Anda di halaman 1dari 19

BAB III

RESUSITASI NEONATUS

LANGKAH-LANGKAH RESUSITASI NEONATUS

Neonatus aterm yang cairan ketubannya jernih dan bersih dari mekonium, langsung
bernafas, menangis, dan tonus ototnya baik memerlukan perawatan rutin, seperti mengeringkan,
menghangatkan, dan membersihkan jalan nafas dengan balon penghisap atau kateter penghisap.
Sebaliknya, neonatus yang tidak memenuhi kriteria di atas memerlukan langkah-langkah
resusitasi. Nilai Apgar dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi.
Langkah-langkah resusitasi neonatus antara lain:
1.
2.
3.
4.

Stabilisasi
Ventilasi
Kompresi dada
Penggunakan medikasi

Setiap langkah memerlukan waktu 30 detik untuk menuju ke langkah berikutnya. Untuk menuju
ke langkah berikutnya diperlukan penilaian terhadap respirasi, detak jantung, dan kulit bayi.
Contohnya, apnea dan gasping merupakan indikasi bantuan ventilasi. Peningkatan atau
penurunan detak jantung dapat menunjukkan kondisi perbaikan atau perburukan. Sianosis
sentral, penurunan cardiac output, hipotermia, asidosis, atau hipovolemia merupakan indikasi
dari resusitasi lebih lanjut.2,7

Sumber : E1029 : 2005 American Heart Association (AHA) Guidelines for


Cardiopulmonary
and Neonatal Patients: Neonatal Resuscitation Guidelines

Resuscitation (CPR) and Emergency Cardiovascular Care (ECC) of Pediatric . Illinois:


American Academy of Pediatrics . 2006.

Langkah Awal Resusitasi


Langkah awal untuk memulai resusitasi meliputi mengurangi pengeluaran panas,
memposisikan kepala pada sniffing position untuk membuka jalan nafas, membersihkan jalan
nafas, dan memberikan rangsangan.

1. Menghangatkan
Termoregulasi merupakan aspek penting dari langkah awal resusitasi. Hal ini dapat dilakukan
dengan meletakkan neonatus di bawah radiant warmer. Sebaiknya bayi yang diletakkan di
bawah radiant warmer dibiarkan tidak berpakaian agar dapat diobservasi dengan baik serta
mencegah terjadinya hipertermi. Bayi yang dengan berat kurang dari 1500 gram, mempunyai
risiko tinggi terjadinya hipotermi. Untuk itu, sebaiknya bayi tersebut dibungkus dengan plastik,
selain diletakkan di bawah radiant warmer. Tujuan dari resusitasi neonatus yaitu untuk mencapai
normotermi dengan cara memantau suhu, sehingga tidak terjadi hipertermi iatrogenik.2,7,10

2. Memposisikan Kepala dan Membersihkan Jalan Nafas


Setelah diletakkan di bawah radiant warmer, bayi sebaiknya diposisikan terlentang dengan
sedikit ekstensi pada leher pada posisi sniffing position.

Kemudian jalan nafas harus

dibersihkan. Jika tidak ada mekonium, jalan nafas dapat dibersihkan dengan hanya menyeka
hidung dan mulut dengan handuk, atau dapat dilakukan suction dengan menggunakan bulb
syringe atau suction catheter jika diperlukan. Sebaiknya dilakukan suction terhadap mulut lebih
dahulu sebelum suction pada hidung, untuk memastikan tidak terdapat sesuatu di dalam rongga
mulut yang dapat menyebabkan aspirasi. Selain itu, perlu dihindari tindakan suction yang terlalu
kuat dan dalam karena dapat menyebabkan terjadinya refleks vagal yang menyebabkan
bradikardi dan apneu. 2,7

sniffing position
source : http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/N%20teaching/Neonatal%20Resuscitation
%20Supplies%20and%20Equipment.html//

Jika terdapat mekonium tetapi bayinya bugar, yang ditandai dengan laju nadi lebih dari
100 kali per menit, usaha nafas dan tonus otot yang baik, lakukan suction pada mulut dan
hidung dengan bulb syringe ( balon penghisap ) atau kateter penghisap besar jika diperlukan. 5,7
Pneumonia aspirasi yang berat merupakan hasil dari aspirasi mekonium saat proses
persalinan atau saat dilakukan resusitasi. Oleh karena itu, jika bayi menunjukan usaha nafas
yang buruk, tonus otot yang melemah, dan laju nadi kurang dari 100 kali per menit, perlu
dilakukan suction langsung pada trachea dan harus dilakukan secepatnya setelah lahir. Hal ini
dapat dilakukan dengan laringoskopi langsung dan memasukan kateter penghisap ukuran 12
French (F) atau 14 F untuk membersihkan mulut dan faring posterior, dilanjutkan dengan
memasukkan endotracheal tube, kemudian dilakukan suction. Langkah ini diulangi hingga
keberadaan mekonium sangat minimal. 5,6,7

Source : http://www.firstaidmonster.com/popup_image.php/pID/7122

sumber:
http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Sumber : http://journal.medscape.com/content/1999/00/43/71/437101/437101_fig.html

3. Mengeringkan dan Memberi Rangsangan


Ketika jalan nafas sudah dibersihkan, bayi dikeringkan untuk mencegah terjadinya kehilangan
panas, kemudian diposisikan kembali. Jika usaha nafas bayi masih belum baik, dapat diberikan
rangsang taktil dengan memberikan tepukan secara lembut atau menyentil telapak kaki, atau
dapat juga dilakukan dengan menggosok-gosok tubuh dan ekstremitas bayi. 2,7
Penelitian laboratotium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama yang
berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode awal pernapasan yang cepat
maka peride selanjutnya disebut apnu primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk
telapak kaki akan menimbulkan pernapasan.7
Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa
usaha bernapas megap megap dan kemudian masuk ke dalam periode apnu sekunder. Selama
masa apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi
baru lahir. Bantuan pernapasan dengan ventilasi tekanan positif harus diberikan untuk mengatasi
masalah akibat kekurangan oksigen. Frekuensi jantung akan mulai menurun pada saat bayi
mengalami apnu primer , tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder.7

sumber : http://www.fac.org.ar/scvc/llave/epi/niermeye/nierf3.gif

4. Evaluasi Pernafasan, Laju Nadi, dan Warna Kulit


Langkah terakhir dari langkah awal resusitasi yaitu evaluasi pernafasan, laju nadi dan warna
kulit. Pergerakan dada harus baik dan tidak ada megap megap (gasping ). Gasping menunjukkan
adanya usaha nafas yang tidak efektif dan memerlukan ventilasi tekanan positif. Selain itu, laju
nadi harus lebih dari 100 kali per menit, yang diukur dengan cara melakukan palpasi tekanan
nadi di daerah dasar umbilikus, atau dengan auskultasi dinding dada sebelah kiri. Jika laju nadi
kurang dari 100 kali per menit, segera lakukan ventilasi tekanan positif.

sumber : http://healthprofessions.missouri.edu/cpd/RT/CRCE/nrpinfo.php

Penilaian warna kulit dapat dilakukan dengan memperhatikan bibir dan batang tubuh bayi untuk
menilai ada tidaknya sianosis sentral. Sianosis sentral menandakan terjadinya hipoksemia,

sehingga perlu diberikan oksigen tambahan. Jika masih terjadi sianosis setelah diberikan oksigen
tambahan, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan, bahkan dengan laju nadi lebih dari 100 kali
per menit. Jika sianosis sentral masih terjadi dengan ventilasi tekanan positif yang adekuat, perlu
dipikirkan adanya penyakit jantung bawaan atau adanya hipertensi pulmoner yang persisten.

PENILAIAN DAN PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS 2


Penilaian Jalan Nafas
Seperti yang sudah disebutkan, penilaian dan penatalaksanaan dari jalan nafas dapat
dilakukan dengan cara pembersihan jalan nafas, memposisikan bayi pada sniffing position untuk
membuka jalan nafas. Selain itu, dapat pula dilakukan evaluasi terhadap laju nadi dan warna
kulit bayi. Evaluasi ini harus dilakukan dengan baik karena bila ada salah satu tanda vital yang
abnormal, akan segera membaik jika diberikan ventilasi. Jadi, di dalam resusitasi neonatus,
pemberian ventilasi yang adekuat merupakan langkah yang paling penting dan paling efektif.
Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen diperlukan apabila neonatus dapat bernafas, laju nadi lebih dari 100
kali per menit, tetapi masih terjadi sianosis sentral. Oksigen aliran bebas oksigen diberikan
dengan cara dialirkan ke hidung bayi secara pasif, dapat diberikan menggunakan sungkup, Tpiece resuscitator, atau selang oksigen (oxygen tubing) sesuai dengan cara yang diperlukan.
Untuk memastikan neonatus mendapatkan oksigen dengan konsetrasi tinggi, sungkup harus
diletakkan menempel pada wajah, agar menciptakan tekanan yang setara dengan Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP) atau Positive End Expiratory Pressure (PEEP). Jika
menggunakan selang oksigen, posisi tangan harus dibentuk seperti mangkok di ujung selang dan
diletakkan di depan wajah bayi. Oksigen tidak boleh diberikan lebih dari 10 liter per menit
(LPM) untuk waktu yang lama. Oksigen cukup diberikan dengan aliran 5 LPM dalam resusitasi.
2,11,12

Standar oksigen yang digunakan dalam resusitasi neonatus yaitu oksigen 100%. Terdapat
penelitian yang meneliti penggunaan udara ruangan (oksigen 21%) dan oksigen 100% untuk

resusitasi neonatus. Disebutkan bahwa penggunaan oksigen 100% dapat merugikan selama masa
post asfiksia, hal ini berdasarkan teori :
1. Pada observasi in vitro , produksi oksigen radikal saat reoksigenasi hipoksia
bergantung pada konsentrasi oksigen
2. peningkatan konsentrasi hipoxantine di plasma selama hipoksia mencapai level lebih
tinggi pada saat resusitasi. Karena hipoxantine terakumulasi pada neonatus yang asfiksia , maka
dapat kita artikan bahwa limitasi oksigen pada masa post asfiksi secara potensial dapat
mengurangi luka akibat akumulasi dari oksigen radikal.
3. Selain itu hiperoksia memperlambat aliran darah pada bayi aterm maupun preterm dan
pemberian oksigen 100% saat persalinan dapat menyebabkan penurunan aliran darah jangka
panjang pada bayi preterm.
Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa mortalitas neonatus lebih rendah pada
penggunaan oksigen 21% daripada oksigen 100% ( 5,8 % dan 9,5% ) dan pada neonatus preterm
juga berlaku hal yang sama yaitu mortalitas pada penggunaan oksigen 21% lebih rendah
daripada oksigen 100% ( 21 % dan 35 % ). Hal ini menunjukkan resusitasi menggunakan
oksigen 21% ( udara ruangan) tampaknya potensial sebagai strategi untuk menurunkan
mortalitas neonatus bahkan pada neonatus preterm. Ini dapat berimplikasi terhadap aturan di
negara berkembang yang masih mencari cara lebih murah namun dapat menurunkan angka
kematian pada neonatus maupun bayi. 11, 12

Penggunaan oksigen memiliki efek samping seperti dapat merusak paru-paru dan
jaringan, terutama pada bayi prematur. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya penggunaan
oksigen dengan konsentrasi kurang dari 100%, yang dapat diperoleh dengan menggunakan
oxygen blender yang dapat mencampur oksigen dan udara untuk menghasilkan konsentrasi udara
yang diinginkan. Pada bayi yang menderita penyakit jantung bawaan, penggunaan oksigen 100%
dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, saturasi oksigen harus dijaga antara 85-95%,
dimana 70-80% didapatkan pada menit awal kehidupan. 7,10
Pemberian oksigen tambahan juga diberikan pada bayi yang memerlukan ventilasi
tekanan positif. Indikasi dari ventilasi tekanan positif dengan oksigen tambahan antara lain:
1. Bayi yang apnea
2. Laju nadi kurang dari 100 kali per menit setelah 30 detik
3. Terjadi sianosis sentral setelah diberikan oksigen tambahan

sumber :
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u04/u
04b_p01.html//

sumber :
www.emergent.in/images/Neopu
ff.gif

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Aterm


Beberapa penelitian menunjukkan pada bayi yang mengalami apnea atau gasping (megap
megap), pemberian ventilasi tekanan positif dengan kecepatan 40-60 kali per menit dengan
oksigen 100% merupakan cara yang efektif untuk memcapai laju nadi lebih dari 100 kali per

menit. Tekanan yang diperlukan untuk dapat melakukan ventilasi tekanan positif pada bayi aterm
dan preterm dengan efektif yaitu antara 30-40 cm H2O, walaupun dengan tekanan 20 cm H2O
sudah cukup efektif. Tanda dari ventilasi yang adekuat yaitu adanya peningkatan dari laju nadi.
Apabila tidak terjadi peningkatan laju nadi, reposisi ulang kepala dan sungkup, serta bersihkan
kembali jalan nafas atau lakukan suction lagi. Bila masih gagal dengan ventilasi yang noninvasif, perlu dilakukan intubasi.

Ventilasi Tekanan Positif pada Bayi Preterm


Paru-paru pada bayi preterm lebih mudah terluka oleh volume inflasi yang besar,
sehingga lebih sulit untuk dilakukan ventilasi. Tekanan sebesar 20-25 cm H2O sudah cukup
adekuat dalam ventilasi pada bayi preterm. Pada bayi yang menunjukkan tanda-tanda pernapasan
yang buruk dan/atau sianosis dapat digunakan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
sekitar 4-6 cm H2O. Sama seperti bayi aterm, jika masih gagal, perlu dilakukan intubasi.

Alat-alat Ventilasi 7
Ventilasi pada neonatus dapat menggunakan beberapa macam alat seperti:
1.
2.
3.
4.
5.

Self-inflating bags
Flow-inflating bag
T-piece resuscitator
Laryngeal mask airways
Endotracheal tube

Self-inflating bags merupakan alat yang paling banyak dipakai dalam ventilasi manual. Alat ini
memiliki katup pengaman yang menjaga tekanan inflasi sebesar 35 cm H2O. Namun katup
pengaman ini kurang efektif bila digunakan terlalu kuat. Positive End-Expiratory Pressure
(PEEP) dapat diberikan apabila katup PEEP disambungkan. Tetapi self-inflating bags tidak
dapat menggunakan CPAP. Selain itu, self-inflating bags tidak dapat digunakan untuk

mengalirkan

oksigen

aliran

bebas

(free-flow

oxygen).

Sumber : http://www.nzdl.org/gsdl/collect/who/archives/HASH0176.dir/p05.gif

Flow-inflating bags atau balon tidak mengembang sendiri dapat mengembang apabila ada
sumber gas. Alat ini tidak memiliki katup pengaman, namun dengan alat ini dapat dilakukan
PEEP atau CPAP karena adanya katup yang dapat mengatur aliran udara. Selain itu, dengan alat
ini dapat dialirkan oksigen aliran bebas dan lebih baik dalam resusitasi neonatus.
T-piece resuscitator merupakan alat yang dapat mengatur aliran udara serta juga dapat
membatasi tekanan yang diberikan. Tekanan inflasi yang diinginkan dan waktu inspirasi lebih
stabil dengan alat ini dibandingkan dengan self-inflating bags dan flow-inflating bags. Selain itu,
dengan alat ini dapat dilakukan PEEP dan dapat mengalirkan oksigen aliran bebas.
Laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat yang dapat digunakan
sungkup sudah tidak efektif. Ukuran yang biasa digunakan yaitu 1.

apabila penggunaan

Sumber : http://www.hospitalmanagement.net/contractor_images/intersurgical_2/5_solus.jpg

Indikasi penggunaan endotracheal tube antara lain: 7,8,9


1.
2.
3.
4.
5.

Penghisapan mekonium dari trakea


Saat ventilasi menggunakan sungkup sudah tidak efektif
Koordinasi dengan kompresi dada
Penggunaan Epinefrin
Keadaan resusitasi khusus (seperti hernia diafragma kongenital)

Untuk mengurangi terjadinya hipoksia saat melakukan intubasi, sebaiknya dilakukan preoksigenasi, dengan cara memberikan oksigen aliran bebas selama 20 detik. Biasanya digunakan
blade yang lurus pada tindakan ini. Blade no.1 digunakan untuk bayi aterm, no.0 untuk bayi
preterm, dan no.00 untuk bayi yang sangat preterm. Ukuran dari endotracheal tube dipilih
berdasarkan berat dari neonatus. 9
Posisi dari endotracheal tube yang benar dapat ditandai dengan peningkatan laju nadi, adanya
pengeluaran CO2, terdengarnya suara nafas, pergerakan dinding dada, adanya embun pada
selang, dan tidak ada distensi abdomen saat ventilasi. Apabila tidak ada peningkatan dari laju
nadi dan tidak ada pengeluaran CO2, posisi dari endotracheal tube harus diperiksa dengan
laringoskop. 7,9

Ukuran ET

Berat (gram)

Usia gestasi (minggu)

2,5

<1000

<28

3,0

1000-2000

28-34

3,5

2000-3000

34-38

3,5-4,0

>3000

> 38

Kompresi Dada10
Kompresi dada harus dilakukan apabila laju nadi kurang dari 60 kali per menit walaupun
sudah dilakukan ventilasi secara adekuat dengan pemberian oksigen tambahan selama 30 detik.
Kompresi dada harus dilukan dengan kecepatan

90 kali per menit dengan perbandingan

kompresi dengan ventilasi 3:1 (90:30). Kompresi dilakukan di bawah sela iga ketiga dengan
kedalaman sepertiga dari diameter anterior dan posterior. Ada 2 cara yang dapat digunakan, yaitu
dengan metode 2 jari (2 finger method) dan metode ibu jari ( thumb method).
Metode ibu jari lebih direkomendasikan karena tidak cepat lelah dan dapat mengatur
kedalaman tekanan dengan baik. Selain itu, menurut beberapa penelitian, metode tangan
melingkari dada menghasilkan tekanan sistolik, diastolik, mean arterial pressure, dan perfusi
jaringan yang lebih baik daripada metode 2 jari. Metode 2 jari digunakan apabila dibutuhkan
akses ke umbilikus untuk memasang umbilical catheter.
Setelah dilakukan kompresi dada selama 30 detik, lakukan penilaian kembali terhadap
laju nadi, laju pernafasan, dan warna kulit. Kompresi dada harus dilakukan sampai laju nadi
lebih dari atau sama dengan 60 kali per menit secara spontan.

Penghentian Resusitasi 10
Di dalam persalinan, ada kondisi dimana tidak dilakukan resusitasi, antara lain bayi
dengan masa gestasi kurang dari 23 minggu, bayi dengan berat lahir kurang dari 400 gram,
anencephaly, dan bayi yang dipastikan menderita trisomi 13 dan 18. Sedangkan penghentian
resusitasi dapat dilakukan apabila tidak terjadi sirkulasi spontan dalam waktu 15 menit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anne CC Lee, at al : Neonatal Resuscitation and Immediate New Born Assessment and
Stimulation for The New Prevention of Neonatal Death. BMC Public Health 2011. Available
at : http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/S3/S12
2. Wiswell MD,Thomas: Neonatal resuscitation. Respiratory Care. Vol 48 No 3;2003.
3. Greogery G A: Resuscitation of The Newborn. In: Miller: Anesthesia. 5 th ed. Churchill
Livingstone;2000
4.

Rudolph A M, Kamei R K, Overby K J. Rudolphs Fundamentals of Pediatrics. 3 rd ed.


International Edition: McGraw-Hill; 2002

5. Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta. P 708-715; 2007


6.

Zareen Nusrat et al: An Early Diagnostic of Fetal Distress by Estimating the Maternal Blood
Gas Levels during Intrapartum Period. Pak J Physiol. Vol 4 No 3 ; 2008.

7.

Seidel J, Smerling A, Saltzberg D. Resusitation. In: Crain E F, Gershel J C, eds. Clinical


Manual of Emergency pediatrics. 4th ed. International Edition: McGraw-Hill;2003

8.

Givens K. Neonatal Resusitation. In: som. 15 Agustus 2006. Available at :


http://www.som.tulane.edu/departments/peds_respcare/neores.htm

9.

Weinberger Barry, et al : Antecedents and Neonatal Consequences of Low Apgar Scores in


Preterm New Born. Arch Pediatr Adolesc Med. Vol 154: 294- 300; 2000

10. American Academy of Pediatrics, Committee on fetus and Newborn, AmericanCollage of


Obstetricians and Gynecologists and Committee on Obstetric Practice : The Apgar Score.
Pediactrics

2006

117

1444.

Available

at

http://pediatrics.aapublications.org/content/117/4/1444.full.html
11. Weinstein M. Neonatal Resusitation and Care of the Newborn at Risk. In: DeCherney A H,
Nathan L, eds. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and Treatment. 9 th ed.
International Edition: McGraw-Hill; 2003
12. Kattwinkle John, et al : Part 15 : Neonatal Resuscitation : 2010 American Heart Association
Guidline for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency Cardiovascular Care. AHA
Journal; 2010. Available at : http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S909
13. Lawn JE, Wilczynska-Katende K, Cousens SN : Estimating the cause of 4 million neonatal
death in year 200. Int J Epidemol 35:706-718, 2006
14. Zeb A, Darmstardr GL : Sclerema neonatorum : a review of nomenclature, clinical
presentation, histological features, difrential diagnoses and management. J Perinatol 28:453460, 2008.
15. Ramesh Argawal et al : post resuscitation management of asphyxiated neonates. All India
Institute of Medical Sciences. New Delhi. 2007. Available at : www.newbornwhocc.org
16. Hack M et al : Outcome in young adulthood for very low-weight infants. New Eng J Med,
2002. Jan : 346(3): 149-57.

Resusitasi dan Stabilisasi neonatus

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 005/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Resusitasi dan Stabilisasi neonatus

Tujuan : Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam
sesudah lahir
1. Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir
adalah dalam rentang 36,5-37,50C yang diukur di aksila selama 3 sampai 5

menitatau sampai termometer berbunyi jika menggunakan termometer


digital.
2. Menjaga patensiairway (jalan napas) yang baik dengan
menggunakanContinuous Positive Airway Pressure (CPAP) untuk bayi yang
retraksi atau merintih sejak di kamar bersalin. Oksigen tambahan diberikan
dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen) dan mengatur
konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri dengan target saturasi
oksigen 88-92%.
3. Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dilihat dari beberapa parameter
yaitu 1) heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis kuat dan
teratur, 3) akral hangat, dan 4)capillary refill time < 3 detik.
4. Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau
dalam keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
5. Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, sepertibayi kurang
bulan (usia gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa
kehamilan (BMK), bayi dari ibu penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan
bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-obatan tertentu (beta-simpatomimetik,
penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan anti-depresan trisiklik)
selama kehamilan. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kadar gula darah <
47 mg/dL dapat diberikan bolus dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi
minum jika tidak ada kontraindikasi pemberian minum.
6. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai
dengan menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan yang
dibuat untuk tata laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pascaresusitasi/pra-transportasi. Program ini berisi standar tahapan stabilisasi
pasca-resusitasi untuk memerbaiki kestabilan, keamanan, dan luaran bayi.
STABLE tersebut merupakan singkatan dari S: Sugar and safe care (kadar
gula darah dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu), A: Airway (jalan
napas), B: Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work (pemeriksaan
laboratorium), E: Emotional support (dukungan emosional). Program STABLE
mengupayakan kondisi bayi menjadi warm, pink, and sweet secepatnya
dalam kurun waktu 1 jam.
7. Padakondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak
jauh) dan fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus
selama proses transportasidapat dilakukan dengan perawatan metode
kanguru.

Referensi :
1. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport
stabilization care of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.

2. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP, et al.
Part 11: Neonatal rescucitation: 2010 International consesnsus on
cardiopulmonary rescucitation and emergency cardiovascular care science
with treatment recommendations. Circulation. 2010;122:516-38.
3. The Royal Womens Hospital. Intensive and special care nurseries, clinicians
handbook. Melbourne: The Royal Womens Hospital; 2007.
4. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for trasnport. Pediatr Clin North
Am. 2004;51:581-98.
5. Wang CL, Anderson C, Leona TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN.
Resuscitation of preterm neonates by using room air or 100% oxygen.
Pediatrics. 2008;121:1083-9.
6. Vento M, Moro M, Escrig R, Arruza L, Villar G, Izquierdo I. Preterm resuscitation
with low oxygen causes less oxidative stress, inflammation, and chronic lung
disease. Pediatrics. 2009;124:439-49.
7. Ringer S A. Rescucitation in the Delivery Room. Dalam: Cloherty J P,
Eichenwald EC, Stark A R. Manual of Neonatal Care edisi ke 6. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins;2008:59-71.
8. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and
neonatal brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics.
2004;114:361-6.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Neonatologi IDAI

Anda mungkin juga menyukai