Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit
ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.(1)
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.(2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut.(1)
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadangkadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia, difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk
dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal
dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya

Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian


menurun secara drastis.(1)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1. Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.(1)
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri nonmotil, tidak berkapsul,
berbentuk, basil Gram-positif. Strain toksigenik adalah lisogenik untuk salah satu
famili corynebacterium yang membawa gen struktural untuk toksin difteri.
Corynebacterium diphtheriae diklasifikasikan menjadi biotipe (mitis, intermedius,
dan gravis) menurut morfologi koloni. Kebanyakan strain membutuhkan asam
nikotinat dan pantotenat untuk pertumbuhan, beberapa juga memerlukan tiamin..
Untuk produksi yang optimal dari toksin difteri, medianya harus dilengkapi

dengan asam amino. Pada dasarnya, hanya strain toksigenik dapat menyebabkan
penyakit yang parah. organisme ini membutuhkan media selektif yang
mengandung tellurite. Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe
garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2
fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi
oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.(1,3)
2.2. Epidemiologi
Difteri tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteri. Demikian pula
terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%./ Di ruang perawatan
penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo dalam tahun
1982-1986 rata-rata 200-400 kasus difteri setiap tahun dengan angka kematian

sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahunh tampak penurunan jumlah pasien
dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengasn angka kematian 3,08%.(1)
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin, atau

berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan

wahana penularan (vehicle of transmission). Difteri kulit, meskipun jarang


dibahas. Memegang peranan penting secara epidemiologik.(1)
2.3. Patogenesis dan patofisiologis
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada
jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang
telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.(1,7)
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida


yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.(1,7)
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan
edematous dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bisa
terjadi dengan perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus.
Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh
pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi
dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah
nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan.
Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot

dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup, terjadi degenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak
pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadangkadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. Mukosa
saluran pernapasan bagian atas adalah tempat infreksi yang paling pada anak-anak
tetapi merupakan tempat yang jarang bagi lokalisasi difteri pada pasien dewasa.
Infeksi hidung bagian anterior akan bermanifestasi sekret serosanguinus atau
seropurulent pada hidung, yang sering dikaitkan dengan patch keputihan halus
pada membran mukosa septum. Lesi yang ada dapat memicu erosi hidung bagian
luar dan bibir atas, tetapi gejala biasanya ringan.(3)
2.4. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik
serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteri mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteri.(3,7)
Difteri tonsil dan faring merupakan difteri yang paling umum; Gejala
dimulai dengan sakit tenggorokan, biasanya dengan tidak adanya keluhan
sistemik. Demam, jika terjadi, biasanya lebih rendah dari 102 F, dan malaise,

disfagia, dan sakit kepala tidak terlalu yang menonjol. Pada individu dengan
infeksi difteri yang tidak mempunyai kekebalan, pembentukan membran dimulai
setelah 2 hari ke 5 hari masa inkubasi dan tumbuh melibatkan dinding faring,
tonsil, uvula, dan palatum molle. Membran dapat meluas ke laring dan trakea,
menyebabkan obstruksi jalan napas. Jaringan di bawah dari tenggorokan dan
leher menjadi edema, dan akhirnya mengakibatkan limfadenopati.(4)
2.4.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, fokus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Setelah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39C.(1)
2.4.1.1. Difteri Hidung
Difteri hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal hidung luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.(1,4)

2.4.1.2 Difteri Tonsil Faring

Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna
putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran
bull neck. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.(1,4)
2.4.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteri
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor

yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila
difteri laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.(1,4)
2.4.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa ulkus dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit.(1)
2.4.3. Difteri Vulvovaginsal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta
dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif).

10

manifestasi klinis, ulserasi, pembentukan membrane dan perdarahan submukosa


membantu membedakan difteri dari penyebab bakteri dan virus lain.(1)
2.5. Diagnosis
Dalam penanganan penyakit difteri, gambaran klinik merupakan pegangan utama
dalaqm menegakkan diagnosis karena setiap keterlambatan pengobatan akan
menimbulkan resiko pada penderita.(8) Diagnosis dini difteri sangat penting karena
keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. (3)
Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu
hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Preparat apusan langsung dan
biakan (isolasi kuman difteri) dan bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok
(naso pharyngeal swab) adalah pemeriksaan yang rutin dilakukan.(5)
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes Elek).(1,7)
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk
difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. (4)

11

2.6. Diagnosis Banding


Difteri Hidung, penyakit yang menyerupai difteriahidung ialah rhinorrhea
(common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues
congenital). Difteri faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut
yang disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.(1)
Difteri Laring, gejala difteri laring menyerupai laryngitis, dapat
menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic
edema pada laring, dan benda asing dalam laring. Difteri Kulit, perlu dibedakan
dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau
stafilokokus.(1)
2.7. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam infeksi
tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane atau adema
jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot jantung, syaraf, dan
ginjal. (3)
Infeksi tumpangan pada anak dengan difteri seringkali mempengaruhi
gejala kliniknya sehingga menimbulkan permasalahan diagnosis maupun
pengobatan. Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokok dan stafilokok.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi tumpangan

12

dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih
waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.(3)
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum
mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompokkelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit
adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain
nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang
diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan
tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.(5)
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut pada
1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi tanpa demam lazim dan dapat
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom.
Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada

13

elektrokardiogram relative merupakan tanda yang lazim. Disaritmia jantung


tunggal atau disaritmia progresif dapat terjadi, seperti blockade jantung derajat I,II
dan III, dissosiasi atrioventrikule, dan takikardi ventrikuler. Gagal jantung
kongestif klinis mungkin mulai timbul secara tersembunyi atau akut. Kenaikan
kadar aminotransferase aspartat serum sangat parallel dengan keparahan
mionekrosis. Disaritmia berat meningkatkan resiko kematian. Penemuan
histologik pada otopsi pasien yang menderita difteri dapat menunjukkan sedikit
mionekrosis atau difus dengan respons radang akut. Yang bertahan hidup dari
disaritmia yang lebih berat dapat mempunyai defek gangguan irama yang
permanen; sedangkan kasus yang lain, penyembuhan dari miokardiopati toksik
biasanya sempurna.(5)
Neuropati toksik, komplikasi neurologis paralel dengan luasnya infeksi primer
dan pada mulainya yang multifasik. Secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai
radang orofaring, sering terjadi hipestesia dan paralisis lokal palatum molle.
Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai,
menyebabkan suara kualitas hidung, sukar menelan, dan resiko kematian karena
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya
1hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal
pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan

14

serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma


dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung.(1)
2.8. Pengobatan Dan Penatalaksanaan.
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.(1)
A.

Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.(1)
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang

15

dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.(1)
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri Hidung 20.000 Intramuscular
Difteri Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteri Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteri Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak

16

tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti


tertera pada tabel diatas. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis
atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness)(1)
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah
penularan organisme pada kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan
tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau
eritromisin;

eritromisin

sedikit

lebih

unggul

daripada

penisilin

untuk

pemberantasan pengidap nasofaring.(1)


Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari
atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi
dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.

17

Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 710 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak
24 jam sesudah selesai terapi.(8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan
bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.(1)
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.(1)
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
yang negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau

18

eritromisin 40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan


tonsilektomi/ edenoidektomi.(4)
Pengobatan Terhadap Kontak Difteria
Biakan
(-)

Uji Schick
(-)

Tindakan
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi

(+)

(-)

dasar diberikan booster toksoid difteria


Pengobatan karier : Penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari

(+)
(-)

(+)

selama 1 minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari

(+)

eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI


Toksoid difteria ( imunisasi aktif), sesuaikan dengan

oral/suntikan

atau

status imunisasi
2.9. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum.(8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.

19

Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian
pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis
prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis >
25.000/

prognosisnya buruk. Mortalitas tertinggi pada difteri faring-

laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)(1).


Di rumah sakit Amerika Serikat dilaporkan (tanpa bukti postmortem dari
myocarditis) terdapat tiga kasus meninggal karena miokarditis difteri dan tiga
sebagai akibat dari komplikasi pernapasan. Dari kasus tersebut, tidak ada anak
yang meninggal telah diimunisasi terhadap difteri. Dari empat pasien didapatkan
bukti berupa kelainan elektrokardiografi dan klinis miokarditis, dan tiga
diantaranya meninggal. Selain itu, 27 anak-anak menunjukkan kelainan EKG
YANG signifikan.. Tidak ada pasien yang memiliki bukti klinis atau patologis
myocarditis tanpa adanya kelainan elektrokardiografi. kelainan EKG tersering
seperti bundle-cabang blok, AV disosiasi, dan blok jantung lengkap diagnostik
miokarditis pada pasien dengan difteri.(6)
2.10. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat

20

imunisasi difteri lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan
seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.(1,8)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.(1)

Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan.
Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12

21

bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali
kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8
minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang
diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur
4 tahun.(4)

BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam

22

mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai


tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman
gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan
memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari,
dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9C.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri
tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri
konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri
tonsil faring.
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah
isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam
(kultur).
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C.
diphtheriae dengan antibiotik. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif
untuk kebanyakan strain C. diphtheriae.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi
pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian

23

imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan
pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. RampenganTH dan Laurentz I. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak;
Difteri, 1-18.

24

2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
3. Murphy. J. 2008. Pathological dan etiology of diphteriae disease.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books?NBK7971/ Diakses pada 13 April
2015.
4. Cem

Demirci.2014.

Pediatric

Diphteriae

Clinical

Presentation,

http://emedicine.medscape.com/article/963334-clinical Diakses pada 3


April 2015.
5. Bagian Ilmu Kesehatan Anak. 2010. Difteri. Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Makassar: SMF Anak RS.Dr. Wahidin Sudirohusodo.
2009. P.11-18.
6. Morgan

B.2014.

Cardiac

Complication

of

diphteriae,

http://pediatrics.aappublications.org/content/32/4/549.full.pdf.

Diakses

pada 3 April 2015.


7. Arifjanto M,2010. Indonesian journal of tropical and infectious disease.
.itd.unair.ac.id/index.php/IJTID/.../27/18. Diakses tgl 3 April 2015
8. Meyer G.2010. Active immunization induces toxicity of diphtheria toxin
in diphtheria resistant mice Implications for neuroinflammatory
models.

http://www.molevol.de/publications/el-haddad1.pdf

tanggal 3 April 2015.

25

Diakses

Anda mungkin juga menyukai