Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta
sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain
dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit,
diantaranya hipersensitivitas dan autoimun.
Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Reaksi
hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe berdasarkan Gell dan Coombs, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV.

B.

Tujuan

1.

Dapat mengetahui pengertian dari hipersensivitas.

2.

Dapat mengetahui penyebab dari hipersensivitas.

3.

Dapat mengetahui patofisiologi dari hipersensivitas.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers
merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
a.

hipersensitivitas tipe I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel
mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa
sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I)
melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi
anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular
yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan
dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.
Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen haptenprotein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang

menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau
gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.
Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat
anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu daripreformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF
= neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit
asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat


Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit
setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam
walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan
basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator
farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap

alergen.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas
benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya
reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa
didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik
dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase
aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang
meningkatkan sel radang.
Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase
lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing
factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari
sel mast dan sel lain.
Eosinofil

dapat

memproduksi

protein

sitotoksik

seperti major

basic

protein(MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil


melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan
di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat

peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang
selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama
eosinofil.
Mediator hipersensitivitas tipe I
mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik
yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan
mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator). Menurut asalnya
mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau
basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator
primer (mediator sekunder).
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic
factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
A. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara
enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma.
Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/L akan tetapi dapat
meningkat sampai 1-2 ng/L setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang
timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan
terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas
vaskular.
B. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat
reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang
sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan
pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan
alergen).

C. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)


NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen
paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam
beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan

alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari).
Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan
mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator

yang

terbentuk

kemudian

terdiri

dari

hasil

metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin,


dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur
siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan

produk

yang

berperan

sebagai

mediator

bagi

berbagai proses inflamasi.


b.

Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat


menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan

menyebabkan lisis sel darah merah), dan


Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

c.

Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan
membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga
terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut
akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau

glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.
d.

Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau


tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T
dan makrofag. Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan
oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi
terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi
dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari
makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang
berikatan dengan antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,
terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan
pada kerusakan jaringan. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan
diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain
pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV
adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Mekanisme hipersensivitas terjadi dalam reaksi jaringan setelah beberapa menit


setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Urutan kejadian reaksi antigen adalah
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan
reaksi.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator

yang

dilepas

sel

mast

dengan

aktivitas

farmakologik

(Baratawidjaja, 2006).
B.

Etiologi
Faktor internal.
a. Imaturitas usus secara fungsional.
b. Genetik.
c. Mukosa dinding saluran cerna matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
Faktor eksternal.
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan).
b. Makanan yang dapat memberikan reaksi alergi.
c. Semua jenis makanan dan zat tambahan yang ada dalam makanan yang dapat
menimbulkan reaksi alergi.

C.

Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. Telur) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah muncul gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (IgE). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh bisofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu :

a. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T, sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
b. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi (IgE) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut
beredar didalam tubuh melalui pembuluh darah.

BAB III
PENUTUP
Penyusun mengucapkan syukur alhamdullilah kepada Allah SWT, karena pada
akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik meskipun masih banyak
kesalahan dan masih kurang sempurna.

Penyusun berharap dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
serta para pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada para pembaca atas
kesediaan membaca makalah ini.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C, dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Harahap, Marwali, dkk. 2000. Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit. Bandung: Alumni
Fritz H. Kayser (2004). Medical Microbiology. Thieme. ISBN 978-1-58890-245-0.
Tak W. Mak, Mary E. Saunders, Maya R. Chaddah (2008). Primer to the immune response.
Academic Press. ISBN 978-0-12-374163.

Anda mungkin juga menyukai