Anda di halaman 1dari 15

Jawaban no.

1
Peran Polri Pada Era Demokrasi Dalam
Mewujudkan Kamtibmas
Keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas)
adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu
prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional yang
ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum
serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta
mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam mencegah,
menangkal, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan
bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
Pada era demokrasi struktur kelembagaan dapat
menciptakan atau melanggengkan demokrasi, tetapi dapat pula mengancam
dan melemahkannya. Sebuah lembaga negara, misal dapat menjadi sarana
penerapan prinsip-prinsip demokrasi, tapi juga bisa menciptakan
oligarki atau system nondemokrasi lainnya.
Selain itu keberadaan
institusi tertentu tidak dengan sendirinya menjamin suatu demokrasi
yang dicita-citakan. Walaupun demikian, dilihat dari pengalaman
berbagai negara, ada beberapa kerangka kelembagaan yang memungkinkan
terealisasinya prinsip-prinsip demokrasi dalam sosial masyarakat
asalkan kerangka kelembagaan tersebut mencerminkan nilai, kriteria,
dan pandangan demokrasi.
Peran dan kedudukan Polri telah di undangkan dalam Undang-Undang
No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peran
Polri disini menjadi sangat penting karena berhubungan dengan iklim
demokrasi yang ingin dibangun di era reformasi ini. Kepolisian di negara demokrasi
memang mempunyai kewenangan hukum untuk menggunakan
cara-cara upaya paksa. Polisi di satu sisi harus
mewujudkan tujuan sosial yaitu ketertiban masyarakat yang menuntut
polisi harus menggunakan instrument Sosial/doelmatigheid, di sisi
lain polisi harus mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan/justice yang
menuntut Polisi harus menggunakan instrument hukum /rechmatigheid.
Peran ini sangat berpengaruh dalam kehidupan demokrasi akan tetapi
juga berpotensi untuk salahgunakan.
Oleh sebab itu kepolisian harus
senantiasa diawasi dan dikontrol baik, secara internal maupun
eksternal.
Penegakkan hukum merupakan suatu aturan main (rule of the game) yang
dapat dijadikan rujukan perilaku.
Hak-hak setiap warga negara
dilindungi oleh hukum, yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel
dan tidak berpihak. Adanya saluran hukum bagi penyelesaian konflik dan
permasalahan antar individu memungkinkan munculnya ketertiban dalam
artian, bahwa tidak terjadi kesewenang-wenangan individu terhadap
individu yang lain. Diharapkan muncul kesadaran individu akan hak dan
kewajibannya terhadap individu yang lain. Cara ini merupakan asset
yang sangat berharga dan krusial dalam proses demokratisasi. Sekalipun

didasari oleh prinsip kebebasan bagi warga negaranya, namun tetap


diperlukan aturan-aturan yang memberikan norma-norma dan perilaku.
Acuan hukum sebenarnya merupakan consensus egaliter sebagai aturan
main dalam hidup bersama, agar kedamaian dan kesejahteraan bisa
dipelihara secara sosial. Oleh karenanya, hukum dan pelaksanaannya
harus memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Di sisi lain fungsi dan peranan yang diemban oleh Polri
memang seringkali dimanfaatkan oleh penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya, atau memaksakan kehendaknya kepada rakyat yang di
anggapnya membangkang. Oleh karena itu dalam proses demokratisasi ini
polisi harus bertindak adil, netral dan tidak ada keberpihakan
terhadap kepentingan tertentu, agar dapat berperan dan berfungsi
sebagai pilar demokrasi yaitu penjaga dan pemelihara nilai-nilai
sipil dalam kehidupan masyarakat.
Harapan ini bertumpu pada keyakinan
bahwa pada kehidupan masyarakat demokratis, hukum pada hakekatnya
adalah consensus egaliter segenap elemen masyarakat. Dan sesuai dengan
paradigma baru Polri yaitu, Polisi beserta seluruh elemen masyarakat
yang patuh hukum dan mengeliminir akar-akar kejahatan dan
ketidaktertiban.
Dalam melaksanakan perannya Polri menerapkan model/pola pemolisian
sipil untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka
menciptakan rasa aman, memelihara stabilitas kamtibmas, guna
meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dilakukan secara proaktif,
problem solving dengan membangun kemitraan dengan warga masyarakat
(partnership). Dalam kerangka Polisi Sipil, Polri diharapkan dapat
menempatkan diri secara profesional kapan ia harus bertindak sebagai
a strong hand of society dan kapan harus bertindak dengan karakter
a soft hand of society dalam melaksanakan tujuan mewujudkan
kamtibmas yang kondusif.

Penulis :
Kompol M. Syafii Maulana, S.IK, MH
Pasis Sespimmen Polri
Dikreg 55.

Jawaban no.2 dan 3


Kebersamaan menjanjikan kekuatan yang luar biasa, karena sesuatu yang
besar hanya dapat diraih melalui kebersamaan. Semangat kebersamaan di
Indonesia untuk mencapai mewujudkan suatu negara yang merdeka dan
berdaulat.

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan


keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai hasil yang
maksimal dari fungsi ini dibutuhkan kebersamaan antara polisi dan masyarakat,
sehingga satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Polisi tidak akan dapat menciptakan situasi yang tertib dan aman dalam suatu
lingkungan masyarakat tanpa adanya kemauan dan kesadaran dari masyarakat
itu sendiri, akan pentingnya suasana yang aman dan tertib.
Sebagai ujung tombak dalam menciptakan keamanan dan ketertiban
masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah menggugah kesadaran
seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan
atas berbagai ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak profesional
serta proporsional menuju masyarakat sipil yang demokratis. Polri pun tidak
lepas dari wacana besar perubahan ini. Karena kepolisian merupakan cerminan
dari tuntutan dan harapan masyarakat akan adanya rasa aman, keamanan,
ketertiban dan ketentraman, yang mendukung produktifitas yang
mensejahterakan warga masyarakat.
Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa
depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Polisi harus dapat menjadi mitra.
Memahami atau cocok dengan masyarakat, menjadi figur yang dipercaya
sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum.
Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu
membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini
harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat,

yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat


dengan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa
aman warga masyarakat, yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan
kejahatan (crime prevention).
Paradigma baru Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri,
profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan
pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya.
Inilah paradigma yang dikenal sebagai community policing.
Model community policing ini telah diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol:
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi
Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Community Policing adalah bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan menjaga
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakantindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan
keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang
terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi
rasa ketakutan masyarakan akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih
mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi
senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penerapannya
dengan mengedepankan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan
antara polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya
masing-masing.
Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana
polisi bisa menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami
berbagai masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang
bersifat lokal dan adat istiadat masyarakat sukubangsa setempat.
Model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi adalah dapat
berpindah secara fleksibel yaitu ; 1) Posisi setara antara polisi dengan warga

komuniti dalam membangun kemitraan dimana polisi bersama-sama dengan


warga dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi di bawah adalah polisi berada di
bawah masyarakat yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman warga
komuniti yang dilayaninya, dan 3) posisi polisi di atas yaitu polisi dapat
bertindak sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya oleh warga
masyarakat dan perilakunya dapat dijadikan panutan oleh warga yang
dilayaninya.
Tugas Polisi yang mencakup tugas perlindungan, pengayoman dan pelayanan
disamping tugasnya sebagai alat negara penegak hukum membuka format yang
lebih luas kearah pemberdayaan masyarakat. Namun demikian dalam
operasional Polmas adalah dalam lingkup wilayah yang kecil (Kelurahan atau
RW) dengan tetap menitik beratkan kepada orientasi pada masyarakat yang
dilayaninya (polisi cocok dengan masyarakat). Dalam penyelenggaraan tugas
Polri community policing akan dikenal dengan istilah Polmas (Perpolisian
masyarakat) .
Paradigma baru ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia
kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan masyarakat secara
solitair atau seorang diri. Polisi membutuhkan peran serta masyarakat dalam
menjaga keamanan dan ketertiban.
Syarat utama dari paradigma baru ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan
antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan upaya
upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan rasa aman warga
masyarakat.
Melalui konsep Polmas, kemitraan yang terjalin antara anggota Polri digaris
depan dengan masyarakat yang berada dalam kawasan tugasnya, akan sangat
mendukung dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan anggota Polri
tersebut menyelesaikan setiap masalah sejak dini.

Namun begitu, penerapan Community Policing atau perpolisian masyarakat ini


tidak bisa diterapkan dengan sistem baku, yaitu sistem yang sama untuk semua
provinsi di Indonesia. Karena, Bangsa Indonesia bersifat multicultural. Dimana
keragaman budaya, adat istiadat dan bahasa, menjadi rmasalahan untuk
menerapkan polmas secara baku.
Keberagaman Indonesia ini menjadi tantangan tersendiri bagi kepolisian dalam
mengimplementasikan polmas secara menyeluruh. Berbagai perbedaan disetiap
daerah merupakan situasi yang harus dipikirkan Polri. Apalagi ditambah dengan
kondisi tingkat ekonomi, pendidikan dan strata yang ada dalam masyarakat,
implementasi polmas sudah harus melihat sisi kedaerahan atau kondisi lokal.
Karena, apabila salah penangan polmas tidak akan bisa diterima oleh
masyarakat yang masih kental akan adat istiadatnya.
Dengan melihat keanekaragaman ini, kepolisian dapat mencari solusi setiap
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai kemungkinan
dan isu-isu negatif, kemungkinankemungkinan terjadinya konflik, dapat
diketahui dan dicari solusinya untuk kepentingan bersama, khususnya dalam hal
mewujudkan partnership building dan mendukung Kamdagri.
Dalam upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia membangun kepercayaan
(trust building) masyarakat maka perlu diterapkan suatu perpolisian yang
memasyarakat, membumi, demokratis, dan sarat dengan nilai-nilai budaya
bangsa.
Namun pelaksanaan polmas ini hendaknya dapat melihat pada karakteristik
suatu daerah, budaya, agama dan pranata sosial setempat. menurut Endang
Poerwanti, nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak
selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang budaya dalam
masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber
dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial,
geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala.

Karena itu, pelaksanaan polmas dengan kearifan lokal mutlak diperlukan karena
akan menjadi formulasi yang baik. Formulasi yang dihasilkan akan memberi
gambaran dan pemahaman kepada kepolisian tentang kondisi daerah setempat
sehingga Kamdagri yang telah dicanangkan kepolisian dapat terealisasi dengan
baik.
Parsudi Suparlan (2004), menyatakan bahwa polisi untuk dapat memperoleh
kepercayaan dari anggota-anggota komuniti harus dapat memahami corak
kehidupan dalam komuniti tersebut. Beliau mengatakan bahwa dengan
memperhatikan corak kehidupan warga dalam kelompok-kelompok sosial dan
dalam komuniti-komuniti.
Sebagaimana sasaran dan tujuan Polmas, yaitu membangun dan meningkatkan
pemahaman masyarakat dan polisi, mengenai keanekaragaman budaya, suku,
maupun ras yang ada di masyarakat setempat.
Beberapa pendekatan melalui kearifan lokal yang dapat dilakukan kepolisian
diantaranya adalah :
1. Pendekatan Agama
Implementasi Polmas melalui pendekatan agama merupakan salah satu kunci
keberhasilan polmas. Sebagaimana dinyatakan KH Hasyim Muzadi (2009),
beragama yang benar akan membuahkan sikap toleransi serta inklusif dengan
berbagai perbedaan. Pendekatan subtansi ini akan mendekatkan antara agama
dan Indonesia.
Untuk implementasi di Provinsi Aceh misalnya, tentu tidak akan bisa sama
penerapannya dengan Provinsi Bali. Perbedaan mayoritas agama di kedua
provinsi ini tentu dibutuhkan implementasi yang berbeda.
Bali mayoritas penduduknya beragama hindu, tentu tidak dapat menerapkan
sistem kerja polmas di Padang. Demikian halnya sebaliknya. Perbedaan-

perbedaan subtansial ini dapat menjadi pijakan Polri untuk mencari solusi dalam
mengimplementasikan polmas dalam masyarakat.
Di Aceh bahkan, penerapan polmas juga melibatkan lembaga poendidikan
dayah. Dayah merupakan lembaga pendidikan agama telah berakar kuat dalam
perjalanan agama di Aceh.
Lalu bagaimana jika satu daerah memiliki multi agama, maka dapat dilakukan
dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama setempat. Berdialog dan
berdiskusi bagaimana perapan polmas. Dari hasil musyawarah tersebutlah maka
polmas akan mudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang
multi agama. Melibatkan tokoh agama akan meminimalisir perbedaanperbedaan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaan polmas.
2. Pendekatan Bahasa
Harus difahami, pendekatan bahasa merupakan faktor penting dalam
keberhasilan polmas. Bahasa, secara tidak langsung akan memudahkan jalinan
komunikasi antara personel kepolisian dengan masyarakat setempat.
Dalam penjelasan www.wikipedia.org, pendekatan bahasa merupakan salah
satu cara untuk mengetahui kondisi dari masyarakat setempat. Bahasa
merupakan sarana pendekatan paling efektif.
Untuk itu, setiap personil kepolisian yang terlibat dalam polmas, diharapakan
faham dan mampu berbahasa daerah dimana dia bertugas agar memudahkan
komunikasi. Karena, harus diakui, masih banyak masyarakat Indonesia di
pedalaman yang belum faham dan tidak mengerti dengan bahasa Indonesia.
Memahami bahasa daerah setempat secara tidak langsung akan mendekatkan
kepolisian dengan masyarakat. Interaksi sosial akan lebih mudah tercapai
dengan bahasa daerah.

Sebagaimana salah satu sasaran dan tujuan forum kemitraan polisi dan
masyarakat (FKPM) adalah mempererat hubungan dan meningkatkan
komunikasi antara polisi dan masyarakat. Apabila bahasa setempat tidak
mampu dimengerti oleh personil kepolisian, tentu tujuan ini akan sulit tercapai.
3. Pendekatan Adat Istiadat
Pendekatan khusus ini menjadi penting dalam implementasi polmas. Karena,
hingga kini masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tetap menggunakan
hokum adat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
Selama ini, institusi adat di berbagai daerah telah banyak terbentuk namun
banyak juga yang tidak berjalan. Untuk itu, kehadiran polmas akan
memaksimalkan tugas dan peran adat yang sudah terbentuk tersebut.
Jika lembaga atau istitusi adat dapat berjalan, maka secara tidak langsung akan
mendukung keamanan dalam negeri yang diharapkan oleh polri.
Di Provinsi Aceh misalnya, lembaga adat sudah terbentuk sejak lama. Herman
RN (2009), salah seorang aktivis jaringan Komunitas Adat (JKMA) menyatakan
bahwa, yang memahami tentang masyarakat di suatu tempat adalah orangorang yang dipilih oleh masyarakat setempat, yang telah berbaur bersama
masyarakat setempat.
Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pendapat Hendra Fadli (2007), bahwa
implementasi polmas tidak harus diseragamkan dengan model yang berlaku di
provinsi lain, apalagi secara historis komunitas Aceh memiliki kecenderungan
sulit untuk beradabtasi dengan hal-hal baru yang berpotensi mereduksi fungsi
tatanan sosial yang telah ada.
Aceh sendiri memiliki lembaga adat yang telah diakui pemerintah setempat,
yaitu Tuha Peut. Yaitu sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki
beberapa kelebihan.

Kondisi yang sama juga terjadi di Papua dan Irian Jaya. Implementasi polmas
dengan pendekatan adat mutlak diperlukan. Posisi adat di masih sangat kuat.
4. Memahami Karakteristik Masyarakat Lokal
Multikultural Indonesia memang harus difahami secara mendalam oleh setiap
personil kepolisian yang bertugas dalam polmas. Perbedaan karakter
masyarakat antara satu provinsi dengan provinsi lainnya sangat penting
difahami dan dipelajari.
Personel kepolisian yang bertugas di daerah hendaknya melihat dan memahami
karakteristik masyarakat setempat. Karakteristik masyarakat yang keras tentu
berbeda menghadapinya saat bertemu dengan karakteristik masyarakat yang
santun.
Masyarakat Papua memiliki karakteristik tersendiri, begitupun dengan
masyarakat Bugis dan karakteristik masyarakat di provinsi lainnya. Semuanya
memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
5. Psikologi Sosial Masyarakat
Selain masalah agama, adapt istiadat, bahasa dan karakteristik masyarakat,
implementasi polmas hendaknya juga melihat psikologis sosial masyarakat.
Kondisi psikologi masyarakat yang belum stabil akan mempengaruhi
implementasi dilapangan. Apalagi jika psikologis social tersebut masih berkaitan
dengan unsusr kepolisian atau aparat keamanan, tentu perlu penanganan
khusus agar masyarakata mampu menjali kerjasama dan dapat membuka diri.
Ambon contohnya. Kekerasan berdarah yang pernah terjadi dan
meluluhlantakkan provinsi ini tentu belum dapat terhapus tuntas dalam
bayangan masyarakatnya. Beban psikologi ini harus difahami personil kepolisian
yang bertugas.

Selain itu ada Papua. Hingga kini, konflik antar suku kerap terjadi dalam
kehidupan mayarakat setempat. kondisi psikologis ini sangat labil dan rentan
bagi implementasi polmas. Setiap personel kepolisian harus benar-benar
memiliki kapasitas dan cavabilitas yang mumpuni dalam mengimplementasikan
polmas di Papua.
Begitu juga dengan Provinsi Aceh. Konflik berkepanjangan yang sempat
melanda Aceh, ditambah bencana maha dahsyat tsunami tahun 2004 silam
tentu masih meninggalkan trauma mendalam bagi masyararakat. Selain harta
benda, korban nyawa juga tak terhitung.
6. Pendekatan Ekonomi Masyarakat Berbasis Lokal
Permasalah ekonomi masyarakat menjadi salah satu pilar keberhasilan
implementasi polmas. Tatanan ekonomi yang berbeda antara satu daerah
dengan daearah lainnya juga bagian dari kerifan local yang harus difahami
personel.
Kegiatan masyarakat yang terlibat langsung dengan hutan dan laut, adalah
usaha masyarakat dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Lahan
pekerjaan tersebut diakui sangat rentan terhadap penyalhgunaan dan
penyelewengan, khususnya dari oknum-oknum tertentu.
Masyarakat masih banyak yang menerapkan tanah ulayat dan tanah adat yang
dikelola secara bersama-sama. Bahkan, tidak sedikit dari permasalahan lahan
ini menjadi pemicu konflik antara warga. Peran polmas sangat dibutuhkan.
Kepolisian harus mempu menjembatani kelompok-kelompok ekonomi di daerah
yang telah terbentuk. Termasuk kelompok-kelompok ekonomi yang dibentuk
oleh lembaga-lembaga independent, tentunya memiliki perbedaan dalam hal
pengelolaan ekonomi kedaerahan, khususnya yang terkait dengan ekonomi dari
sumber daya hutan dan laut.

Apalagi, Polmas sendiri akan mengupayakan agar dapat menginisiasi kelompok


usaha ekonomi berbasis potensi lokal, yang sebagian hasilnya diharapkan dapat
dimanfaatkan untuk menunjang operasional Polmas.
Hal ini sesuai dengan sasaran dan tujuan polmas, yaitu Membangun kerja sama
dengan kelompok bisnis, serta kelompok-kelompok maupun organisasiorganisasi setempat guna meningkatkan kepedulian dan kerja sama dalam
menjaga dan mewujudkan kamtibmas dan kepentingan bersama.
7. Memahami Politik Lokal
Perkembangan perpolitikan di Indonesia diakui semakin mengalami perbaikan.
Selain partai politik nasional, sebagain daerah juga memiliki karakteristik politik
yang berbeda. Aceh misalnya, selain partai nasional, kehadiran partai local juga
menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Kehadiran partai politik lokal di Aceh telah memberi pelajaran kepada siapapun,
bahwa dinamika politik bersifat dinamis. Dari perpolitikan Aceh ini, akhirnya
meluas dan layak diterapkan di daerah lain, walaupun bukan dalam bentuk
partai politik. Melainkan dalam hal calon perseorangan untuk menjadi pimpinan
daerah. Sebuah perubahan yang sangat signifikan. Karena, selama ini,
pimpinan daearah hanya bisa diusulkan dari partai politik peserta Pemilu.
Pasca keputusan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya mengenai
diperbolehkannya calon perseorangan untuk ikut berkompetisi, menurut
Wahyurudhanto (2009), tentu saja akan membuat dinamika politik lokal
mempunyai warna baru. Ada hal yang sangat spesifik dalam pemilihan kepala
daerah. Yang pertama, kampanye Pilkada akan selalu mengangkat isu lokal
Saat ini telah terjadi pergeseran dalam paradigma kampanye di Indonesia. Jika
dulu kampanye hanyalah sarana untuk meyakinkan pemilih, kini kampanye
sudah merupakan komunikasi politik dan pendidikan politik.

Wahyurudhanto menambahkan, isu kampanye dan komunikasi politik dalam


kampanye yang tidak tepat akan menyebabkan ketersinggungan pada
kelompok-kelompok di daerah. Hal ini ditunjukkan dengan isu-isu yang diangkat
selalu merupakan isu yang bisa membawa kebanggaan daerah, baik dalam
kesejahteraan maupun semangat kebanggaan atas kepopuleran daerah.
Selain itu, terkait dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal calon
independen, maka antisipasi konflik akibat dinamika politik lokal yang tidak
terkendali harus bisa sejak awal dibaca oleh Polri selaku penanggung-jawab
keamanan dalam negeri.
Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan
masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini,
karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan
pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat
yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat.
2. Indikator Pendukung
Implementasi Polmas melalui kearifan lokal diakui memiliki berbagai
keuntungan bagi keberlangsungan Polmas. Namun, untuk mencapai semua
tujuan ini, selain melihat multikultural bangsa Indonesia, terdapat beberapa
faktor pendukung yang sangat mempengaruhi.
Faktor-faktor pendukung ini sudah seharusnya disiapkan oleh Polri guna
mencapai sasaran dan tujuan implementasi polmas. Diantara faktor-faktor
pendukung tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan faktor dari kepolisian sedangkan faktor internal
adalah faktor dari masyarakat yang multikultural.
A. Faktor Internal

* Kurangnya SDM personil, baik secara kualitas maupun kuantitas.


* Belum adanya sebuah lembaga pendidikan di tingkat provinsi untuk
meningkatkan pemahaman tentang suatu daerah. Seperti adat istiadat, bahasa
dan lain sebagainya.
* Anggaran yang masih terbatas dalam membentuk sebuah lembaga pelatihan
seperti poin a.
* Banyaknya personil kepolisian yang tidak memahami kultur masyarakat
setempat.
* System informasi yang minim. Pihak kepolisian di tingkat provinsi belum
membuat sebuah buku khusus tentang kepolisian di daerah masing-masing,
sebagaimana yang telah dibuat oleh Polda Aceh, yaitu Professionalism, Courage
and Dignity. Buku ini menjadi pegangan yang sangat baik bagi personil
kepolisian di Aceh.
* Secara kultur anggota masih bersikap militeristik, arogan, diskriminatif, tidak
tepat waktu dan lain-lain.
B. Faktor Eksternal
Beberapa faktor eksternal yang harus dilihat oleh setiap personil kepolisian yang
terlibat polmas adalah :
* Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di beberapa daerah di
Indonesia.
* Tingkat ekonomi masyarakat setempat.
* Strata sosial masyarakat yang kuat.
* Faktor psikologis masyarakat karena berbagai hal, seperti konflik dan
bencana.
Dari pemaparan dan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :

1. Multikultural Negara Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi Polri dalam


implementasi Polmas. Keragaman bahasa, budaya dan adat-istiadat menjadi
agenda utama bagi implementasi polmas.
1. Perlunya pendekatan khusus di berbagai daerah dengan karakteristik masingmasing, melalui :
* Pendekatan Agama
* Pendekatan Bahasa
* Pendekatan Budaya dan Adat Istiadat
* Memahami Karakteristik Lokal
* Psikologi Sosial Masyarakat
* Pendekatan Ekonomoni Masyarakat Lokal
* Memahami Pelpolitikan Lokal
1. Indikator pendukung dalam implementasi polmas mengacu pada kearifan
lokal ada dua. Yaitu faktor eksternal dan faktor eksternal. Kedua faktor ini
sangat menentukan keberhasilan polmas, serta dapat menjadi rujukan bagi
setiap personil kepolisian yang terlibat.
2. Saran
Guna memaksimalkan implementasi polmas melalui kearifan lokal, untuk itu
diperlukan sebuah kerja sama yang berkesinambungan. Untuk itu, kepolisian
diharapkan :
1. Dapat meningkatan kapasitas personil kepolisian guna memahami
permasalah dan kondisi lokal.
2. Memberi pelatihan khusus bagi personil kepolisian yang terlibat polmas guna
mempermudah komunikasi dengan masyarakat setempat. khususnya dalam hal
penguasaan bahasa daerah setempat.

Anda mungkin juga menyukai