Anda di halaman 1dari 44

ATRIBUTE SEISMIK II

Review
1. Gelombang Primer dan Gelombang Sekunder
Terdapat dua jenis gelombang yang digunakan dalam analisa seismik
pantul yaitu gelombang Primer (P/Longitudinal/Compressional) yang memiliki
gerakan partikel searah dengan arah penjalarannya dan gelombang Sekunder
(S/Transversal/Shear) dengan gerakan partikel tegak lurus terhadap arah
penjalarannya. Gambar 3.1 memberikan ilustrasi mengenai pola pergerakan
partikel dan penjalaran gelombang Primer dan Sekunder.
sumber,
penerima

sumber,
penerima

permukaan

Arah pergerakan
partikel
Arah penjalaran
gelombang

Reflektor

Reflektor

Gambar 3.1 Pola penjalaran gelombang dan pergerakan partikel pada gelombang P (kiri)
dan pola penjalaran dan pergerakan partikel pada gelombang S (kanan)

Persamaan (3.1) dan (3.2) menjelaskan bahwa kecepatan gelombang P dan


kecepatan gelombang S dapat dituliskan secara matematis sebagai fungsi
parameter elastik batuan modulus bulk (), modulus Lambda (), modulus geser
() dan densitas batuan ().
VP

VP

atau

(3.1)

sedangkan kecepatan gelombang S dapat dituliskan sebagai berikut


VS

12

(3.2)

13

Jika parameter elastik batuan dan dinyatakan dalam gigapascal (GPa) dan
batuan dinyatakan dalam gr/cc, maka kecepatan gelombang P () dan kecepatan
gelombang S () dinyatakan dalam km/s.

2. Amplitude Variation with Offset (AVO)


Konsep Amplitude Versus Offset (AVO) didefinisikan sebagai variasi
perubahan amplitudo refleksi seiring dengan bertambahnya sudut datang (angle of
incidence). Nilai reflektivitas pada sudut kecil akan berbeda dengan reflektivitas
pada sudut datang medium dan begitu juga akan berbeda dengan reflektivitas pada
sudut datang lebar, dapat membesar maupun mengecil tergantung pada jenis
kasusnya, apakah itu bright spot, dim spot atau mungkin pembalikan polaritas.
Jarak sumber ke penerima (offset) berhubungan langsung dengan sudut datang
gelombang seismik (angle of incidence).
Anomali AVO biasanya diamati pada CDP/CMP gather (pre-stack).
Pengamatan amplitudo terhadap offset dilakukan pada titik pantul yang sama
dengan asumsi setiap energi dari sumber diterima oleh penerima dengan offset
tertentu. Sebagai contoh adalah pada kasus kenaikan amplitudo (bright spot)
karena keberadaan lapisan batupasir gas (impedansi rendah) dibawah lapisan
serpih (impedansi tinggi) sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 (a) Geometri AVO dan (b) respon amplitudo pada contoh kasus bright spot
karena keberadaan gas. S menunjukkan sumber dan G geofon.

14

2.1. Persamaan Aki dan Richards (1980)


Zoeppritz (1919) memperkenalkan perumusan mengenai reflektivitas dan
transmisitas gelombang P maupun gelombang S sebagai fungsi sudut datang
gelombang dan juga fungsi , , medium tersebut. Jika gelombang seismik
(gelombang P) menjalar pada dua medium batuan yang berbeda, maka pada
bidang batas antara dua medium tersebut akan terjadi pembagian (partition) dan
perubahan (convertion) energi. Sebagian energi akan terpantulkan, sebagian lagi
akan terserap oleh medium tersebut.
RPS
Gel. P datang

RPP
1

1
1, 1, 1
2, 2, 2

Medium 1
Medium 2

TPP
1
TPS

Gambar B.1 Gelombang datang (gelombang P) yang melewati batas antara dua medium
akan mengalami konversi menjadi gelombang transmisi dan refleksi baik gelombang P
dan gelombang S (Hilterman, 2001)

Pemantulan dan pembiasan gelombang akan memenuhi hukum Snell


mengenai gelombang, seperti terlihat pada persamaan B.1.

sin 1

sin 2

sin 1

sin 2

B.1

dengan, p = parameter gelombang, 1 dan 2 = kecepatan gelombang P pada


medium pertama dan kedua, 1 dan 2 = kecepatan gelombang S pada medium
pertama dan kedua, 1 = sudut datang gelombang P, 2 = sudut transmisi
gelombang P, 1 = sudut pantul gelombang S, 2 = sudut transmisi gelombang S.
Zoeppritz

memperlihatkan

perumusan

mengenai

reflektifitas

dan

transmisitas gelombang P maupun gelombang S sebagai fungsi sudut datang

15

gelombang dan juga fungsi parameter elastik medium tersebut, seperti tersaji pada
matriks persamaan B.2.
cos 1
sin 1

sin 1
RP cos1
R
1
S sin 2
cos 21
1
TP
1

TS
cos 21 1 sin 21
1

sin 2
cos 2

sin 2 2

2 2 cos 2 2
11
2
2 2 1
2
1 1 2

cos 2
sin 2

2 21
cos
2

2
1 12

2 2

sin 22
11

sin 1
cos
1

sin 21

cos 21

B.2

dengan, RP = gelombang pantul P, RS = gelombang pantul S, TP = gelombang


transmisi P dan TS = gelombang transmisi S.
Dengan menyelesaikan matrik persamaan Zoeppritz tersebut maka akan
memberikan solusi mengenai variasi amplitudo terpantul dan tertransmisi
terhadap variasi sudut datang gelombang. Persamaan Zoeppritz menghasilkan
solusi lebih tepat akan tetapi memiliki perhitungan yang lebih kompleks.
Beberapa pendekatan linier mulai dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Dengan asumsi nilai perubahan , , relatif kecil, Aki dan Richards
(1980) menyederhanakan persamaan Zoeppritz untuk gelombang pantul P ( RP )
2
2
1 1
RP

-4
-2
2
2

2
sin

1 2
2

sin tan
2
dengan,

2 - 1

2 1 2

(3.3)

2 - 1

2 - 1

2 1 2

2 1 2

R = reflektivitas gelombang P sebagai fungsi sudut datang

= kecepatan gelombang P
= kecepatan gelombang S

= densitas medium dan


12

= indeks medium pertama dan kedua.

16

Dalam bentuk yang lebih umum, persamaan (3.3) dapat dinyatakan sebagai
Intercept, Gradient dan Curvature yaitu seperti ditunjukkan pada persamaan 3.4.

R I G sin 2 C sin 2 tan 2


dengan, I = Intercept =

(3.4)

1 I P 1

2 IP
2

1
-4
-2
2


2

G = Gradient =
C = Curvature =

1
2

Pada analisa AVO (Persamaan 3.4), pengaruh suku ketiga sangatlah kecil.
Suku ketiga juga memiliki sebaran data yang membentuk garis yang tidak linier
lagi (membentuk kurva) untuk jangkauan sudut yang lebar (>300). Maka dengan
alasan tersebut, suku ketiga pada persamaan tersebut dapat dihilangkan, sehingga
akan diperoleh persamaan 2 suku AVO

R I G sin 2

(3.5)

Ilustrasi mengenai atribut intercept dan gradient dapat dilihat pada gambar
3.3. Sumbu horizontal merupakan fungsi offset sedangkan sumbu vertikal
merupakan nilai reflektivitas seismik. Dalam data seismik, intercept diartikan
sebagai reflektivitas seismik pada sudut normal (zero offset), sedangkan gradient
menunjukkan laju perubahan amplitudo terhadap perubahan sudut datang.

1
offset

Intercept (+)

R()
Intercept (-)

Gradient (+)

sin2()

Gradient (-)

-1

Gambar 3.3 Variasi nilai reflektivitas terhadap perubahan offset (sudut datang) serta
atribut AVO intercept dan gradient

17

Extended Elastic Impedance


3.1. Konsep Extended Elastic Impedance
Konsep Elastic Impedance (EI) ini pertama kali diperkenalkan oleh
Conolly (1999) sebagai perluasan nilai impedansi untuk sudut datang bukan nol
(non-normal incidence). Istilah elastic pada EI bukan mengacu kepada istilah
elastik pada teori elastisitas batuan, tetapi mengacu pada fungsi perubahan sudut
datang. Jika pada sudut nol, reflektivitas gelombang merupakan fungsi impedansi
akustik, maka dengan analogi tersebut, reflektivitas pada sudut tertentu dapat
dituliskan sebagai fungsi impedansi elastik pada persamaan 3.6.

EI n - EI n-1

(3.6)

EI n EI n-1

dengan EI adalah fungsi Impedansi Elastik pada sudut dan indeks n


menunjukkan medium ke-n.
Penurunan persamaan EI berawal dari pendekatan linier persamaan
Zoeppritz oleh Aki dan Richard (1980), melalui persamaan tersebut yakni menjadi
EI 0 0
0 0 0
a

(3.8)

dengan 0, 0 dan 0 adalah nilai rata-rata , dan sepanjang zona target.


Dalam penggunaan EI terdapat beberapa kesulitan (dijelaskan pada
gambar 3.4) yaitu diantaranya:
1. Dalam cross-plot linierisasi AVO, diperlukan nilai |sin2()| yang terkadang
melampaui 1 serta boleh jadi nilai reflektivitas melampaui 1 seiring
meningkatnya |sin2()|.
2. Jika dilakukan pendekatan |sin2()| sehingga melewati nilai mutlak satu,
maka nilai log EI akan menjadi tidak akurat. Ini disebabkan karena domain
EI adalah pada sudut antara 00 hingga 300.
Gambar 3.4 menjelaskan cross-plot antara reflektivitas terhadap |sin2()| pada
linearisasi persamaan dua suku Aki dan Richards (1980).

18

R()
1

Gradient

sin2()
0

0.25

Asumsi Shuey
(0-30)

1
Nilai fisik sin2()

Linierisasi

Gambar 3.4 Liniearisasi persamaan dua suku AVO. Sumbu horizontal adalah |sin2()| dan
sumbu vertikal adalah R() (modifikasi Whitcombe et al., 2002)

Pada gambar 3.4, berdasarkan asumsi awal persamaan dua suku Aki dan
Richards (1980) yaitu pembatasan sudut datang terbatas pada sudut 00 hingga 300,
maka nilai |sin2()| akan berkisar antara 0 sampai 0,25. Jika kurva tersebut
dilinearisai ke arah sumbu horizontal negatif dan positif maka akan diperoleh
pelurusan garis yang boleh jadi mencapai nilai |sin2()| kurang dari nol atau lebih
dari satu. Padahal nilai riil dari |sin2()| adalah 0 sampai 1, sehingga untuk nilai
|sin2()| lebih dari 1 atau kurang dari 0 tidak ada sudut riil yang ekuivalen.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut, Whitcombe et al. (2002)
melakukan dua perubahan pada persamaan dua suku AVO yaitu dengan
1. Mengganti variabel |sin2()| pada persamaan (3.5) dengan tan sehingga
persamaan EI dapat didefinisikan pada kisaran dibanding |sin2()| yang
hanya memberikan nilai 0 hingga 1. Nilai berkisar antara -90 hingga 90.
R I G tan

(3.9)

Sebagai catatan, variabel tan di sini tidak memiliki hubungan matematis


dengan sin2(). Fungsi tan hanya merupakan fungsi buatan (artificial)
yang dibuat untuk memperluas cakupan nilai sumbu horizontal pada crossplot linierisasi AVO yang tidak bisa dijangkau oleh |sin2()|.
2. Melakukan penskalaan pada persamaan (3.9) yaitu dikalikan dengan cos
sehingga nilai reflektivitas tidak akan lebih dari 1.

19

Rs R cos I cos G sin

(3.10)

R I G sin 2

C.1

1 I P 1
1
dengan, I
dan G

-4
-2

2 IP
2

2


2

Jika pada sudut nol, perbedaan impedansi akustik antara dua medium akan
menghasilkan koefisien refleksi pada sudut normal. Maka dengan analogi
tersebut, dapat dinyatakan bahwa reflektifitas pada sudut tertentu dapat
dituliskan sebagai fungsi impedansi elastik

EI n - EI n-1

EI n EI n-1

1 EI 1
ln( EI )
2 EI
2

C.2

dengan mengkombinasikan persamaan C.1 dan C.2 akan diperoleh


1
R ln EI I G sin 2
2

C.3

selanjutnya dalam bentuk lain dapat dituliskan seperti terlihat pada persamaan C.4

1
1
ln EI

2
2

1 2 2 2

- 2
sin
- 4
2

C.4

mengganti K serta menyusun kembali persamaan C.4, diperoleh


2

1
1

ln EI
1 sin 2
1- 4 K sin 2 8K sin 2

2
2

dengan analogi bahwa

C.5

X
ln X , maka persamaan C.5 akan menjadi
X

ln EI 1 sin 2 ln - 8K sin 2 ln
1- 4 K sin 2 ln

C.6

jika K adalah konstanta maka persamaan C.6 dapat dibentuk ke dalam persamaan
eksponensial logaritmik

20

ln EI ln

1sin 2

- ln

ln EI ln

1sin 2

8 K sin 2

ln

-8 K sin 1-4 K sin


2

1-4 K sin 2

C.7

C.8

dengan menghilangkan fungsi logaritmik pada kedua sisi akan diperoleh

EI 1sin

-8 K sin 1-4 K sin


2

C.9

Selanjutnya persamaan C.9 disebut sebagai Elastic Impedance (EI) yang bisa
dituliskan sebagai
EI
a

(3.7)

dengan, a=1+sin2(), b=-8Ksin2(), c=1-4Ksin2() dan K=(/)2. Jika dan


dinyatakan dalam m/s dan dalam gr/cc maka EI dinyatakan dalam (m/s)2 gr/cc.

Whitcombe (2002) menormalisasi persamaan EI untuk mengatasi masalah


perbedaan dimensi antara Impedansi Akustik dan Impedansi Elastik dengan
memperkenalkan parameter 0, 0 dan 0. Sehingga dengan proses normalisasi
tersebut, nilai EI(00) akan memiliki nilai dan dimensi yang sama dengan
Impedansi-P yaitu m/s gr/cc, Extended Elastic Impedance merupakan perluasan
Elastic Impedance (EI). Jika semual EI bekerja pada domain 0 : 30 maka EEI
bekerja pada domain sudut 90 : 90 . Penurunan persamaan EEI berawal dari
persamaan linier 2 suku Aki dan Richard (1980) yang dimodifikasi oleh
Whitcombe et al., (2002).
Rs R cos I cos G sin

D.1

1 I P 1
1
dan G

-4
-2

2 IP
2

2


2

dengan, I

reflektifitas pada sudut tertentu dapat dituliskan sebagai


Rs

1 EI 1
ln( EI )
2 EI
2

D.2

dengan mengkombinasikan persamaan D.1 dan D.2 akan diperoleh


1
Rs ln EI I cos G sin
2

D.3

21

selanjutnya dalam bentuk lain dapat dituliskan seperti terlihat pada persamaan D.4

1
1
ln EI

cos
2
2

1 2 2

- 2
sin
- 4
2

D.4

mengganti K serta menyusun kembali persamaan D.4, diperoleh


2

1
1

ln EI
cos sin cos - 4K sin - 8K sin
2
2

dengan analogi bahwa

D.5

X
ln X , maka persamaan D.5 akan menjadi
X

ln EI cos sin ln - 8K sin ln


cos - 4 K sin ln

D.6

jika K adalah konstanta maka persamaan D.6 dapat dibentuk ke dalam persamaan
eksponensial logaritmik
ln EI ln cos sin - ln 8 K sin ln cos -4 K sin

D.7

ln EI ln cos sin 8 K sin cos -4 K sin

D.8

dengan menghilangkan fungsi logaritmik pada kedua sisi akan diperoleh

EI cos sin 8 K sin cos -4 K sin

D.9

Whitcombe et al., (2002) menyebut persamaan D.9 sebagai Extended Elastic


Impedance (EEI), sehingga dari perubahan tersebut, diperoleh rumus EEI
sebagai,
p
q
r

EEI ( ) 0 0
0 0 0

(3.11)

dengan, p=(cos+sin), q=-8Ksin dan r=(cos-4Ksin).


Whitcombe et al. (2002) menyebut persamaan (3.11) sebagai Extended
Elastic Impedance sebagai perluasan EI. Jika EI bekerja pada domain (0:30)
maka EEI pada domain sudut (-90:90). Bukan seperti halnya sudut yang

22

merepresentasikan sudut datang (incidence angle) gelombang seismik, sudut


merupakan sudut perluasan yang merepresentasikan sudut linierisasi AVO.
Menurut Whitcombe et al. (2002), dengan kisaran sudut antara -90
hingga 90, memungkinkan nilai log EEI pada sudut tertentu akan berkorelasi
terhadap beberapa log parameter elastik batuan dan petrofisika data log sumur.

.3.2. Sensitivitas Parameter Elastik Batuan pada Metode EEI


Pada metode EEI, beberapa parameter elastik dan petrofisika batuan dapat
diterapkan sebagai indikasi keberadaan reservoar hidrokarbon, (seperti : LambdaMu-Rho, Gamma Ray, Sw, Impedansi-P, Impedansi-S) (Whitcombe et al., 2002).
Hal ini mengacu kepada sensitivitas parameter-parameter tersebut terhadap
perubahan fluida dan litologi batuan. Sebagai contoh adalah sebagaimana
dijelaskan Whitcombe et al. (2002) pada gambar 3.5.
Gambar 3.5a menunjukkan bahwa dengan mensubstitusi variasi sudut
antara -90 hingga 90 pada persamaan (3.11) akan diperoleh variasi kurva EEI
terhadap sudut . Sedangkan pada gambar 3.5b menunjukkan bahwa kurva EEI
akan berkorelasi maksimum dengan log tertentu pada beberapa sudut .
Whitcombe et al. (2002) mencontohkan bahwa EEI (190) akan berkorelasi dengan
parameter Lambda (), EEI (-580) akan berkorelasi dengan parameter Mu (), EEI
(-450) akan berkorelasi dengan Impedansi-S dan beberapa contoh lain.

23

(a)

(b)

Gambar 3.5 (a) Variasi kurva EEI pada sudut antara -90 hingga 90.
(b) Korelasi kurva EEI dengan log parameter elastik (Whitcombe et al., 2002)

3.3 Impedansi EEI Proyeksi ~ Studi Kasus


Dengan mensubstitusikan sudut ke dalam persamaan (3.11) akan
diperoleh berbagai macam reflektivitas parameter elastik dan petrofisika batuan.
Sebagai contoh dapat dilihat pada gambar 3.6 yang menunjukkan peta sayatan
EEI pada 25 ms dari top reservoar untuk data lapangan Forties di laut Utara
Selatan (Whitcombe et al., 2002).
Pada gambar 3.6, peta sayatan EEI yang berupa litological impedance
digunakan untuk mendekati modulus rigiditas () sebagai indikator litologi pada
=-53.30 dan fluid impedance digunakan untuk mendekati modulus bulk ()
sebagai indikator fluida pada =12.40.

24

Gambar 3.6 Peta sayatan EEI litological impedance sebagai idikator litologi dan fluid
impedance sebagai indikator fluida reservoaar (Whitcombe et al., 2002)

Jadi dari apa yang telah dijelaskan diatas, dapat diketahui salah satu
kelebihan metode EEI adalah dapat diperoleh stack proyeksi parameter elastik
dengan pembobotan sudut tertentu sesuai nilai korelasi maksimalnya.

Parameter Lambda-Mu-Rho (LMR)


4.1. Definisi Lambda-Mu-Rho (LMR)
Konsep atribut Lambda-Mu-Rho (LMR) diperkenalkan oleh Goodway et
al. (1997). Konsep tersebut menggunakan parameter elastik batuan sebagai
indikator yang optimum terhadap perubahan litologi dan fluida hidrokarbon.
Parameter Lame , dan berkaitan dengan inkompressibilitas, rigiditas dan
densitas suatu batuan.
Gray dan Andersen (2000) menyatakan bahwa modulus geser ( atau
rigiditas) didefinisikan sebagai resistensi batuan terhadap sebuah strain yang
mengakibatkan perubahan bentuk tetapi tidak merubah volume total dari batuan
tersebut. Rigiditas sangat bermanfaat untuk membedakan tingkat kualitas litologi
karena secara umum tidak dipengaruhi oleh fluida reservoar.
Modulus Lambda () akan berkaitan erat dengan inkompressibilitas pada
suatu medium batuan. Parameter lambda () ini memberikan informasi lebih
mengenai kandungan fluida pada pori batuan. Inkompressibilitas juga disebut
sebagai modulus Bulk, yaitu resistensi batuan terhadap perubahan volume batuan

25

yang disebabkan oleh perubahan tekanan. Sifat inkompressibilitas adalah


kebalikan dari sifat kompressibilitas.
Secara sederhana pada gambar 3.7 menjelaskan beberapa kondisi matrik
batuan yaitu saat kondisi normal, kondisi terkompresi dan dikenai tekanan geser.

Gambar 3.7 Ilustrasi kondisi matrik batuan pada


(a) kondisi normal (b) dikenai kompresi dan (c) dikenai tekanan geser

Gambar 3.7a menunjukkan keadaan matrik batuan pada kondisi normal


tanpa dikenai suatu tekanan. Namun ketika dikenai suatu tekanan (kompresi)
(Gambar 3.7b) maka ruang pori di antara matrik akan berkurang. Jika pada pori
tersebut terdapat fluida (misal : minyak atau air) maka fluida tersebut berfungsi
sebagai penahan sehingga batuan akan menjadi lebih inkompressibel. Namun jika
fluida dalam pori berupa gas, maka nilai inkompressibilitas batuan jauh akan lebih
rendah. Hal ini disebabkan karena gas kurang mampu menahan tekanan se-efektif
minyak atau air. Jika matrik batuan dikenai tekanan geser seperti ditunjukkan
pada gambar 3.7c, maka matrik batuan akan saling bergeser atau dengan kata lain
akan mengalami perubahan bentuk. Semakin rigid suatu batuan maka semakin
sulit mengalami perubahan bentuk. Pada kasus tekanan geser ini, tidak
dipengaruhi oleh efek fluida.
Gambaran fisis mengenai rigiditas dan inkompresibilitas dapat dipahami
dari ilustrasi pada gambar 3.8. Pada gambar 3.8 kumpulan kartu mewakili litologi
serpih memiliki rigiditas yang rendah karena keduanya sangat mudah berubah
bentuk jika dikenai tekanan geser padanya. Batubata mewakili litologi gamping
yang merupakan batuan getas yang memiliki rigiditas tinggi, hal ini disebabkan
karena keduanya sangat sulit berubah bentuk jika dikenai tekanan geser padanya
dan cenderung patah.

26

Gambar 3.8 Pemahaman fisis mengenai rigiditas dan inkompresibilitas pada medium batuan
(Gray dan Andersen, 2000)

Selain itu keduanya juga termasuk medium inkompressibel sehingga


memiliki nilai modulus Lambda tinggi. Sponge dan pasir pantai akan memiliki
inkompressibilitas yang rendah sehingga keduanya akan memiliki modulus
Lambda yang rendah

4.2. Review Matematis Parameter Lambda-Mu-Rho


Berawal dari persamaan (3.1) dan (3.2) yaitu kecepatan gelombang P dan
kecepatan gelombang S dapat dituliskan secara matematis sebagai fungsi
parameter elastik batuan Lambda (), modulus geser () dan densitas batuan ().
Jika suku kanan dan kiri pada persamaan (3.1) dan (3.2) dikalikan dengan
parameter densitas () akan diperoleh

2 2
( I P )2 ( )2

atau

( I S )2 ( )2 2

(3.12)

dengan memindah masing-masing suku akan diperoleh parameter dan


sebagai fungsi impedansi

( I P )2 - 2( I S )2

atau

( I S )2

(3.13)

dengan IP dan IS adalah Impedansi-P dan Impedansi-S. Jika kecepatan gelombang


P () dan kecepatan gelombang S () dinyatakan dalam km/s dan batuan
dinyatakan dalam gr/cc maka parameter elastik batuan dan dinyatakan dalam
GPa gr/cc.

27

4.3. Sensitivitas Lambda-Mu-Rho Terhadap Fluida dan Litologi


Pada sub-bab ini akan dijelaskan perbandingan sensitivitas antara
parameter impedansi dan parameter Lambda-Mu-Rho terhadap perubahan litologi
maupun keberadaan fluida.
Pada contoh data yang ditunjukkan oleh gambar 3.9 terlihat bahwa dari log
impedansi baik Impedansi-P maupun Impedansi-S hanya dapat memisahkan
lapisan serpih dan karbonat. Berbeda dengan log Lambda-Mu-Rho, pada log ini
litologi dapat menunjukkan variasi litologi yang lebih detail yaitu lapisan serpih,
lapisan pasir gas B, lapisan pasir padat, lapisan pasir gas A dan lapisan karbonat.
Dari gambar 3.9, dapat diketahui bahwa nilai rasio perubahan log
impedansi yang relatif kecil akan berpengaruh pada nilai perubahan log LambdaMu-Rho yang besar. Hal ini menunjukkan tingkat sensitivitas parameter LambdaMu-Rho yang lebih tinggi dibanding sensitivitas impedansi dalam penentuan
fluida dan pemisahan litologi pada batuan reservoar.

Gambar 3.9 Perbandingan sensitivitas log impedansi dan log Lambda-Mu-Rho


untuk variasi litologi dan fluida (Goodway et al., 1997)

Goodway et al. (1997) juga menjelaskan perbandingan cross-plot antara


log impedansi dan log Lambda-Mu-Rho. Pada gambar 3.10, terlihat bahwa cross-

28

plot parameter Lambda-Mu-Rho memberikan pembagian kelompok data yang


lebih signifikan dibanding dengan cross-plot impedansi.
Pada cross-plot impedansi (Gambar 3.10), nilai Impedansi-P antara pasir
padat dan pasir gas masih saling overlap, begitu juga untuk litologi serpih dan
pasir. Tetapi pada cross-plot parameter Lambda-Mu-Rho, nilai cutt-off antara
pasir gas dengan litologi lain akan terlihat lebih tegas.

Gambar 3.10 Perbandingan antara cross-plot log Impedansi-P vs Impedansi-S dan crossplot Lambda-Rho vs Mu-Rho (Goodway et al., 1997)

Pada gambar 3.10 terlihat nilai cut-off Lambda-Rho antara pasir gas dan
serpih adalah 20 GPa. Hal ini berarti juga bahwa dengan parameter Lambda-MuRho akan memberikan batasan yang lebih jelas mengenai zona anomali.
Sedangkan pada cross-plot impedansi, nilai cut-off impedansinya bergerak secara
diagonal ke atas sehingga akan terdapat nilai himpit untuk beberapa litologi.

4.4. Interpretasi Lambda-Mu-Rho


Pada cross-plot Lambda-Rho dan Mu-Rho (Gambar 3.11), beberapa
litologi cenderung terpisah secara ortogonal dengan lebih tegas. Penggunaan
kedua parameter, akan saling menguatkan interpretasi litologi dan fluida.
Sebagai contoh, zona inkompressibilitas rendah akan menandakan
keberadaan batupasir gas atau batubara. Tetapi dengan menggunakan informasi
tambahan parameter Mu-Rho, maka pasir gas akan terpisah lebih jelas dari

29

batubara, karena pasir pasir akan memiliki rigiditas tinggi dan batubara memiliki
rigiditas yang rendah.

Gambar 3.11 Chart interpretasi penampang dan yang menunjukkan


pemisahan litologi secara ortogonal. Coal batubara, SH Serpih, SS batupasir,
SSG batupasir gas, SST pasir tersementasi, *CO3 karbonat. Berdasarkan
cross-plot pada Goodway et al. (1997). (Gray dan Anderson, 2000)
Ringkasan berikut memberikan kesimpulan singkat mengenai karakteristik
parameter elastik Lambda-Mu-Rho
1. Lambda-Rho ()

Sensitif terhadap perubahan fluida pada reservoar

Membedakan kompressibilitas beberapa litologi antara batubara, pasir


gas, serpih, pasir basah, dan karbonat

Faktor fluida sangat berpengaruh terhadap nilai , keberadaan gas


akan menyebabkan nilai kecil.

Nilai paling kecil adalah batubara, selanjutnya pasir gas, serpih,


pasir basah dan yang terbesar adalah karbonat.

Gambar 3.12 Variasi nilai pada beberapa litologi.

2. Mu-Rho ()

Sensitif terhadap perubahan litologi

Membedakan rigiditas beberapa litologi batuan antara lapisan


batubara, serpih, pasir dan karbonat

30

Nilai Mu-Rho tidak dipengaruhi oleh jenis fluida

Nilai paling kecil adalah batubara, selanjutnya serpih, pasir dan


yang terbesar adalah karbonat

Gambar 3.13 Variasi nilai pada beberapa litologi.

Inversi Seismik
Menurut Sukmono (2000), inversi seismik merupakan suatu teknik untuk
menggambarkan model geologi bawah permukaan menggunakan data seismik
sebagai masukan dan data log sebagai pengontrol. Metode inversi seismik adalah
suatu metode untuk mengubah data seismik menjadi data sumur semu seperti data
log kecepatan, log densitas, log impedansi akustik, yang memiliki dimensi dan
karakter yang sama dengan data sumur konvensional. Tujuan utama inversi data
seismik adalah melihat seberapa besar penyebaran lateral properti batuan (dari
data log) sepanjang lintasan seismik.
Gambar 3.14 menjelaskan bahwa pada dasarnya, perekaman data seimik
merupakan proses pemodelan maju (forward modelling). Data seismik terekam
merupakan hasil konvolusi antara deret koefisien refleksi bumi dengan wavelet
sumber. Inversi seismik merupakan kebalikan dari proses di atas. Diawali dari
proses dekonvolusi data seismik maka akan diperoleh koefisien refleksi. Proses
inversi seismik sendiri adalah proses merubah koefisien refleksi tersebut menjadi
suatu profil impedansi sehingga dapat digunakan untuk perkiraan model geologi.
Metode inversi seismik telah dikembangkan sejak tahun 1970-an
diantaranya oleh Lindseth et al. (1976). Prosedur dasarnya adalah :
1. Proses dekonvolusi data seismik menjadi perkiraan deret koefisien refleksi
2. Proses inversi deret koefisien refleksi menjadi impedansi semu
Seperti yang dilukiskan pada Gambar 3.14. berikut;

31

Geologi Impedansi Deret Koef.


(Aktual)
Refleksi

Tras Seismik
terekam

Forward

Konvolusi

Seismik Impedansi Geologi


dekonvolusi
Semu
(Estimasi)

Dekonvolusi

Inversion

Gambar 3.14 Ilustrasi proses perekaman data seismik (forward modelling) dan inversi data
seismik (inverse modelling)

Tujuan utama inversi data seismik adalah untuk melihat seberapa besar
penyebaran lateral properti batuan melalui

data log dengan perantara data

seismik. Pada dasarnya perekaman data seismik merupakan pemodelan maju


(forward modelling). Data seismik yang terekam merupakan hasil konvolusi
antara deret koefisien refleksi bumi dengan wavelet sumber. Sedangkan proses
inversi seismik (gambar 3.9) merupakan kebalikan dari proses di atas. Inversi
seismik berusaha menghilangkan efek wavelet pada data seismik sehingga
diperoleh data koefisien refleksi dari perlapisan bumi
Inversi seismik merupakan suatu teknik untuk menggambarkan model
geologi bawah permukaan menggunakan data seismik sebagai masukan dan data
log sebagai pengontrol. Data seismik mempunyai resolusi yang bagus ke arah
horizontal sedangkan data log mempunyai resolusi bagus kearah vertikal.

32

Gambar 3.9. Proses inversi seismik (Sukmono, 1999)


Inversi seismik awalnya hanya diterapkan pada data seismik post stack
yang biasa disebut dengan inversi AI (acoustic impedance). Dengan melakukan
inversi diharapkan diperoleh impedansi akustik semu sepanjang lintasan seismik.
Saat ini inversi seismik telah banyak mengalami perkembangan sehingga inversi
tidak hanya bisa dilakukan pada data post stack tetapi juga dapat dilakukan pada
data pre-stack seperti yang diterapkan pada inversi seismik AVO. Dalam inversi
seismik dikenal beberapa metode inversi diantaranya metode inversi model based,
band limited, dan sparse spike.

a) Teknik Inversi Bandlimited


Inversi Bandlimited menggunakan algoritma inversi rekursif klasik.
Asumsinya bahwa jejak seismik dapat diandaikan sebagai koefisien refleksi yang
telah difilter oleh sebuah wavelet berfase nol (zero phase wavelet). Pada proses
inversi bandlimited, komponen frekuensi rendah dianggap telah hilang dari data
seismik, maka perlu ditambahkan dari data log sumur. Frekuensi rendah dari data
log sumur tersebut dan data horison dipergunakan untuk membuat model untuk
memberikan frekuensi rendah pada data seismik akibat efek bandlimiting dari

33

dalam bumi. Jejak seismik ditransfer dari rentetan reflektivitas ke impedansi


akustik, kemudian ditambahkan dengan frekuensi rendah terbatas.
Keuntungan dari metode ini adalah sederhana, waktu perhitungan yang
pendek dan kurang terpengaruh dengan keberadaan

noise. Sedangkan

kerugiannnya, terutama dengan mengabaikan wavelet, maka efek lapisan tipis


tidak dapat digambarkan (resolusi menjadi rendah).

b) Teknik Inversi Sparse Spike


Metode

inversi sparse spike menggunakan proses dekonvolusi

maximum likehood (dekonvolusi kemungkinan maximum), yang prinsipnya


menganggap koefisien refleksi terbentuk oleh rentetan large events yang
bercampur dengan smaller events Gaussian. Secara geologi, large events mewakili
batas ketidakselarasan atau batas antar batuan dan dilain pihak smaller events
adalah noise (Russel, 1991).
Inversi Sparse Spike (Sparse Spike Inversion) menggunakan asumsi
bahwa hanya spike yang besar yang dianggap penting. Metoda ini mencari spike
yang besar dengan menambahkan refleksi satu demi satu sampai hasil yang
optimal diperoleh, artinya setelah dikonvolusikan dengan wavelet yang telah
ditentukan, didapat jejak sintetik yang mirip dengan jejak seismik dalam batas
toleransi tertentu. Kita yang mengontrol seberapa jauh kemiripan jejak seismik
dengan jejak sintetik melalui error (beda diantaranya) yang dihasilkan. Inversi
spare spike menggunakan parameter yang sama dengan inversi model based.
Parameter yang harus ditambahkan adalah parameter untuk menghitung berapa
banyak spike yang akan dipisahkan dalam setiap trace.

c) Teknik Inversi Model Based


Metode inversi ini menggunakan suatu metode GLI (Generalize Linear
Inversion), yaitu suatu proses yang dilakukan dengan cara membuat model
seismik (buatan) yang kemudian dibandingkan dengan rekaman seismik secara
berulang-ulang sampai didapatkan kesalahan terkecil diantara keduanya. Model

34

seismik dengan kesalahan terkecil itu lalu dijadikan penyelesaian untuk diubah
menjadi impedansi akustik.
Keunggulan metode inversi model based adalah hasil yang lengkap
didapatkan dengan memasukkan komponen frekuensi rendah, dan tidak sensitif
terhadap noise. Serta didapat nilai impedansi akustik rata-rata yang berbentuk
kotak (blocky) sehingga mempermudah untuk menentukan batas atas dan bawah
suatu formasi lapisan.
Kelemahan dari metode ini adalah kemungkinan diperoleh lebih dari satu
model yang cocok dengan data yang ada. Hal ini berkaitan dengan proses iterasi
yang digunakan

Contoh Kasus
4. 2.1. Pengolahan Data Sumur dan Data Seismik
Software yang digunakan untuk mengolah data-data dalam penelitian ini
adalah Humpson Russell Versi 7. Humpson Russell dilengkapi oleh fasilitas
Geoview, Elog, Emerge, AVO dan Strata. Geoview berfungsi sebagai database
untuk menyimpan data log yang dapat digunakan pada fasilitas Humpson Russell
lain, Elog digunakan untuk mengedit dan menganalisis data log, Emerge
digunakan untuk membuat log Vs dari atribut log lain, AVO digunakan untuk
pembuatan atribut dan analisis AVO, sedangkan

strata

digunakan untuk

membuat model impedansi dan menginversi data seismik.


4. 2.1.1. Pengolahan Data Sumur
Sebelum

melakukan

pengolahan

data

seismik

terlebih

dahulu

dilakukanan pengolahan data sumur. Secara garis besar diagram alir pengolahan
data sumur disajikan pada gambar 4.2.

35

Mulai
Log RHOB, log V p , log

Vs
Log I p

Log I s

( Log _ RHOB Log _ V p )

( Log _ RHOB Log _ Vs )

Log , Log , Log /


(Log = Log I p2 -2 I s2 )

Crossplot
Log Ip vs Log Is

(Log = I s2 ); ( Log / = Log /


Log )
Crossplot

Log vs Llog
Log vs
Log /
Log vs Log /
Analisis

Selesai

Gambar 4. 2. Diagram alir pengolahan data sumur.

Dalam pengolahan data sumur data-data yang diperlukan adalah data log
kecepatan gelombang P yang sudah dikoreksi chekshot, kecepatan gelombang S,
dan densitas. Dari ketiga data tersebut diturunkan log baru yaitu log Impedansi
gelombang P (Log I p ), log Impedansi gelombang S (Log I s ), log Lambda-rho,
log Mu-rho, dan Log Lambda per Mu

menggunakan operasi matematika.

Pengolahan data sumur tersebut dilakukan di Elog yang merupakan salah satu
fasilitas dari software Hampson Russell.

36

Log P-Impedance ( I p ) diperoleh dari hasil perkalian Log kecepatan


gelombang-P ( V p ) dengan Log densitas ( ), dengan I p V p ; Log SImpedance ( I s ) diperoleh dari hasil perkalian Log kecepatan gelombang-S ( Vs )
dengan Log densitas ( ), dengan I s Vs ; Log Mu-rho( ) diperoleh dari
kuadrat nilai log impedansi gelombang S( I s ), karena I s2 ; Log Lambda-rho
didapat dengan mengurangkan antara kuadrat impedansi gelombang P dengan dua
kali kuadrat impedansi gelombang S, dengan I p2 2I s2 ; Untuk Log Lambda

) didapat dengan membagi Log Lambda-rho dengan Log Mu-rho,


mengingat =
.

Setelah diperoleh Log turunan, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
per Mu (

melakukan krosplot antara dua Log. Pada parameter Log yang dikrosplot
ditampilkan juga komponen dimensi ketiga sebagai informasi tambahan untuk
mendukung hasil interpretasi atau analisis krosplot. Dimensi ketiga yang biasa
ditampilkan adalah saturasi air ( S w ), gamma ray, resistivitas, dan densitas,
dimensi ini umumnya ditampilkan sebagai kategori warna pada plot data antara
kedua parameter. Dari hasil krosplot selanjutnya dibuat zona-zona kelompok data
yang hasil dari zonasi tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk cross-section atau
penampang sumur.

Berikut adalah krosplot parameter-parameter log yang

dilakukan dalam penelitian:


a. Krosplot antara Gamma ray versus Densitas
b. Krosplot antara Impedansi gelombang P versus Gamma ray
c. Krosplot antara impedansi gelombang P versus impedansi gelombang S
d. Krosplot antara Gamma ray versus Mu-rho
e. Krosplot antara Lambda per Mu versus Densitas
f. Krosplot antara Lambda per Mu versus Resistivitas
g. Krosplot antara Lambda per Mu versus Mu-rho.
Semua krosplot tersebut kemudian dianalisa untuk melihat parameter
manakah yang paling baik dalam menggambarkan fluida dan litologi daerah
target.

37

Tight sand

Cut off
2,45
gr/cc

SHALE

SAND

Cut off 125 API

Gambar 4.3. Krosplot Densitas vs Gamma Ray sumur IJ 261.

SHALE

Cut off 125 API

Tight sand

Gambar 4.4. Krosplot Impedansi gelombang P (Ip) vs Gamma Ray sumur IJ 261

Tight sand

Porous sand

SHALE

Gambar 4.5. Krosplot P Impedance ( I p ) vs S Impedance ( I s ) sumur IJ 261

38

Tight sand

Cut off 45 Gpa* gr/cc


Porous sand

Silty sand

SHALE

Cut off 20 Gpa* gr/cc

Gambar 4. 6. Krosplot Gamma Ray vs Mu-rho sumur IJ 261

Tight sand

SHALE

Cut off

Cut off 1,5


sand

Prob shale

Prob sand

Gambar 4.7. Krosplot Lambda per Mu vs Densitas sumur IJ 261

Oil sand

Wet sand

Gambar 4.8. Krosplot Lambda per Mu vs Resistivitas sumur IJ 261

39

Tight sand

Siltly sand

SHALE
Porous sand

Gambar 4.9. Krosplot Lambda per Mu vs Mu-rho sumur IJ 261

Tight sand

Siltly
sand
Porous sand

SHALE

Gambar 4.10. Krosplot Lambda-rho vs Mu-rho sumur IJ 261

Tight sand

SHALE

Gambar 4.11. Krosplot Lambda-rho vs Resistivitas sumur IJ 261

40

Pengolahan Data Seismik


Perangat lunak (software) yang digunakan dalam pengolahan data
seismik adalah Hampson Russell versi 7.0. Perangkat lunak ini memberikan
banyak fasilitas tetapi yang digunakan dalam penelitian hanya Geoview, Elog,
AVO, dan Strata yang masing-masing fungsinya telah dijelaskan diatas.

a. Data CDP Gather


Data seismik yang digunakan dalam penelitian adalah data seismik pilot
project dari Inline 1220 s/d 1436 dan Xline 566 s/d 650 dan jumlah CDP 18445
CDP.dalam bentuk CDP Super gather PSTM (Pre Stack Time Migration). Data
ini mempunyai sampling rate 2 ms dan sudah di lakukan koreksi NMO (normal
move out). Gambaran penampang seismik yang dipakai dalam penelitian dapat
dilihat pada gambar 4.11. Data seismik yang dianalisis hanya difokuskan pada
Telisa 3 sampai Top Bekasap3.

Gambar 4.12. Penampang Seismik Super gather CDP 1428 -1435

41

b. Angle Gather
Proses angle gather dilakukan untuk membawa tiap-tiap trace dalam
kawasan offset ke kawasan sudut (angle), proses ini dilakukan dengan ray tracing
menggunakan fungsi kecepatan. Dalam program Hampson Russell fungsi
kecepatan yang dipakai dapat menggunakan persamaan staright ray (1) atau ray
parameter (2) yang secara matematis dituliskan dalam bentuk:
1. Straight ray:

tan

2. Ray parameter

x
x

2d Vrms t o

dengan x: offset, d: kedalaman =

sin
Vrms
to ,
2

xVint
tV rms

to: two way time, Vrms : rms velocity,

Vint : Interval velocity; t :waktu total.

Straight ray maupun ray parameter menghitung besar sudut datang


untuk masing-masing trace. Data masukan dalam proses ini adalah waktu,
kecepatan dan offset, informasi-informasi tersebut telah diberikan dalam bentuk
data time velocity tabel. Kisaran besar sudut yang digunakan dalam penelitian
adalah 0-45 derajat dengan asumsi sudut tersebut berada di bawah sudut kritis.
hasil yang diperoleh berupa kumpulan trace-trace baru untuk masing-masing
CDP Super gather. Penampang seismik hasil proses angle gather dapat dilihat
pada gambar (4.12).

Gambar 4.13.Penampang seismik dalam kawasan sudut sudah di-angel gather

42

c. Analisa AVO
Dari analisa AVO, diperoleh data cube seismik berupa data seismik
untuk penampang gelombang P dengan sudut datang = 00 (Intercept, Rp) dan
penampang seismik gelombang S dengan sudut datang = 00 [Rs = 0.5 (Rp
G)].

d. Proses Inversi
Untuk memperoleh penampang impedansi gelombang P(Ip) dan
gelombang S(Is), kita harus melakukan inversi cube data seismik Rp dan Rs.
Beberapa tahap yang dilakukan dalam proses inversi adalah :
a) Ektraksi wavelet dan pengikatan data sumur dengan data seismik
Dalam proses pengikatan data sumur dengan data seismik dibutukan
data checkshot untuk mengkonversi sumur dari fungsi kedalaman menjadi fungsi
waktu atau sebaliknya dengan parameter interval sampel disesuaikan dengan
sampling data seismik yaitu 2 ms. Proses pengikatan well dan seismik banyak
dipengaruhi pada saat melakukan bulkshifting atau stretch/squeeze.
Proses ekstraksi wavelet ditunjukan pada Gambar 4.13 di mana proses
tersebut dilakukan secara berulang sampai diperoleh wavelet dengan fasa dan
bentuk spektrum yang paling optimum untuk digunakan dalam proses inversi.
Pada penelitian ini dilakukan ekstraksi wavelet dengan beberapa metode,
yaitu metode statistik, ekstraksi dari data sumur dan kombinasi dari data seismik
dan sumur. Semua metode ini dilakukan untuk memperoleh kecocokan
semaksimal mungkin antara seismogram sintetik dari data sumur dan data seismik
riil. Hal ini perlu diperhatikan karena kualitas wavelet yang diperoleh akan sangat
berpengaruh pada hasil inversi akhir.

43

Data Sumur Kurva :


Check Shot
Kecepatan Gel P, S,
Densitas

Wavelet

Sintetik
Seismogram

Data Seismik

Tidak

Korelasi

Ya
Wavelet inversi
Gambar 4.14.Proses Ekstraksi Wavelet

Wavelet hasil dari ekstraksi tersebut kemudian dipergunakan dalam proses


pengikatan data sumur dan seismik dengan seismogram sintetik yang dihasilkan
dari konvolusi wavelet dengan IA log sumur (perkalian log densitas dengan log
sonik). Seismogram sintetik tersebut diikatkan dengan trace data seismik disekitar
lokasi sumur (composite trace) dengan bantuan marker sumur pada zona target,
yaitu marker T_TE3 dengan horison Telisa 3, marker T_TE4 dengan horison
Telisa 4, marker T_BKA1 dengan horison Bekasap 1 dan marker T_BKCI
dengan horison Top Bekasap 3.
Dari proses ekstraksi wavelet di atas didapatkan nilai korelasi paling baik
untuk semua sumur dengan mengunakan ekstraksi wavelet dari data sumur 263
dan 264 untuk penampang seismik Rp dan dari metode statistik untuk penampang

44

seismik Rs. Hasil ekstraksi wavelet terakhir (dalam kawasan waktu dan frekuensi)
dapat ditunjukkan pada Gambar 4.15 dan 4.16., sedangkan hasil pengikatan
antara data sumur dengan data seismik riil pada salah satu line seismik yang
melewati sumur 261ditunjukkan pada Gambar 4.17 dan 4.18.

Gambar 4. 15. Bentuk dan kandungan frekuensi wavelet yang digunakan untuk membuat
seismogram sintetik untuk data seismik Rp

Gambar 4. 16. Bentuk dan kandungan frekuensi wavelet yang digunakan untuk membuat
seismogram sintetik untuk data seismik Rs

45

Gambar 4.17. Hasil proses well- seismic tie pada sumur 261 dan data seismik Rp
dengan koefisien korelasi 0.9287

Gambar 4.18. Hasil proses well- seismic tie pada sumur 261 dan data seismik Rs
dengan koefisien korelasi 0,7955

46

b.) Repicking horison data seismik


Pada penelitian ini horizon yang dipakai telah disajikan sebagai data.
Horizon-horizon yang diberikan meliputi horizon yang membatasi Top Telisa 3,
Top Telisa 4, Top Bekasap A1, dan Top Bekasap C1. Data horizon tersebut
kemudian di-import ke trace seismik yang telah mempunyai korelasi bagus
dengan trace sintetik. Proses selanjutnya adalah melakukan penarikan atau
penelusuran ulang (repicking) terhadap horizon yang telah diberikan ke posisi
yang tepat yaitu pada zero crossing untuk horizon Telisa 4 dan peak untuk
horizon yang lainnya. Penelusuran ulang horizon ini akan digunakan untuk
membatasi nilai pada saat pemodelan reflektivitas gelombang P ( R p ) dan
reflektivitas gelombang S ( Rs ) dalam pembuatan model awal inversi.

c.) Pembuatan model awal


Pembuatan model awal ini pada dasarnya diperlukan untuk semua
metode inversi sebagai pengontrol kaku (hard constraint) hasil inversi akhir atau
untuk membatasi sedemikian rupa sehingga hasil inversi tidak bergeser jauh dari
model. Model awal ini dibuat setelah diperoleh data sumur yang telah diikatkan
dengan data seismik riil dengan bantuan horison yang telah dipetakan sebelumnya
sebagai pengontrol lateral. Model awal yang benar akan menghasilkan model
yang mengikuti bentuk atau trend dari horison utama, jika tidak demikian maka
hal tersebut disebabkan masih ada miss tie antara data sumur dengan data seismik
riil. Model awal yang dibuat menggunakan 8 buah sumur control. Model awal
untuk proses inversi dan penampang seismik riil dapat dilihat pada Gambar 4.19
(a-d).

47

(a) Penampang Seismik Rp

(b) Model Awal Rp

48

(c) Penampang Seismik Rs

(d) Model Awal Rs


Gambar 4.19. penampang-penampang seismik dan model awal (a-d) melalui sumur 261.

49

d.) Tahap inversi data seismik


proses inversi data seismik 3D ini dilakukan dengan mengunakan
perangkat lunak Humpson Russel (Program SRATA) versi 7.0. pada penelitian ini
digunakan jenis invesi model based, sparspike, dan bandlimited, dengan zona
target dibatasi pada interval Top Telisa3 + 20 ms sampai Top Bekasap C1 +20
ms. Perbandingan dari hasil yang diperoleh dianalisa dengan perhitungan total
korelasi impedansi. Inversi model based untuk kedua penampang memiliki total
korelasi impedansi 0,981483 untuk Rp dan 0,992704 untuk Rs, sedangkan untuk
jenis inversi sparse spike total korelasi impedansi adalah 0,850953 untuk Rp dan
0,872915 untuk Rs, serta untuk jenis inversi bandlimited total korelasi impedansi
adalah 0.831971 untuk Rp dan 0,82558 untuk Rs.

Inversi berbasis model (Model Based Inversion )


Model awal yang digunakan untuk proses inversi berdasarkan hard

constrain dari 8 buah data sumur dengan bantuan 4 horison. Input parameter yang
digunakan adalah perubahan impendansi maksimum 5 %, ukuran blok 0.5 ms,
iterasi 10. jumlah iterasi 10 ini ditentukan karena total korelasi inpedansi paling
tinggi dan error relatif konstan.
Penampang impedansi akustik hasil inversi dengan metode hard
constrain ini menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan dengan metode
lain Gambar 4.20 (a), 4.21 (a).

Inversi sparse spike maximum likelihood


Metode maximum likelihood dilakukan dengan model awal yang

diwakili

oleh 4 horison, dengan interval Top Telisa3 + 20 ms sampai Top

Bekasap C1 +20 ms. Proses inversi untuk memperoleh penampang impedansi


akustik menggunakan wavelet yang telah dipilih pada model tersebut. Input
parameter dalam proses inversi metode ini adalah dengan 84 spikes , spike
detection treshold 2%, dan maximum impedansi 5 %. Iterasi 5 kali menunjukkan

50

total korelasi impedansi paling tinggi dan error yang relatif konstan.Gambar 4.20
(b), 4.21 (b).

Inversi Band limited


Komponen frekuensi rendah diasumsikan hilang pada data seismik.

Jadi untuk itu perlu ditambahkan frekuensi rendah dengan cara menerapkan low
pass filter pada data model, dengan data model berasal dari interpolasi impedansi
akustik antar sumur. Sehingga semakin besarnya high cut frequency menunjukkan
hasil outputnya semakin mendekati data model, tetapi error-nya semakin besar.
Parameter input pada inversi metode ini adalah pada interval Top Telisa3 + 20 ms
sampai Top Bekasap C1 +20 ms., high cut frequency 20 Hz dan 50 Hz untuk
penampang seimik Rp dan Rs.Gambar 4.20 (c), 4.21 (c).
Berdasarkan analisa hasil pengolahan data dengan proses inversi
tersebut diatas, maka ditentukan jenis inversi yang akan dipakai dalam tahap
inversi data seismik keseluruhan adalah inversi model based hard constraint.
Kualitas hasil inversi ini memiliki total korelasi impedansi paling tinggi dan
tingkat error yang lebih rendah dan kemenerusan secara lateral yang lebih baik
dibandingkan metode inversi yang lain. Proses inversi 3D atau dalam bentuk cube
menggunakan parameter-parameter optimum yang diperoleh pada saat melakukan
analisa inversi sebelumnya.

(a)

51

(b)

(c)

Gambar 4.20. Penampang Ip yang melewati sumur 261 untuk inversi model based (a),
spase spike (b),bandlimited (c)

52

(a)

(b)

(c)

Gambar 4.21. Penampang Is yang melewati sumur 261 untuk inversi model based
(a), spase spike (b),bandlimited (c)

53

e. Transformasi Impedansi Gelombang P (Ip) dan Impedansi Gelombang S


(Is) ke Parameter Lame yaitu Lambda Rho, Mu-rho dan Lambda per
Mu Serta Analisis Hasil Inversi
Langkah selanjutnya Setelah didapat volume impedansi gelombang P (Ip)
dan impedansi gelombang S (Is) adalah mentransformasi hasil tersebut menjadi
Lambda-rho, Mu-rho, dan Lambda per Mu menggunakan persamaan Goodway,
yaitu
= 2 s
= I2 p 2 2 s
dapat diperoleh penampang dan . Untuk penampang Lambda per Mu (/)
didapat dengan membagi cube Lambda-rho dengan cube Mu-rho, mengingat /=
/ .
Untuk mendapatkan volume parameter-parameter tersebut digunakan
fasilitas trace math dari software Hampson-Russell. Prinsip Trace math pada
dasarnya adalah melakukan perhitungan matematis yang dikenakan pada tiap
trace untuk satu data volume seismik. Berikut adalah hasil transformasi impedansi
gelombang P (Ip) dan impedansi gelombang S (Is) menjadi Lambda-rho, Mu-rho
dan Lambda per Mu. Gambar 4.22. ,4.23.,4.24.

Gambar 4.22. Penampang Lambda-rho melewati sumur 81

54

Gambar 4.23.Penampang Mu-Rho melewati sumur 81

Gambar.4.24.Penampang Lambda / Mu melewati sumur 81

55

Super gather
3D seismik

Angel gather

Anlisa AVO
Rp

Rs

Ektrak wavelet

Data well

Well seismic tie

Well seismic tie

Import horison

Import horison

Model awal

poor

Ektrak wavelet

Model awal

poor

Analisis inversi

Analisis inversi

good
inversi

good
inversi

Cube Is

Cube Ip

Transform LMR

Informasi geologi

I 2I s2 , I s2 , / /
2
p

interpretasi

selesai

Gambar 4.2.5. diagram alir pengolahan data


seismik

Analisis crosplot

Anda mungkin juga menyukai