Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nyeri orofasial sering menjadi alasan bagi para pasien datang ke dokter gigi.
Nyeri pada daerah mulut paling sering disebabkan oleh adanya kelainan di daerah
odontogenik, seperti adanya karies gigi, abses dentoalveolar akut, kehilangan restorasi
gigi. Akan tetapi ada beberapa nyeri orofasial yang tidak disebabkan oleh adanya
kelainan odontogenik. Salah satunya adalah Trigeminal neuralgia.
Trigeminal neuralgia adalah nyeri pada sebagian wajah yang jarang terjadi dan
melibatkan nervus trigeminus. Nervus ini adalah nervus kranial kelima yang
mempersarafi daerah kulit wajah, kulit kepala, konjungtiva, rongga hidung, 2/3 anterior
lidah, otot-otot pengunyahan dan fosa kranial bagian tengah. Trigeminal neuralgia
disebut juga dengan tic douloureux. International Association for the Study of Pain
(IASP) mendefinisikan Trigeminal neuralgia sebagai nyeri yang tiba-tiba, biasanya
unilateral atau terjadi pada satu sisi wajah, bersifat tajam, hebat, singkat, dan berulang
yang berdistribusi pada satu atau lebih cabang dari saraf trigeminal atau saraf kranial
kelima.
Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke
otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan
daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh
berbagai penyebab. Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa
detik sampai satu menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti
1

ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat
terkena setrum listrik.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada
wanita per satu juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah
dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2), dan merupakan penyakit pada kelompok usia
dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10 % kasus yang terjadi sebelum usia
empat puluh tahun. Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada
mereka yang berusia di atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda
dan anak-anak.
Trigeminal neuralgia merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat
mengganggu kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk
mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade
sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang
yang tidak mengetahui dan menyalahartikan Trigeminal neuralgia sebagai nyeri yang
ditimbulkan karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah
tuntas.
Trigeminal neuralgia seyogyanya dapat dibedakan dengan nyeri wajah yang
lainnya berdasarkan anamnesa riwayat sakit pasien. Pemeriksaan penunjang lebih
bertujuan untuk membedakan trigeminal neuralgia yang idiopatik atau simptomatik.
Terapi pada pasien ini ada 2 macam yaitu medikamentosa dan pembedahan. Perawatan
secara medikamentosa berupa pemberian obat-obatan anti konvulsan dengan cara
menurunkan hiperaktivitas nukleus nervus trigeminus di dalam brain stem. Pengobatan
efektif pada 80% kasus.

Pemberian obat dimulai dengan dosis yang paling minimal, kemudian karena
penyakit ini memiliki progresivitas dan rasa sakit yang makin berat dan lebih sering
maka dibutuhkan penambahan dosis dimana akan menimbulkan suatu efek samping
atau kontrol rasa sakit yang tidak adekuat. Pemberian obat-obatan ini dapat diberikan
secara tunggal atau dikombinasi dengan lainnya. Jika perawatan dengan obat-obatan
sampai dosis maksimal dan dengan kombinasi beberapa obat sudah tidak mengurangi
rasa sakit lagi maka terapi dengan pembedahan menjadi pilihan.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Anatomi
Nervus trigeminus merupakan nervus kranialis yang terbesar dan melayani
arkus branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan
aferen somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen
proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut:
a. Nucleus motorius nervi trigemini
Dari nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke
arah ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris medius (fibrae
pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui
rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m.
Mylohyoideus.
b. Nucleus montius, nervi trigemini dan nucleus spinalis nervi trigemini
Kedua nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan
daerah calvaria bagian ventral sampai vertex. Di antara kedua nucleus di atas
terdapat perbedaan fungsional yang penting: di dalam nucleus pontius berakhir
serat-serat aferan N. V yang relatif kasar, yang mengantarkan impuls-impuls
rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas sel-sel neuron kecil dan
menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan impuls-impuls
eksteroseptif nyeri dan suhu.

2. 2 Fisiologi
Fungsi nervus trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan
raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria), pemeriksaan
refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. Fungsi otot pengunyah
dapat diperiksa, misalnya dengan menyuruh penderita menutup kedua rahangnya
dengan rapat, sehingga gigi-gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang
atas, sementara m. Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah. Pada
kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak mengelami gangguan
fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V menerima fibrae corticonucleares dari kedua
belah cortex cerebri.
Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan mandibularis
penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan inervasi sensorik ke gigi
maxillaris, palatum, dan gingiva. Cabang mandibularis memberikan persarafan sensorik
ke gigi mandibularis, lidah, dan gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke
gigi diteruskan ke alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris
superior ke gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus
alveolaris inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis nervus
trigeminus.

2. 3 Definisi
Secara harfiah, Trigeminal neuralgia berarti nyeri pada nervus trigeminus, yang
menghantarkan rasa nyeri menuju ke wajah. Trigeminal neuralgia adalah suatu keadaan
yang memengaruhi Nervus V. Dicirikan dengan suatu nyeri yang muncul mendadak,
berat, seperti sengatan listrik, atau nyeri yang menusuk-nusuk, biasanya pada satu sisi
rahang atau pipi. Pada beberapa penderita, mata, telinga atau langit-langit mulut dapat
5

pula terserang. Pada kebanyakan penderita, nyeri berkurang saat malam hari, atau pada
saat penderita berbaring.

2. 4 Etiologi
Mekanisme patofisiologi yang mendasari Trigeminal neuralgia belum begitu
pasti, walau sudah sangat banyak penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua
teori tentang mekanisme harus konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
2. Umumnya ada stimulus 'trigger' yang dibawa melalui aferen berdiameter
besar (bukan serabut nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar
divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian
dan/atau akar-akar saraf sering menghilangkan nyeri.
4. Terjadinya Trigeminal neuralgia pada pasien yang mempunyai kelainan
demielinasi sentral (terjadi pada 1% pasien dengan Sklerosis Multipel).
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral
dibanding saraf tepi. Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik
adalah sering dapat dikontrol dengan obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan
fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu
cetusan 'aberrant' dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan
input melalui saraf kelima, berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima, atau pada
tingkat sinaps sentralnya. Berbagai keadaan patologis menunjukkan penyebab yang
mungkin pada kelainan ini. Pada kebanyakan pasien yang dioperasi untuk Trigeminal
6

neuralgia ditemukan adanya kompresi atas nerve root entry zone' saraf kelima pada
batang otak oleh pembuluh darah (45-95% pasien). Hal ini meningkat sesuai usia
karena sekunder terhadap elongasi arteria karena penuaan dan arteriosklerosis dan
mungkin sebagai penyebab pada kebanyakan pasien.
Otopsi menunjukkan banyak kasus dengan keadaan penekanan vaskuler serupa
tidak menunjukkan gejala saat hidupnya. Kompresi nonvaskuler saraf kelima terjadi
pada beberapa pasien. 1-8% pasien menunjukkan adanya tumor jinak sudut
serebelopontin (meningioma, sista epidermoid, neuroma akustik, AVM) dan kompresi
oleh tulang (misal sekunder terhadap penyakit Paget). Tidak seperti kebanyakan pasien
dengan Trigeminal neuralgia, pasien ini sering mempunyai gejala dan/atau tanda defisit
saraf kranial.
Penyebab lain yang mungkin, termasuk cedera perifer saraf kelima (misalnya
karena tindakan dental) atau Sklerosis Multipel, dan beberapa tanpa patologi yang jelas.

2. 5 Gambaran Klinis
Serangan Trigeminal neuralgia dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai
satu menit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk.
Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup berat, seperti nyeri saat terkena
setrum listrik. Penderita Trigeminal neuralgia yang berat menggambarkan rasa sakitnya
seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di sepanjang wajahnya. Serangan
ini hilang timbul. Bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit. Namun, bisa juga sakit
menyerang setiap hari atau sepanjang minggu. Lalu, tidak sakit lagi selama beberapa
waktu. Trigeminal neuralgia biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa juga
menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dalam
waktu bersamaan.
7

2. 6 Klasifikasi
Trigeminal neuralgia dapat dibedakan menjadi:
1. Trigeminal neuralgia tipikal,
2. Trigeminal neuralgia atipikal,
3. Trigeminal neuralgia karena Sklerosis Multipel,
4. Trigeminal neuralgia sekunder,
5. Trigeminal neuralgia paska trauma, dan
6. Failed Trigeminal neuralgia.
Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta
kelainan lain yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.

2. 7 Patofisiologi
Trigeminal neuralgia dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan
sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang
menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang
mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat
keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh
adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor
epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena Sklerosis Multipel.
Ada sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia
Trigeminal bisa mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
8

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun
penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/inti
saraf ini yang menimbulkan produksi ektopik potensial aksi pada saraf trigeminal.
Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi,
mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan
menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien
sebagai serangan nyeri trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada
daerah pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara sentral
membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang bagaimana Multipel
Sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan adanya demyelinating plaques
pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes, dianggap
bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat terjadinya nyeri.
Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai waktu cukup lama
dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa regenerasi masih tetap terbentuk zat
pembawa nyeri hingga kurun waktu yang berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini
relatif singkat. Akan tetapi, pada usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama.
Pemberian antiviral yang cepat dan dalam dosis yang adekuat akan sangat
mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan hemifacial spasm
dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve Hyperactivity". Menurut dia, semua
saraf yang digolongkan pada sindroma ini mempunyai satu kesamaan: mereka
semuanya terletak pada pons atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri
dan vena.
9

Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya
merupakan proses penuaan yang wajar:
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser
atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin
besarnya

kontak

neurovaskuler

yang

tentunya

akan

memperbesar

kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.


Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum dari
sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut, baik dari arteri
maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak kompresi berhubungan dengan gejala
klinis yang timbul. Misalnya, kompresi pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan
mengakibatkan neuralgia pada cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan
seterusnya. Menurut Calvin, sekitar 90% dari Trigeminal neuralgia penyebabnya adalah
adanya arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut.
Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan
bahwa mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah dengan
beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya. Pembuluh darah
yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun hanya kecil, misalnya dengan
diameter 50-100 um saja, sudah bisa menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm,
tinnitus, ataupun vertigo. Bila dilakukan microvascular decompression secara benar,
keluhan akan hilang.

2. 8 Diagnosis
Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan tes neurologis
(misalnya CT scan) tak begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi
10

nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri
mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya.
Beberapa kasus mulai pada divisi 1.
Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat, durasinya pendek
(kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal, misalnya
bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu
dirangsang (trigger area atau trigger zone).
Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut. Yang
unik dari trigger zone ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau tekanan
pada kulit atau rambut di daerah tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya dengan
menggunakan panas, walaupun menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat
memancing terjadinya serangan neuralgia. Pemeriksaan neurologik pada Trigeminal
neuralgia hampir selalu normal. Tidak terdapat gangguan sensorik pada Trigeminal
neuralgia murni.
Dilaporkan adanya gangguan sensorik pada Trigeminal neuralgia yang
menyertai Multiple sklerosis. Sebaliknya, sekitar 1-2% pasien dengan MS juga
menderita Trigeminal neuralgia yang dalam hal ini bisa bilateral.
Suatu varian Trigeminal neuralgia yang dinamakan tic convulsive ditandai
dengan kontraksi sesisih dari otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini
perlu dibedakan dengan gerak otot muka yang bisa menyertai neuralgia biasa, yang
dinamakan tic douloureux. Tic convulsive yang disertai nyeri hebat lebih sering
dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada wanita.
Secara sistematis, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan sebagai berikut:
Anamnesis:

Lokalisasi nyeri, untuk menentukan cabang nervus trigeminus yang terkena.


11

Menentukan waktu dimulainya Trigeminal neuralgia dan mekanisme


pemicunya.

Menentukan interval bebas nyeri.

Menentukan lama, efek samping, dosis, dan respons terhadap pengobatan.

Menanyakan riwayat penyakit herpes.

Pemeriksaan Fisik:

Menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus bilateral (termasuk


refleks kornea).

Menilai fungsi mengunyah (masseter) dan fungsi pterygoideus (membuka


mulut, deviasi dagu).

Menilai EOM.

Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT-scan kepala atau MRI


dilakukan untuk mencari etiologi primer di daerah posterior atau sudut
serebelo-pontin.

2. 9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada dasarnya dibagi atas 3 bagian:
1. Penatalaksanaan pertama dengan menggunakan obat.
2. Pembedahan dipertimbangkan bila obat tidak berhasil secara memuaskan.
3. Penatalaksanaan dari segi kejiwaan.
Terapi Medis (obat)

12

Perlu diingatkan bahwa sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini
mempunyai cukup banyak efek samping. Penyakit ini juga terutama menyerang mereka
yang sudah lanjut usia. Karena itu, pemilihan dan pemakaian obat harus memperhatikan
secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar penggunaan obat pada
terapi Trigeminal neuralgia dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat untuk
menghentikan hantaran impulse afferent yang menimbulkan serangan nyeri.
1. Carbamazepine
Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah
carbamazepine. Bila efektif maka obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4
hingga 24 jam pemberian, kadang-kadang bahkan secara cukup dramatis. Dosis awal
adalah 3 x 100 hingga 200 mg. Bila toleransi pasien terhadap obat ini baik, terapi
dilanjutkan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan
respons pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh pasien. Dosis maksimal adalah
1200 mg/hari.
Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis dan lama
pengobatan bisa disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan
pemantauan dari efek sampingnya negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga
sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba untuk dikurangi. Pemantauan laboratorium biasanya
meliputi pemeriksaan jumlah leukosit, faal hepar, dan reaksi alergi kulit.
Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila
ternyata kadar sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa
dipertimbangkan untuk menambahkan obat lain, misalnya baclofen. Dosis awal
baclofen 10 mg/hari yang bertahap bisa dinaikkan hingga 60 hingga 80 mg/hari. Obat
ketiga boleh ditambahkan bila kombinasi dua obat ini masih belum sepenuhnya
13

mengendalikan nyerinya. Tersedia phenytoin, sodium valproate, gabapentin, dan


sebagainya. Semua obat ini juga dikenal sebagai obat anti epileptik.
2. Gabapentin
Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji
coba sebagai obat yang dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Obat ini mulai
dipakai di Amerika pada 1994, sebagai obat anti epilepsi. Kemampuannya untuk
mengurangi nyeri neuropatik yang membandel dilaporkan secara insidentil mulai 1995
hingga 1997 oleh Mellick, Rosner, dan Stacey.
Waldeman menganjurkan pemberian obat ini bila carbamazepin dan phenitoin
gagal mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila
tidak terjadi efek samping yang mengganggu seperti pusing/dizzy, ngantuk, gatal, dan
bingung, obat dinaikkan dosisnya setiap 2 hari dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau
hingga tercapai dosis 1800 mg/hari. Dosis maksimal yang diperbolehkan oleh pabrik
obat ini adalah 2400 mg/hari. Waldeman menganjurkan 1800 mg sebagai dosis
tertinggi. Rowbotham dkk. menemukan bahwa gabapentin dalam dosis mulai 900
hingga 3600 mg sehari berhasil mengurangi nyeri, memperbaiki gangguan tidur, dan
secara umum memperbaiki quality of life dari para pasien mereka.
Untuk neuralgia yang menyertai pasien dengan Multipel Sklerosis ternyata
gabapentin dalam dosis antara 900 hingga 2400 mg/hari juga efektif pada 6 dari 7
pasiennya.
Cara kerja gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas benar.
Yang pasti dapat dikemukakan adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan
menghambat degradasi GABA. Karena itu, pemberian gabapentin akan meningkatkan
kadar GABA di dalam otak. Karena obat ini lipophilic maka penetrasinya ke otak baik.
14

Terapi Non-medis (Bedah)


Pilihan terapi non-medis (bedah) dipikirkan bilamana kombinasi lebih dari dua
obat belum membawa hasil seperti yang diharapkan. Dr. Stephen B. Tatter
menyebutkan bahwa pembedahan disiapkan untuk mereka yang tidak dapat
mentoleransi efek samping dari terapi medis atau ternyata terapi medis tidak efektif.
Terdapat beraneka ragam cara pembedahan, dari yang paling kuno, yang dapat
menimbulkan kecacatan (biasanya pendengaran dan gerak otot wajah) cukup besar,
sampai cara yang lebih sophisticated, yang hanya sedikit atau hampir tidak pernah
dijumpai efek samping.
J. Keith Campbell menulis dalam artikelnya "Are All of the Treatment Options
Being Considered bahwa penatalaksanaan medik sering gagal dalam menghilangkan
nyeri dalam periode yang panjang. Hal ini sering didapati pada pasien usia lanjut.
Untuk pasien-pasien muda, merujuk ke ahli bedah untuk dekompresi mikrovaskular
perlu dipertimbangkan segera sesudah diagnosis ditegakkan.
Dua cara operasi kuno, yaitu ablatio total dari saraf perifer dan reseksi bagian
sensorik dari saraf trigeminal, kini tidak dikerjakan lagi karena ada metode yang lebih
baik. Walaupun demikian, Waldeman masih menganjurkan Trigeminal nerve block
dengan menggunakan anestesi lokal + methylprednisolone. Yang dipakai adalah
bupivacaine tanpa pengawet yang diberi bersama dengan methylprednisolone. Suntikan
dilakukan tiap hari sampai obat oral yang dimulai pada saat sama, mulai efektif.
Radiofrequency rhizotomy (Meglio and Cioni, 1989).
Hingga kini masih populer karena relatif aman dan murah. Sayang, cara ini
mempunyai kemungkinan kekambuhan sebesar 25%. Efek samping lain yang kurang
enak adalah terjadinya anestesi kornea, rasa kesemutan, dan kelemahan rahang yang
kadang-kadang bisa mengganggu. Bahkan, ada pasien yang merasa menyesal karena
15

rasa kesemutan yang terus-menerus ini lebih tidak nyaman daripada nyeri yang masih
ada masa bebasnya.
Percutaneous retrogasserian rhizolisis dengan gliserol
Cara ini adalah cara yang dianjurkan oleh Jho dan Lunsforf (1997). Konon,
hasilnya sangat baik dengan gangguan minimal pada kepekaan muka. Hipotesis yang
dikemukakan adalah bahwa gliserol adalah neurotoksik dan bekerja pada serabut saraf
yang sudah mengalami demielinisasi, menghilangkan compound action potential pada
serabut trigeminal yang terkait dengan rasa nyeri. Cara ini cepat dan pasien bisa cepat
dipulangkan. Kerugiannya adalah masih tetap bisa terjadi gangguan sensorik yang
mungkin mengganggu atau kumat lagi sakitnya.
Microvascular Decompression
Dasar dari prosedur ini adalah anggapan bahwa adanya penekanan vaskular
merupakan penyebab semua keluhan ini. Neuralgia adalah suatu compressive cranial
mononeuropathy.

Para

penganut

cara

pengobatan

ini

mengganggap

bahwa

penyembuhan yang terjadi adalah yang paling sempurna dan permanen. Kerugian cara
ini adalah bahwa bagaimanapun juga ini suatu kraniotomi dan pasien perlu tinggal
sekitar 4-10 hari di rumah sakit, dilanjutkan dengan masa rekonvalesensi yang juga
perlu 1-2 minggu. Pertimbangan lain adalah bahwa walaupun jarang, mikrovaskular
dekompression bisa menyebabkan kematian atau penyulit lain seperti stroke,
kelemahan nervus fasialis, dan tuli.
Di tangan ahli bedah yang berpengalaman, komplikasi ini tentunya sangat kecil.
Pada operasi yang berhasil, pengurangan atau bahkan hilangnya nyeri sudah dapat
dirasakan setelah 5-7 hari pasca bedah. Dr. Fred Barker dan timnya melaporkan dalam
suatu pertemuan ilmiah tentang pengalamannya dengan mikrovaskular dekompression
16

pada 1430 pasien yang dilakukan di Universitas Pittsburgh. Sebagian besar dari pasien
tersebut mendapatkan pengurangan nyeri secara lengkap atau bermakna. Dua tahun
setelah operasi, insidens kekambuhan 1% per tahunnya. Kekambuhan ini secara umum
dikarenakan adanya pembuluh darah baru yang muncul pada nervus trigeminus.

Stereotactic radiosurgery dengan gamma knife


Merupakan perkembangan yang masih relatif baru. Gamma Knife merupakan
alat yang menggunakan stereotactic radiosurgery. Tekniknya dengan cara memfokuskan
sinar Gamma sehingga berlaku seperti prosedur bedah, namun tanpa membuka
kranium. Gamma Knife pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Lars Leksell dari
Stockholm, Swedia pada 1950. Cara ini hanya memerlukan anestesi lokal dan hasilnya
konon cukup baik. Sekitar 80-90% dari pasien dapat mengharapkan kesembuhan
setelah 3-6 bulan setelah terapi.
Cara kerja terapi adalah lewat desentisisasi pada saraf trigeminal setelah radiasi
yang ditujukan pada saraf ini dengan bantuan komputer. Seorang ahli bedah saraf dari
Seattle Dr. Ronald Young mengatakan bahwa dengan Gamma Knife hasilnya sangat
memuaskan juga dengan komplikasi yang minimal.
Meglio dan Cioni melaporkan cara dekompresi baru dengan menggunakan suatu
balon kecil yang dimasukkan secara perkutan lewat foramen ovale. Balon diisi sekitar 1
ml sehingga menekan ganglion selama 1 hingga 10 menit. Konon cara ini membawa
hasil pada sekitar 90% dari kasus. Belum ada laporan mengenai berapa banyak yang
mengalami residif.

17

Penatalaksanaan dari Segi Kejiwaan


Hal lain yang penting untuk diperhatikan selain pemberian obat dan
pembedahan adalah segi mental serta emosi pasien. Selain obat-obat anti depresan yang
dapat memberikan efek perubahan kimiawi otak dan mempengaruhi neurotransmitter
baik pada depresi maupun sensasi nyeri, juga dapat dilakukan teknik konsultasi
biofeedback (melatih otak untuk mengubah persepsinya akan rasa nyeri) dan teknik
relaksasi.

18

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Trigeminal neuralgia merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi
yang berulang, disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu
atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Rasa nyeri disebabkan oleh
terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah distribusi persarafan salah
satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab. Pada
kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh
salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan
usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak.
Kunci diagnosis adalah riwayat. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi
nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri
mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima, akhirnya sering menyerang keduanya.
Beberapa kasus mulai pada divisi 1. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat
hebat, durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari
saraf trigeminal, misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing
19

bila suatu daerah tertentu dirangsang (trigger area atau trigger zone). Trigger zones
sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut.
Obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini
akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri berkurang. Bila
ada efek samping, obat lain bisa digunakan sesuai petunjuk dokter tentunya.
Beberapa obat yang biasa diresepkan antara lain Carbamazepine (Tegretol,
Carbatrol),

Baclofen. Ada

pula

obat

Phenytoin

(Dilantin,

Phenytek),

atau

Oxcarbazepine (Trileptal). Dokter mungkin akan memberi Lamotrignine (Lamictal)


atau Gabapentin (Neurontin). Pasien Trigeminal neuralgia yang tidak cocok dengan
obat-obatan bisa memilih tindakan operasi.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Love S, Coakham HB. Trigeminal neuralgia Pathology and phatogenesis. Brain


2001;124:2347-2360
2. Joffroy A, Levivier M, Massager N. Trigeminal neuralgia Pathology and treatment.
Acta neurol 2001;101:20-25
3. Nurmikko TJ, Eldridge PR. Trigeminal neuralgia-pathophysiology, diagnosis and
current treatment. British Journal of Anaesthesia 2001;87(1):32-117
4. Kamel HAM, Toland J. Trigeminal Nerve Anatomy: Illustrated Using Examples of
Abnormalities. AJR 2001 Jan;176:247-251
5. Siddiqui MN, Siddiqui S, Ranasinghe JS, Furgang FA. Pain Management: Trigeminal
neuralgia. Clinical Review Article. Hospital Physician 2003 Jan;64-70
6. Bennetto L, Patel NK, Fuller G. Trigeminal neuralgia and its management. BMJ
2007 Jan 27;334:201-205
7. Kraftt RM. Trigeminal Neuralgia. American Family Physician 2008 May 1;77:12911296
8. Scrivani SJ. Trigeminal Neuralgia. Paint Management 2004;1(3):1-6

21

9. Dedhia JD, Tordoff S, Sivakumar G. Trigeminal Neuralgia (TGN ) - Pathophysiology


and Management. Journal Anaesthesia Clinical Pharmacology 2009;25(1):3-8

22

Anda mungkin juga menyukai