Anda di halaman 1dari 27

Saturday, May 21, 2016

Latest:
Ancaman Kejadian Mikrosefali pada Fetus dengan Ibu Terinfeksi Virus Zika

Guideline Klinis Hematuria oleh American College of Physicians (ACP)

Bendungan Payudara

Penanganan Kegawatdaruratan Jantung: Bradikardia

Penanganan Kegawatdaruratan Jantung : Takikardi

MEDICINESIA
Pengetahuan, lentera kesehatan

Home

Basic Medicine

Clinical Aspects

Journal and News

Library

Harian Infeksi Imunologi Penginderaan

Infeksi pada Mata (Virus dan Bakteri)

May 7, 2012 Medicinesia5 Comments Bakteri, blefaritis, chlamydia, hordeleum,


konjungtivitis, mata, penyakit mata, virus
Artikel ini sudah dibaca 281108 kali!

Oleh Elisabet Lana A.K.


Infeksi pada mata dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, ataupun parasit. Infeksi
tersebut dapat mengenai seluruh bagian mata, mulai dari kelopak mata hingga lensa. Infeksi
pada mata dapat menyebabkan mata merah dengan penglihatan yang menurun maupun tidak.
Pada penglihatan yang menurun, infeksi terjadi pada media refraksi mata, seperti pada kornea
dan lensa. Sedangkan, pada penglihatan yang normal, infeksi terjadi pada struktur sekitar
mata.1

Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan inflamasi pada konjungtiva yang menyebabkan adanya hiperemis
mata dan keluarnya sekret purulen. Konjungtivitis ini terjadi akibat lemahnya sistem
pertahanan pada konjungtiva. Sistem pertahanan tersebut yaitu:2

Temperatur yang lebih rendah dari udara sekitar

Adanya kelopak mata untuk menyibak kotoran

Adanya air mata untuk membersihkan kotoran

Adanya lisozim yang berperan sebagai antibakteri

Adanya imunoglobulin pada air mata

Etiologi dari konjungtivitis yaitu:2,3

Infeksi, yang diakibatkan oleh:


o Bakteri; StaphylococcuS aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia
trachomatis
o Virus; adenovirus, virus Herpes Simplex (HSV) tipe 1 dan 2, picornavirus
o Fungsi
o Protozoa
o Parasit
o Autoimunitas yang berupa alergi

o Trauma
o Keratokonjungtivitis
Adanya bakteri yang menyerang konjungtiva menyebabkan proses inflamasi terjadi. Sel-sel
inflamasi, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan sel plasma, menyerang bakteri,
namun juga berperan sebagai sel yang merusak struktur konjungtiva. Sel-sel tersebut
kemudian bercampur dengan fibrin dan mukus hasil ekskresi sel goblet sehingga membentuk
eksudat konjungtiva. Eksudat tersebut mengering dan mengalami perlekatan pada kelopak
mata atas dan bawah. Terdapat edema epitel, eksfoliasi konjungtiva, hipertrofi epitel, dan
pembentukan granuloma. Selain itu, terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan
hipertrofi pada kelenjar limfoid stroma konjungtivitis.
Konjungtivitis yang disebabkan bakteri ditandai dengan adanya dominansi PMN
(polimorfonukleat), sedangkan konjungtivitis akibat virus ditandai dengan adanya dominansi
sel MN (mononuklear). Pada konjungtivitis akibat klamidia, dapat ditemukan jumlah
neutrofil dan limfosit yang hampir sebanding.
Pemeriksaan untuk konjungtivitis dilakukan dengan menemukan mikroorganisme patogen.
Spesimen yang digunakan yaitu eksudat konjungtiva atau korekan pada konjungtiva yang
diambil dengan spatula steril. Kemudian, dilakukan pewarnaan Gram atau pewarnaan
Giemsa.
Tanda dan gejala yang terdapat pada konjungtivitis yaitu:

Adanya sensasi benda asing dalam mata dan rasa terbakar atau bekas digaruk,
biasanya diakibatkan oleh edema dan hipertrofi papiler.

Adanya rasa terbakar atau bekas digaruk

Adanya rasa penuh pada mata

Pruritus

Fotofobia

Hiperemia; hiperemia paling banyak terdapat pada fornix dan semakin berkurang ke
arah limbus. Hiperemia ini merupakan gejala terbanyak pada konjungtivitis akut.

Epifora; epifora ini muncul akibat adanya sensasi benda asing pada mata, rasa
terbakar atau bekas digaruk, atau pruritus pada mata.

Keluarnya eksudat berlebih; eksudat ini bersisik dan amorf, menyebabkan


perlengketan pada kedua kelopak mata.

Pseudoptosis; yaitu melemahnya kelopak mata atas akibat adanya infiltrasi pada otot
Muller. Hal ini biasanya terdapat pada konjungtivitis yang berat.

Hipertrofi papilar; hipertrofi ini terjadi akibat kumpulan eksudat yang melekat dengan
fibril, sehingga terjadi pembesaran pada konjungtiva. Hipertrofi ini berbentuk papila
karena terdapat cabang-cabang pembuluh darah pada kumpulan eksudat tersebut
sehingga membentuk papila-papila pada konjungtiva.

Kemosis; yaitu edema pada stroma konjungtiva. Kemosis ini biasanya sering terdapat
pada konjungtivitis akibat Neisseria sp. dan adenovirus. Gejala ini timbul sebelum
adanya ekskresi eksudat berlebih.

Folikel; folikel paling banyak terdapat pada konjungtivitis yang disebabkan virus,
parasit, klamidia, dan toksik. Folikel ini terdiri atas hiperplasia kelenjar limfoid fokal
pada lapisan limfoid konjungtiva. Folikel ini berbentuk bulat, berwarna putih
keabuan, dan avaskular.

Pseudomembran dan membran, yang merupakan hasil dari proses eksudatif.


Pseudomembran merupakan koagulum pada permukaan epitel konjungtiva saja,
sehingga pada pengangkatan pseudomembran, epitel tersebut masih intak. Sedangkan,
membran merupakan koagulum pada keseluruhan lapisan epitel konjungtiva, sehingga
pengangkatan membran tersebut dapat menyebabkan perdarahan konjungtiva. Gejala
ini sering terdapat pada konjungtiva akibat HSV, streptokokus, dan pada
keratokonjungtivitis epidemik.

Limfadenopati preaurikular; merupakan gejala yang penting pada konjungtivitis.

Fliktenul; merupakan perivaskulitis dengan fokus limfosit pada pembuluh darah


tersebut. Gejala ini merupakan reaksi hipersensitivitas delayed terhadap stafilokokus.

Beberapa tipe dari konjungtivitis berdasarkan etiologinya yaitu:

Konjungtivitis bakterial2,3
Konjungtivitis bakterial ini disebabkan oleh:

Staphylococcus aureus

Staphylococcus epidermidis

Streptococcus pneumoniae

Streptococcus pyogenes

Haemophilus influenzae

Moraxella lacunate

Pseudomonas pycocyanea

Neisseria gonorrhoeae

Neisseria meningitidis

Corynebacterium diphtheriae

Bakteri patogen dari konjungtivitis yang paling sering ditemukan yaitu Haemophilus
influenzae, Neisseria gonorrhoeae, dan Neisseria meningitidis. Namun, terdapat beberapa
bakteri konjungtivitis yang jarang ditemukan, yaitu Corynebacterium diphteriae dan
Streptococcus pyogenes.
Patogenesis
Patogenesis dari konjungtivitis bakterial ini yaitu terdapat perubahan pada:

Tingkat selular, yang berupa pembentukan eksudat akibat aktivitas sel PMN dan sel
inflamasi lainnya pada substansia propria konjungtiva

Tingkat vaskular, yang berupa kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh


darah konjungtiva, juga terdapat proliferasi kapiler pada konjungtiva

Tingkat jaringan, yang berupa edema pada konjungtiva. Terjadi deskuamasi pada
epitel superfisial, proliferasi pada lapisan basal konjungtiva, dan peningkatan sel
goblet

Sekret konjungtiva, yang terdiri atas air mata, mukus, sel inflamasi, sel epitel yang
berdeskuamasi, fibrin, dan bakteri patogen. Pada konjungtivitis yang berat, dapat
ditemukan sel darah merah.

Tanda dan gejala pada konjungtivitis bakterial ini dibagi berdasarkan gejala klinis dan
onsetnya, yaitu:
1. Konjungtivitis mukopurulen akut
Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya hiperemi konjungtiva dan adanya sekret
mukopurulen. Bakteri yang biasanya menyebabkan penyakit ini yaitu StaphylococcuS aureus,
Pneumococcus, Streptococcus pneumoniae,Haemophilus aegypticus, dan Koch-Weeks
bacillus. Beberapa tanda dan gejala pada konjungtivitis tipe ini yaitu:

Sensasi benda asing pada mata akibat pembuluh darah yang bertambah pada
konjungtiva

Fotofobia

Sekret mukopurulen, yang menyebabkan perlekatan kedua kelopak mata setelah


bangun tidur

Penglihatan yang kabur, yang disebabkan adanya mukus pada bagian depan kornea

Terlihatnya halo yang berwarna-warni, yang disebabkan oleh efek prismatik mukus
pada kornea

Kongesti pembuluh darah konjungtiva

Kemosis

Perdarahan peteki, yang biasanya muncul pada etiologi pneumokokus

2. Konjungtivitis purulen akut


Konjungtivitis ini disebut juga konjungtivitis hiperakut, dan ditandai dengan respon inflamasi
yang lebih berat. Penyakit ini disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, StaphylococcuS
aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Penyebaran penyakit ini biasanya melalui saluran
genital yang terinfeksi N gonorrheae dan menular ke mata melalui tangan yang
terkontaminasi.
Tanda dan gejala pada penyakit ini berlangsung dalam tiga fase, yaitu:

Fase infiltrasi, yang berlangsung selama 4-5 hari setelah infeksi. Fase ini ditandai
dengan:
o Nyeri pada bola mata
o Kemosis disertai hiperemi konjungtiva
o Edema palpebra
o Sekret yang berair
o Pembesaran nodus limfa preaurikular

o Fase blenorrhoea, yang berlangsung setelah fase infiltrasi dan terjadi selama
beberapa hari. Fase ini ditandai dengan adanya sekret yang purulen dan kental.
o Fase penyembuhan, yang ditandai dengan penurunan nyeri, edema palpebra,
dan jumlah sekret yang keluar. Namun, konjungtiva masih terlihat merah

3. Konjungtivitis membranosa akut


Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan membran pada konjungtiva. Penyakit ini
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dan Streptococcus haemolyticus. Pembentukan
membran pada konjungtiva tersebut diakibatkan oleh adanya deposisi eksudat fibrinosa pada
permukaan konjungtiva akibat inflamasi yang berat. Membran ini kemudian dapat mengalami
nekrosis yang menghasilkan jaringan granulasi pada konjungtiva.
Tanda dan gejala dari konjungtivitis ini dibagi dalam tiga fase, yaitu:

Fase infiltrasi, yang ditandai dengan:


o Nyeri yang berat pada mata
o Sekret konjungtiva
o Edema palpebra
o Hiperemia, edema palpebra, yang dilapisi oleh membran
o Pembesaran nodus limfa preaurikular
o Fase supurasi, yang ditandai dengan :

Penurunan rasa nyeri dan edema palpebra

Membran konjungtiva yang perlahan menjadi nekrosis

Sekret purulen pada konjungtiva

Fase sikatrisasi, yang ditandai dengan adanya jaringan parut/granulasi


hasil nekrosis membran

4. Konjungtivitis pseudomembranosa
Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada konjungtiva.
Pseudomembran tersebut terbentuk karena adanya koagulasi eksudat fibrinosa pada
permukaan konjungtiva.
Penyakit ini ditandai dengan adanya konjungtivitis mukopurulen akut dan pembentukan
pseudomembran pada fornix dan konjungtiva palpebra.

5. Konjungtivitis kronik
Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya inflamasi yang ringan pada konjungtiva. Salah satu
etiologi konjungtivitis ini yaitu adanya infeksi oleh bakteri StaphylococcuS aureus dan
bakteri gram negatif lainnya.
Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu:

Adanya perasaan terbakar pada mata

Perasaan panas dan kering pada tepi palpebra

Mata sering merasa lelah dan mengantuk

Hiperemia pada mata

Sekret mukoid ringan

Adanya kongesti pada pembuluh darah konjungtiva posterior

Hipertrofi papilar pada konjungtiva palpebra

Pemeriksaan
Pemeriksaan pada konjungtivitis dilakukan dengan identifikasi bakteri yang menggunakan
pewarnaan Gram atau Giemsa. Selain itu, dapat dilakukan kultur terhadap bakteri patogen
tersebut. Spesimen yang digunakan berupa usapan pada konjungtiva. Pemeriksaan
sensitivitas antibiotik dapat dilakukan, sehingga dapat ditentukan jenis terapi antibiotik yang
sesuai. Namun, sebelum hasil pemeriksaan sensitivitas tersebut diketahui, terapi antibiotik
empiris harus diberikan.

Komplikasi

Pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang kemudian dapat menimbulkan


simblefaron, trichiasis, entropion, dan xerosis konjungtiva

Ulkus kornea, dapat menyebabkan infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis,


dan S aureus secara sistemik

Iridosiklitis

Komplikasi sistemik, seperti arthritis gonorrhoea, endokarditis, dan septisemia

Penatalaksanaan

terapi antibakterial broad-spectrum yang diberikan secara topikal, yaitu kloramfenikol


1%, gentamisin 0,3%, dan tetes mata framisetin. Penggunaan salep mata sebelum
tidur dapat mengurangi perlengketan kelopak mata pada pagi hari. Jika penggunaan
antibiotik tersebut tidak menimbulkan kesembuhan, dapat digunakan antibiotik
topikal lain seperti ciprofloxacin, ofloxacin, dan gatifloxacin.

Terapi antibiotik sistemik, yang digunakan pada konjungtivitis yang disebabkan N


gonorrhoeae dan N meningitidis. Beberapa obat tersebut yaitu norfloxacin, cefoxitim,
ceftriaxon, dan spectinomycin.

Pada konjungtivitis purulen akut dan mukopurulen, perlu dilakukan irigasi pada
kantung konjungtiva dengan cairan salin untuk membersihkan sekret pada
konjungtiva. Namun, irigasi mata ini tidak boleh dilakukan secara rutin karena dapat
merusak kandungan lisozim air mata.

Pemberian atropin topikal, jika konjungtivitis tersebut melibatkan kornea sehingga


terjadi ulkus kornea.

Pemberian tetes mata astringen seperti tetes mata asam zins-boric pada konjungtivitis
bakteri kronik, yang dapat meringankan gejala-gejalanya.

edukasi terhadap kebersihan di rumah dan lingkungan sekitar untuk mencegah


penularan penyakit.

Penggunaan kacamata hitam, yang dapat mengurangi fotofobia

Pada konjungtivitis mukopurulen, tidak boleh digunakan balut mata karena dapat
menyebabkan pertumbuhan bakteri

Terapi antiinflamasi dan analgesik, yang dapat digunakan untuk menyembuhkan


gejala nyeri

Pada konjungtivitis purulen akut, terapi tersebut juga diberikan pada pasangan seksual pasien.

Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu dengan menghindari kontak langsung dengan pasien
konjungtivitis dan imunisasi terhadap bakteri tertentu penyebab konjungtivitis bakteri.
Prognosis
Konjungtivitis akut biasanya dapat sembuh sendiri dalam 1-3 hari jika diobati dan 10-14 hari
jika tidak diobati. Namun, konjungtivitis yang disebabkan bakteri S aureus, N meningitidis,
dan N gonorrhoeae akan menimbulkan komplikasi jika tidak diobati segera.

Konjungtivitis Klamidial2,3
Konjungtivitis ini disebabkan oleh bakteri Chlamydial sp. dan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.

Klasifikasi dari konjungtivitis klamidial berdasarkan klasifikasi Jones yaitu:


1. Blinding trachoma, yang merupakan trakoma hiperendemik. Trakoma ini disebabkan
oleh C trachomatis serotip A, B, Ba, dan C.
2. Nonblinding trachoma, yang disebabkan oleh C trachomatis serotip A, B, Ba, dan C.
Bedanya, trakoma ini tidak disertai dengan infeksi bakteri sekunder dan biasanya
terdapat pada daerah yang memiliki kondisi higienis dan sosioekonomis yang lebih
baik.
3. Paratrachoma, yang disebabkan C trachomatis serotip D-K. Paratrakoma ini berupa
konjungtivitis inklusi.

Trakoma
Trakoma merupakan konjungtivitis folikuler kronik yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis serotip A, B, Ba, dan C.Penyakit ini lebih banyak terdapat pada beberapa negara
benua Afrika, Asia, Australia, dan daerah utara dari Brazil. Penularan penyakit ini melalui
kontaminasi langsung dan serangga vektor seperti lalat. Trakoma merupakan penyakit yang
menyebabkan 15-20% kebutaan pada masyarakat dunia.
Konjungtivitis ini dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pada konjungtiva.
Jaringan parut tersebut dapat menyebabkan bulu mata menjadi menekuk ke dalam dan
menimbulkan abrasi pada mata dan gangguan pada lapisan tirai air mata. Trakoma biasanya
muncul disertai dengan konjungtivitis bakteri.
Beberapa faktor risiko dari penyakit ini yaitu:

Iklim yang kering dan berdebu, daerah dengan iklim ini memiliki prevalensi trakoma
yang lebih tinggi

Usia bayi dan anak-anak lebih rentan terinfeksi

Status sosioekonomi, yang menunjukkan kondisi higienis, kebersihan air, peralatan


yang bersih dan memadai, dan edukasi tentang penyakit ini.

Kondisi lingkungan yang berdebu dan banyak terpajan sinar matahari, yang dapat
meningkatkan risiko terinfeksi.

Beberapa tanda dan gejala dari trakoma ini yaitu :

Pengeluaran air mata terus menerus

Fotofobia

Nyeri pada mata

Keluarnya eksudat berlebih

Edema palpebra

Kemosis pada konjungtiva bulbar, fornix konjungtiva, dan konjungtiva tarsal superior

Hiperemia

Hipertrofi dan hiperplasia papilar, yang menyebabkan tampakan hiperemia pada


konjungtiva tarsal.

Folikel pada tarsal dan limbus. Folikel ini terbentuk akibat agregasi limfosit dan sel
lainnya pada lapisan adenoid. Bagian pusat dari folikel ini terdiri atas histiosit

mononuklear, limfosit, dan sel multinukleat raksasa. Bagian perifernya terisi dengan
pembuluh darah. Selain itu, dapat ditemukan daerah nekrosis.

Keratitis superior

Pembentukan pannus, yaitu membran fibrovaskular yang terdapat pada limbus dan
kornea. Pannus ini kemudian dapat menimbulkan ulkus kornea.

Pembentukan lengkung Herbert, yaitu depresi pada jaringan ikat pada peralihan
limbokorneal yang dilapisi epitel. Lengkung ini dibentuk dari keratitis epitel dan
subepitel,
pannus,
folikel
limbus
superior,
dan
sikatriks.

Nodus preaurikular yang membesar dan teraba lunak

Tanda dan gejala tersebut tidak muncul bersamaan, namun berdasarkan fase trakoma. Fase
tersebut yaitu:

Fase 1, yang ditandai dengan hiperemia konjungtiva dan adanya folikel imatur

Fase 2, yang ditandai dengan adanya folikel matur, papil, dan panus kornea

Fase 3, yang ditandai dengan adanya jaringan parut pada konjungtiva

Fase 4, yang ditandai dengan adanya sikatriks

Pemeriksaan
yang
dilakukan pertama kali yaitu menemukan tanda dan gejala dari trakoma. Untuk mengetahui
adanya infeksi trakoma, dapat ditentukan jika sedikitnya dua dari empat gejala ini terpenuhi:

Terdapat lima atau lebih folikel pada tarsal konjungtiva superior

Pembentukan jaringan parut pada tarsal konjungtiva superior

Terdapat keratitis epitel pada limbus superioe

Adanya pannus

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menemukan C trachomatis. Pemeriksaan tersebut


yaitu:

Sitologi konjungtiva, yang dilakukan dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan ini


dapat ditemukan adanya sel plasma, sel PMN, dan sel multinukleat raksasa (sel Leber)

Deteksi badan inklusi, yang dapat dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, pewarnaan
iodin, atau imunofluoresens.

ELISA, untuk mendeteksi adanya antigen klamidia.

PCR

Isolasi bakteri patogen

Serotyping yang dilakukan dengan mendeteksi antibodi spesifik dengan metode


mikroimunofluoresens.

Diagnosis banding untuk trakoma yaitu:

Konjungtivitis folikular adenovirus/keratokonjungtivitis epidemik

Konjungtivitis papilar

Komplikasi trakoma yang tersering yaitu pembentukan jaringan parut konjungtiva. Jaringan
parut tersebut dapat menyebabkan terganggunya fungsi kelenjar lakrimal dan duktus
lakrimalis. Hal ini menyebabkan penurunan komponen air pada tirai air mata. Selain itu, sel
goblet juga mengalami gangguan fungsi sehingga terjadi pula penurunan produksi mukus
pada tirai air mata. Selain itu, dapat terjadi trichiasis, yaitu pembelokan bulu mata ke dalam
sehingga menyebabkan abrasi kornea. Abrasi kornea ini dapat menimbulkan ulkus kornea,
infeksi kornea, dan jaringan parut pada kornea. Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu
ptosis, obstruksi duktus lakrimalis, dan dakrosistitis.
Penatalaksanaan trakoma dapat menggunakan antibiotik sistemik, yaitu:

Tetrasiklin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1-1,5 g/hari yang dibagi empat
dan diberikan selama 3-4 minggu. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak berusia di
bawah 7 tahun dan ibu hamil.

Doksisiklin, yang diberikan secara oral dengan dosis 100mg yang diberikan 2x sehari
dan diberikan selama 3 minggu.

Eritromisin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1g/hari dan dibagi empat dengan
diberikan selama 3-4 minggu.

Azitromisin, yang diberikan secara oral dengan dosis 1g

Selain terapi yang diberikan secara oral, terdapat terapi antibiotik yang diberikan secara
topikal, yaitu sulfonamid, tetrasiklin, eritromisin, dan rifampisin. Obat topikal ini diberikan
empat kali sehari selama 6 minggu. Dapat juga dilakukan terapi pembedahan untuk
memperbaiki bulu mata yang berbelok ke arah dalam.
Trakoma dapat dicegah bila kondisi higienis lingkungan dapat terjaga dengan baik,
penanganan terhadap konjungtivitis dini, dan penggunaan terapi antibiotik pada daerah
endemik.
Prognosis dari trakoma tergantung pada kondisi higienis dari pasien, karena trakoma
merupakan penyakit kronik.
Konjungtivitis inklusi

Konjungtivitis ini biasanya terdapat pada pasien yang aktif secara seksual, karena
penularannya melalui seks oral-genital dan transmisi dari tangan ke mata. Selain itu,
transmisi dapat terjadi melalui jalur lahir sehingga menyebabkan konjungtivitis pada bayi dan
melalui kolam renang yang kurang terklorinasi. Konjungtivitas inklusi ini disebabkan oleh
Chlamydia trachomatis serotip D-K.
Tanda dan gejala yang sering dialami pasien yaitu hiperemia, pseudoptosis, dan keluarnya
sekret, terutama pada pagi hari. Pada bayi, dapat ditemukan adanya konjungtivitis papilar,
sekret yang berlebih, dan pembentukan jaringan parut akibat adanya pseudomembran. Folikel
dapat muncul bila konjungtivitis tersebut berlangsung selama 2-3 bulan. Sedangkan, pada
dewasa, terdapat papil dan folikel pada kedua tarsus, keratitis superfisial, dan mikropannus
superior.

Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan tes antibodi fluoresens,


ELISA, dan PCR. Selain itu, dapat dilakukan pengukuran kadar antibodi IgM pada bayi
untuk mencegah komplikasi berupa pneumonitis klamidial. Pemeriksaan terhadap penyakit
ini dilakukan pada pasien dan pasangan seksual pasien tersebut.
Konjungtivitis inklusi dapat dibedakan dari trakoma dengan kriteria berikut :

Trakoma folikuler biasanya terdapat pada usia anak-anak dan orang yang tinggal di
daerah dengan trakoma endemik, sedangkan konjungtivitis inklusi terjadi pada usia
dewasa atau orang yang sudah berhubungan seksual

Konjungtivitis inklusi pada dewasa tidak menimbulkan jaringan parut

Trakoma memiliki gambaran khas, yaitu lengkung Herbert

Penatalaksanaan untuk konjungtivitis inklusi dibedakan berdasarkan usia pasien:

Pada bayi, diberikan terapi antibiotik berupa eritromisin yang diberikan dalam dosis
40mg/kg/hari selama 14 hari dan diberikan secara oral. Selain itu, orang tua bayi juga
perlu diterapi dengan tetrasiklin atau eritromisin oral.

Pada dewasa, diberikan terapi tetrasiklin (dosis 1-1,5g/hari), doksisiklin (100mg


2x/hari), atau eritromisin (dosis 1g/hari). Selain itu, pasangan seksual pasien juga
harus diberikan terapi tersebut.

Pencegahan terhadap penyakit ini yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan dan
kaporisasi kolam renang dengan baik.
Penanganan yang baik terhadap penyakit ini dapat mencegah kambuhnya konjungtivitis
inklusi. Namun, bila tidak diobati, penyakit ini dapat berlangsung selama 3-9 bulan lebih
lama.

Konjungtivitis virus
Konjungtivitis virus akut
Demam faringokonjungtival3
Penyakit ini disebabkan oleh adenovirus tipe 3, 4, dan 7. Penyakit ini menyebabkan adanya
folikel pada konjungtiva dan mukosa faring. Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu adanya
demam 38.340 C, sakit tenggorokan, konjungtivitis folikuler pada satu atau kedua mata,
kerluarnya air mata berlebih, keratitis epitelial, dan limfadenopati preaurikular. Biasanya,
pasien demam faringokonjungtival ini hanya menunjukkan satu atau dua dari tiga gejala,
yaitu demam, faringitis, atau konjungtivitis.
Pemeriksaan laboratorium dari penyakit ini yaitu dengan kultur virus dan tes antibodi
spesifik. Penularan penyakit ini biasanya melalui kolam renang yang tidak terkaporisasi
dengan baik. Penyakit ini biasanya dapat sembuh sendiri dalam waktu sekitar 10 hari.
Keratokonjungtivitis epidemik3
Penyakit ini disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37. Penularannya biasanya
melalui nosokomial, yaitu penggunaan peralatan yang kurang steril atau melalui ujung tetes
mata yang mengenai mata yang terinfeksi.
Terdapat tiga fase dari penyakit ini, yaitu:

Fase konjungtivitis serosa akut, yang ditandai dengan adanya hiperemia konjungtiva,
kemosis, dan keluarnya air mata

Fase konjungtivitis folikular akut, yang ditandai dengan pembentukan folikel,


terutama pada palpebra inferior

Fase konjungtivitis pseudomembranosa akut, yang ditandai dengan pembentukan


pseudomembranosa

Setelah 5-14 hari, pasien akan merasakan fotofobia, adanya keratitis epitelial, dan kekeruhan
kornea yang terkonsentrasi di bagian tengah. Selain itu, dapat ditemukan adanya konsistensi
nodus limfa preaurikular yang lunak, edema palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtival.
Folikel dan perdaraha subkonjungtival dapat timbul dalam 48 jam.

Pada anak-anak, penyakit ini biasanya bersamaan dengan munculnya gejala infeksi virus,
seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare. Pemeriksaan laboratorium penyakit
ini yaitu dengan melakukan tes antibodi spesifik dan isolasi virus dalam kultur sel.
Belum ada penatalaksanaan spesifik untuk penyakit ini. Untuk meredakan gejala yang
muncul, mata dapat dikompres dengan air dingin. Selain itu, dapat diberikan adenin
arabinosida. Pemberian terapi antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi bakteri yang
menyertai.
Konjungtivitis virus Herpes Simplex (HSV)3
Konjungtivitis ini biasanya menyerang pasien usia anak-anak. Penyakit ini muncul selama
infeksi HSV dan biasanya bersamaan dengan keratitis herpes simplex. Terdapat lesi pada
kornea yang akan menjadi ulkus. Konjungtivitis HSV bersifat folikuler, dengan folikel yang
terdapat pada palpebra dan tepi palpebra.
Tanda dan gejala dari penyakit ini yaitu adanya injeksi kornea unilateral, iritasi pada mata,
pengeluaran sekret berlebih, nyeri, fotofobia, edema palpebra, dan nodus limfa preaurikular
yang teraba lunak.
Pemeriksaan mikrobiologi penyakit ini yaitu dengan menemukan badan inklusi intranuklear
pada sel kornea dan konjungtiva. Selain itu, dapat juga ditemukan sel epitel multinukleat.
Konjungtivitis HSV pada orang dewasa bersifat self-limited dan tidak membutuhkan terapi.
Namun, dapat diberikan terapi antiviral berupa topikal atau sistemik untuk mencegah
komplikasi pada kornea. Antiviral tersebut dapat berupa trifluridin atau asiklovir.
Komplikasi dari konjungtivitis HSV yaitu adanya ulkus kornea dan munculnya vesikel pada
kulit. Pada bayi yang terinfeksi HSV tipe 2, dapat terjadi komplikasi berupa ensefalitis,
korioretinitis, dan hepatitis.
Konjungtivitis penyakit Newcastle3
Konjungtivitis ini disebabkan oleh virus Newcastle yang biasanya menyerang pekerja
peternakan yang mengurusi burung, pekerja yang mengurusi hewan, dan pekerja
laboratorium. Penyakit ini memiliki gejala berupa rasa terbakar pada mata, pruritus, nyeri,
hiperemia, keluarnya air mata berlebih, dan berkurangnya penglihatan. Sedangkan, tanda
yang dapat ditemukan yaitu kemosis, nodus limfa preaurikular yang teraba, dan folikel pada
tarsus superior dan inferior. Penyakit ini tidak membutuhkan terapi yang spesifik karena
bersifat self-limited.
Konjungtivitis hemoragik akut3,4
Penyakit ini disebabkan oleh virus dari famili picornavirus, yaitu enterovirus tipe 70 dan
virus coxsackie A24. Penularannya terjadi melalui kontak langsung, air, dan peralatan yang
terkontaminasi. Masa inkubasinya berlangsung pendek, yaitu dalam 8-48 jam dan gejala
klinis mulai timbul setelah 5-7 hari terinfeksi. Beberapa negara yang menjadi endemi
penyakit ini yaitu India, Ghana, Thailand, Pakistan, Cina, Jepang, Taiwan, dan Brazil.
Penyakit ini lebih banyak terdapat pada negara-negara berkembang. Usia anak-anak (10-14
tahun) merupakan usia dengan prevalensi konjungtivitis hemoragik akut terbanyak.

Tanda dan gejala pada penyakit ini yaitu adanya nyeri pada mata, fotofobia, sensasi bend
asing, keluarnya air mata berlebih, hiperemia, edema palpebra, dan perdarahan
subkonjungtival. Perdarahan subkonjungtival tersebut biasanya menyebar, namun perlahan
mulai terlihat dari konjungtiva bulbar atas dan menyebar hingga ke bawah. Selain itu,
demam, malaise, myalgia, folikel konjungtiva, limfadenopati preaurikular, dan keratitis
epitelial dapat juga ditemukan pada penyakit ini.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan menemukan gejala dan tanda pada pasien.
Sedangkan, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:

PCR, untuk menemukan DNA atau RNA dari virus patogen

Molecular serotyping, merupakan metode identifikasi virus yang lebih cepat daripada
kultur

Pemeriksaan sensitivitas terhadap antibiotik

Pemeriksaan histologis, dapat ditemukan adanya sel mononuklear, eksudat


interselular, dan adanya perdarahan pada subkonjungtiva

Belum ada terapi spesifik untuk menangani penyakit ini, karena penyembuhannya biasanya
berlangsung selama 5-7 hari. Perlu untuk menjaga kebersihan diri dan edukasi terhadap
penularan penyakit ini. Selain itu, perlu untuk menghindari kontak langsung dengan pasien.

Konjungtivitis virus kronik3


Molluscum Contagiosum Blepharoconjunctivitis
Konjungtivitis ini merupakan konjungtivitis folikuler kronik yang diakibatkan oleh adanya
nodul molluscum pada tepi palpebra, palpebra, atau alis mata.Komplikasi dari penyakit ini
yaitu minculnya keratitis superior, pannus superior, dan trakoma.Konjungtivitis ini dapat
ditatalaksana dengan eksisi nodul atau krioterapi.

Blefaritis3
Blefaritis adalah inflamasi kronik pada kelopak mata, terutama pada batas kelopak mata.
Terdapat dua tipe blefaritis berdasarkan etiologinya, yaitu:

Blefaritis anterior
Blefaritis anterior disebabkan oleh infeksi bakteri pada batas kelopak mata. Bakteri patogen
tersebut pun membagi blefaritis anterior menjadi dua macam, yaitu:

Blefaritis stafilokokus; disebabkan oleh bakteri StaphylococcuS


Staphylococcus epidermidis, atau stafilokokus koagulase negatif.

Blefaritis seboroik; disebabkan oleh bakteri Pityrosporum ovale.

aureus,

Tanda dan gejala yang disebabkan oleh blefaritis anterior ini yaitu iritasi, rasa terbakar, dan
gatal pada batas kelopak mata. Selain itu, batas kelopak mata memerah sehingga mata terlihat
seperti dalam lingkaran merah. Granulasi atau sisik terdapat pada pangkal bulu mata pada
kedua sisi kelopak mata. Pada blefaritis stafilokokus, granulasi pada tepi kelopak mata
bersifat kering, terdapat daerah ulkus yang kecil pada tepi mata, kelopak mata hiperemis, dan
bulu mata biasanya rontok. Sedangkan, pada blefaritis seboroik, granulasi terlihat licin atau
berair, tidak terdapat ulkus, dan tepi mata tidak semerah pada blefaritis stafilokokus.
Penyakit ini ditatalaksana dengan penggunaan antibiotik antistafilokokus atau salep mata
sulfonamid. Salep tersebut dioleskan pada tepi kelopak mata yang terinfeksi. Selain itu, perlu
dijaga kebersihan dari mata dan kelopak mata, dan granulasi atau sisik pada bulu mata harus
rajin dibersihkan. Komplikasi dari blefaritis stafilokokus yaitu hordeolum, chalazia, keratitis
epitelial pada sepertiga bawah kornea, dan berisiko menimbulkan konjungtivitis rekurens.

Blefaritis posterior
Blefaritis posterior muncul akibat efek dari disfungsi kelenjar Meibom, yang biasanya
berkaitan dengan dermatitis seboroik atau infeksi bakteri. Bakteri tersebut mengeluarkan
lipase yang menyebabkan inflamasi pada kelenjar Meibom.
Beberapa tanda dan gejala dari kelainan ini yaitu meibomianitis (inflamasi pada orifisium
meibomian), adanya sekresi berlebih pada orifisium tersebut sehingga terlihat cairan seperti
keju jika kelenjar tersebut ditekan, dan adanya dilatasi kelenjar meibom pada tarsus. Tepi
kelopak mata terlihat hiperemis dan terdapat telangiektasia. Pembentukan jaringan parut
dapat terjadi pada tarsus, yang menyebabkan tepi kelopak mata menebal dan melingkar ke
arah dalam. Air mata yang keluar dapat berbuih atau terlihat berminyak.
Komplikasi dari kelainan ini yaitu keratitis epitelial yang terjadi pada pasien blefaritis yang
hipersensitif terhadap bakteri stafilokokus, vaskularisasi perifer, penipisan pembuluh darah
perifer, dan adanya infiltrat.
Blefaritis posterior dapat diobati dengan terapi antibiotik sistemik dosis rendah yang
memiliki efek jangka panjang, seperti doksisiklin atau eritromisin atau terapi kortikosteroid
dengan prednisolon.

Hordeolum3
Hordeolum merupakan penyakit infeksi yang menyerang kelenjar pada kelopak mata. Infeksi
pada kelenjar Meibom menyebabkan pembesaran ke arah dalam palpebra yang disebut
hordeolum internal. Sedangkan, infeksi pada kelenjar Zeis atau Moll menyebabkan
hordeolum eksternal.
Etiologi dari hordeolum yaitu infeksi oleh StaphylococcuS aureus.
Tanda dan gejala yang muncul pada hordeolum yaitu nyeri, hiperemi, dan pembengkakan
kelenjar. Biasanya, intensitas nyeri sebanding dengan ukuran kelenjar yang membengkak.
Semakin besar pembengkakan kelenjar tersebut, rasa nyeri akan semakin besar.

Penanganan kelainan ini yaitu dengan mengompres kelopak mata yang terinfeksi dengan air
hangat selama 10-15 menit dengan frekuensi 3-4 kali perhari. Jika hordeolum tersebut tidak
mengecil setelah 48 jam dikompres, dapat dilakukan insisi dan drainase material purulen
yang terdapat dalam benjolan tersebut. Pada hordeolum eksternal, insisi dilakukan secara
horizontal untuk mencegah pembentukan jaringan parut yang berlebih. Namun, pada
hordeolum internal, insisi dilakukan secara vertikal supaya tidak melukai kelenjar Meibom.
Selain itu, dapat dilakukan terapi antibiotik dalam bentuk salep yang dioleskan pada
konjungtiva

Dakrosistitis3,5
Dakriosistitis merupakan infeksi pada sakus lakrimalis. Mata yang terkena infeksi ini
biasanya unilateral akibat obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Penyakit ini biasanya
terdapat pada bayi atau wanita postmenopause. Dakriosistitis yang menyerang bayi biasanya
disebabkan oleh infeksi Haemophilus influenzae atau obstruksi dari duktus nasolakrimalis.
Penyakit ini jarang pada usia dewasa, kecuali bila terdapat faktor risiko seperti adanya
trauma, dakrolith, atau infeksi. Mikroorganisme patogen yang menyebabkan dakriosistitis
yaitu StaphlococcuS aureus, Streptococcus -hemolitikus, dan Candida albicans.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan untuk menemukan mikroorganisme patogen
tersebut. Spesimen yang dibutuhkan berasal dari swab air mata pada konjungtiva.
Tanda dan gejala dari dakriosistitis yaitu ekskresi air mata berlebih (epifora) dan keluarnya
sekret (discharge). Pada infeksi akut, terdapat inflamasi, nyeri, bengkak, tenderness, dan
sekret purulen pada sakus lakrimalis. Sedangkan, pada infeksi kronik, biasanya gejalanya
hanya berupa ekskresi air mata berlebih. Epifora yang terjadi diakibatkan oleh stenosis
kanalikular atau obstruksi pada peralihan kanalikulus dengan sakus lakrimalis. Obstruksi
yang terdapat pada duktus nasolakrimalis dapat menyebabkan mucocele, yaitu kista pada
orbita yang berisi cairan. Sedangkan, obstruksi pada peralihan kanalikulus dengan sakus
lakrimalis tidak menyebabkan mucocele. Pada dakriosistitis pneumokokus, dapat ditemukan
adanya ulkus kornea akibat trauma minor pada kornea.
Penanganan pada dakriosistitis akut dapat menggunakan antibiotik sistemik, sedangkan
dakriosistitis kronik dapat digunakan tetes antibiotik. Obstruksi pada saluran air mata dapat
dideteksi menggunakan teknik dakriokistografi, yaitu teknik intubasi dan irigasi pada saluran
kanalikular yang menggunakan media kontras pada pencitraan X-Ray dan kanula lakrimalis.
Sumbatan pada saluran kanalikular dapat ditangani dengan pemasangan balon silikon selama
3-6 bulan. Namun, pada sumbatan yang cukup tebal, penanganan yang dapat dilakukan yaitu
dakriokistohinostomi dan kanalikuloplasti.
Pada pasien dewasa yang memiliki mucocele, dapat ditatalaksana dengan
dakriokistorhinostomi, yaitu teknik penyatuan sakus lakrimalis dengan ruang nasalis. Teknik
penyatuan tersebut dilakukan dengan insisi pada krista lakrimalis anterior dan penyambungan
mukosa nasal dengan mukosa sakus lakrimalis. Selain dakriokistorhinostomi, dapat dilakukan
teknik balon transluminal pada nasolakrimal bagian distal.
Sedangkan, pada pasien bayi, obstruksi yang terjadi biasanya akan terbuka kembali dalam
satu bulan. Namun, jika penyakit tersebut bertambah berat, dapat dilakukan pemasangan
silikon sementara pada sakus lakrimalis.

Daftar Pustaka:
1. Andayani G, Rahayu T. Susiyanti M. Red Eyes [materi kuliah]. Departemen Mata
FKUI-RSCM. 2011.
2. Khurana AK. Comprehensive Ophthalmology. Ed ke-4. New Delhi: New Age
International. 2007; h. 54-71.
3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. Ed ke-16.
Philadelphia: McGraw-Hill. 2007.
4. Plechaty G, Roy H. Acute hemorrhagic Conjunctivitis [internet]. 2012 [diperbarui 3
Juni
2011;
diunduh
23
Februari
2012].
Diambil
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1203216-overview#showall.
5. Anonymous. Orbital Mucocele [internet]. 2012 [diunduh 22 Februari 2012]. Diambil
dari
http://eyecancer.com/Patient/Condition.aspx?
nID=23&Category=Orbital+Tumors&Condition=Orbital+Mucocele.
FacebookTwitterGoogle+BufferPin ItEmail

Artikel Terkait:

Neuritis Optik Neuritis optic merupakan penyakit inflamasi pada nervus optikus.1
Penyebab secara pasti dari inflamasi ini belum diketahui dengan pasti. Namun,
diperkirakan

Diare Akut Pada Anak (Pedoman Tatalaksana Diare Akut dari Seorang anak dapat
dikatakan mengalami diare cair akut apabila terjadi diare lebih dari 3 kali sehari
(BAB) selama kurang dari

Sindrom Steven Johnson Oleh Johny Bayu Fitantra Sindrom steven johnson
merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata (trias
kelainan).

Pioderma: Impetigo, Hidraadenitis, Folikulitis, Furunkel, Pioderma Pioderma


merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus atau
keduanya. Spesies bakteri penyebab pioderma tersering adalah S.aureus dan

Stroke Disusun oleh Kevin Christian Nitihardjo Definisi Stroke atau


Cerebrovascular Accident didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
gangguan aliran darah

Leukorrhea (Keputihan)

Pengobatan pada Hipertiroidisme dan Hipotiroidisme

Medicinesia
dr. Johny Bayu Fitantra; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Journal dan Berita Kesehatan

Journal and News Updates

Ancaman Kejadian Mikrosefali pada Fetus dengan Ibu Terinfeksi Virus Zika
February 11, 2016 Medicinesia 0 Comments
Sebuah laporan kasus dari Department of Perinatology di University Medical Center,
Ljubljana, Slovenia menunjukan adanya hubungan antara infeksi Zika saat hamil dengan
mikrosefali pada neonatus.

Guideline Klinis Hematuria oleh American College of Physicians (ACP)


February 5, 2016 0 Comments

Keracunan Sianida

January 10, 2016 0 Comments

Cegah Dermatitis Atopik dengan Suplementasi Probiotik


November 2, 2015 0 Comments

Transient Ischemic Attack: Modifikasi Faktor Risiko dan Tatalaksana


May 5, 2015 0 Comments

Henti Jantung: Algoritma Tatalaksana Henti Jantung pada Dewasa


March 29, 2015 0 Comments

Medicinesia
3 days ago

Tetap berhati hati dalam pemberian suplementasi asam folat pada kehamilan.
Excessive Folate, B12 in Pregnancy Dramatically Ups Autism Risk
medscape.com
Folate and vitamin B12 supplementation during pregnancy reduces the risk of having a child diagnosed with autism, but
excessive levels of these nutrients dramatically increase risk.

View on Facebook
Share

Medicinesia
6 days ago

Medicinesia membagikan tautan


Combating Obesity with Incretin Therapies: From Science to Clinical Practice
medscape.org
: Read about the science behind -- and the benefits of -- weight loss, as well as new therapies for the treatment of obesity.

View on Facebook
Share
Medicinesia
1 month ago

Bagaimana langkah cepat dan tepat dalam menangani bradikardi yang berpotensi mengancam
nyawa?
... See More
Penanganan Kegawatdaruratan Jantung: Bradikardia MEDICINESIA
medicinesia.com
Kardiovaskular Kegawatdaruratan Penanganan Kegawatdaruratan Jantung: Bradikardia April 19, 2016April 19, 2016
Medicinesia 0 Comment acls, atropin, bradikardi, dopamin, epinefrin, gawat darurat, jantu...

View on Facebook
Share
Medicinesia
1 month ago

Pada tahun 2013, Joint National Committee 8 telah mengeluarkan guideline terbaru mengenai
tatalaksana hipertensi atau tekanan darah tinggi. Apa saja perubahan rekomendasi
terbarunya?
Eighth Joint National Committee (JNC 8) : Update Terbaru dalam Penatalaksanaan
Hipertensi ...
medicinesia.com
Journal and News Kardiovaskular Obat Eighth Joint National Committee (JNC 8) : Update Terbaru dalam Penatalaksanaan
Hipertensi January 27, 2015April 18, 2016 Medicinesia 0 Comment ACEI, ARB, CCB, Diu...

View on Facebook
Share
Medicinesia
1 month ago

Jantung berdebar-debar dapat menjadi pertanda kondisi yang mengancam nyawa. Apa yang
perlu dinilai dan bagaimana penanganannya?
... See More
View on Facebook
Share

Recent Posts

Penanganan Kegawatdaruratan Jantung: Bradikardia

Penanganan Kegawatdaruratan Jantung : Takikardi

Ancaman Kejadian Mikrosefali pada Fetus dengan Ibu Terinfeksi Virus Zika

Guideline Klinis Hematuria oleh American College of Physicians (ACP)

Bendungan Payudara

Keracunan Sianida

Cegah Dermatitis Atopik dengan Suplementasi Probiotik

Most Read Posts

Penyakit Gastrointestinal dengan Gejala Dispepsia (3,634 views)

Anatomi Sistem Respirasi (2,949 views)

Anemia Pada Penyakit Kronik (2,814 views)

Karakteristik Nyeri pada Angina Pektoris Stabil dan Angina Pektoris Tak Stabil
(2,570 views)

Cegah Dermatitis Atopik dengan Suplementasi Probiotik (2,042 views)

Deteksi Dini Kanker Serviks: Faktor Risiko, Pencegahan, dan Pemeriksaan (1,952
views)

Pengunjung Kami

Anda mungkin juga menyukai