asam fenol (Watson et al., 2014). Parveen dan Akhtar
(2013) yang menunjukkan hasil bahwa kandungan
polifenol
delima
merah
lebih
tinggi
30%
dibandingkan dengan kandungan polifenol delima
putih.
Kulit akar dan kulit kayu mengandung sekitar
20% ellagitanin, dan 0,5-1% senyawa alkaloid seperti
pelletierine, pseudopelletierine, metilpelletierine,
isopelletierine,
dan
metilisopelleterine.
Daun
mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak,
sulfur, dan peroksidase (Dalimartha dan Adrian,
2013).

B. Tanin
Tanin merupakan senyawa organik polifenol larut
air dengan rasa pahit dan kelat yang kuat serta memiliki
efek adstringent (Rizky, 2013). Asam galat merupakan
penyusun dari sebagian besar tanin. Asam galat
terbentuk dari asam-3-dehidrosikimat melalui jalur asam
sikimat. Jalur asam sikimat adalah jalur khusus
pembentukan metabolit sekunder oleh tumbuhan. Jalur
ini menghasilkan produk akhir berupa senyawa asam
amino aromatik. Dalam proses terbentuknya asam amino
aromatik, jalur ini menghasilkan senyawa sampingan
yakni berupa senyawa-senyawa polifenol termasuk
prekursor tanin yaitu asam galat. Asam galat akan diubah
bentuk menjadi asam elagat, pentagalloyl-glucose, dan
molekul-molekul galotanin. Asam elagat merupakan
strukur primer elagitanin yang nantinya akan bersamasama dengan galotanin membentuk tanin terhidrolisis
(Crozier et al., 2006). Jalur singkat terbentuknya tanin
terlihat pada Gambar 2.2.
t

10

Gambar 2.2 Tanin Terbentuk dari Jalur Asam Sikimat


(Supriyatna dkk., 2014)
Pada tumbuhan, tanin ditemukan dalam bentuk
kompleks tannoids dan kadang berikatan dengan gula
(tanosida) (Supriyatna dkk., 2014). Tanin dapat
menggumpalkan protein atau berbagai senyawa organik
lainya termasuk asam amino dan alkaloid (Rizky, 2013).
Tanin terdapat di hampir seluruh bagian tumbuhan: kulit
kayu, akar, daun, buah, biji, dan bagian lain tergantung
pada spesies tumbuhan (Gardner dan McGuffin, 2013).
Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin
terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis
meliputi asam galat pada galotanin dan asam elagat
pada elagitanin, sementara tanin terkondensasi meliputi
protosianidin dan polimer flavonol (Supriyatna dkk.,
2014). Tanin terhidrolisis dapat ditemui pada delima
(Punica granatum), teh hijau dan teh hitam (Camelia
sinensis), serta oak putih (Quercus alba). Sementara
tanin terkondensasi dapat dijumpai pada anggur (Vitis
vinifera), teh hijau (Camelia sinensis), lumut tanduk
(Crategus spp.), pisang, kiwi, dan masih banyak lagi
(Gardner dan McGuffin, 2013).
Tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis
mampu mengikat protein dan mengendapkan protein
kolagen pada kulit dan jaringan mukosa. Akibatnya
jaringan tersebut terhindar dari kebusukan. Tanin yang
terikat dengan enzim amilase akan memunculkan rasa
yang khas yang oleh manusia disebut astringency. Efek
adstringent inilah yang menyebabkan jaringan tumbuhan
muda tidak dapat dimakan (Crozier et al., 2006).
Tanin dapat mengikat protein dan zat tepung
(Casass et al., 2012), serta semua senyawa yang
mengandung N (Lockard, 2008). Oleh karena tanin
mampu mengikat senyawa yang mengandung N, tanin

11
mampu menghambat kerja enzim (Casass et al., 2012).
Di sisi lain, tanin yang mempu mengikat protein, enzim,
dan segala yang mengandung N yang ada di traktus
gastrointestinal menyebabkan kompleks tanin menempel
pada mukosa membran usus dan menyebabkan
penebalan, akibatnya sekresi usus terhambat. Protein
yang terikat oleh tanin akan pecah menjadi bentuk
protein yang lebih kecil yang disebut dengan protein
tanat. Protein tanat ini kemudian
mengendap pada
mukosa usus halus dan menghambat sekresi usus
sehingga menyebabkan efek antidiare. Jenis tanin yang
mampu melakukan mekanisme tersebut adalah jenis
tanin terhidrolisis (Gardner dan McGuffin, 2013).
Tanin yang terkandung dalam buah muda
menimbulkan rasa kelat (sepat). Perubahan-perubahan
yang terjadi pada senyawa tanin seiring berjalannya
waktu berperan penting dalam proses pemasakan buah.
Saat proses pemasakan, efek adstringen menurun seiring
dengan semakin banyaknya senyawa tanin yang
mengalami polimerisasi. Polimerisasi tanin menyebabkan
tanin tak mampu lagi menghambat kerja enzim.
Akibatnya kelarutan tanin menjadi rendah dan mudah
terikat dengan komponen sel lainnya. Saat proses
pemasakan, tekstur daging buah juga akan menjadi
semakin empuk. Hal ini disebabkan karena terdapat
perubahan proses hidrolisis pada substansi pektin. Saat
fragmen-fragmen pektin buah terlepas, mereka akan
berkompetisi dengan polisakarida dan protein dalam
mengikat tanin (Salunkhe et al., 2006).
C. Tinjaun Umum Mencit
Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus
rumah biasa yang termasuk dalam ordo rodentia dan
famili Muridae. Mencit dewasa biasa memiliki berat
antara 25-40 gram. Mayoritas mencit laboratorium

12
adalah strain albino yang mempunyai warna bulu putih
dan mata merah muda.

Gambar 2.3 Mencit (Mus musculus) (Pihlajanaemi,


2011)
Mencit adalah hewan yang mudah dipelihara,
mudah beradaptasi dan tersedia dalam jumlah banyak.
Perkembangbiakan, pemeliharaan, dan penggunaannya
mudah, dan relatif murah. Selain itu mencit juga memiliki
daya tahan terhadap penyakit yang lebih baik dari pada
hewan uji lainnya. Famili Muridae ini digunakan secara
luas dalam dunia penelitian dan mudah dibandingkan
dengan kondisi manusia dalam hal standarisasi dan
regulasi lingkungan, pola hidup, dan pola makan
(Pihlajanaemi, 2011). Rute pemberian obat dapat
diberikan secara peroral, subkutan, intramuskular,
intravena, dan intrapeteritonial.
D. Anatomi dan Fungsi Usus Halus
Ukuran panjang keseluruhan usus halus bak
duodenum, jejunum, dan ileum adalah 6 kali panjang
usus besar (kolon dan rektum berukuran panjang 15 cm),
dengan strukturnya terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
serosa dan mukosa. Pada umumnya, panjang duodenum,
jejunum, dan ileum adalah berturut-turut 10 cm, 100

13
cm, dan 3 cm. Banyaknya vili juga berbeda pada
daerah-daerah usus halus famili Muridae (Baker et al.,
2013). Terdapat 27 vili pada duodenum dan menjadi
10 vili pada ileum. Tidak hanya jumlah, ukuran vili pun
juga semakin kecil pada daerah ileum (Sharp and Villano,
2013). Usus halus tikus terlihat pada Gambar 2.2.

a
b
Gambar 2.4 Foto Usus Halus Tikus
Gambar a. B: lambung; C: duodenum; D:
jejunum; E: ileum; F: sekum; G: kolon.
Gambar b. Foto mikroskopis dengan
perbesaran 100x vili usus halus tikus, A:
villus; B: nuklues sel epitel; C: brush
border; D: crypt of Liebrkhn (Baker et
al., 2013)
Terdapat 18 asesori Peyer yang dapat
diidentifikasi baik secara eksternal maupun internal pada
daerah distal jejunum dan ileum. Terdapat juga orifisium
ileoseikalis seperti pada manusia, terletak pada daerah
perbatasan ileum dan sekum, dengan struktur dipenuhi
otot muskularis. Selain asesori Peyer yang terdapat di

14
submukosa, kelenjar Brunner juga dapat ditemukan di
usus halus hewan famili Muridae, khususnya pada daerah
proksimal duodenum (Sharp and Villano, 2013). Kelenjar
Brunner mensekresi cairan alkalin yang berisi musin
untuk melindungi lapisan mukosa daerah proksimal
duodenum akibat cairan asam yang dibawa kimus dari
lambung (Baker et al., 2013). Sel paneth dan sel goblet
juga terdapat pada usus halus tikus (Suckow et al., 2006).
Sel paneth banyak terdapat di jejunum, sementara sel
goblet yang berisi mukus banyak terdistribusi pada selsel epitel (Gude et al., 2012). Foto mikroskopis sel-sel
asesori usus halus terlihat pada Gambar 2.3.

c
Gambar 2.5 Foto Mikroskopis Duodenum dan Ileum
Tikus. Gambar a, 1: otot polos; 2:kelenjar
pada lambung; 3: pilorik yang membuka;
4: kelenjar brunner duodenum; 5: vili
duodenum; 6: pankreas. Gambar b, 1:
kelenjar pada lambung; 2: vili duodenum;
3: kelenjar brunner duodenum; 4: sel
lemak; 5: otot polos. Gambar c, 1: nodula
limfa (asesori peyer); 2: pusat germinal;

15
3: lapisan serosa; 4: vili ileum; 5: lumen
(Gude dkk., 2012)
Daerah apikal sel epitel usus halus famili
Muridae merupakan daerah yang paling banyak
mengabsorpsi sari-sari makanan. Daerah apikal sel epitel
usus halus ini umumnya berbentuk memanjang vertikal
yang disebut dengan brush border (Baker et al., 2013).
Glukosa merupakan molekul yang paling banyak
diabsorpsi dalam traktus gastrointestinal, dan mencapai
absorpsi maksimal pada daerah jejunum dan daerah
proksimal ileum. Galaktosa mencapai absorpsi maksimal
di daerah duodenum. Protein dan albumin banyak
diabsorpsi pada daerah distal usus halus melalui
mekanisme pinositosis. Asam amino banyak diabsorpsi di
duodenum dan jejunum. Sementara lemak banyak
diabsorpsi di daerah jejunum oleh mikrovili brush
border. Selain molekul-molekul tersebut, usus halus
famili Muridae juga mengabsorpsi berbagai vitamin dan
ion (Baker et al., 2013). Letak absorpsi maksimum
berbagai molekul, vitamin, dan ion terlihat pada Gambar
2.4.

16

Gambar 2.6 Letak Absorpsi Maksimal pada Traktus


Gastrointestinal Tikus (Baker et al.,
2013)
E. Anatomi Sekum
Sekum berukuran besar, berdinding tipis,
berbentuk koma, dan mengerut pada bagian tengah.
Pada tikus, sekum terbagi menjadi dua bagian yaitu
bagian apikal dan bagian basal. Bagian apikal terdiri dari
jaringan limfa pada dinding lateralnya, sementara bagian
basal tidak terdapat jaringan limfa sama sekali (Sharp
and Villano, 2013). Berikut adalah foto mikroskopis
bagian apikal dan basam sekum:

17

Gambar 2.7 Foto Mikroskopis Sekum Tikus. Gambar


A: bagian basal tanpa jaringan limfa, (a)
permukaan mukosa; (b) otot polos pada
lapisan luar dinding. Gambar B dengan
perbesaran 16x: bagian apikal dengan
jaringan limfa, (a) permukaan mukosa;
(b) jaringan mukosa pada dinding sekum
(Baker et al., 2013)
F. Anatomi Usus Besar
Kolon memanjang dari sekum sebagai kolon
ascenden,
melewati
duodenum,
dan
kemudian
memanjang ke kiri sebagai kolon transversum. Kolon
transverum tidak panjang hingga akhirnya belok ke arah
kaudal sebagai kolon descenden lalu mebentuk rektum
pada daerah pelvis (Suckow et al., 2006). Pada akhir
bagian rektum, akan membentuk anus yang dikelilingi
oleh sfingter eksternal dan kelenjar sebaseus (Gude et
al., 2012).
Kolon memiliki ciri yaitu sel-selnya tersusun atas
sel epitel kolumnar dengan banyak sel goblet namun
tidak banyak vili (Gude et al., 2012). Beberapa sel
epitel pada membran mukosa rektum famili Muridae
memiliki ciri yang unik: (1) partikel glikogen banyak
terakumulasi
pada
hewan
muda
kemudian

18
terdistribusi secara terpisah pada hewan dewasa; (2)
brush border memiliki mikrovili yang lebih besar dan
lebih tebal (Sharp and Villano, 2013).
G. Motilitas Gastrointestinal
Dalam
melakukan
tugasnya,
traktus
gastroinestinal memiliki kemampuan untuk melakukan
beberapa pola gerakan sehingga isi lumen dapat
tercampur sempurna dengan sangat efisien. Pola gerakan
itu disebut motilitas gastrointestinal.
1. Gerakan Peristaltik dan Segmentasi
Pola gerakan dasar gastrointestinal adalah
pola gerakan longitudinal yang menyebakan isi
lumen turun ke usus. Gerakan ini disebut peristaltik.
Gerakan ini disebabkan oleh koordinasi lapisan
sirkuler dan longitudinal otot polos pada traktus
gastrointestinal. Saat lapisan sirkuler berkontraksi
dan lapisan longitudinal berelaksasi, diameter
traktrus gastrointestinal akan mengecil sehingga
menyebabkan bolus tertekan menuju ke bawah.
Gerakan peristaltik ini terjadi lebih cepat pada bagian
proksimal daripada bagian distal (Stanfield dan
Germann, 2010).
Pada usus halus, juga terdapat pola gerakan
menyerupai peristaltik yang disebut segmentasi.
Gerakan segmentasi berkoordinasi dengan enzimenzim
pencernaan
sehingga
kimus
menjadi
tercampur sempurna serta mudah untuk dicerna dan
diabsorbsi. Saat satu segmen usus halus berelaksasi,
segmen lainnya segera akan memulai kontraksi,
demikian seterusnya. Skema perbedaan gerak
peristaltik dan gerak segmentasi terangkum pada
Gambar 2.10.

19

Gambar 2.8 Perbedaan Peristaltik dan Segmentasi.


(a) pada gerak peristaltik, kimus didorong
maju secara perlahan. (b) pada gerak
segmentasi, terjadi kontraksi dan relaksasi
yang menyebabkan kimus bergerak maju
mundur sehingga kimus tercampur
sempurna dengan cairan usus (Stanfield
dan Germann, 2010)
2. Motilitas Pada Usus Halus
Usus halus melakukan gerakan-gerakan
bergantung dari ada atau tidaknya kimus yang
masuk. Saat kimus masuk ke dalam lumen usus
halus, akan terjadi gerakan peristaltik yang melumat
kimus lagi kemudian berselang-seling dengan
gerakan segmentasi yang mencampur-aduk kimus.
Kontraksi usus halus ini dipengaruhi oleh dispensi
dan sekresi hormon (Stanfield dan Germann, 2010).
3. Motilitas Pada Usus Besar
Pada usus besar, terjadi lagi gerakan
peristaltik dan segmentasi yang mendorong kimus
menuju rektum untuk dieliminasi. Saat kimus
terakumulasi banyak pada bagian proksimal, usus
besar akan melakukan gerakan segmentasi yang
lebih lambat dari gerakan segmentasi serta disertai
dengan penyerapan mineral dan air. Gerakan
segmentasi di usus besar memungkinkan terjadinya
penyerapan mineral dan air dari feses secara

20
perlahan-lahan
dan
Germann, 2010).

progresif

(Stanfield

dan

H. Pembentukan Feses dan Komposisi Feses


Saat kimus memasuki usus besar dan telah
berada dalam usus besar selama 3-10 jam, kimus akan
berubah menjadi feses dengan struktur normal semisolid
karena telah mengalami penyerapan air (Rizzo, 2012).
Komposisi feses adalah: 30% serat yang tidak tercerna,
30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% materi anorganik,
serta 2-3% berupa protein dan sel-sel epitel mukosa yang
ikut terkelupas (Li, 2015). Bakteria yang terkandung
dalam feses adalah bakteri khusus yaitu Escherichia coli.
E. coli merupakan bakteri penghuni usus besar yang
mencerna materi-materi yang tidak tercerna saat berada
di lambung dan usus halus. Dekomposisi oleh bakteri ini
menyebabkan timbulnya gas dan bau (gas hidrogen
sulfida, H2S, menyerupai bau telur busuk) (Rizzo, 2012).
Namun selain karena bakteri, makanan yang dikonsumsi
juga mempengaruhi bau feses (Birchenall dan Streight,
2014).
Feses yang normal berwarna cokelat hingga
cokelat kehitaman. Bilirubin yang disekresi oleh empedu
bersama-sama dengan aktivitas bakteri dan udara dalam
usus menyebabkan bilirubin pecah menjadi stercobilin
dan urobilin yang memberikan warna pada feses (Reece
et al., 2015). Namun terkadang, makanan yang
mengandung bahan pewarna tajam juga dapat
mempengaruhi warna feses (Birchenall dan Streight,
2014).

21

Gambar 2.9

I.

Perombakan Hb Menghasilkan Heme.


Heme dirombak oleh hati menjadi pigmen
empedu yaitu bilirubin dan biliverdin yang
berwarna
hijau
kebiruan.
Bilirubin
disekresikan ke usus halus kemudian akan
teroksidasi dan dirombak oleh bakteri usus
menjadi urobilin. Urobilin akan terekskresi
bersama dengan feses dalam bentuk
stercobilin yang memberi warna cokelat
gelap pada feses (Helms et al., 2006)

Defekasi
Proses defekasi (buang air besar) didahului dengan
proses transportasi feses ke rektum yang mengakibatkan
ketegangan dinding rektum dan merangsang terjadinya
refleks defekasi. Rektum biasanya kosong sampai
menjelang defekasi. Saat feses telah terdapat dalam
rektum, akan menyebabkan otot rektum berkontraksi dan
sfingter levator ani berelaksasi secara volunter. Dengan

22
adanya tekanan yang dilakukan oleh otot-otot abdomen
mengakibatkan masa feses terdorong keluar dari anus
(Priyanto dan Lestari, 2009).
J.

Minyak Jarak
Minyak jarak (castor oil/Oleum ricini) merupakan
contoh sediaan pencahar klasik yang diperoleh dari biji
tanaman
jarak
(Ricinus
communis).
Minyak
ini
mengandung trigliserida asam risinoleat dan asam lemak
tidak jenuh. Di saluran cerna bagian atas (di lambung dan
usus halus), trigliserida dihidrolisis oleh enzim lipase
untuk membebaskan asam risinoleat. Asam risinoleat ini
bekerja pada mukosa usus untuk memperlancar
pergerakan kimus dalam lumen usus, dengan arti lain
asam risinoleat meningkatkan gerak peristaltik sehingga
usus tidak punya banyak waktu dalam mengabsorpsi air
dari kimus (Pengajar Departemen Farmakologi Universitas
Sriwijaya, 2009). Efek khusus lainnya akibat mekanisme
kerja minyak jarak yakni minyak jarak mengaktivasi
biosintesis prostaglandin, dimana prostaglandin ini
memicu menstimulasi peningkatan sekresi mineral dan
elektrolit ke dalam usus halus, akibatnya kimus menjadi
lebih encer dari keadaan normal (Cuthbert, 2010).

23
Gambar 2.10 Tumbuhan Jarak dan minyak jarak
(Hambali dkk., 2006)
Kerja minyak jarak cukup cepat, dapat terlihat
dalam waktu 2-6 jam. Dosis dewasa yang dianjurkan
adalah 15-60 ml, sedangkan untuk anak-anak adalah 515 ml (Tan dan Rahardja, 2007).
K. Diare
1. Etiologi
Diare adalah keadaan berak dengan banyak
cairan (mencret) dan terjadi dengan frekuensi lebih
dari tiga kali dalam sehari (Tan dan Rahardja, 2007).
Penyakit ini banyak terjadi di negara-negara
berkembang dengan pengaturan sanitasi yang
rendah kemudian mengakibatkan diare sehingga
menyebabkan dehidrasi bagi penderita diare dimana
dehidrasi merupakan penyebab kematian penting
pada anak-anak. Selain pengaturan sanitasi faktor
lain seperti kurangnya penyediaan air minum, polusi
lingkungan, prosedur yang kurang benar mulai dari
pemrosesan hingga penyimpanan makanan, bencana
alam, dan kemiskinan juga mempengaruhi epidemik
diare (Hardiyanti, 2008).
Dalam lambung makanan dicerna menjadi
kimus untuk kemudian diteruskan ke usus halus dan
diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan.
Setelah zat-zat gizi diserap oleh vili ke dalam darah,
sisa kimus yang terdiri dari 90% air dan zat-zat yang
suka dicerna diteruskan ke usus besar. Dalam usus
besar, terjadi penyerapan air dan pencernaan sisasisa kimus (serat) oleh bakteri penghuni usus besar,
E. coli, sehingga sebagian besar kandungan kimus
terserap di usus besar. Akibatnya lambat laun isi usus
besar menjadi semakin padat dan dikeluarkan

24
melalui anus sebagai tinja/feses (Tan dan Rahardja,
2007).
Pada keadaan normal, aktivitas reabsorpsi
yang terjadi di usus melebihi aktivitas sekresi, namun
karena suatu sebab aktivitas sekresi menjadi lebih
besar daripada aktivitas reabsorpsi sehingga
terjadilah diare. Saat seseorang terkena diare, dia
mengalami gangguan pada reabsorpsi sedangkan
sekresi getah lambung dan usus serta motilitas usus
meningkat. Peningkatan motilitas usus menyebabkan
kimus melintas dengan cepat sementara kimus
masih mengandung banyak air (Tan dan Rahardja,
2007).
Berdasarkan penyebabnya, diare terbagi
menjadi dua, yaitu diare spesifik dan diare
nonspesifik. Diare spesifik disebabkan oleh adanya
infeksi baik bakteri, parasit, maupun virus,
sedangkan diare nonspesifik terjadi akibat salah
makan
(makanan
terlalu
pedas
sehingga
mempercepat peristaltik usus), ketidakmampuan
lambung dan usus dalam metabolisme laktosa
(terdapat dalam susu hewani) yang disebut lactose
intolerance,
ketidakmampuan
memetabolisme
sayuran atau buah tertentu (kubis, kembang kol,
sawi, nangka, durian), juga infeksi virus-virus
noninvasive yang terjadi pada anak berumur di
bawah dua tahun karena rotavirus (Puspitasari,
2010).
Saat seseorang terkena diare, ia akan
mengalami defekasi lebih sering dari bisanya dengan
kondisi feses yang masih banyak mengandung
cairan, bahkan pada penderita diare berat ia juga
akan mengalami muntah-muntah. Kondisi demikian
mengartikan
bahwa
penderita
diare
banyak
mengeluarkan cairan dalam tubuhnya sehingga

25
lambat laun penderia diare akan mengalami
dehidrasi, kekurangan kalium, dan adakalanya
asidosis (darah menjadi asam) yang tidak jarang
berakhir dengan shock lalu kematian (Puspitasari,
2010).
Gejala pertama dari dehidrasi adalah
perasaan haus, mulut dan bibir kering, kulit menjadi
keriput, air kencing berkurang, berat badan menurun,
dan menimbulkan perassan gelisah. Sementara
kekurangan kalium akan memengaruhi sistem
neuromuskular dengan gejala mengantuk, lemah
otot, dan adakalanya sesak napas (Tan dan Rahardja,
2007).
2. Pencegahan Diare dan Tindakan Umum
Pencegahan diare pada umumnya ditujukan
pada tindakan higienis yang cermat mengenai
sanitasi dan kebersihan, khususnya cuci tangan
dengan bersih sebelum makan atau mengolah
makanan, begitu pula cuci alat-alat dapur dan bahanbahan makanan. Bahan makanan dimasak sampai
matang dan disimpan dalam keadaan tertutup
(penyimpanan dengan suhu rendah dapat mencegah
timbulnya bakteri), serta air minum harus dalam
keadaan matang (Tan dan Rahardja, 2007).
3. Penanganan Diare
a. Terapi Nonfarmakologis
Upaya paling penting dalam penanganan
diare adalah mengoreksi kehilangan cairan dan
elektrolit dengan penggantian cairan dan
elektrolit secepat mungkin, misalnya dengan
pertolongan pertama menggunakan larutan gula
garam (oralit). Oralit harus diberikan dalam tiga
jam pertama dari saat terjadinya diare
(Puspitasari, 2010).
Guna mencegah timbulnya luka pada
usus dan pendarahan, penderita diare harus

26
beristirahat
total.
Penderita
juga
perlu
melakukan diet dengan bahan makanan yang
tidak merangsang dan mudah dicerna.
b. Terapi Farmakologis
Diare akibat virus dan akibat enterotoksin
biasanya akan sembuh sendiri setelah lebih
kurang lima hari. Pada saat itu, sel-sel epitel
mukosa yang rusak telah diganti oleh sel-sel
baru, hanya bila penderita diare berat maka
dapat digunakan obat untuk menguranginya,
misalnya dengan asam samak, aluminum
hidroksida, dan karbon adsorben (Tan dan
Rahardja, 2007).
Antibiotika
sangat
efektif
untuk
memusnahkan
bakteri
dan
mengurangi
frekuensi
defekasi,
misalnya
tetrasiklin,
doksisiklin,
kotrimosazol,
siprofloksazin,
ampisilin, amoksisilin, kloramfenikol, tetrasiklin,
dan eritromisin. Kaolin, pektin dan bismuth juga
bisa digunakan untuk menguangi frekuensi
defekasi (Puspitasari, 2010).
Diare juga bisa disembuhkan dengan
memberi zat penghambat peristaltik, seperti
candu dan loperamid. Candu (Opium, Pulvis opii)
dapat menekan peristaltik sehingga berguna
sebagai obstipan pada pengobatan disentri dan
kolera. Berhubung daya kerjanya terhadap sisem
saaf pusat (SSP) dan risiko adiksi, candu tidak
boleh digunakan sembarangan. Loperamid tidak
bekerja
terhadap
SSP
sehingga
tidak
menimbulkan
ketergantungan.
Loperamid
mampu
menormalisasi
keseimbangan
reabsorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu

27
memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan
hipersekresi ke keadaan normal kembali. Namun
loperamid juga memiliki efek samping yaitu
mual, muntah, pusing, dan mulut kering (Tan dan
Rahardja, 2007).
Jenis obat lainnya yang dapat digunakan
dalam
mengatasi
diare
adalah
tanin,
karboadsorben,
attalpugit,
dan
bismuth
subkarbonat. Tanin dapat mengendapkan zat
putih telur dan bersifat adstringent yaitu dapat
meringankan diare dengan menciutkan mukosa
usus sehingga mengurangi penyerapan air di
usus. Karboadsorben adalah arang halus yang
telah diaktifkan melalui suatu proses tertentu
sehingga memiliki daya serap tinggi terutama
terhadap zat-zat yang molekulnya besar seperti
alkaloid, toksin bakteri, atau zat-zat beracun
lainnya yang berasal dari makanan. Attalpugit
biasanya dikonsumsi dalam bentuk tablet,
berfungsi sebagai adsorbens bakteri dan toksin,
serta mampu mengurangi frekuensi defekasi dan
memperbaiki
konsistensi
feses.
Bismut
subkarbonat selain berkhasiat sebagai obstipan,
juga dapat membentuk suatu lapisan pelindung
untuk menutupi luka di dinding usus akibat
peradangan (Tan dan Rahardja, 2007).
L. Penelitian Yang Relevan
Berikut merupakan beberapa penelitian relevan yang
mendukung penelitian ini:
1. Allegrini dan Constantini pada tahun 2012 melakukan
studi mengenai tanin dan hasilnya adalah bahwa
semua jenis tanin dapat berperan sebagai
adstringent yang bisa menyusutkan jaringan dan
mengikat protein struktural sehingga dapat dikatakan

28

2.

3.

4.

5.

bahwa tanin dapat berperan sebagai antidiare.


Mereka juga menyatakan bahwa tumbuhan yang
dapat berperan sebagai antidiare adalah tumbuhan
yang kaya akan tanin.
Balaji et al. pada tahun 2012 melakukan studi pada
ekstrak aquades buah mungsi. Hasil penelitiannya
menunjukkan ekstrak aquades buah mungsi dapat
berperan sebagai antidiare karena kaya akan
kandungan tanin.
Bakhriansyah dkk. pada tahun 2011 melakukan studi
menggunakan akar sago. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa infusa akar sago dapat
berperan sebagai antidiare karena mengandung
tanin sebagai adstringen.
Rufeng et al. pada tahun 2010 melakukan studi
fitokimia mengenai buah delima. Hasil penelitianya
menunjukkan bahwa delima banyak mengandung
tanin, flavonoid, alkaloid, asam organik, triterpenoid,
steroid, dan senyawa-senyawa lain seperti sakarida,
kumarin, dan lignan.
Parveen dan Akhtar pada tahun 2013 melakukan
studi fitokimia mengenai ekstrak berbagai varietas
tanaman. Hasil penelitiannya menunjukkan hasil
bahwa kandungan polifenol delima merah lebih tinggi
30% dibandingkan dengan kandungan polifenol
delima putih.
Sreekumar et al. pada tahun 2014 melakukan studi
fitokimia terhadap ekstrak aquades buah delima,
kulit delima, biji delima, daun delima, bunga delima
dan akar delima. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa kulit dan biji buah delima mengandung lebih
banyak tanin dan senyawa polifenol lainnya daripada
dalam daun, bunga, maupun akar

29

M. Kerangka Berpikir

setengah
sebanyak
lebih daridiare,
tiga kali
dalam
sehari
sehingga
menyebabkan
deh
obat
kimia cair
untuk
menyembuhkan
namun
kini
masyarakat
juga
memilih pengo

nekan dehidrasi pada jaringan mukosa dan mengurangi kandungan air feses (Gardne

n bahwa semua jenis tanin bertindak sebagai adstringen.


ak aquades buah mungsi (Carum copticum)
Solusi : sebagai antidiare mengandung tanin.
. (2011)
menunjukkan
bahwa
infusa
akar sago
(Metroxylon
sagu)
mengandung
tanin
Rebusan buah delima merah (Punica
granatum
L.) kaya
akan
tannin
menunjukkan bahwa kulit dan biji buah delima lebih banyak mengandung tanin dan

Harapan :
usan buah delima merah pada dosis tertentu dapat menurunkan frekuensi defekasi p

Gambar 2.11 Kerangka berpikir


N. Hipotesis
Buah delima merah (Punica granatum L.)
menurunkan frekuensi defekasi pada diare.

dapat

30

Anda mungkin juga menyukai