Oleh :
Andik Sunaryanto
NIM.0402005114
BAB 1
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai sifat yang
unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan, tetapi disisi lain
nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya merupakan modalitas sensori
tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The International Association for the
Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi
rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.3,4
Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif
(aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).3
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi
manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme defensif, dan
membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan
derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ.2 Bila tidak teratasi dengan baik
nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek
psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur
dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.9
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang
tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan.3 Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara kronik oleh
penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman tentang patofisiologi
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita
oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan
baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik.2
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya
berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf.
Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas, dan mutu kehidupan.
BAB 2
NYERI AKUT
2.1 Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
berikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan.1,4 Berdasarkan definisi tersebut
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri)
dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).1
Sedangkan nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu
penyakit atau akibat fungsi otot atau viseral yang terganggu. Nyeri tipe ini berkaitan
dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya. Nyeri akut akan
disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju
proses penyembuhan. 1,5
2.2 Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura
parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
3
sensitivitas
dari
noradrenalin
yang
kemudian
menghasilkan
penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a.
Nyeri onkologik
b.
Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
b.
Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan gbila
penderita tidur.
c.
Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur
dan dering terjaga akibat nyeri.
Sumber
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat dan sel rusak
Asam arakidonat dan sel rusak
Aferen primer
Menimbulkan
nyeri
++
++
+++
+
bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan
kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A
delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik
nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan
reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul
proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu
ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat aferent A-delta dan C yang
berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta
mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta menghantarkan
impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel
neuron di medulla spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut
sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent
A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral
dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornua anterior medulla spinalis.
Aktifasi sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus
sistem saraf otonum simpatis dengan segala efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan
aktifasi sel-sel neuron di kornua anterior medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan
tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta
dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi
antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun
sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk
lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem
inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.
PERCEPTIO
N
MODULATION
TRANSMISSION
TRANSDUCTION
Tissue Damage
Inflammation
Sympathetic Terminals
Sensitizing SOUP
Soup
Hydrogen ion
Norepinephrine
Bradykinin
Histamine
Potassium ion
Prostaglandins
Purines
Cytokines
5-HT
Leucotrine
Nerve Growth Factor
Neuropeptides
Primary
Hyperalgesia
10
nuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat
memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di
kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang
secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius
maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta
meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak
menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.1,3,5,6
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu
dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai
sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut
menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini
menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang
kaku tetapi seperti plastik , artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan
jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini
telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari
serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu
dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang
sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron
spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus
nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang
lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas
sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan
informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti
nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi
sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu
dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal
aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini
berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu
11
dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara
fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan
informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input
nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan
ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
reseptor
NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan sebelum operasi.
Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena penelitian
menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat reseptor NMDA.
12
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi
NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler
akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan
mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak
sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi
reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini
mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri.
Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang
pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA.
Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral.
Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi
sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada
proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar
pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer
dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX 2), sedangkan untuk menekan atau
mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.
13
2.
b. Lintasan II
c. Lintasan III
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini
akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG
kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan
ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang
dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan
endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.
3.
Betha endorphin.
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor zat ini
dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia
gelatinosa.
4.
Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua dorsalis medulla sinalis
juga kaya dengan reseptor opioid.
Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan
reseptor opioid di substansia gelatinosa.
14
abdomen,
gangguan
saluran
pencernaan,
hipoventilasi).
Nyeri
juga
15
16
17
hebat.
18
No Pain
19
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang
subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan
dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai.Test
yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa the Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui permasalahan psikologis
yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk
penaggulangan nyeri. 3,4
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab dari
nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan. 3,4
21
BAB 3
PENATALAKSANAAN NYERI AKUT
3.1. Terapi Multimodal13
Nyeri akut sering dikelola dengan tidak memadai. Ini tidak seharusnya demikian. Kontrol
nyeri sering bisa diperbaiki dengan strategi sederhana, yaitu nilai nyeri, atasi dengan obat
dan teknik yang sudah ada, nilai kembali nyeri setelah terapi dan bersiap untuk
memodifikasi pengobatan jika perlu. Analgesia yang baik mengurangi komplikasi pasca
bedah seperti infeksi paru, mual dan muntah, DVT ,dan ileus.
Penyebabnya biasanya lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya
biasanya lebih mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring dengan laju
proses penyembuhan jaringan yang sakit. Semua obat analgetika efektif untuk
menanggulangi nyeri akut ini. Diagnosa penyebab nyeri akut harus ditegakkan lebih
dahulu. Bersamaan dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut, keluhan nyeri penderita
juga diatasi. Intinya, diagnosa penyebab ditegakkan, usaha mengatasi nyeri sejalan dengan
usaha mengatasi penyebabnya.1,2,3
Setelah diagnosis ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu
berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan sebagai
berikut13 :
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan
posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b.
Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasiern, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas Invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d.
Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan terencana, khususnya bagi merreka yang
mengalami depresi dan berpikir ke arah bunuh diri
e. Modalitas Farmakoterapi
Mengikuti WHO Three-Step Analgesic Ladder
22
Bisakan anestesi lokal mengatasi nyeri lebih baik, atau digunakan dalam kombinasi
dengan analgesik sistemik?
Bisakan digunakan metode lain untuk membantu meredakan nyeri, misal pemasangan
bidai untuk fraktur, pembalut luka bakar.
Step 3
Step 2
Persisting Pain
Non
Non opioid
opioid +/+/- Adjuvant
Adjuvant
Step 1
Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID atau
COX2 spesific inhibitors.
2.
Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obatobat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
23
3.
Tahap
ketiga,
dengan
memberikan
ditambah
kuat.
Penanganan
nyeri
berdasarkan
patofisiologi
nyeri paada proses transduksi dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non
steroid, pada transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan pada
persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol
24
NYERI RINGAN
Farmakoterapi Tingkat I
Nama Obat
Dosis
Jadwal
Aspirin
4 jam sekali
Asetaminofen
325-650 mg
Farmakoterapi Tingkat II
Ibuprofen
200 mg
Sodium
Naproksen
Awalan 440 mg
Selanjutnya 220 mg
Ketoprofen
12,5 mg
NYERI SEDANG
Farmakoterapi
Farmakoterapi Tingkat
Tingkat III
III
Nama
Dosis
Nama Obat
Obat
Dosis
Asetaminofen
Asetaminofen
Ibuprofen
Ibuprofen
Penyesuaian
Penyesuaian dosis.
dosis.
Misal:
Misal: Aspirin
Aspirin 1000
1000 mg
mg
Jadwal
Jadwal
4-6
4-6 jam
jam sekali
sekali
4-6
4-6 jam
jam sekali
sekali
Sodium
Sodium Naproksen
Naproksen
8-12
8-12 jam
jam sekali
sekali
Ketoprofen
Ketoprofen
4-6
4-6 jam
jam sekali
sekali
Farmakoterapi
Farmakoterapi Tingkat
Tingkat IV
IV
Jika
Jika farmakoterapi
farmakoterapi tingkat
tingkat III
III gagal,
gagal, OAINS
OAINS yang
yang dipilih
dipilih dapat
dapat diganti.
diganti. Pilihan
Pilihan OAINS
OAINS ke-2
ke-2 sebaiknya
sebaiknya
dari
dari kelompok
kelompok kimia
kimia yang
yang berbeda
berbeda (Lihat
(Lihat tabel
tabel analgesik
analgesik non-opioid
non-opioid yang
yang sering
sering digunakan)
digunakan)
Farmakoterapi
Farmakoterapi Tingkat
Tingkat V
V
Opioid
Opioid (misal:codein)
(misal:codein)
25
NYERI SEDANG
Farmakoterapi Tingkat VI
Nama Obat
Dosis
Tramadol
50-100 mg
Jadwal
4-6 jam
NYERI BERAT
Farmakoterapi Tingkat VII
Nama Obat
Indikasi
Mekanisme
Morfin
Agonis parsial
Pada dasarnya ada 3 kelompok obat yang mempunyai efek analgetika yang dapat
digunakan untuk menanggulangi nyeri akut.
1. Obat analgetika nonnarkotika.
Termasuk disini adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)
Banyak jenis obat ini. Manfaat dan efek samping obat-obat ini wajib dipahami sebelum
memberikan obat ini pada penderita. Obat antiinflamasi nonsteroid mempunyai titik
tangkap kerja dengan mencegah kerja ensim siklooksigenase untuk mensintesa
prostaglandin. Prostaglandin yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini.
Obat ini efektif untuk mengatasi nyeri akut dengan intensitas ringan sampai sedang.
Obat ini tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara oral (tablet, kapsul,
sirup), dalam kemasan suntik. Kemasan suntik dapat diberikan secara intra muskuler,
dan intravena. Pemberian intravena dapat secara bolus atau infus. Obat ini juga tersedia
dalam kemasan yang dapat diberikan secara supositoria
Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Efektif untuk bedah
mulut dan bedah ortopedi minor. Mengurangi kebutuhan akan opioid setelah bedah
26
mayor. Obat-obat AINS memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi
dua obat AINS yang berbeda pada waktu bersamaan.
Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian oral
lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan bisa
menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.
Kontraindikasi AINS
Hiperkalemia
Transplantasi ginjal
Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat beta,
cyclosporin, atau metoreksat.
Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal
atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
Ibuprofen aman dan murah. Obat-obat kerja lama (misal piroksikam) cenderung
27
(COX-2) misal meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap
sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping
daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin)
yang diberikan bersama AINS bisa melindungi lambung dari efek samping.
.
2. Obat analgetika narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid yang banyak terdapat
didaerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Terdapat 5 macam reseptor opioid, Mu, Kappa, Sigma,
Delta dan Epsilon.
Obat analgetika narkotika yang digunakan dapat berupa preparat
alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan efek
depresi pusat nafas bila dosis yang diberikan relatif tinggi.
Efek samping yang tidak tergantung dosis, yang juga dapat terjadi adalah mual
sampai muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat
diikuti oleh efek toleransi dan ketergantungan.
Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan untuk pemberian secara suntik, baik
intra muskuler maupun intravena.
Pemberian intravena, dapat secara bolus atau infus. Dapat diberikan secara epidural
atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Preparat opioid
Fentanyl juga tersedia dalam kemasan yang dapat diberikan secara intranasal atau
dengan patch dikulit. Sudah tersedia dalam bentuk tablet (morfin tablet). Juga
tersedia dalam kemasan supositoria.
Penggunaan obat narkotik ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan
ketat, serta harus ada pelaporan yang rinci tentang penggunaan obat ini ke instansi
pengawas penggunaan obat-obat narkotika.
28
Mulai
Skor nyeri
2 atau 3
Tidak
Observasi rutin
Ya
Skor
sedasi
0 atau1
Tidak
Ya
Tunggu
10 menit
Frekuensi
napas
>8/menit?
Tidak
Ya
Tekanan darah
sistolik
>100 mmHg
Tidak
Ya
Sudah berlangsung
lebih dari 60 menit
sejak analgesia terakhir
Tidak
Ya
Berikan dosis lanjut im
dari analgesia sesuai resep
Gambar 3.3. Algoritme untuk pemberian opioid im. Skor nyeri: 0, tidak ada nyeri; 1 nyeri
ringan;2, nyeri sedang; 3, nyeri berat. Skor sedasi: 0, bangun; 1, ngantuk
kadang-kadang; 2 kebanyakan tertidur; 3, sukar dibangunkan. Morfin:berat
40-65 kg: 7,5 mg; berat 65- 100 kg: 10 mg : Naloxone:200 g iv, sesuai
kebutuhan.
Dengan ditemukannya reseptor opioid didaerah kornua dorsalis
medulla
spinalis di tahun 1970 an, obat ini dapat diberikan secara injeksi kedalam ruang
epidural atau kedalam ruang intratekal. Bila cara ini dikerjakan, dosis obat yang
digunakan menjadi sangat kecil, menghasilkan efek analgesia yang sangat baik dan
durasi analgesia yang sangat lama/panjang.
Pemakaian obat analgetika narkotika secara epidural atau intratekal, dapat
dikombinasi dengan obat-obat Alfa-2 agonist, antikolinesterase atau adrenalin.
29
Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat
serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat
kecil.
3. Kelompok obat anestesia lokal.
Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada
saraf tepi tersebut. Obat ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah
perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan
plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau interatekal.
Tabel 3.2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal
Obat
Maksimum
Maksimum
untuk infiltrasi
untuk anestesi
Lidocaine
lokal
3 mg/kg
pleksus
4 mg/kg
(lignocaine)
Lidocaine
5 mg/kg
7 mg/kg
adrenalin (epinefrin)
Bupivacaine
Bupivacaine dengan
1,5 mg/kg
2 mg/kg
2 mg/kg
3,5 mg/kg
adrenalin(epinefrin)
Prilocaine
Prilocaine dengan
5 mg/kg
5 mg/kg
7 mg/kg
8 mg/kg
(lignocaine) dengan
adrenalin(epinefrin)
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia
yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal
hanyalah obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia
lokal tidak boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Memberikan analgesia
tambahan untuk semua jenis operasi. Bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh
terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir
prosedur akan menghasilkan analgesia singkat. Tidak ada alasan untuk tidak
menggunakannya. Blok saraf, pleksus atau regional bisa dikerjakan untuk berlangsung
beberapa jam atau hari jika digunakan teknik kateter.
Komplikasi bisa terjadi:
30
31
Inhibisi
desenden
Otak
Otak
T
h
/
NE/5HT
Lesi
Reseptor
opioid
Medulla
Medulla
Spinalis
Spinalis
Sensitisasi perifer/
ion Na
Th
/
GABAPENTIN
Karbamasepin
Okskarbasepin
PHENYTOIN
Mexiletine
Lidocain, dll
TCA
Tramadol
Opioid
dll
Sensitisasi
sentral
(NMDA,
Calcium)
Th/
GABAPENTIN
Okskarbasepin
Lamotrigin
Ketamin
Dextromethorphan
32
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena
awitan dari sensari nyeri diketahui.
3.5. PCA (patient controlled administration)
Patient controlled Administration (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular
dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih
dari 24 jam.1,6 PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi
intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien.6
Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien
mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia
dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada :
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun
lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien
dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih
dalam batasan terapi).6 Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan
individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada
infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar
opioid dalam infus
33
Memberikan pelayanan untuk masalah yang terkait dengan manajemen nyeri akut
34
BAB 3
PENUTUP
Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang sampai
saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan manifestasi dari
suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut merupakan sensibel nyeri
yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak
dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Beberapa
prinsip dalam diagnosis dan penatalaksanaan nyeri sebagai berikut :
Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.
Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
seseorang sedang berpura-pura nyeri.
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.
Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,
tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah cukup dan sering cukup
Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)
Diagnostik nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri
35
terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan menanggulangi nyeri yang diderita
oleh penderita. Semua obat analgetika efektif untuk menanggulangi nyeri akut ini.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonicas
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. Melati, Endang., Pediatric Pain Management In Trauma,
Trauma, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,
Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,
Makasar, 2002.
12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 3337.
15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420
37