Anda di halaman 1dari 3

PERISTIWA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Nilai Merah
Pra-Resume
Anggy Baskara
1302374
Sebuah dialog antara saya dan ibu saya setelah penerimaan hasil belajar caturwulan
ke-2, tahun ke-2 sekolah menengah pertama, dengan peringkat ke-2, di bawah peringkat 1
dari bawah :
Ibu

: ANGGY!!!

Saya

: (memegang stick playstation sedang asyik bermain game smackdown


memainkan the rock yang akan me-rock bottom musuhnya) Iya ma...

Ibu

: @#$%^*%$#@!!! (marah setelah mengetahui hasil belajar sang anak,


dan amarahnya lebih mengerikan daripada di-smackdown sama the rock)

Saya

: wah!!!

Ibu

: bukan wah, tapi mikir, aduh... Mama bingung harus gimana sama kamu,
mulai cawu depan, matiin itu ps, terus belajar sama mbak kamu!

Saya

: Iya Ma... (menerima keadaan, lemas tak berdaya, dadah ps...)

@#$%^*%$#@!!! itu adalah sebuah hasil kekecewaan seorang ibu terhadap hasil
belajar sang anak di sekolah yang jauh dari harapannya. Sebenarnya, yang sangat
mengecewakannya adalah nilai matematika saya yang diberi nilai 4 oleh guru bidang studi
tersebut. Saat itu, saya ingin sekali me-rock bottom guru tersebut, namun sudahlah
mungkin itu adalah kesalahan saya juga. Di caturwulan ke-3, saya belajar dengan mbak
saya di mata pelajaran yang membuat nilai saya K.O. Mbak saya memberikan cara yang
mudah dalam memecahkan soal matematika, hasilnya, saya memperoleh nilai hasil belajar
yang cukup memuaskan dan Hallo ps...
Sampai saat ini, nilai merah adalah sebuah aib untuk seorang siswa dan juga
orangtuanya, permasalahan sebenarnya bukanlah terletak pada nilai tersebut, namun lebih
kepada masalah pendidikan yang umumnya terjadi di Indonesia, orangtua kadang hanya
berfokus kepada nilai yang buruk, padahal mungkin saja di hasil belajar yang lain, terdapat
nilai yang menandakan potensi dari si anak. Selain itu, ketidakmampuan sekolah dalam
mengoptimalkan potensi siswa, kurikulum yang berganti-ganti, pelabelan seenaknya
terhadap siswa juga merupakan permasalahan di negara kita. Ya, pendidikan negara ini
kurang peka terhadap kata potensi. Walaupun, sejujurnya, para ahli pendidikannya sudah
khatam dengan yang namanya potensi, karena ini sudah mereka pelajari ketika
mengenyam pendidikan di Universitas atau Institut di bidang pendidikan, lalu mengapa

seperti terjadi stagnasi di wilayah mayoritas pendidikan di Indonesia? Sedangkan mereka


si minoritas, bisa maju tanpa peduli dengan rule yang harus mereka patuhi, padahal malah
mereka yang mempraktekkan Pasal 1 UU No. 20/2003 yaitu pendidikan yang lebih
menekankan kepada mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran dan
keterlibatan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Saya pernah bertemu secara tidak sengaja oleh pasutri dengan 1 anak yang
seperjalanan pulang di bis antar kota, dan ketika tahu saya adalah guru, mereka berbicara
mengenai anak mereka yang berusia 7 tahun, bersekolah di sekolah yang dibina oleh tokoh
anak terkenal di Indonesia, sangat antusias mereka berkata bahwa pendidikan di sekolah
tersebut bagus, karena tidak memaksakan anak untuk bisa semua pelajaran, namun hanya
mengembangkan potensi anak mereka, dengan yang non-potensinya diajarkan secara
pelan-pelan, mereka sangat mendukung pendidikan seperti itu, karena tidak mengganggu
masa bermain anak dengan tugas-tugas berat seperti sekolah pada umumnya.
Pasutri di atas adalah orangtua dengan pemikiran modern bahwa mengajar anak tidak
harus dididik gaya ala militer, membiarkan anak berkembang dengan proses bukan dengan
hasil dan sesuai potensinya. Sekolah yang diceritakan pasutri tadi, sama dengan
bagaimana Finlandia menerapkan pendidikan kepada masyarakatnya dengan optimalisasi
ke setiap individu. Bahkan minggu lalu, salah satu dosen yang mengajar saya berkata
bahwa tidak ada peraturan atau Undang-undang tentang pendidikan di Finlandia, namun
negara tersebut berhasil menjadi negara no. 1 di dunia pendidikan. Hebat, kok bisa ya?
Sampsa Vuorio, seorang guru di Torpparinmaki Comprehensive School, mengatakan:
Kami sadar bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Jadi proses ini perlu sedikit
demi sedikit. Kami hanya membantu memberi pelbagai kemungkinan buat siswa. Para
guru hanya seperti pelatih yang memberitahu mereka, jika anda melakukan ini, nilai
anda adalah 6. Jika anda melakukan ini nilainya mungkin 9.
Vuorio mengatakan dengan lebih lanjut, bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Jadi
perlu sedikit demi sedikit. Sekolah memberikan pelajaran atau latihan sesuai dengan
keperluan pelajarnya.
Dari pernyataan Sampsa Vuorio, jelas sekali bahwa yang dibutuhkan dalam sebuah
pendidikan adalah proses agar siswa mencapai potensi yang optimal.
Kemudian dosen tersebut kembali bertanya, kenapa mereka (Finlandia) bisa sukses
tanpa adanya UU tentang pendidikan? Mungkin jawabannya adalah :
1. Komitmen
2. Konsisten
3. Passion
4. Jelas bukan si tukang cetak biru, namun seseorang dengan perpaduan antara konsep
dan realisasi
Indonesia, negara dengan berjubelnya sumber daya manusia, dengan segala potensinya.
Semoga saja kurikulum baru ini, tidak membiarkan itu semua sia-sia. Dan nilai merah

bukan lagi menjadi masalah, melainkan menjadi petunjuk bahwa terdapat potensi siswa
yang sebenarnya dan lebih wah di lain wadah.
Daftar Referensi :
Purni
.
(2008).
Teropong.
Tersedia
di
http
://majalahopini.files.wordpress.com/2008/10/majalah-opini-35-hal-24.pdf
[diakses
tanggal 28 April 2014]
-----------------------------Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai