Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT WILAYAH PESISIR PULAU BANGKA

Tugas Mata Kuliah


Sosial Budaya Dan Hukum Masyarakat Pantai
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Nurdien H Kistanto, MA.
Disusun Oleh : Kurniawan

MEGISTER MANAJEMEN SUMBERDAYA PANTAI


PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011

PENGARUH PENAMBANGAN TIMAH TERHADAP SOSIAL EKONOMI


MASYARAKAT WILAYAH PESISIR PULAU BANGKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada 10450 sampai 10930 Bujur Timur
dan 050 sampai 410 Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
Di sebelah Barat dengan Selat Bangka
Di sebelah Timur dengan Selat Karimata
Di sebelah Utara dengan Laut Natuna
Di sebelah Selatan dengan Laut Jawa
Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah daratan dan
wilayah laut dengan total luas wilayah mencapai 81.725,14 km2. Luas daratan lebih kurang
16.424,14 km2 atau 20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65.301 km2 atau
79,90 persen dari total wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kepulauan Bangka Belitung memiliki iklim tropis yang dipengaruhi angin musim yang
mengalami bulan basah selama tujuh bulan sepanjang tahun dan bulan kering selama lima
bulan terus menerus. Keadaan alam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar
merupakan dataran rendah, lembah dan sebagian kecil pegunungan dan perbukitan. Ketinggian
dataran rendah rata-rata sekitar 50 meter di atas permukaan laut dan ketinggian daerah

pegunungan antara lain untuk gunung Maras mencapai 699 meter, gunung Tajam Kaki
ketinggiannya kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut. Sedangkan untuk daerah
perbukitan seperti bukit Menumbing ketinggiannya mencapai kurang lebih 445 meter dan Bukit
Mangkol dengan ketinggian sekitar 395 meter di atas permukaan laut.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas
wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Kepulauan Bangka
Belitung yaitu sebesar 16.281 km2. Luas perairan Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan
sebesar 65.301 km2 dengan potensi perikanan tangkap sebesar 499.500 ton per tahun (Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2005).
Kabupaten Bangka memiliki luas perairan 1.377 km2 yang merupakan salah satu daerah
sentra atau penghasil utama sektor perikanan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu
sebesar 19.661,25 ton per tahun. Kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang cukup
melimpah yaitu sebesar 23.906,25 ton/tahun membuat banyak penduduk yang bermata
pencaharian sebagai nelayan tetap, disamping nelayan yang mempunyai mata pencaharian
sampingan seperti berkebun dan beternak (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka
2008).
Kabupaten Bangka berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Sehingga nelayannelayan di Kabupaten Bangka banyak melakukan penangkapan di Laut Cina Selatan. Potensi
perikanan tangkap di Laut Cina Selatan adalah sebesar 106.705.000 ton per tahun dengan
potensi ikan pelagis besar sebesar 6.608.000 ton per tahun ( Pengkajian stok di Perairan
Indonesia, 2005)
Masyarakat nelayan di Kabupaten Bangka sebagian besar masih tergolong nelayan
tradisional. Hal ini dapat dilihat dari aspek teknologi maupun jenis alat tangkap yang digunakan,
seperti mini purse seine, pancing ulur (hand line), bagan perahu (lift net), bubu (pot), jaring
insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift gillnet) dan payang (seine net).

Hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Bangka pada tahun 2008 mencapai
19.641,60 ton. Hasil tangkapan dominan yang diperoleh nelayan adalah tembang (Sardinella
sp) sebesar 17,6%, dan tenggiri (Scomberomorus commerson) sebesar 6,2 % dan ikan
kembung (Rastrelliger sp) sebesar 9,7%. Tenggiri merupakan ikan bernilai ekonomis tinggi yang
ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing ulur (hand line) dan jaring insang (gill
net) dan merupakan komoditas unggulan perikanan di Kabupaten Bangka. Di masa mendatang
diperkirakan permintaan komoditas ini baik dalam bentuk segar maupun olahan akan terus
mengalami peningkatan. Indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah semakin banyaknya
diversivikasi produk olahan ikan seperti krupuk, kemplang dan abon berbahan baku ikan (Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka 2008).
Pengembangan usaha perikanan di Kabupaten Bangka memerlukan pengkajian secara
menyeluruh dan terintegrasi, dengan mempertimbangkan aspek teknologi, sosial dan ekonomi.
Faktor teknologi yang dikaji adalah faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap hasil
tangkapan. Faktor sosial dan ekonomi yang dikaji, seperti pendapatan dan kesejahteraan
nelayan serta kelayakan usaha dengan tingkat pendapatan yang diterima berdasarkan biayabiaya yang dikeluarkan dan harga ikan di pedagang pengumpul, sehingga menghasilkan suatu
solusi yang terpadu dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan
berkelanjutan.

Setelah

mengkaji

aspek

teknologi,

sosial

dan

ekonomi

kemudian

memformulasikan strategi untuk mengembangkan usaha perikanan di Kabupaten Bangka


(Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka 2008).

B. Perumusan Masalah

Dilihat dari potensi diatas, provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi yang
besar dibidang perikanan khususnya perikanan laut. Ini dapat dilihat dari kondisi geografis yang
ada di provinsi Bangka Belitung yang mana dua per tiga (2/3) wilayah provinsi Bangka Belitung

merupakan lautan. Akan tetapi, di wilayah pesisir Bangka Belitung terdapat banyak aktifitas
penambangan

timah yang menagncam kelestarian ekosistem yang ada di wilayah pesisir.

Salah satu akibat dari penambangan timah tersebut antara lain adalah rusaknya terumbu
karang yang dikarenakan sedimen dari aktifitas penambangan menutupi permukaan terumbu
karang dan keruhnya air laut yang mengakibatkan terhambatnya cahaya matahari yang masuk
ke dalam perairan.
Meningkatnya aktifitas penambangan di wilayah pesisir ini diakibatkan karena
terbatasnya lahan yang ada di darat, sehingga para pengusaha tambang timah mulai beralih ke
wilayah pesisir dan kurangnya pengawasan dari pemerintah menjadikan usaha ini semakin
merajalela. Sehingga sejak otonomi daerah, penambangan timah menjadi sektor utama sebagai
pendapatan masyarakat Bangka Belitung. Ini diakibatkan karena penambangan timah yang
tadinya dikelola oleh BUMN yaitu PT. Timah tbk dan PT. Kobatin masyarakat kini dibebaskan
oleh pemrintah untuk melakukan aktifitas penambangan timah. Sehingga msayarakat yang
tadinya berprofesi sebagai petani dan nelayan berganti profesi sebagai penambang karena
pendapatan yang sangat besar dari sector penambangan. Akibatnya dari kondisi social ekonomi
masyarakat Bangka mendjadi berubah. Oleh karena itu timbulah masalah-masalah yang sangat
kompleks.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penlisan ini adalah untuk mengetahui perubahan social ekonoi masyarakat
pantai pulau Bangka Pasca otonomi daerah menjadi provinsi.

II. PEMBAHASAN
Penambangan timah di laut Pulau Bangka diprediksi potensial dilakukan hingga tahun
2025. Harusnya kita belajar dari kesalahan manajemen penambangan timah di darat. Sejak
penambangan timah rakyat dilegalkan pada tahun 2008/2009, penambangan darat dirasakan
mulai tidak potensial lagi dilakukan karena kesulitan lokasi baru.
Hasil yang didapat semakin sedikit dan biaya operasional pun semakin tinggi.
Dampaknya, ekosistem di daratan rendah dan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Bangka
terkelupas berganti kulit menjadi lapisan pasir yang menganga dan sungai-sungai yang
tercemar sedimentasi dan pendangkalan parah.
Kini, ekosistem di laut Pulau Bangka sedang menyusul menuju kerusakan yang tidak
jauh berbeda. Jumlah kapal isap, kapal keruk dan tambang-tambang apung baik menggunakan
kapal dan ponton di sejumlah lokasi pinggir pantai di pesisir Pulau Bangka terus bertambah dan
hampir tak terkendali. Penambangan laut sepertinya tak mengenal mana daerah terumbu
karang yang kondisinya masih bagus dan kawasan wisata bahari.

Anehnya, dua dari empat sektor unggulan pascatimah yang akan dikembangkan di
daerah ini untuk menghidupi masyarakatnya jika penambangan timah tidak potensial lagi
adalah perikanan dan pariwisata (wisata bahari). Tulang punggung kedua sektor ini sebenarnya
satu ekosistem terumbu karang.
Berdasarkan penelitian burke et al, 2002, dari 1 km2 terumbu karang yang sehat dapat
diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang di wilayah pesisir setiap
tahun.
Karena terumbu karang yang indah dan sehat pula yang menjadi daya tarik utama turis
lokal dan mancanegara datang dari jauh ke Bunaken dan Bali. Ekosistem terumbu karang yang
indah dan memiliki keanekaragaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan di daerah subtropis
menjadi magnet para turis mancanegara mengunjungi spot-spot karang di Indonesia.
Melihat kenyataan yang terjadi saat ini, dengan kerusakan ekosistem terumbu karang
yang nyata-nyata terjadi di depan mata kita setiap harinya, timbul pertanyaan Sektor apakah
yang sebenarnya ingin kita siapkan untuk generasi masa depan pascatimah nanti?.
Kita tunggu skenario dari program pemerintah daerah dalam menyelamatkan ekosistem
keluatan ini.
Luas lautan Provinsi Babel adalah 79,9 % dari luas daratan. Anehnya, rencana tata
ruang wilayah laut di provinsi ini sangat lemah dan hampir-hampir tidak ada. Untunglah barubaru ini Kabupaten Bangka Tengah telah mengeluarkan perda tentang kawasan konservasi laut
daerah (KKLD) terdiri dari lima pulau, yaitu Pulau Panjang, Ketawai, Gusung Asam, Semujur
dan Pebuar.
Kabupaten Bangka Selatan pun telah memiliki kawasan minapolitan yang terdiri dari
Pulau Pongok, Kepulauan Lepar dan Sadai. Sayangnya, kawasan ini ternyata juga tidak steril
dari penambangan. Penambangan timah terjadi di Pulau Tinggi yang mengakibatkan
sedimentasi di ekosistem pesisir di sekitarnya yang masuk dalam kawasan minapolitan. Kondisi
terumbu karang sebelah timur Pulau Panjang pun rusak akibat pengaruh sedimentasi dari

penambangan TI-TI apung di daerah Bangka sebelah timur yang berhadapan langsung dengan
pulau ini, seperti di daerah Batu Belubang dan Tanjung Gunung Kabupaten Bangka Tengah.
Terumbu karang di kawasan Pulau Ketawai pun rusak akibat pengaruh sedimentasi
yang parah dari muara sungai Desa Kurau akibat penggundulan hutan untuk perkebunan sawit
dan penambangan timah di hulu sungai. Ini mengindikasikan bahwa tidak ada program
konservasi yang jelas dan tegas dalam menjaga kelestarian ekosistem pesisir utamanya, yakni
terumbu karang di kawasan konservasi tersebut.
Dari 256 pulau yang terdapat di Provinsi Babel tak ada satu pun yang merupakan
kawasan larang ambil (no take zone), yang kondisi terumbu karangnya steril dari ancaman
kerusakan.

Gambar 1. Penambangan Timah di wilayah pesisir pulau Bangka

Gambar 2. Dampak Sedimentasi akibat penambangan timah di perairan Pulau Bangka


Apalagi pengaruh sedimentasi akibat penambangan timah di laut sekitar 25 kali luasan
penambangannya. Berdasarkan hasil simulasi yang pernah dilakukan dengan menggunakan
piranti lunak khusus, dari luasan izin usaha penambangan (IUP) sekitar 21.000 ha dampak
sedimentasinya sekitar 506.000 ha di perairan laut. Karenanya, kami merekomendasikan
bahwa jarak aman terumbu karang adalah 10 mil dari kawasan penambangan.
Setiap perusahaan yang secara legal melakukan penambangan timah di laut wajib
dilengapi dokumen amdal sebelum melakukan penambangan. Dalam amdal dikonsep rencana
rehabilitasi ekosistem terumbu karang dalam rangka mengembalikan kondisi lingkungan hidup.
Sayangnya, konsep rehabilitasi ekosistem terumbu karang masih sangat lemah dan
kenyataannya belum ada perusahaan timah legal yang melakukan program rehabilitasi terumbu
karang dengan keberhasilan baik di perairan laut Bangka sampai sekarang.
Sedihnya, banyak perusahaan yang dalam dokumen amdal mereka memilih rehabilitasi
mangrove dengan penanaman bibit mangrove. Padahal jelas-jelas ekosistem terumbu karang
yang rusak parah akibat penambangan kapal isap mereka.

Pemerintah

daerah

yang

memiliki

kewajiban

dalam

pengawasan

aktivitas

penambangan, termasuk program rehabilitasi lingkungan oleh perusahaan harus sungguhsungguh mengawasi dan mengevaluasi program ini jika memang peduli akan nasib masa
depan generasi mendatang.
Salah satu program yang telah berhasil dalam menyelamatkan ekosistem terumbu karang
seperti di Bali, Sulawesi Utara dan beberapa daerah di Papua dan Nusa Tenggara adalah
dengan membentuk daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (DPL-BM).
Kami menyarankan agar dibuat program satu kapal isap satu DPL-BM. Perusahaan
timah yang melakukan penambangan timah di laut wajib melakukan program ini dengan biaya
yang menjadi tanggung jawab perusahaan.
Terumbu karang merupakan tulang punggung sektor perikanan dan pariwisata bahari
yang merupakan sektor unggulan pascatimah di daerah ini ke depan.
Menghancurkannya adalah menghancurkan masa depan kita sendiri. Jangan sampai
kerusakan terus terjadi nanti harus ditanggung anak cucu kita, sebaliknya para pengusaha
timah pergi begitu saja setelah mengeruk banyak keuntungan dari pulau timah.

III. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
1. Akibat dari otonomi daerah Penambangan masyarakat Bangka bebas melakukan
penambangan.
2. Dengan adanya penambangan timah di Bangka-Belitung meningkatkan
pendapatan masyarakat Bangka-Belitung.
3. Sektor lain selain penambangan timah kurang diminati oleh masyarakat Bangka
4. Terjadi Kerusakan Akibar Penambangan timah khususnya di wilayah pesisir
Pulau Bangka-Belitung.
5. Timah Sebagai SDA yang idak dapat diperbaharui.
Saran

1. Perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah daerah terhadap penambangan


timah di wilayah pesisir pulau Bangka.
2. Tidak adanya peraturan daerah (PERDA) tentang pengawasan penambangan
timah di wilayah pesisir pulau Bangka sehingga perlu dibuat peraturan daerah
untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.
Daftar Pustaka
Ambalika, Indra. 2010. Tim Peneliti Terumbu Karang Universitas Bangka Belitung. Bangka
Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka. 2005. Profil Perikanan Tangkap Bangka. DKP Bangka.
http://www.ubb.ac.id/indexkarang.php?judul_karang=Kerusakan%20ekosistem%20terumbu
%20karang%20di%20Pulau%20Bangka%20akibat%20penambangan%20timah%20lepas
%20pantai%20%28Kapal%20Isap%29&&nomorurut_karang=29
www.bangkapos.go.id

Anda mungkin juga menyukai