Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

DRUG ERUPTION
Pembimbing : dr. Sri Primawati Indraswari Sp.KK
Disusun Oleh : Edi Susanto (030.07.076)

Pendahuluan
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau
lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasi dari
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah
kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan
obat yang sama. Patogenesis pasti EOA sampai saat ini belum diketahui, tetapi diduga
antibody dependent cellular cytotoxicity yang mungkin menyebabkan kerusakan keratinosit.
Jumlah dan luasnya lokasi dapat meningkat setiap kali terpapar. Pembengkakan dan
kemerahan pada kulit biasanya muncul setelah 30 menit sampai 8 jam setelah terkena. Lesi
lebih sering muncul pada daerah ekstremitas, kelamin, dan perianal, dapat juga muncul di
lokasi lain seperti di daerah mukosa. Hiperpigmentasi yang menetap di daerah terjadinya lesi
secara normal terlihat setelah penyembuhan. EOA dapat disertai gejala sistemik ringan.
Beberapa obat-obatan yang dijual di pasaran seperti obat influenza, obat nyeri, obat pencahar
(utamanya fenolftalein) dan obat penyakit lainnya telah diketahui sebagai agen penyebab
EOA, sama halnya dengan penggunaan obat resep dokter.
EOA merupakan suatu reaksi alergi terhadap obat. Biasanya hanya satu obat yang terlibat.
Reaksi silang terhadap obat-obat yang terkait dapat terjadi dan ada beberapa laporan
mengatakan keluhan muncul di tempat yang sama yang diinduksi oleh obat-obatan yang
tampaknya tidak memiliki susunan kimia yang sama.
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan
mekanisme ini.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan system
imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan
risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi
normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anakanak dan orang
dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang
dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat
munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah
dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula
kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai
dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV)
umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian,
berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan
bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila
dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat
menyelesaikan perawatannya.

Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan
reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan
dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator
seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling
ditakutkan adalah timbulnya syok.
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi system
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks
antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah
satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi
sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh
mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan
antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan
terhadap antigen.
Mekanisme Non Imunologis
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah
satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada
menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast
dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung
pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan
gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker.

Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka
waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi generalisata
diffuse.
Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum
dapat dijelaskan.
Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat
adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam
tubuh., epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk
alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik
dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai
menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Tetapi, pada
beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara
risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut.
1. Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus dihentikan segera.
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
setelah berada pada fase pemulihan.
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow.
Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
2. Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik

a. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum, dan PEGA karena
erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg
sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah
menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif seperti
perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ
dan

TEN

masih

kontroversial.

Pertama

kali

dilakukan

pemberian

intravenous

immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini


dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak
0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau basah. Jika
dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus
seperti mentol -1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan
kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum
tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2 %. Pada eritroderma
dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan
salep lanolin 10% yang dioleskan sebagiansebagian. terapi topikal untuk lesi di mulut dapat
berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau
krim sulfadiazin perak.

Pitiriasis rosea adalah kelainan kulit yang termasuk dalam golongan dermatosis
papuloeritroskuamosa

yang sering ditemukan, sifatnya akut, self limiting disease, tidak

menular, dan biasanya didapatkan pada anak-anak dan dewasa muda. Etiologinya masih
belum diketahui, namun dalam suatu penelitian, partikel HHV telah terdeteksi pada 70%
pasien penderita pitiriasis rosea. Dimana virus-virus ini memang ditemukan pada masa
kanak-kanak awal dan tetap ada pada fase laten. Namun apa yang menjadi penyebab

reaktivasi virus ini belum diketahui. Ada juga beberapa jenis obat yang menimbulkan erupsi
kulit mirip dengan pitiriasis rosea, antara lain barbiturate, captopril, senyawa emas, clonidine
dan lain sebagainya.
Erupsi kulit pada pitiriasis rosea memiliki ciri khas tertentu, dimana lesi primernya
ialah lesi soliter berupa makula eritem atau papul eritem yang nantinya akan membesar
hingga kira-kira berukuran 2-10 cm berbentuk oval, berwarna kemerahan dengan skuama
tipis dan bisa terdapat koleret di tepinya. Lesi primer ini disebut sebagai Herald
patch/Mother plaque/Medalion. Satu sampai dua minggu setelah lesi primer timbul akan
diikuti dengan munculnya lesi-lesi lain berupa makula berbentuk oval hingga plak berukuran
0,5-2 cm berwarna kemerahan atau dapat juga berupa hiperpigmentasi pada orang-orang yang
berkulit gelap, dengan koleret dari skuama di bagian tepinya.
Predileksi tempat yang paling banyak ditemukan yaitu pada batang tubuh, kemudian
juga di lengan atas dan paha atas. Beberapa kasus menunjukkan lesi menyebar hingga ke
leher, aksila dan sela paha. Namun jarang menyebar hingga ke wajah, lengan bawah dan
tungkai bawah. Penyebaran lesi pada batang tubuh sumbu panjangnya mengikuti garis lipatan
kulit, pada daerah punggung lesi tersebar membentuk gambaran pohon natal yang terbalik
(inverted christmas tree appearance) atau huruf V terbalik, sedangkan pada daerah dada dan
perut penyebaran lesi membentuk huruf V. Lesi kulit ini dapat menghilang secara spontan
dalam waktu 3-8 minggu, namun ada juga yang bertahan hingga 3-5 bulan, dan biasanya
tidak ada keluhan dari penderita kecuali gatal ringan sampai sedang.
Pitiriasis rosea memiliki berbagai macam varian, dapat dibedakan berdasarkan
predileksi tempatnya serta efloresensi yang dominan, contohnya pitiriasis rosea inversa,
giganta, irritate, vesicular, papular dan lain sebagainya. Tidak ada tes laboratorium yang
menunjang diagnosa pitiriasis rosea. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan
bertujuan untuk menyingkirkan diagnosa banding sifilis sekunder karena keduanya cukup
sulit untuk dibedakan terutama pada tipe pitiriasis rosea yang atipikal (tidak khas).
Beberapa penyakit yang menyerupai gambaran klinis pitiriasis rosea selain sifilis
sekunder diantaranya pitiriasis versikolor, tinea korporis, psoriasis, dermatitis seboroik,
erupsi obat, lichen planus, dan lain sebagainya. Pemeriksaan histopatologi sangat membantu
dalam menyingkirkan diagnosa banding. Diagnosa pitiriasis rosea dapat ditegakkan melalui
anamnesa dan pemeriksaan klinis, pada anamnesa harus dicari ada tidaknya riwayat
prodormal sebelum timbulnya erupsi kulit.

Umumnya pengobatan yang diberikan untuk pitiriasis rosea hanya bersifat


simptomatis, karena erupsi kulitnya akan menghilang secara spontan. Namun pemberian obat
dapat memberikan keuntungan karena mempersingkat lamanya perjalanan penyakit karena
erupsi akan hilang dengan lebih cepat. Untuk keluhan gatal yang ringan sampai sedang dapat
diberikan kortikosteroid topikal, bedak yang mengandung asidum salisilikum, serta
antihistamin. Namun bila gatalnya sangat mengganggu dapat diberikan kortikosteroid
sistemik. Selain pemberian obat-obatan, penatalaksanaan pitiriasis rosea dengan fototerapi
hanya bermanfaat untuk mengurangi gejala klinis yang berat saja, namun tidak dapat
mengurangi rasa gatal yang timbul dan tidak mempercepat penyembuhan erupsi kulit.
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus Pitiriasis Rosea pada wanita berumur 27 tahun.

Laporan Kasus
Seorang wanita berumur 27 tahun, beragama islam,pendidikan SD dan telah menikah
datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Kardinah Tegal dengan keluhan utama bercakbercak kemerahan dan bersisik disertai gatal pada lengan kanan dan kiri bagian atas, dada,
paha kanan dan kiri bagian dalam.
Anamnesis Khusus
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 1 Agustus 2012, pukul 09.00 WIB di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU Kardinah Tegal.
3 minggu SMRS, pasien mengeluh badan terasa lemas dan hilang nafsu makan, pegalpegal juga dirasakan terutama pada sendi-sendi tangan, merasa kelelahan dan kurang tidur
namun pasien tidak berobat ke dokter ataupun meminum obat warung.
2 minggu SMRS timbul bercak kemerahan disertai gatal, oval, berjumlah 1 , 2cm pada
lengan atas sebelah kiri. Karena mengeluh gatal maka pasien juga menggaruknya baik

disengaja maupun tidak sengaja pada saat tidur. Terdapat sisik putih halus mengelilngi bercak
dan tidak berminyak.
1 minggu SMRS bercak kemerahan bertambah banyak pada dada , lengan atas
sebelah kanan, paha sebelah kanan dan kiri bagian dalam namun berukuran kecil dan disertai
gatal dan bersisik. Pasien berobat ke puskesmas dan diberi obat berwarna kuning, diminum
3x1 selama 3 hari dan salep yang dioleskan pada bagian yang gatal dan dirasakan membaik .
3 hari SMRS gatal sudah berkurang namun bercak kemerahan dan bersisik belum
menghilang.
Hari ini, pasien datang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSU Kardinah Tegal
dengan keluhan Bercak-bercak kemerahan dan bersisik disertai gatal pada lengan kanan dan
kiri bagian atas, dada, paha kanan dan kiri bagian dalam
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya, pasien menyangkal
adanya demam, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pasien menyangkal adanya
anggota keluarga yang mengalami hal seperti ini, Adanya masalah pada keluarga juga
disangkal pasien. Riwayat kebiasaan seperti merokok, minum-minuman beralkohol
disangkal. Riwayat rambut berketombe disangkal. Pasien mengatakan tidak pernah
bertukar-tukaran baju atau celana. Tidak gatal apabila berkeringat. Mandi (memakai
sabun)2x/hari, berganti pakaian setiap kali mandi. Handuk dipakai sendirian dan
diganti 1 bulan sekali. Pakaian yang sering digunakan adalah kaos berbahan katun dan
tidak ketat. Sumber air mandi dari PDAM.

PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Berat badan

: 47kg

Keadaan gizi

: baik

Tanda vital

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 84 x/menit

Suhu

: 36,5 C

Pernapasan

: 20 x/menit

KEPALA

: Normocephali

Wajah

: Simetris

Mata

: Konjungtiva pucat (-/-), sklera kuning (-/-),

Hidung

: Septum deviasi (-), sekret (-)

Mulut

: Kering (-), tonsil tenang, faring hiperemis (-)

Telinga: Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-)


Leher

: Tidak terdapat pembesaran KGB dan kelenjar tiroid

THORAKS
Inspeksi

: Bentuk normal, gerak nafas simetris, ginekomastia (-/-)

Palpasi

: Tidak dilakukan

Perkusi

: Tidak dilakukan

Auskultasi

: Jantung: S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)


Paru

: Sn vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

ABDOMEN
Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Tidak dilakukan

Perkusi

: Tidak dilakukan

Auskultasi

: Bising usus(+) normal

EKSTREMITAS

Ekstremitas superior :
Kelainan gerak (-), atrofi otot (-), oedem (-)
Kuku

: onikodistrofi (-), pitting nail (-), onikolisis (-);

Sendi : nyeri (-), deformitas (-), kontraktur jari tangan (-);


Kulit : lihat status dermatologikus
Ekstremitas inferior :
Kelainan gerak (-), atrofi otot (-), oedem (-);
Kuku

: onikodistrofi (-), pitting nail (-), onikolisis (-);

Sendi : nyeri (-), deformitas (-), kontraktur jari tangan (-);


Kulit : lihat status dermatologikus
Status Dermatologikus

Distribusi : regional, simetris

Ad regio : thoracalis anterior, brachii dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra

Lesi : multipel, diskret, bentuk huruf V pada regio thoracalis anterior degan diameter
1x1cm, sebagian berbentuk oval dan sebagian berbentuk anular pada regio brachii
dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra dengan diameter x, berbatas
tegas, tidak menimbul, kering

Efloresensi : eritema, skuama halus berwarna putih


Ad regio brachii dextra

Ad regio brachii sinistra

Ad regio femoralis dextra

Ad regio femoralis sinistra

Ad regio thoracalis anterior

PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Sediaan langsung KOH 20%

RESUME
Seorang wanita berumur 27 tahun beragama islam, pendidikan SD dan telah menikah
datang ke Poliklinik Kulit Kelamin RSU Kardinah pada tanggal 1 agustus 2012 pukul 09.00
dengan keluhan utama yaitu bercak-bercak kemerahan dan bersisik disertai gatal pada lengan
kanan dan kiri bagian atas, dada, paha kanan dan kiri bagian dalam.
Pada anamnesis didapatkan 3 minggu SMRS Badan pasien terasa lemas dan hilang
nafsu makan, Pegal-pegal juga dirasakan terutama pada sendi-sendi tangan, Merasa kelelahan
dan kurang tidur namun pasien tidak berobat ke dokter ataupun meminum obat warung. 2
minggu SMRS Timbul bercak kemerahan disertai gatal, oval, berjumlah 1 , 2cm pada
lengan atas sebelah kiri kemudian digaruk, terdapat sisik putih halus mengelilngi bercak dan
tidak berminyak. 1 minggu SMRS bercak kemerahan bertambah banyak pada dada , lengan
atas sebelah kanan, paha sebelah kanan dan kiri bagian dalam namun berukuran kecil dan
disertai gatal dan bersisik. Pasien berobat ke puskesmas dan diberi obat berwarna kuning,
diminum 3x1 selama 3 hari dan salep yang dioleskan pada bagian yang gatal dan dirasakan

membaik. 3 hari SMRS Gatal sudah berkurang namun bercak kemerahan dan bersisik belum
menghilang. Pada saat MRS Bercak-bercak kemerahan dan bersisik disertai gatal pada
lengan kanan dan kiri bagian atas, dada, paha kanan dan kiri bagian dalam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Pada status
dermatologikus didapatkan Distribusi : regional, simetris. Ad regio : thoracalis anterior,
brachii dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra dengan lesi : multipel, diskret, bentuk
huruf V pada regio thoracalis anterior degan diameter 1x1cm, sebagian berbentuk oval dan
sebagian berbentuk anular pada regio brachii dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra
dengan diameter x,

berbatas tegas, tidak menimbul, kering. Efloresensi :

eritema,

skuama halus berwarna putih.


Pada pemeriksaan penunjang kerokan kulit dengan KOH 20%.
DIAGNOSIS BANDING
1. Pitiriasis Rosea
2. Tinea Korporis
3. Psoriasis Gutata
DIAGNOSIS KERJA
Pitiriasis Rosea
USULAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan histopatologi
Gambaran histopatologi dari pitiriasis rosea meliputi:
o
o
o
o
o

Akantosis ringan
Parakeratosis fokal
Ekstravasasi eritrosit ke lapisan epidermis
Spongiosis dapat ditemukan pada kasus akut
Infiltrat perivaskular ringan dari limfosit ditemukan pada dermis.

Psoriasis memberi gambaran yang khas yaitu :


o Parakerantosis dan akantosis
o Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit yang disebut abses munro
o Terdapat opapilomatosis dan vasodilatasi di subepidermis

Pemeriksaan dengan lampu Wood : yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan


gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna kehijauan.

PENATALAKSANAAN
UMUM
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara pengobatannya
Bila terasa gatal, sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena dapat
menyebabkan luka dan infeksi sekunder.
KHUSUS
Sistemik :
Kortikosteroid sistemik : metil prednisolon 2x8mg
Antihistamin golongan H1 : CTM (Klorfeniramin Maleat) 3x4mg
Topikal :
Kortikosteroid topikal : 0.05% klobetasol propionate dioleskan pada daerah
yang gatal.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
Quo ad cosmeticum

: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam

PEMBAHASAN
Diagnosis kerja Pitiriasis Rosea diambil berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Keluhan penderita Pitiriasis Rosea dapat didahului dengan munculnya gejala mirip
infeksi virus seperti gangguan traktus respiratorius bagian atas atau gangguan
gastrointestinal. Lesi utama yang paling umum ialah munculnya lesi soliter berupa makula
eritem atau papul eritem pada batang tubuh atau leher, yang secara bertahap akan membesar
dalam beberapa hari dengan diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan
skuama tipis.

Lesi

yang

pertama

muncul

ini

disebut

dengan

Herald

patch/Mother

plaque/Medalion. Jika lesi ini digores pada sumbu panjangnya, maka skuama cenderung
untuk melipat sesuai dengan goresan yang dibuat, hal ini disebut dengan Hanging curtain
sign. Herald patch ini akan bertahan selama satu minggu atau lebih, dan saat lesi ini akan
mulai hilang, efloresensi lain yang baru akan bermunculan dan menyebar dengan cepat.
Umum ditemukan beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian tengahnya yang tampak
lebih tenang.
Pada pitiriasis rosea gejalanya akan berkembang setelah 2 minggu, dimana ia
mencapai puncaknya. Karenanya akan ditemukan lesi-lesi kecil kulit dalam stadium yang
berbeda. Fase penyebaran ini secara perlahan-lahan akan menghilang setelah 2-4 minggu.
Lesi-lesi ini muncul terutama pada batang tubuh dengan sumbu panjang sejajar pelipatan
kulit. Tampilannya tampak seperti pohon natal yang terbalik (inverted christmas tree
appearance). Tapi bagaimanapun, terlepas dari tampilan lesi yang mirip dengan pohon natal,
terbalik ataupun tidak, tidak diragukan lagi Herald patch merupakan lesi patognomonik dari
pitiriasis rosea.
Lokasinya juga sering ditemukan di lengan atas dan paha atas. Lesi-lesi yang muncul
berikutnya jarang menyebar ke lengan bawah, tungkai bawah, dan wajah. Namun sesekali
bisa didapatkan pada daerah tertentu seperti leher, sela paha, atau aksila. Gatal ringan-sedang
dapat dirasakan penderita, biasanya saat timbul gejala.
Pada kasus ini, didapatkan adanya lesi kulit dalam stadium yang berbeda, muncul
pada bagian dada, lengan atas kanan dan kiri, paha atas kanan dan kiri, tampilannya
mengikuti kosta tubuh dan sejajar dengan pelipatan kulit. Dari anamnesis, didapatkan
keluhan gatal-gatal pada daerah lesi, lesi pertama yang berbentuk oval, dikelilingi oleh
skuama halus, berjumlah satu dan 3cm, terdapat pada daerah lengan kiri bagian atas lesi
bersifat eritematosa disertai skuama halus dan berbatas tegas. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan.
Pada pemeriksaan dermatologi didapatkan :

Distribusi : regional, simetris

Ad regio : thoracalis anterior, brachii dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra

Lesi : multipel, diskret, bentuk huruf V pada regio thoracalis anterior degan diameter
1x1cm, sebagian berbentuk oval dan sebagian berbentuk anular pada regio brachii

dextra dan sinistra, femoralis dextra dan sinistra dengan diameter x, berbatas
tegas, tidak menimbul, kering

Efloresensi : eritema, skuama halus berwarna putih


Pemeriksaan fisik diatas sesuai dengan kepustakaan mengenai Pitiriasis Rosea.
Pasien tidak ada riwayat alergi makanan maupun obat-obatan sehingga ini jelas bukan

merupakan reaksi alergi. Sebelum ini, pasien tidak pernah menderita penyakit seperti
sekarang ini, orang-orang disekitar pasienpun tidak ada yang sedang sakit seperti ini. Maka
penyakit pasien ini bukan merupakan penularan dari orang lain. Sebelum ini, pasien juga
belum pernah menderita penyakit kulit lain.

Diagnosis banding

Tinea korporis. Herald patch atau bercak yang besar pada pitiriasis rosea
dapat menyerupai tinea corporis. Tinea corporis juga memiliki lesi
papuloeritemaskuamosa yang bentuknya anular, dengan skuama, dan central
healing. Namun pada tepinya bisa terdapat papul, pustul, skuama, atau
vesikel. Bagian tepi lesi yang lebih aktif pada infeksi jamur ini menunjukkan
adanya

hifa

pada

pemeriksaan

sitologi

atau

pada

kultur,

yang

membedakannya dengan pitiriasis rosea. Dapat disingkirkan karena Tinea


corporis gatalnya sangat hebat, jarang menyebar luas pada tubuh dan
skuamanya kasar namun perlu dilakukan pemeriksaan sinar wood atau
sediaan langsung dengan KOH 10-20% untuk membantu menyingkirkan

diagnosis banding ini.


Psoriasis Gutata. Psoriasis yang ditandai dengan erupsi papul di trunkus
bagian superior dan ekstremitas bagian proksimal. Dapat berupa bercak
eritema dengan lesi kurang dari 1cm dengan skuama diatasnya. Dapat
disingkirkan karena pada Psoriasis gutata, aksis panjang lesi tidak sejajar
dengan garis kulit, dan skuamanya tebal namun perlu dilakukan pemeriksaan
histopatologi untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding ini.

Pengobatan sedapat-dapatnya mencari penyebab atau faktor yang memprovokasi.


Pityriasis rosea merupakan penyakit kulit yang penyebabnya masih belum diketahui jelas,

tetapi banyak yang mengemukakan bahwa penyebabnya adalah virus. Hal ini didasarkan pada
sifat penyakit ini yang dapat sembuh sendiri dalam 3-8 minggu (self limitting disease). Hanya
diperlukan imunitas yang baik untuk mempercepat penyembuhan. Adapun obat-obatan yang
diberikan, hanya untuk menghilangkan rasa gatal, agar tidak digaruk. Karena garukan akan
menyebabkan infeksi sekunder.
Secara topikal, untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin
losion atau 0,25% mentol. Pada kasus yang lebih berat dengan lesi yang luas dan gatal yang
hebat dapat diberikan glukokortikoid topikal kerja menengah ( bethametasone dipropionate
0,025% ointment 2 kali sehari. Pada pasien ini, diberikan kortikosteroid topikal berupa 0,05%
klobetasol propionate, yang merupakan kortikosteroid topikal super poten.
Secara sistemik, pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi
rasa gatal. Untuk gejala yang berat dengan serangan akut dapat diberikan kortikosteroid
sistemik atau pemberian triamsinolon diasetat atau asetonid 20-40 mg yang diberikan secara
intramuskuler. Pada pasien ini diberikan kortikosteroid sistemik dosis kecil karena keluhan
yang dialami sudah berulang, berupa prednisone 2x8mg. Pruritus dapat diobati dengan
antihistamin golongan H1, misalnya hidroksilin HCl. Pada pasien ini diberikan CTM 4 mg 3
x 1 untuk mengurangi gatalnya sehingga pasien tidak menggaruk-garuk badannya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda Adhi. Dermatosis Eritriskuamosa. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar,
Aisah Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2007: 189-200.
2. Blauvelt, Andrew. Pityriasis Rosea. Dalam: Dermatology in General Medicine

Fitzpatricks. The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008: 362-65.


3. Wolff K, Johnson R, Suurmond D. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th Ed., The Mc Graw Hill. USA, 2007. p 46.

Anda mungkin juga menyukai