PENDAHULUAN
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal
maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24
jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO 1983). Stroke pada prinsipnya terjadi
secara tiba-tiba karena gangguan pembuluh darah otak (perdarahan atau iskemik), bila karena
trauma maka tak dimasukkan dalam kategori stroke, tapi bila gangguan pembuluh darah otak
disebabkan karena hipertensi, maka dapat disebut stroke.
Stroke merupakan setiap kelainan otak akibat proses patologik pada sistem pembuluh
darah otak, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh
darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun
kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer
karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti
peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus. Karena itu penyebab stroke sangat
kompleks.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul
secara klinis jika aliran darah ke otak (CBF=cerebral blood flow) turun sampai ke tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of
brain functional activity). Dalam bahasa Inggris disebut sebagai cerebro-vascular accident.
Dua pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari
sepasang a.carotis interna, sedangkan 1/3 bagian posterior yang meliputi cerebellum, korteks
occipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang a.vertebralis
(a.basilaris). Jumlah aliran darah otak dikenal dengan Cerebral Perfusion Pressure (CBF) dengan
satuan cc/menit/100 gram otak. Yang ditentukan oleh tekanan perfusi otak CBP (Cerebral
Perfusion Pressure) dan resistensi cerebrovascular CRV (Cerebrovascular Resistance)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stroke merupakan setiap kelainan otak akibat proses patologik pada sistem pembuluh
darah otak, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh
darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun
kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer
karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti
peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus. Karena itu penyebab stroke sangat
kompleks.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul
secara klinis jika aliran darah ke otak (CBF=cerebral blood flow) turun sampai ke tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of
brain functional activity). Dalam bahasa Inggris disebut sebagai cerebro-vascular accident.
Dua pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari
sepasang a.carotis interna, sedangkan 1/3 bagian posterior yang meliputi cerebellum, korteks
occipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang a.vertebralis
(a.basilaris). Jumlah aliran darah otak dikenal dengan Cerebral Perfusion Pressure (CBF) dengan
satuan cc/menit/100 gram otak. Yang ditentukan oleh tekanan perfusi otak CBP (Cerebral
Perfusion Pressure) dan resistensi cerebrovascular CRV (Cerebrovascular Resistance)
CPP = MABP ICP
CVR
CVR
Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah 50-60 cc/100 gram
otak/menit. Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat ambang batas aliran
darah otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi otak, yaitu :
a. Ambang fungsional
Batas aliran darah otak, + 50-60 cc/100 gram/menit, yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak
Batas aliran darah otak, + 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak tercapai akan
menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti, berarti sebagian struktur intrasel telah berada
dalam proses desintergrasi
c. Ambang kematian sel
Batas aliran darah otak otak, < 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kerusakan total sel-sel otak Pengurangan aliran darah ke otak dapat tidak
menimbulkan gejala (slient) dan akan muncul secara klinis jika CBF turun sampai melampaui
batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of brain
functional activity). Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Bila kita berhadapan dengan stroke, berarti juga bahwa kita sedang menghadapi berbagai
masalah yang kompleks; tidak ada penyebab tunggal yang mengakibatkan stroke. Proses
patologik yang terjadi berubah dengan perubahan waktu, banyak faktor-faktor risiko yang sangat
berpengaruh dan seterusnya.
Oleh karena itu, penanggulangan stroke tidak akan mempunyai arti bila faktor-faktor yang
kompleks tersebut tidak dianggap sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan. Dengan
adanya alat-alat diagnostik yang canggih akhir-akhir ni, maka diagnostik penyakit-penyakti
serebro vaskuler pada umumnya dan stroke pada khususnya menjadi lebih akurat, dengan
sendirinya dituntut pula pengobatan yang lebih rasional dan dapat meramalkan prognosa yang
3
lebih tepat.
kranial).
Selain itu, masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga
menurut buskirk tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem : kelompok vena interna, yang
menghubungkan darah ke vena Galen, dan sinus rectus dan kelompok vena eksterna yang
terletak di permukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan
sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke
jantung.
Basilaris
Cerebral posterior
Cerebri media
Opthalmica
Cerebri anterior
Kiri dan kanan membentuk arteri comunican anterior. Di otak pembuluh darah saling
beranastomose membentuk sirkulus wilisi
3.2 Definisi Stroke
Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan suatu
gangguan
fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun
global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.
3.3 Prevalensi
Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun.
Banyak penderitanya yang cacat, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sediakala, menjadi
tergantung kepada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Stroke dapat
terjadi pada setiap usia, dari bayi baru lahir sampai usia sangat lanjut. Clifford Rose dari Inggris
memperkirakan insidens stroke dikebanyakan negara adalah sebesar 200 per 100.000 populasi
per tahun. Insidens infark otak dan perdarahan intraserebral meningkat sesuai dengan
pertambahan umur, sedang perdarahan subarakhnoidal lebih banyak terdapat di kalangan usia
muda.
3.4 Epidemiologi
Di negara industri penyakit stroke umumnya merupakan penyebab kematian No 3 pada
kelompok usia lanjut setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia stroke merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama.
Saat ini diperkirakan sekitar 17 juta orang di dunia telah meninggal akibat penyakit stroke
dan kardiovaskular setiap tahunnya. Kasus kematian terbanyak akibat kedua penyakit ini terjadi
di negara berkembang. Kecacatan yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat besar. Penyakit
kardiovaskuler bertanggung jawab terhadap 10% penyebab kecacatan di negara berkembang
sedangkan 5 juta dari 15 juta orang di dunia yang menderita stroke harus merelakan sisa
umurnya dalam kecacatan (WHO, 2013).
Tidak seperti tahun sebelumnya, saat ini telah terjadi transisi epidemiologi dengan
meningkatnya proporsi penyakit tidak menular di Indonesia (Kemenkes, 2012). Hal ini juga
sesuai dengan data epidemiologi dari WHO (2011) yang menunjukkan bahwa di negara
berkembang seperti Indonesia penyakit tidak menular terutama penyakit kardiovaskular dan
stroke lebih banyak persentasenya dibandingkan dengan penyakit menular (Gambar 1).
Keberhasilan pembangunan nasional, berkembangnya modernisasi, dan globalisasi di Indonesia
cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler (Penyakit jantung koroner, stroke,
7
dan penyakit arteri perifer). Data di Indonesia menunjukkan adanya kecendrungan peningkatan
kasus stroke, baik dalam hal kematian, kejadian, dan kecacatan. Angka kematian berdasarkan
umur sebesar 15,9 (45-55 tahun), 26,8% (55-64 tahun), 23,5% (>65 tahun). Insidensi stroke
sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan yang ditimbulkan 4,3% semakin memberat
(Kemenkes, 2012).
3.5 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko stroke adalah faktor-faktor yang berhubungan erat dengan terjadinya
stroke. Berbagai faktor tersebut antara lain adalah ;
Mayor :
-
Hipertensi
Diabetes melitus
Penyakit jantung
Pernah menderita stroke sebelumnya
Minor :
-
Merokok
Obesitas
Penggunaan kontrasepsi oral
Kurang olahraga
Stres
Alkoholisme
Hiperlipidemia
Asam urat yang tinggi
normal, maka sumbatan arteri karotis tidak akan memberikan gejala, seperti yang terjadi pada
kebanyakan penderita. Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki derajat perlindungan
anastomosis yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri basilaris selalu
mengakibatkan kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan arteri vertebralis,
boeh jadi tidak memberikan gejala.7
Mekanisme lain pelannya aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah
defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah
sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri, aliran darah mungkin bergantung pada
tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke. Dengan demikian, hipertensi harus
diterapi secara hati-hati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu
stroke atau iskemia arteri koronaria atau keduanya.7
c. Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal embolus. Asal
stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh darah yang mengalami stenosis.
Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui
adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien baru mengalami infark
miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan mendadak pembuluh besar otak. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis.
Karena biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari jantung
mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang
ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam
bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.7
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga
gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbukan
10
gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang lebih besar
menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah
proses emboli pertama. Penyebab perdarahn tersebut adalah bahwa struktur dinding arteri
sebelah distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena kekurangan perfusi. Dengan
demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di
pembuluh tersebut.
d. Penyakit gagal jantung
Penyakit gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) didefinisikan sebagai
ketidak mampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan metabolisme tubuh. Gejala klinis dari gagal jantung ini diantaranya adalah sesak nafas
saat istirahat atau saat beraktivitas, kelelahan, dan kaki membengkak. Sedangkan tanda-tanda
yang dapat ditemukan yaitu takikardi, takipneu, ronki paru, efusi pleura, tekanan vena jugularis
meningkat, edema perifer, dan hepatomegali (Dickstein et al., 2008).
CHF merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya stroke iskemik (Lloyd and
Jones, 2010; Hausler et al., 2011). Mekanisme penyebab terjadinya stroke yang paling dikenal
yaitu adanya kardioembolik yang terbentuk akibat atrial fibrillation (AF) atau hipokinesia
ventrikel kiri pada pasien CHF (Kolominsky-Rabas et al., 2001; Pullicino et al., 2000; Wolf et
al., 1991). Mekanisme ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pullicino et al (2000)
bahwa gangguan fungsi ventrikel kiri yang diukur dengan ejection fraction <30% terkait dengan
peningkatan risiko terjadinya embolus. Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Hohnloser et al
(2007) yang membandingkan insidensi stroke pada pasien AF yang menggunakan obat
antikoagulan menunjukkan bahwa AF merupakan penyebab utama kardioemboli pada pasien
CHF. Padahal, prevalensi AF pada pasien CHF sebesar 10-17% (Maiselet al., 2003).
Selain itu, akibat dari aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem rennin-angiotensinaldosteron, terjadi hiperkoagulasi, meningkatkan agregasi trombosit dan menurunkan fibrinolisis
pada pasien dengan CHF (Caldwell et al., 2010; Jug et al., 2009).
Disfungsi endotel, peningkatan kecepatan aliran darah, dan disregulasi mediator (seperti
thrombin dan plasminogen) juga mengaktivasi pembentukan trombus (Jug et al., 2009).
11
Hubungan lain antara CHF dan stroke iskemik yaitu keduanya memiliki faktor risiko yang
sama yaitu diabetes mellitus dan hipertensi (Freudenberger et al., 2007). Faktor risiko tersebut
membuat pasien CHF juga memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya atherosclerosis dan
oklusi pembuluh darah kecil.
Hipotensi yang terjadi pada pasien CHF juga menambah faktor risiko terjadinya stroke
melalui mekanisme hipoperfusi (Pullicino et al., 2001; Pullicino et al., 2009). Sebagai tambahan,
dalam studi yang dilakukan Appelros et al (2002) menunjukkan bahwa CHF merupakan
prediktor yang independen terhadap derajat keparahan stroke iskemik.
e. Mekanisme Kerusakan Sel-Sel Saraf pada Stroke Iskemik
Sebagian besar stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark) tempat
aliran darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak dapat pulih.
Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila CBF hanya 20% dari normal atau kurang. CBF
normal adalah sekitar 50ml/100g jaringan otak / menit. Mekanisme cedera sel akibat stroke
adalah
sebagai
berikut:
Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energi ini adalah dengan
meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Yang memperparah masalah adalah proses
eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat yang
berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak
lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang
menyebabkan terbentuknya gas nitrat oksida (NO). Pembentukan NO dapat terjadi secara cepat
dalam jumlah besar sehingga terjadi pengurian dan kerusakan struktur-struktur yang vital. Proses
ini terjadi melalui perlemahan asam deoksiribnukleosida (DNA) neuron.
NO dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan kerusakan dan kematian neuron. Obat
yang dapat menghambat NOS atau produksi NO mungkin akan bermanfaat untuk mengurangi
kerusakan otak akibat stroke.
Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease (enzim yang mencerna protein
sel) yang diaktifkan oleh kalsium, lipase (enzim yang mencerna membran sel), dan radikal bebas
yang terbentuk akibat jejas iskemik.
13
periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa
perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.
Beberapa gejala stroke berikut:
kesemutan.
Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.
3.9
Diagnosis
saat ini hanya dijumpai di kota tertentu, maka dalam menghadapi kasus dengan
kecurigaan stroke, langkah pertama yang ditempuh adalah menentukan lebih dahulu apakah
benar kasus tersebut kasus stroke, karena abses otak, tumor otak, infeksi otak, trauma kepala,
juga dapat memberikan kelainan neurologis yang sama, kemudian menentukan jenis stroke yang
dialaminya. Dengan perjalanan waktu, gejala klinis stroke dapat mengalami perubahan.
Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non hemoragis. antara
keduanya, dapat ditentukan berdasarkan :
-
Anamnesis
Pemerikasaan klinis neurologis
Algoritma dan penilaian dengan skor stroke
14
1. Anamnesis
Langkah ini tidak sulit karena kalau memang stroke sebagai penyebabnya, maka sesuai
dengan definisinya, kelainan saraf yang ada timbulnya adalah secara mendadak. Bila sudah
ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah berikutnya adalah menetapkan
stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke hemoragis atau stroke non hemoragis.
Untuk
keperluan
tersebut,
pengambilan
anamnesis
harus
dilakukan
seteliti
16
* Total score :
-
Stroke Hemoragik
*Catatan:
-
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik untuk
membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan
dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat
18
selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan
kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan
keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau
metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik
melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu
prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan
diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat
mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti,
dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat
terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali
lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang
disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan
informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran darah
otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser
angiogram konvensional.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam
arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara
bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang
paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benarbenar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika sumber perdarahan
perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang
akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah
dipertimbangkan untuk dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan penyempitan dan
penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak)
19
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada pasien
stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang
dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus
(transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan
electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada selama 24 jam atau
lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal.
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan
untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami
peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena
pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang
dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening
mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu
dipertimbangkan.
Tabel 5. Perbedaan jenis stroke dengan menggunakan alat bantu.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
Ropper, Allan .H, 2005. Adams and Victors Principles of Neurology. McGraw-Hill, USA.
Asviretty, Nuhoni, S.A., Tulaar, A., Idris, F.H., Handoyo, A.P., Suginarti, Ramli, H.,
Enizar, 2002, Standar Operasional Prosedur Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Harsono, 2007. Kapita Selekta Neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,
Cetakan keenam. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.
Lamsudin, R., 1997, Algoritma Stroke Gadjah Mada Penerapan Klinis Untuk
Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral dengan Stroke Iskemik Akut atau Stroke
Infark, Berkala Ilmu Kedokteran, vol.29, no.1: 11 16.
Sidharta, 2004, Stroke dalam Neurologi Klinis dalam Praktek umum, ED 5, Dian Rakyat,
Jakarta, hal : 260-275.
Sylvia, 1995, Penyakit Serebrosvaskuler dan Nyeri Kepala dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed 4, EGC, Jakarta, hal : 964-968.
22