Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal
maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24
jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO 1983). Stroke pada prinsipnya terjadi
secara tiba-tiba karena gangguan pembuluh darah otak (perdarahan atau iskemik), bila karena
trauma maka tak dimasukkan dalam kategori stroke, tapi bila gangguan pembuluh darah otak
disebabkan karena hipertensi, maka dapat disebut stroke.
Stroke merupakan setiap kelainan otak akibat proses patologik pada sistem pembuluh
darah otak, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh
darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun
kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer
karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti
peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus. Karena itu penyebab stroke sangat
kompleks.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul
secara klinis jika aliran darah ke otak (CBF=cerebral blood flow) turun sampai ke tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of
brain functional activity). Dalam bahasa Inggris disebut sebagai cerebro-vascular accident.
Dua pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari
sepasang a.carotis interna, sedangkan 1/3 bagian posterior yang meliputi cerebellum, korteks
occipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang a.vertebralis
(a.basilaris). Jumlah aliran darah otak dikenal dengan Cerebral Perfusion Pressure (CBF) dengan
satuan cc/menit/100 gram otak. Yang ditentukan oleh tekanan perfusi otak CBP (Cerebral
Perfusion Pressure) dan resistensi cerebrovascular CRV (Cerebrovascular Resistance)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stroke merupakan setiap kelainan otak akibat proses patologik pada sistem pembuluh
darah otak, sehingga terjadi penurunan aliran darah ke otak. Proses ini dapat berupa
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh
darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun
kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer
karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti
peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes melitus. Karena itu penyebab stroke sangat
kompleks.
Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan akan muncul
secara klinis jika aliran darah ke otak (CBF=cerebral blood flow) turun sampai ke tingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of
brain functional activity). Dalam bahasa Inggris disebut sebagai cerebro-vascular accident.
Dua pertiga depan kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat darah dari
sepasang a.carotis interna, sedangkan 1/3 bagian posterior yang meliputi cerebellum, korteks
occipital bagian posterior dan batang otak, memperoleh darah dari sepasang a.vertebralis
(a.basilaris). Jumlah aliran darah otak dikenal dengan Cerebral Perfusion Pressure (CBF) dengan
satuan cc/menit/100 gram otak. Yang ditentukan oleh tekanan perfusi otak CBP (Cerebral
Perfusion Pressure) dan resistensi cerebrovascular CRV (Cerebrovascular Resistance)
CPP = MABP ICP
CVR

CVR

Komponen CVR ditentukan oleh :


2

1. Tonus pembuluh darah otak


2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak

Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah 50-60 cc/100 gram
otak/menit. Dari percobaan pada hewan maupun manusia, ternyata derajat ambang batas aliran
darah otak yang secara langsung berhubungan dengan fungsi otak, yaitu :
a. Ambang fungsional
Batas aliran darah otak, + 50-60 cc/100 gram/menit, yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak
Batas aliran darah otak, + 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak tercapai akan
menyebabkan aktivitas listrik neuronal terhenti, berarti sebagian struktur intrasel telah berada
dalam proses desintergrasi
c. Ambang kematian sel
Batas aliran darah otak otak, < 15 cc/100 gram/menit, yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kerusakan total sel-sel otak Pengurangan aliran darah ke otak dapat tidak
menimbulkan gejala (slient) dan akan muncul secara klinis jika CBF turun sampai melampaui
batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi otak (threshold of brain
functional activity). Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke.
Bila kita berhadapan dengan stroke, berarti juga bahwa kita sedang menghadapi berbagai
masalah yang kompleks; tidak ada penyebab tunggal yang mengakibatkan stroke. Proses
patologik yang terjadi berubah dengan perubahan waktu, banyak faktor-faktor risiko yang sangat
berpengaruh dan seterusnya.
Oleh karena itu, penanggulangan stroke tidak akan mempunyai arti bila faktor-faktor yang
kompleks tersebut tidak dianggap sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan. Dengan
adanya alat-alat diagnostik yang canggih akhir-akhir ni, maka diagnostik penyakit-penyakti
serebro vaskuler pada umumnya dan stroke pada khususnya menjadi lebih akurat, dengan
sendirinya dituntut pula pengobatan yang lebih rasional dan dapat meramalkan prognosa yang
3

lebih tepat.

3.1 Anatomi Otak


Otak memperoleh darah melalui 2 sistem, yakni sistem karotis (arteri karotis interna kanan
dan kiri) dan sistem vertebral. A. karotis interna setelah memisahkan diri dari a. karotis komunis,
naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosus,
mempercabangkan a.oftalmika untuk n. optikus dan retina, akhirnya bercabang dua : a. serebri
anterior dan a. serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis,
parietalis, dan beberapa lobus temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh a. vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di a.
subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis transversalis di columna vertebralis
cervikalis, masuk ke rongga cranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masingmasing a. cerebelli inferor. Pada batas medulla oblongata dan pons, keduanya bersatu menjadi a.
basilaris, setelah mengeluarkan ketiga cabang arteri pada tingkat mesensefalon a. basilaris
berakhir sebagai sepasang cabang: a. cerebri posterior yang melayani darah bagi lobus occipitalis
dan bagian medial lobus temporalis.
Ketiga pasang a. serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak dan
beranastomosis satu dan lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan
otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang a. serebri lainnya. Untuk menjamin
pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya tiga sistem kolateral antara sistem karotis dan
vertebral, yaitu :
1. Sirkulus willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh a. serebri kanan
kiri, a. komunikans anterior (yang menghubungkan kedua a. serebri anterior), sepasang a.
serebri posterior, dan a. komunikan posterior (menghubungkan a. serebri media dan
posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
2. Anastomosis antara a. serebri interna dan a. karotis eksterna di daerah orbita, masingmasing melalui a. oftalmika dan a. fasialis ke a. maksilaris eksterna.
3. Hubungan antara sistem vertebral dengan a. karotis eksterna (pembuluh darah ekstra
4

kranial).
Selain itu, masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga
menurut buskirk tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem : kelompok vena interna, yang
menghubungkan darah ke vena Galen, dan sinus rectus dan kelompok vena eksterna yang
terletak di permukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan
sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke
jantung.

Gambar 1. Anatomi Otak

Gambar 2. Anatomi Pendarahan Otak


Secara ringkas, anatomi pendarahan otak adalah sebagai berikut :
Otak diperdarahi oleh cabang utama :
1. Arteri vertebralis :

Basilaris

Cerebral posterior

Arteri comunican posterior

2. Arteri karotis interna :

Cerebri media

Opthalmica

Cerebri anterior

Kiri dan kanan membentuk arteri comunican anterior. Di otak pembuluh darah saling
beranastomose membentuk sirkulus wilisi
3.2 Definisi Stroke
Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan suatu

gangguan

fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun

global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak.
3.3 Prevalensi
Stroke paling banyak menyebabkan orang cacat pada kelompok usia diatas 45 tahun.
Banyak penderitanya yang cacat, tidak mampu lagi mencari nafkah seperti sediakala, menjadi
tergantung kepada orang lain, dan tidak jarang menjadi beban bagi keluarganya. Stroke dapat
terjadi pada setiap usia, dari bayi baru lahir sampai usia sangat lanjut. Clifford Rose dari Inggris
memperkirakan insidens stroke dikebanyakan negara adalah sebesar 200 per 100.000 populasi
per tahun. Insidens infark otak dan perdarahan intraserebral meningkat sesuai dengan
pertambahan umur, sedang perdarahan subarakhnoidal lebih banyak terdapat di kalangan usia
muda.
3.4 Epidemiologi
Di negara industri penyakit stroke umumnya merupakan penyebab kematian No 3 pada
kelompok usia lanjut setelah penyakit jantung dan kanker. Di Indonesia stroke merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama.
Saat ini diperkirakan sekitar 17 juta orang di dunia telah meninggal akibat penyakit stroke
dan kardiovaskular setiap tahunnya. Kasus kematian terbanyak akibat kedua penyakit ini terjadi
di negara berkembang. Kecacatan yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat besar. Penyakit
kardiovaskuler bertanggung jawab terhadap 10% penyebab kecacatan di negara berkembang
sedangkan 5 juta dari 15 juta orang di dunia yang menderita stroke harus merelakan sisa
umurnya dalam kecacatan (WHO, 2013).
Tidak seperti tahun sebelumnya, saat ini telah terjadi transisi epidemiologi dengan
meningkatnya proporsi penyakit tidak menular di Indonesia (Kemenkes, 2012). Hal ini juga
sesuai dengan data epidemiologi dari WHO (2011) yang menunjukkan bahwa di negara
berkembang seperti Indonesia penyakit tidak menular terutama penyakit kardiovaskular dan
stroke lebih banyak persentasenya dibandingkan dengan penyakit menular (Gambar 1).
Keberhasilan pembangunan nasional, berkembangnya modernisasi, dan globalisasi di Indonesia
cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler (Penyakit jantung koroner, stroke,
7

dan penyakit arteri perifer). Data di Indonesia menunjukkan adanya kecendrungan peningkatan
kasus stroke, baik dalam hal kematian, kejadian, dan kecacatan. Angka kematian berdasarkan
umur sebesar 15,9 (45-55 tahun), 26,8% (55-64 tahun), 23,5% (>65 tahun). Insidensi stroke
sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan yang ditimbulkan 4,3% semakin memberat
(Kemenkes, 2012).
3.5 Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko stroke adalah faktor-faktor yang berhubungan erat dengan terjadinya
stroke. Berbagai faktor tersebut antara lain adalah ;
Mayor :
-

Hipertensi
Diabetes melitus
Penyakit jantung
Pernah menderita stroke sebelumnya

Minor :
-

Merokok
Obesitas
Penggunaan kontrasepsi oral
Kurang olahraga
Stres
Alkoholisme
Hiperlipidemia
Asam urat yang tinggi

3.6 Klasifikasi Stroke


Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya
1. Stroke Iskemik/Infark
a. Aterotrombotik
b. Tromboemboli
c. Kardioemboli
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intra serebral (PIS)
b. Perdarahan subarakhnoid (PSA)
c. Perdarahan intrakranial yang disebabkan AVM
Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
a. TIA (transient iscemic attack)
b. Stroke in Evolution (SIE)
c. Reversible neurological deficit (RND)
d. Completed stroke (CS)
8

Berdasarkan sistem pembuluh darah


a. Sistem karotis
b. Sistem vertebrobasiler
3.7 Patofisiologi
a. Stroke iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat obstruksi atau
bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh
bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.
Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu
organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem aretri ke otak sebagai suatu embolus.
Sumbatan aliran di arteri karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang usia
lanjut, yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga
terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteri karotis interna (tempat arteri karotis komunis
bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis.
Penyebab lain stroke iskemik adalah vasospasme, yang sering merupaka respon vaskuler
reaktif terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan piamater meninges.
b. Stroke Trombotik
Trombosis pembuluh darah besar dengan aliran lambat adalah salah satu subtipe stroke
iskemik. Sebagian besar dari stroke jenis ini terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami
dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik
yang menyebabkan stenosis di arteri karotis interna, atau, yang lebih jarang, di pangkal arteri
serebri media atau di taut arteri vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis arteri koronaria
yang oklusi pembuluh darahnya cenderung terjadi mendadak dan total, trombosis pembuluh
darah otak cenderung memiliki awitan bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari. Pola
ini menyebabkan timbulnya istilah stroke-in-evolution.
Akibat dari penyumbatan pembuluh darah karotis bervariasi dan sebagian besar tergantung
pada fungsi sirkulus Willisi. Bila sistem anastomosis arterial pada dasar otak ini dapat berfungsi
9

normal, maka sumbatan arteri karotis tidak akan memberikan gejala, seperti yang terjadi pada
kebanyakan penderita. Sirkulasi pada bagian posterior tidak memiliki derajat perlindungan
anastomosis yang sama, dan penyumbatan aterosklerotik dari arteri basilaris selalu
mengakibatkan kejadian yang lebih berat, dan biasanya fatal. Penyumbatan arteri vertebralis,
boeh jadi tidak memberikan gejala.7
Mekanisme lain pelannya aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah
defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah
sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intraarteri, aliran darah mungkin bergantung pada
tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan
penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke. Dengan demikian, hipertensi harus
diterapi secara hati-hati dan cermat, karena penurunan mendadak tekanan darah dapat memicu
stroke atau iskemia arteri koronaria atau keduanya.7
c. Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat, atau asal embolus. Asal
stroke embolik dapat suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh darah yang mengalami stenosis.
Stroke kardioembolik, yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui
adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien baru mengalami infark
miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan mendadak pembuluh besar otak. Embolus
berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis.
Karena biasanya adalah bekuan yang sangat kecil, fragmen-fragmen embolus dari jantung
mencapai otak melalui arteri karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang
ditimbulkannya bergantung pada bagian mana dari sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam
bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut.7
Selain itu, embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga
gejala-gejala mereda. Namun, fragmen kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbukan
10

gejala-gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki resiko yang lebih besar
menderita stroke hemoragik di kemudian hari, saat terjadi perdarahan petekie atau bahkan
perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah
proses emboli pertama. Penyebab perdarahn tersebut adalah bahwa struktur dinding arteri
sebelah distal dari oklusi embolus melemah atau rapuh karena kekurangan perfusi. Dengan
demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di
pembuluh tersebut.
d. Penyakit gagal jantung
Penyakit gagal jantung kongestif atau congestive heart failure (CHF) didefinisikan sebagai
ketidak mampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan metabolisme tubuh. Gejala klinis dari gagal jantung ini diantaranya adalah sesak nafas
saat istirahat atau saat beraktivitas, kelelahan, dan kaki membengkak. Sedangkan tanda-tanda
yang dapat ditemukan yaitu takikardi, takipneu, ronki paru, efusi pleura, tekanan vena jugularis
meningkat, edema perifer, dan hepatomegali (Dickstein et al., 2008).
CHF merupakan salah satu faktor risiko penyebab terjadinya stroke iskemik (Lloyd and
Jones, 2010; Hausler et al., 2011). Mekanisme penyebab terjadinya stroke yang paling dikenal
yaitu adanya kardioembolik yang terbentuk akibat atrial fibrillation (AF) atau hipokinesia
ventrikel kiri pada pasien CHF (Kolominsky-Rabas et al., 2001; Pullicino et al., 2000; Wolf et
al., 1991). Mekanisme ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pullicino et al (2000)
bahwa gangguan fungsi ventrikel kiri yang diukur dengan ejection fraction <30% terkait dengan
peningkatan risiko terjadinya embolus. Selanjutnya berdasarkan penelitian dari Hohnloser et al
(2007) yang membandingkan insidensi stroke pada pasien AF yang menggunakan obat
antikoagulan menunjukkan bahwa AF merupakan penyebab utama kardioemboli pada pasien
CHF. Padahal, prevalensi AF pada pasien CHF sebesar 10-17% (Maiselet al., 2003).
Selain itu, akibat dari aktivasi sistem saraf simpatis dan sistem rennin-angiotensinaldosteron, terjadi hiperkoagulasi, meningkatkan agregasi trombosit dan menurunkan fibrinolisis
pada pasien dengan CHF (Caldwell et al., 2010; Jug et al., 2009).
Disfungsi endotel, peningkatan kecepatan aliran darah, dan disregulasi mediator (seperti
thrombin dan plasminogen) juga mengaktivasi pembentukan trombus (Jug et al., 2009).
11

Hubungan lain antara CHF dan stroke iskemik yaitu keduanya memiliki faktor risiko yang
sama yaitu diabetes mellitus dan hipertensi (Freudenberger et al., 2007). Faktor risiko tersebut
membuat pasien CHF juga memiliki risiko yang tinggi terhadap terjadinya atherosclerosis dan
oklusi pembuluh darah kecil.
Hipotensi yang terjadi pada pasien CHF juga menambah faktor risiko terjadinya stroke
melalui mekanisme hipoperfusi (Pullicino et al., 2001; Pullicino et al., 2009). Sebagai tambahan,
dalam studi yang dilakukan Appelros et al (2002) menunjukkan bahwa CHF merupakan
prediktor yang independen terhadap derajat keparahan stroke iskemik.
e. Mekanisme Kerusakan Sel-Sel Saraf pada Stroke Iskemik
Sebagian besar stroke berakhir dengan kematian sel-sel di daerah pusat lesi (infark) tempat
aliran darah mengalami penurunan drastis sehingga sel-sel tersebut biasanya tidak dapat pulih.
Ambang perfusi ini biasanya terjadi apabila CBF hanya 20% dari normal atau kurang. CBF
normal adalah sekitar 50ml/100g jaringan otak / menit. Mekanisme cedera sel akibat stroke
adalah

sebagai

berikut:

1.Tanpa obat-obat neuroprotektif,


sel-sel saraf yang mengalami iskemia 80% atau lebih (CBF 10ml/100g jaringan otak /
menit) akan mengalami kerusakan ireversibel dalam beberapa menit. Daerah ini disebut pusat
iskemik. Pusat iskemik dikelilingi oleh daerah lain jaringan yang disebut penumbra iskemik
dengan CBF antara 20% dan 50% normal (10 sampai 25ml/100g jaringan otak / menit). Sel-sel
neuron di daerah ini berada dalam bahaya tetapi belum rusak secara ireversibel. Terdapat bukti
bahwa waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke dapat bervariasi dari 12 sampai 24 jam.
2. Secara cepat dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah penumbra, cedera dan
kematian sel otak berkembang sebagi berikut:
Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan energi, terutama adenosin trifosfat (ATP). Apabila terjadi kekurangan energi ini,
pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi, sehingga neuron membengkak
12

Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan energi ini adalah dengan
meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Yang memperparah masalah adalah proses
eksitotoksisitas, yaitu sel-sel otak melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat yang
berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini merangsang aktivitas kimiawi dan listrik di sel otak
lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang
menyebabkan terbentuknya gas nitrat oksida (NO). Pembentukan NO dapat terjadi secara cepat
dalam jumlah besar sehingga terjadi pengurian dan kerusakan struktur-struktur yang vital. Proses
ini terjadi melalui perlemahan asam deoksiribnukleosida (DNA) neuron.
NO dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan kerusakan dan kematian neuron. Obat
yang dapat menghambat NOS atau produksi NO mungkin akan bermanfaat untuk mengurangi
kerusakan otak akibat stroke.
Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease (enzim yang mencerna protein
sel) yang diaktifkan oleh kalsium, lipase (enzim yang mencerna membran sel), dan radikal bebas
yang terbentuk akibat jejas iskemik.

Gambar 3. Stroke trombotik, embolik dan hemorragik


3.8 Gejala Klinis Stroke Hemoragik
Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak, sangat cepat dan menyebabkan
kerusakan otak dalam beberapa menit (completed stroke). Kemudian stroke menjadi bertambah
buruk dalam beberapa jam sampai 1-2 hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati
(stroke in evolution). Perkembangan penyakit biasanya (tetapi tidak selalu) diselingi dengan

13

periode stabil, dimana perluasan jaringan yang mati berhenti sementara atau terjadi beberapa
perbaikan. Gejala stroke yang muncul pun tergantung dari bagian otak yang terkena.
Beberapa gejala stroke berikut:

Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).


Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.
Kesulitan menelan.
Kesulitan menulis atau membaca.
Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk, atau

kadang terjadi secara tiba-tiba.


Kehilangan koordinasi.
Kehilangan keseimbangan.
Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan salah

satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.


Mual atau muntah.
Kejang.
Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau

kesemutan.
Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.

3.9

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis Stroke pencitraan CT-Scan (Computerised Tomography


Scanning) yang merupakan pemeriksaan baku emas (Gold Standart). Mengingat bahwa alat
tersebut

saat ini hanya dijumpai di kota tertentu, maka dalam menghadapi kasus dengan

kecurigaan stroke, langkah pertama yang ditempuh adalah menentukan lebih dahulu apakah
benar kasus tersebut kasus stroke, karena abses otak, tumor otak, infeksi otak, trauma kepala,
juga dapat memberikan kelainan neurologis yang sama, kemudian menentukan jenis stroke yang
dialaminya. Dengan perjalanan waktu, gejala klinis stroke dapat mengalami perubahan.
Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non hemoragis. antara
keduanya, dapat ditentukan berdasarkan :
-

Anamnesis
Pemerikasaan klinis neurologis
Algoritma dan penilaian dengan skor stroke
14

Pemeriksaan dengan menggunakan alat bantu

1. Anamnesis
Langkah ini tidak sulit karena kalau memang stroke sebagai penyebabnya, maka sesuai
dengan definisinya, kelainan saraf yang ada timbulnya adalah secara mendadak. Bila sudah
ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah berikutnya adalah menetapkan
stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke hemoragis atau stroke non hemoragis.
Untuk

keperluan

tersebut,

pengambilan

anamnesis

harus

dilakukan

seteliti

mungkin.Berdasarkan hasil anamnesis, dapat ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti


tertulis pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis

2. Pemeriksaan klinis neurologis


Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila dibandingkan antara
keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-tandanya.

3. Algoritma dan penilaian dengan skor stroke.


Terdapat beberapa algoritma untuk membedakan stroke antara lain dengan :
a. Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada
15

Gambar 4. Algoritma stroke gadjah mada

b. Penetapan jenis stroke berdasarkan Djoenaedi stroke score


Tabel 3. Djoenaedi stroke score

16

* Total score :
-

Stroke Hemoragik

< Stroke non Hemoragik

b. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score


c.
17

Tabel 4. Siriraj Stroke Score (SSS)

*Catatan:
-

SSS> 1 = Stroke hemoragik

SSS < -1 = Stroke non hemoragik

3.10 Pemeriksaan Penunjang


Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan penyebab seorang
terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan otak sering dilakukan.
Suatu CT scan digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang
sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. CT Scan
berguna untuk menentukan:

jenis patologi

lokasi lesi

ukuran lesi

menyingkirkan lesi non vaskuler

MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik untuk
membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan
dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat
18

selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan
kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan
keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau
metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik
melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu
prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan
diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat
mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti,
dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat
terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali
lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang
disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan
informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran darah
otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser
angiogram konvensional.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam
arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara
bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang
paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benarbenar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika sumber perdarahan
perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang
akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah
dipertimbangkan untuk dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi atau
penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan penyempitan dan
penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak)

19

Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada pasien
stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang
dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus
(transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan
electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada selama 24 jam atau
lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal.
Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan
untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami
peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena
pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang
dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening
mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu
dipertimbangkan.
Tabel 5. Perbedaan jenis stroke dengan menggunakan alat bantu.

Tabel 6. Gambaran CT-Scan Stroke Infark dan Stroke Hemoragik

20

Tabel 7. Karakteristik MRI pada stroke hemoragik dan stroke infark

DAFTAR PUSTAKA
21

Ropper, Allan .H, 2005. Adams and Victors Principles of Neurology. McGraw-Hill, USA.

Asviretty, Nuhoni, S.A., Tulaar, A., Idris, F.H., Handoyo, A.P., Suginarti, Ramli, H.,
Enizar, 2002, Standar Operasional Prosedur Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Harsono, 2007. Kapita Selekta Neurologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,
Cetakan keenam. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

Lamsudin, R., 1997, Algoritma Stroke Gadjah Mada Penerapan Klinis Untuk
Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral dengan Stroke Iskemik Akut atau Stroke
Infark, Berkala Ilmu Kedokteran, vol.29, no.1: 11 16.

Mansjoer, 2000 , Stroke dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed 3, Media Aeuculapius,


Jakarta, hal : 17-26.

Sidharta, 2004, Stroke dalam Neurologi Klinis dalam Praktek umum, ED 5, Dian Rakyat,
Jakarta, hal : 260-275.

Sylvia, 1995, Penyakit Serebrosvaskuler dan Nyeri Kepala dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed 4, EGC, Jakarta, hal : 964-968.

Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,


Surabaya 2002.

22

Anda mungkin juga menyukai