Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Banyak rangkaian yang dapat mengikuti pulpa nekrosis yang tidak dirawat. Dari
asalnya di dalam pulpa, proses inflamasi meluas ke jaringan periapikal, dimana proses
inflamasi tersebut dapat hadir sebagai granuloma atau kista jika dalam keadaan kronis,
ataupun sebagai abses periapikal jika dalam keadaan akut.
Jika abses periapikal tidak dirawat maka dapat menimbulkan komplikasi yang serius
melalui penyebaran infeksi, termasuk di dalamnya ialah osteomyelitis, selulitis, bakteremia,
pembentukan fistul pada kulit atau mukosa, limfadenitis akut dan cavernous sinus thrombosis.
Pada makalah laporan kasus ini dibuat karena seringnya kasus ini terjadi dalam
masyarakat sehingga diperlukan penanganan yang tepat untuk pasien.

BAB II
1

STATUS PASIEN
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. Samsul Hadi

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Alamat

: Keras Kemiri - Kepanjen

Umur

: 42 tahun

Pekerjaan

: Swasta

Status

: Menikah

Suku Bangsa

: Jawa

Tanggal Periksa : Senin, 28 Februari 2011


2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Pasien datang ke poli gigi dengan keluhan bahwa gusinya bagian kanan atas bengkak
dan sakit bila ditekan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
1 minggu yang lalu gigi taring pasien lepas akibat trauma, sehingga bila pasien
makan, terkadang makanannya ada yang masuk ke sela-sela gigi yang telah lepas dan
berusaha mencongkel-congkelnya dengan menggunakan tusuk gigi.
3 hari yang lalu pasien mengeluh sakit pada daerah gigi yang lepas dan keesokan
harinya mulai bengkak. Tetapi pasien tidak berobat ke dokter gigi untuk mengatasi
keluhannya, pasien hanya membeli obat di apotik atas inisiatif dan pengetahuan pasien
sendiri. Sakit yang dirasakan pasien sudah berkurang, tetapi bengkaknya malah
semakin membesar.
1 tahun yang lalu pasien pernah pasang gigi tiruan di tukang gigi pada gigi bagian
depan.
c. Riwayat Perawatan
Gigi : Pasien tidak pernah memeriksakan gigi.
Jar.lunak rongga mulut dan sekitarnya : Pasien tidak pernah memeriksakan.
d. Riwayat Kesehatan :
- Kelainan darah
- Kelainan endokrin
- Kelainan Jantung
- Gangguan nutrisi
- Kelainan kulit/kelamin
- Gangguan pencernaan
- Kelainan Imunologi
- Gangguan respiratori

: Pasien mengaku tidak ada kelainan


: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
2

- Gangguan TMJ
- Tekanan darah
- Diabetes Melitus
- Lain-lain

: Pasien mengaku tidak ada kelainan


: Pasien mengaku tidak ada kelainan
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
:-

e. Obat-obatan yang telah/sedang dijalani :


Pasien mengkonsumsi Cataflam 50 mg untuk mengatasi nyerinya sejak 3 hari yang
lalu dan amoksisilin 500 mg.
f. Keadaan sosial/kebiasaan
: Menengah ke bawah
Kebiasaan pasien sering merokok & minum kopi
Sikat gigi 2x sehari
g. Riwayat Keluarga :
- Kelainan darah
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- Kelainan endokrin
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- Diabetes melitus
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- Kelainan jantung
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- Kelainan syaraf
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- Alergi
: Pasien mengaku tidak ada kelainan
- lain-lain
:2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Ekstra Oral
- Muka
: Tidak simetris (asimetris)
- Pipi kiri
: tidak ada kelainan
- Pipi kanan
: tampak edema
- Bibir atas
: tidak ada kelainan
- Bibir bawah
: tidak ada kelainan
- Sudut mulut
: tidak ada kelainan
- Kelenjar submandibularis kiri
: tidak ada kelainan
- Kelenjar submandibularis kanan : tidak ada kelainan
- Kelenjar submental
: tidak ada kelainan
- Kelenjar leher
: tidak ada kelainan
- Kelenjar sublingualis
: tidak ada kelainan
- Kelenjar parotis kanan
: tidak ada kelainan
- Kelenjar parotis kiri
: tidak ada kelainan
b. Intra Oral
- Mukosa labial atas
- Mukosa labial bawah
- Mukosa pipi kiri
- Mukosa pipi kanan
- Bukal fold atas
- Bukal fold bawah
- Labial fold atas
- Labial fold bawah
- Gingival rahang atas
- Gingival rahang bawah
- Lidah
- Dasar mulut

: tidak ada kelainan


: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tampak hiperemis
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tampak hiperemis
: tampak hiperemis
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
3

Palatum
Tonsil
Pharynx
Kalkulus
Elemen

: tidak ada kelainan


: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: rahang atas dan rahang bawah
: 3 hilang dan abses
2 1 dan 1 gigi prosthesa

2.4 DIAGNOSIS KERJA


Abses maksila 3
Kalkulus rahang atas dan rahang bawah
2.5 RENCANA PERAWATAN
Incisi cairan 5 4 3 dan observasi
2.6 PENGOBATAN
R/ Clindamicyn cap 300 mg No. X
S 3 dd 1
R/ Asam Mefenamat tab 500 mg No. X
S 3 dd 1
R/ Vit. B.Com
No.X
S 3 dd 1
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab.Rontgenologi mulut/ Radiologi
Lab.Patologi anatomi
Sitologi
Biopsi
Lab.Mikrobiologi
Bakteriologi
Jamur
Lab.Patologi Klinik
3. Rujukan :
Poli Penyakit Dalam
Poli THT
Poli Kulit & Kelamin
Poli Syaraf

::::::::::::-

VI. DIAGNOSE AKHIR :


Abses maksila 543
Kalkulus rahang atas dan rahang bawah

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DEFINISI
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat atau infeksi bakteri.
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah. Abses
maksila merupakan penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah
infraorbital dan sinus kavernosus. Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior.
Infeksi daerah ini disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya
yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan nasolabial.
3.2 ETIOLOGI
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui
beberapa cara antara lain:
1. Bakteri masuk kebawah kuit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang tidak
steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.

Lebih lanjut Siregar (2004) menjelaskan peluang terbentuknya suatu abses akan
meningkat jika :
1. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
2. Darah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
3. Terdapat gangguan sisitem kekebalan.
3.3 PATOGENESIS
Bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat S.mutans) memiliki 3 macam
enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini
berperan layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang
persawahannya, enzim ini merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat
(hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim
pemecah hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai
transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun
dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat
diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam
rusak/mati/nekrosis.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari
S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan
bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih
dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses,
karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection.
Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak
terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal
adalah pembentukan rongga patologis abses disertai pembentukan pus yang sifatnya
berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon
keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi
hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih
kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari
bakteri S.mutans dan S.aureus.
S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak
jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya
mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah
6

pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran
abses (oleh karena itu, jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak
beraturan, karena jaringan ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap
dengan baik dengan ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus
melindungi dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang
terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri
pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk
oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang
konsistensinya terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih
kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus
berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan
pasien dengan timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam,
dan malaise. Karena mau tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar,
baik dengan bantuan dokter gigi atau keluar secara alami.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang
notabene adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus
menembus jaringan keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan
dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi perjalanan inilah yang disebut pola
penyebaran abses.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri,
ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu
menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar
yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan
perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.
Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi,
karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak
menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan
korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan
tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut
periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon keradangan juga
terjadi ketika pus mulai mencapai korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas
7

komponen keradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan
periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi
destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa
sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini
disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah serous disebabkan
karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung
kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada
keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari,
tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu
menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut
abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela
antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah
terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil menembus korteks dan memasuki
rongga subperiosteal, karenanya nama abses yang tadinya disebut abses periapikal,
berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah
lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus
yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana
konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka
dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena
telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces,
maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang
dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.
3.4 GAMBARAN KLINIS
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan
pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam
8

Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagi benjolan.
Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan pecah,
maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses
di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih tumbuh lebih besar.
Abses dalam lebih mungkin menyebarkan infeksi keseluruh tubuh. Adapun tanda dan
gejala abses maksila adalah pembengkakan pada pipi bagian depan dan hilangnya
lekukan/lipatan nasolabial.
3.5 PENEGAKAN DIAGNOSA
Menurut Siregar (2004), abses dikulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali.
Sedangkan abses dalam (abses maksila) sering kali sulit ditemukan. Pada penderita abses,
biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih. Untuk
menetukan ukuran dan lokasi abses dalam bissxa dilkukan pemeriksaan rontgen,USG, CT,
Scan, atau MRI.
3.6 DIAGNOSIS BANDING
Kista Periapikal
Granuloma Periapikal
3.6.1. Kista Periapikal
Kista adalah rongga patologis yang berisi cairan bahan setengah cair atau gas biasanya
berdinding jaringan ikat dan berisi cairan kental atau semi likuid, dapat berada dalam jaringan
lunak ataupun keras seperti tulang. Rongga kista di dalam rongga mulut selalu dibatasi oleh
lapisan epitel dan dibagian luarnya dilapisi oleh jaringan ikat dan pembuluh darah.
Kista radikuler disebut juga kista periapikal. Kista ini merupakan jenis kista yang
paling sering ditemukan. Kista radikuler terbentuk oleh karena iritasi kronis gigi yang sudah
tidak vital. Kista ini tumbuh dari epitel rest of Malassez yang mengalami proliferasi oleh
karena respon terhadap proses radang yang terpicu oleh karena infeksi bakteri pada pulpa
yang nekrosis.
Kista periapikal adalah kista yang terbentuk pada ujung apeks (akar) gigi yang
jaringan pulpanya sudah nonvital/mati. Kista ini merupakan lanjutan dari pulpitis (peradangan
pulpa). Dapat terjadi di ujung gigi manapun, dan dapat terjadi pada semua umur. Ukurannya
berkisar antara 0.5-2 cm, tapi bisa juga lebih. Bila kista mencapai ukuran diameter yang besar,
ia dapat menyebabkan wajah menjadi tidak simetri karena adanya benjolan dan bahkan dapat
menyebabkan parestesi karena tertekannya syaraf oleh kista tersebut. Dalam pemeriksaan
rontgen kista radikuler akan terlihat gambaran radiolusen berbatas jelas.
9

Pola umum pertumbuhan suatu kista terjadi karena adanya stimulasi (cytokinase) pada
sisa-sisa sel epitel pertumbuhan yang kemudian mengalami proliferasi dan di dalam
pertumbuhannya tidak menginvasi jaringan sekitarnya. Sisa epitel tersebut kemudian akan
berproliferasi membentuk massa padat. Kemudian massa akan semakin membesar sehingga
sel-sel epitel di bagian tengah massa akan kehilangan aliran darah, sehingga aliran nutrisi
yang terjadi melalui proses difusi akan terputus. Kematian sel-sel dibagian tengah massa kista
tersebut akan menyebabkan terbentuk suatu rongga berisi cairan yang bersifat hipertonis.
Keadaan hipertonis akan menyebabkan terjadinya proses transudasi cairan dari ekstra lumen
menuju ke dalam lumen. Akibatnya terjadi tekanan hidrostatik yang berakibat semakin
membesarnya massa kista. Proses pembesaran massa kista dapat terus berlangsung, kadang
sampai dapat terjadi parastesia ringan akibat ekspansi massa menekan daerah saraf sampai
timbulnya rasa sakit. Kista ini tidak menimbulkan keluhan atau rasa sakit, kecuali kista yang
terinfeksi.
Pada pemeriksaan radiografis, kista periapikal memperlihatkan gambaran seperti
dental granuloma yaitu lesi radiolusen berbatas jelas di sekitar apeks gigi yang bersangkutan
dan tepinya seperti lapisan tipis yang kompak seperti lamina dura. Hampir semua kista
radikuler berasal dari granuloma periapikal yang terjadi sebelumnya. Kista ini juga
disebabkan oleh berlanjutnya peradangan yang awalnya terjadi pada pulpa, yang kemudian
meluas hingga jaringan periapikal di bawahnya.
Patofisiologi dari kista radikuler yaitu diawali dari peradangan jaringan pulpa yang
lama kelamaan menyebabkan inflamasi periapikal. Inflamasi ini merangsang the malassez
ephitelial rest yang terdapat pada ligamentum periodontal sehingga menghasilkan
pembentukan granuloma periapikal yang dapat bersifat terinfeksi atau steril. Akhirnya
epitelium mengalami nekrosis karena kehilangan suplai darah dan granuloma berubah
menjadi kista.
Kista residual merupakan kista yang disebabkan oleh keradangan pada fragmen akar
yang tertinggal saat pencabutan atau adanya sisa granuloma yang tidak terambil saat
pencabutan. Pada pemeriksaan klinis didapatkan rahang tidak bergigi dengan sejarah pernah
dilakukan ekstraksi dan pada gambaran radiologi ditemukan gambaran radiolusen. Secara
histopatologis ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak
mengalami keratinisasi squamosa dan mempunyai ketebalan yang bervariasi. Secara khas
dapat dilihat adanya proses radang dengan ditemukannya banyak sel neutrofil pada dinding
kista.
Perawatan kista residual adalah dengan melakukan enukleasi dan pada umumnya tidak
terjadi rekuren. Perawatan terdiri dari perawatan saluran akar, atau pencabutan gigi yang
10

bersangkutan kemudian kista dikuretase. Dapat juga diterapi dengan cara Marsupialisasi dan
enukleasi.
3.6.2. Granuloma Periapikal
Granuloma periapikal merupakan lesi yang berbentuk bulat dengan perkembangan
yang lambat yang berada dekat dengan apex dari akar gigi, biasanya merupakan komplikasi
dari pulpitis. Terdiri dari massa jaringan inflamasi kronik yang berprolifersi diantara kapsul
fibrous yang merupakan ekstensi dari ligamen periodontal.
Gambaran radiografi yaitu Tampak gambaran radiolucent dengan batas tepi yang
kadang terlihat jelas pada periapikal. Umumnya berbentuk bulat. Gigi yang bersangkutan
akan menunjukkan hilangnya gambaran lamina dura. Biasanya tidak disertai adanya resorbsi
akar, namun ada juga yang menunjukkan gambaran resorbsi akar.
Granuloma periapikal dapat disebabkan oleh berbagai iritan pada pulpa yang berlanjut
hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan periapikal. Iritan dapat
disebabkan oleh organisme seperti: bakteri dan virus; dan non-organisme seperti: iritan
mekanis, thermal, dan kimia.
Penelitian yang dilakukan terhadap spesimen periapikal granuloma, sebagian besar
merupakan bakteri anaerob fakultatif dan organisme yang tersering adalah Veillonella species
(15%), Streptococcus milleri (11%), Streptococcus sanguis (11%), Actinomyces naeslundii
(11%), Propionibacterium acnes (11%), dan Bacteroides species (10%).3 Sedangkan faktor
non-organisme adalah karena iritan mekanis setelah root canal therapy, trauma langsung,
trauma oklusi, dan kelalaian prosedur endodontik; dan bahan kimia seperti larutan irigasi.
Secara klinis dental granuloma tidak dapat dibedakan dengan lesi keradangan
periapikal lainnya. Untuk membedakan dengan lesi periapikal lainnya diperlukan
pemeriksaan radiografi. Ukurannya bervariasi, mulai dari diameter kecil yang hanya beberapa
millimeter hingga 2 centimeter.
Dental granuloma terdiri dari jaringan granulasi yang dikelilingi oleh dinding berupa
jaringan ikat fibrous. Pada dental granuloma yang sudah cukup lama, cenderung memberikan
gambaran adanya sel plasma, limfosit, neutrofil, histiosit, dan eusinofil, serta sel epithelial
rests of Malassez. Pada gigi dengan karies perforasi pada pemeriksaan mikrobiologi akan
didapatkan mikroaerofilik bacterium actynomices.
Disebabkan oleh kelainan patologis dari reaksi keradangan pulpa yang berlanjut
hingga ke jaringan sekitar apeks. Pulpitis itu sendiri dapat disebabkan oleh infeksi karies
sekunder, trauma, atau kegagalan perawatan saluran akar. Nekrosis pulpa akan menstimulasi
reaksi radang pada jaringan periodontal gigi yang bersangkutan.
Patofisiologi dari Granuloma periapikal juga dapat disebabkan oleh berbagai iritan
pada pulpa yang berlanjut hingga ke jaringan sekitar apeks maupun yang mengenai jaringan
11

periapikal. Iritan dapat disebabkan oleh organisme seperti: bakteri dan virus; dan nonorganisme seperti: iritan mekanis, thermal, dan kimia timbul akibat nekrosis pulpa,
penyebaran pertama dari inflamasi pulpa ke jaringan periradikuler. Granuloma periapikal
merupakan kelanjutan dari abses periapikal akut. Iritannya meliputi mediator inflamasi dari
pulpa yang terinflamasi irreversible atau toksin bakteri dari pulpa yang nekrotik.
Patogenesis yang mendasari granuloma periapikal adalah respon system imun untuk
mempertahankan jaringan periapikal terhadap berbagai iritan yang timbul melalui pulpa, yang
telah menjalar menuju jaringan periapikal. Terdapat berbagai macam iritan yang dapat
menyebabkan peradangan pada pulpa, yang tersering adalah karena bakteri, proses karies
yang berlanjut akan membuat jalan masuk bagi bakteri pada pulpa, pulpa mengadakan
pertahanan dengan respon inflamasi.
Terdapat tiga karakteristik utama pulpa yang mempengaruhi proses inflamasi.
Pertama, pulpa tidak dapat mengkompensasi reaksi inflamasi secara adekuat karena dibatasi
oleh dinding pulpa yang keras. Inflamasi akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan
meningkatnya volume jaringan karena transudasi cairan. Kedua, meskipun pulpa memiliki
banyak vaskularisasi, namun hanya disuplai oleh satu pembuluh darah yang masuk melalui
saluran sempit yang disebut foramen apikal, dan tidak ada suplai cadangan lain. Edema dari
jaringan pulpa akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah yang melalui foramen apikal,
sehingga jaringan pulpa tidak adekuat dalam mekanisme pertahanan, terlebih lagi edema
jaringan pulpa akan menyebabkan aliran darah terputus, menyebabkan pulpa menjadi
nekrosis. Ruangan pulpa dan jaringan pulpa yang nekrotik akan memudahkan kolonisasi
bakteri. Ketiga, karena gigi berada pada rahang, maka bakteri akan menyebar melalui foramen
apikal menuju jaringan periapikal.
Gejala klinis dari granuloma periapikal dan kista periapikal sangat sulit dibedakan,
biasanya pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri, dan tes perkusi negatif. Oleh karena
berhubungan dengan pulpa yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan menunjukkan nilai
yang negatif. Gambaran radiografi akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas yang
jelas. Meskipun pemeriksaan dengan radiografi merupakan kunci diagnostik, satu satunya
cara untuk dapat membedakan keduanya secara akurat adalah dengan menggunakan
pemeriksaan mikroskopik; gambaran histopatologis granuloma periapikal telah dijelaskan
sebelumnya, sedangkan gambaran histopatologis kista periapikal ditandai dengan adanya
suatu rongga yang berlapiskan epitel jenis non-keratinizing stratified squamous dengan
ketebalan yang bervariasi, dinding epitelium tersebut dapat sangat proliferatif dan
memperlihatkan susunan plexiform. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan
12

ditemukannya banyak sel radang, yaitu sel plasma dan sel limfosit pada dinding kista tersebut.
Rousel body atau round eusinophilic globule banyak ditemukan didalam atau diluar sel
plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis imunoglobulin.
Granuloma periapikal merupakan reaksi inflamasi kronis yang berada di sekitar apex
gigi yang merupakan kelanjutan dari keradangan pada pulpa yang disebabkan oleh berbagai
macam iritan, seperti bakteri, trauma mekanis, dan bahan kimia. Patogenesis yang
mendasarinya adalah reaksi dari sistem imun tubuh terhadap adanya iritan. Granuloma
periapikal biasanya tidak bergejala dan ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan
radiografi sebagai gambaran radiolusen, diagnosis bandingnya termasuk kista periapikal dan
abses periapikal, yang hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan mikroskopis. terapi dapat
dilakukan dengan penanganan endodontik non pembedahan maupun pembedahan. Prognosis
dari granuloma periapikal adalah baik.
Dental granuloma umumnya tidak menimbulkan gejala-gejala yang pasti. Gigi yang
bersangkutan akan memberikan respon negative pada perkusi, tes termal, dan tes elektrik
pulpa. Pada dental granuloma yang terus berlanjut dan dibiarkan tanpa perawatan dapat
berubah menjadi kista periapikal.
Lesi inflamasi apical umumnya disebabkan oleh adanya produk toksik yang dihasilkan
oleh bakteri yang ada di saluran akar, sehingga keberhasilan perawatan tergantung pada
eliminasi bakteri pada gigi yang bersangkutan.
Pada gigi yang masih dapat dipertahankan dapat dilakukan perawatan saluran akar.
Sedangkan pada gigi yang tidak dapat dilakukan restorasi maka harus dilakukan ekstraksi.
Pada gigi yang dirawat saluran akar perlu dilakukan evaluasi pada tahun pertama dan kedua
untuk memastikan apakah lesi bertambah besar atau telah sembuh.
Kebanyakan dari periapikal granuloma ditemukan secara tidak sengaja selama
pemeriksaan rutin. Karena granuloma periapikal merupakan kelanjutan dari nekrosis pulpa
maka pada pemeriksaan fisik akan didapatkan tes thermal yang negatif dan tes EPT yang
negatif. Pada gambaran radiografi lesi yang berukuran kecil tidak dapat dipisahkan secara
klinis dan radiografi. Periapikal granuloma terlihat sebagai gambaran radiolusen yang
menempel pada apex dari akar gigi. Sebuah gambaran radiolusensi berbatas jelas atau difus
dengan berbagai ukuran yang dapat diamati dengan hilangnya lamina dura, dengan atau tanpa
keterlibatan kondensasi tulang.
Kegagalan proses penyembuhan bisanya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
- Berubah menjadi bentukan kista
- Kegagalan perawatan saluran akar
- Fraktur akar vertical
- Adanya penyakit periodontal
13

Gejala klinis dari granuloma periapikal dan kista periapikal sangat sulit dibedakan,
biasanya pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri, dan tes perkusi negatif. Oleh karena
berhubungan dengan pulpa yang telah nekrosis, stimulasi thermal akan menunjukkan nilai
yang negatif. Gambaran radiografi akan menunjukkan adanya radiolusen dengan batas yang
jelas. Meskipun pemeriksaan dengan radiografi merupakan kunci diagnostik, satu satunya
cara untuk dapat membedakan keduanya secara akurat adalah dengan menggunakan
pemeriksaan mikroskopik; gambaran histopatologis granuloma periapikal telah dijelaskan
sebelumnya, sedangkan gambaran histopatologis kista periapikal ditandai dengan adanya
suatu rongga yang berlapiskan epitel jenis non-keratinizing stratified squamous dengan
ketebalan yang bervariasi, dinding epitelium tersebut dapat sangat proliferatif dan
memperlihatkan susunan plexiform. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan
ditemukannya banyak sel radang, yaitu sel plasma dan sel limfosit pada dinding kista tersebut.
Rousel body atau round eusinophilic globule banyak ditemukan didalam atau diluar sel
plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis imunoglobulin

3.7 PENATALAKSANAAN
Terapi dari abses maksila adalah sebagai berikut:
a. Buat insisi kecil pada bagian yang paling fluktuan dari pembengkakan tersebut untuk
memancing drainase bila pembengkakan sangat besar, prosedur ini dapat dilakukan
dengan mengulaskan pasta anastesi topical atau menyemprotkan etil klorida pada
daerah yang akan di insisi dan tusuk pembengkakan tersebut dengan pisau scalpel.
b. Lakukan drainase,
c. Berikan antibiotic bila drainase tidak produktif atau bila ada pireksia, rasa sakit dan
meningkatnya limfadenopati.
3.8 PROGNOSIS
Baik terutama apabila ditangani dan diterapi dengan segera dengan menggunakan
antibiotika yang sesuai. Apabila menjadi bentuk kronik, akan lebih sukar diterapi dan
menimbulkan komplikasi yang lebih buruk.
3.9 KOMPLIKASI
Abses periapikal dapat berlangsung secara akut dan kronis. Apabila ada keseimbangan
antara pus dan imunitas penderita maka abses periapikal dapat berlangsung secara kronis. Jika
tekanan hidrostatik dalam pus meningkat mengakibatkan pus dalam abses periapikal

14

berkembang progesif sehingga pus membuat jalan yang mengekibatkan penyebaran pus di
dalam intra oral maupun ekstra oral.

Gambar 3.6
penyebaran
abses

Gambaran
pus pada
periapikal

Dari gambar tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pus yang terdapat pada abses
periapikal dapat keluar melalui ruang saluran pulpa yang ditunjukan dengan angka (1), pus
dapat melewati ligamentum periodontal menuju sulkus gingival (2), pus menyebabkan fistula
pada jaringan lunak rongga mulut menembus gingival sehingga terjagi gum boil (3), pus dapat
menyebar menjauhi jaringan apical. Selain keadaan tersebut abses periapikal juga dapat
menyebabkan terjadinya abses maxillaries dan abses mandibularis yang dapat membahayakan
kondisi pasien jika dibiarkan lama oleh pasien tanpa ada penanganan dari dokter gigi.

15

DAFTAR PUSTAKA
Haggerty, Maureen (2002). "Streptococcal Infections". Gale Encyclopedia of Medicine.
The Gale Group.
Neville, Brad W. [et al.] - 1st ed, 1995. Oral & Maxillofacial Pathology. pp.104-5.
Sitanggang, Ima.RH. 2002. Abses Periapikal Sebagai Penyebab Terjadinya Osteomyelitis
Supuratif Akut. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara, Medan.

16

Anda mungkin juga menyukai