Anda di halaman 1dari 15

ASKEP ABSES

BAB I
KONSEP DASAR

A. Pengertian
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga Abses)
yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et
al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan
nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan
kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.
B. Penyebab / Faktor Predisposisi
Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:
1. Infeksi mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi mikrobial.
Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan
eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang secara spesifik mengawali proses
radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.

2. Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak
sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
3. Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau
radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan
yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen penyebab
infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan
radang.
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan
makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan,

kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi
daerah infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
C. Gambaran Klinik
Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan.
Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada Abses
meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses
(Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak,
terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar
luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau
demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
D. Anatomi / Patologi
Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus adiposus)
merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis. Subkutis yang
letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif
tebal.
Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan ikat dan
pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh
darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa)
mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai
jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar
keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena besar (misalnya
vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening regional superfisialis.
Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi
pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium dan fasia
tubuh).
Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh darah dan
kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran darah, zat
makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk
melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan
kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini sekaligus
sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir
peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.
Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat perubahanperubahan berikut:
1. Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.
2. Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak
(akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau
pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3. Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama dapat
mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis septal)
Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan
menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995: 256).
E. Proses Penyembuhan Luka
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan proses penyembuhan

luka sebagai berikut:


1. Fase Inflamasi atau lag fase. Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka terjadi perdarahan.
Ikut keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan,
bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur
tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit.
Terjadi vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar dari pembuluh darah
secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin
dan histamin yang meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga disebut
fase tertinggal (lag fase)
2. Fase proliferasi atau fibroplasi. Berlangsung dari hari keenam sampai dengan 3 minggu.
Terjadi proses proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal dari sel-sel mesenkim.
Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolagen, yang terdiri dari asam-asam amino
glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolagen yang
akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat
kolagen, kapiler-kapiler baru ; membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata
disebut jaringan granulasi.
3. Fase Remodelling atau fase resorpsi. Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila
tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit
maupun gatal.
F. Patofisiologi
Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam
tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Underwood,
J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu
sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin
yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan
kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang
akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan
menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk
terjadi infeksi.
Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu penyebab
dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada
daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan
meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan
kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999: 246)
mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen
yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga
produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995: 647-648).
Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi perubahan
diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah
mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah
zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah
awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang
menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan
keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam
pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga

terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan
eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam
rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk
bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri
sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif
sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan
sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama masih ada
pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris akan di
fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma
berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul
dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain
membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi
tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan
granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila
dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui
pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus,
akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses
yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga
terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan risiko
penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).

ASKEP ABSES

A. Pengertian
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah
(netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas
jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka
peluru,

atau

perlindungan

jarum

suntik).

oleh

Proses

jaringan

ini

merupakan

untuk

reaksi

mencegah

penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses


adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong
berisi nanah. (Siregar, 2004).
Abses adalah pengumpulan

nanah

yang terlokalisir

sebagai akibat dari infeksi yang melibatkan organisme piogenik,


nanah merupakan suatu campuran dari jaringan nekrotik, bakteri,
dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim
autolitik. (Morison, 2003)
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik mata,
yang kemudian pecah; rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi

karena

fibrosis,

meninggalkan

jaringan

parut

yang

kecil.

(Underwood, 2000)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses
adalah suatu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri / parasit
atau karena adanya benda asing (misalnya luka peluru maupun
jarum

suntik)

dan

mengandung

nanah

yang

merupakan

campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih


yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik.
B. Jenis jenis Abses
1. Abses Ginjal
Abses ginjal yaitu peradangan ginjal akibat

infeksi.

Ditandai dengan pembentukan sejumlah bercak kecil bernanah


atau abses yang lebih besar yang disebabkan oleh infeksi yang
menjalar ke jaringan ginjal melalui aliran darah.
2. Abses Perimandibular
Bila abses menyebar sampai di bawah

otot-otot

pengunyahan, maka akan timbul bengkak-bengkak yang keras, di


mana nanah akan sukar menembus otot untuk keluar, sehingga
untuk mengeluarkan nanah tersebut harus dibantu dengan
operasi pembukaan abses.
3. Abses Rahang gigi
Radang kronis, yang terbungkus dengan terbentuknya
nanah pada ujung akar gigi atau geraham. Menyebar ke bawah
selaput tulang (sub-periostal) atau di bawah selaput lendir mulut

(submucosal) atau ke bawah kulit (sub-cutaneus). Nanah bisa


keluar dari saluran pada permukaan gusi atau kulit mulut (fistel).
Perawatannya bisa dilakukan dengan mencabut gigi yang menjadi
sumber penyakitnya atau perawatan akar dari gigi tersebut.
4. Abses Sumsum Rahang
Bila nanah menyebar ke rongga-rongga tulang, maka
sumsum tulang akan terkena radang (osteomyelitis). Bagianbagian dari tulang tersebut dapat mati dan kontradiksi dengan
tubuh. Dalam hal ini nanah akan keluar dari beberapa tempat
(multiple fitsel).
5. Abses dingin (cold abcess)
Pada abses ini, karena sedikitnya radang, maka abses ini
merupakan abses menahun yang terbentuk secara perlahanlahan. Biasanya terjadi pada penderita tuberkulosis tulang,
persendian atau kelenjar limfa akibat perkijuan yang luas.
a. Abses hati
Abses ini akibat komplikasi disentri amuba

(Latin:

Entamoeba histolytica), yang sesungguhnya bukan abses, karena


rongga ini tidak berisi nanah, melainkan jaringan nekrotik yang
disebabkan oleh amuba. Jenis abses ini dapat dikenali dengan
ditemukannya amuba pada dinding abses dengan pemeriksaan
histopatologis dari jaringan.
b. Abses (Lat. abscessus)

Rongga

abnormal

ketidaknormalan

di

yang

bagian

berada
tubuh,

di

bagian

disebabkan

tubuh,
karena

pengumpulan nanah di tempat rongga itu akibat proses radang


yang

kemudian

membentuk

nanah.

Dinding

rongga

abses

biasanya terdiri atas sel yang telah cedera, tetapi masih hidup. Isi
abses yang berupa nanah tersebut terdiri atas sel darah putih dan
jaringan yang nekrotik dan mencair. Abses biasanya disebabkan
oleh kuman patogen misalnya: bisul.
C. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu

infeksi

bakteri

bisa

menyebabkan abses melalui beberapa cara:


1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari
tusukan jarum yang tidak steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh
manusia

dan

tidak

menimbulkan

gangguan,

kadang

bisa

menyebabkan terbentuknya abses.


Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
1. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya
infeksi
2. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
3. Terdapat gangguan sistem kekebalan
Bakteri tersering penyebab abses adalah Staphylococus Aureus
D. Patofisiologi

Jika bakteri masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka


akan terjadi suatu infeksi. Sebagian sel mati dan hancur,
meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang
terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut, dan
setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati, sel darah
putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi
rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di
sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada akhirnya tumbuh di
sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas. Abses dalam hal
ini merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam tubuh, maka infeksi
bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit,
tergantung kepada lokasi abses. (Utama, 2001)
E. Manifestasi Klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk
paru-paru, mulut, rektum, dan otot. Abses yang sering ditemukan
didalam kulit atau tepat dibawah kulit terutama jika timbul
diwajah.

Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses


tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu
1.
2.
3.
4.
5.
6.

organ saraf. Gejalanya bisa berupa:


Nyeri
Nyeri tekan
Teraba hangat
Pembengakakan
Kemerahan
Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya
tampak sebagai benjolan. Adapun lokasi abses antar lain ketiak,
telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah
pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis.
Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala
seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin
lebih menyebarkan infeksi keseluruh tubuh.

F. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke
jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan
setempat yang ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian
tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tindakan

medis

secepatnya

diindikasikan

ketika

terdapat

kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan

konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila abses tersebut


mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang
dapat menekan trakea. (Siregar, 2004)
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Morison (2003), Abses luka biasanya tidak
membutuhkan

penanganan

menggunakan

antibiotik.

Namun

demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi


bedah dan debridement.
Suatu abses harus

diamati

dengan

teliti

untuk

mengidentifikasi penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh


benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila
tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu
dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian
obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan

menggunakan

pembedahan

diindikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan


serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Drain
dibuat

dengan

tujuan

mengeluarkan

cairan

abses

yang

senantiasa diproduksi bakteri.


Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada areaarea yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau
dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.

Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota


gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus

aureus,

antibiotik

antistafilokokus

seperti

flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya


kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)
yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi
tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui
komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprimsulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan
hanya

dengan

pembedahan

menggunakan

jarang

merupakan

antibiotik
tindakan

tanpa
yang

drainase

efektif.

Hal

tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke


dalam abses, selain itu antibiotik tersebut seringkali tidak dapat
bekerja dalam pH yang rendah.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan

merupakan

pengumpulan

suatu

data

dari

proses

yang

berbagai

sistematis

sumber

data

dalam
untuk

mengevaluasi

dan

mengidentifikasi

status

kesehatan

klien

(Nursalam, 2001, hal.17).


Menurut Smeltzer & Bare (2001), Pada pengkajian
keperawatan,

khususnya

sistem

integumen,

kulit

bisa

memberikan sejumlah informasi mengenai status kesehatan


seseorang dan merupakan subjek untuk menderita lesi atau
terlepas. Pada pemeriksaan fisik dari ujung rambut sampai ujung
kaki, kulit merupakan hal yang menjelaskan pada seluruh
pemeriksaan

bila

bagian

tubuh

yang

spesisifik

diperiksa.

Pemeriksaan spesifik mencakup warna, turgor, suhu, kelembaban,


dan lesi atau parut. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai
berikut :
a. Riwayat Kesehatan
Hal hal yang perlu dikaji di antaranya adalah :
1) Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali,
sedangkan abses dalam seringkali sulit ditemukan.
2) Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau
terkena peluru.
3) Riwayat infeksi ( suhu tinggi ) sebelumnya yang secara cepat
menunjukkan rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa
dikeluarkan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
1) Luka terbuka atau tertutup
2) Organ / jaringan terinfeksi

3)
4)
5)
6)
c.
1)

Massa eksudat
Peradangan
Abses superficial dengan ukuran bervariasi
Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa fluktuaktif.
Pemeriksaan laboratorium dan diagnostic
Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel

darah putih.
2)
Untuk menentukan

ukuran

dan

lokasi

abses

dilakukan

pemeriksaan rontgen, USG, CT, Scan, atau MRI.


2. Diagnosa Keperawatan Dan Fokus Intervensi
a. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan agen
injury biologik.
Tujuan
:

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

diharapkan gangguan rasa nyaman nyeri teratasi.


Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan secara verbal rasa nyeri
berkurang, klien dapat rileks, klien mapu
keterampilan

relaksasi

dan

aktivitas

mendemonstrasikan
sesuai

dengan

kemampuannya, TTV dalam batas normal; TD : 120 / 80 mmHg,


Nadi : 80 x / menit, pernapasan : 20 x / menit.
Intervensi
:
1) Observasi TTV
2) Kaji lokasi, intensitas, dan lokasi nyeri.
3) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
4) Dorong menggunakan teknik manajemen relaksasi.
5) Berikan obat analgetik sesuai indikasi.
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
Hipertermi dapat teratasi.

Kriteria hasil

: Suhu tubuh dalam batas normal (36 0 C 37

C).
Intervensi
:
1) Observasi TTV, terutama suhu tubuh klien
2) Anjurkan klien untuk banyak minum, minimal 8 gelas / hari
3) Lakukan kompres hangat
4) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
c. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
0

jaringan berhubungan dengan trauma jaringan.


Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan kerusakan integritas kulit teratasi.
Kriteria hasil
: Klien memeperlihatkan integritas kulit tetap
baik, tidak ada tanda tanda infeksi, kulit elastis.
Intervensi
:
1) Observasi keadaan luka ( diameter luka, adanya pus dan darah )
2) Lakukan perawatan luka, ganti perban luka klien
3) Pertahankan linen tetap bersih dan tidak mengkerut
4) Anjurkan klien untuk mengganti bajunya minimal 1 x sehari
5) Kolaborasi dalam penggunaan obat topikal sesuai indikasi

Anda mungkin juga menyukai