Difteri Anak
Difteri Anak
PENDAHULUAN.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit
ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.(1)
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.(2)
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut.(1)
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadangkadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia, difteri
banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk
dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal
dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada
golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1. Etiologi
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphteheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.(1)
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri nonmotil, tidak berkapsul,
berbentuk, basil Gram-positif. Strain toksigenik adalah lisogenik untuk salah satu
famili corynebacterium yang membawa gen struktural untuk toksin difteri.
Corynebacterium diphtheriae diklasifikasikan menjadi biotipe (mitis, intermedius,
dan gravis) menurut morfologi koloni. Kebanyakan strain membutuhkan asam
nikotinat dan pantotenat untuk pertumbuhan, beberapa juga memerlukan tiamin..
Untuk produksi yang optimal dari toksin difteri, medianya harus dilengkapi
dengan asam amino. Pada dasarnya, hanya strain toksigenik dapat menyebabkan
penyakit yang parah. organisme ini membutuhkan media selektif yang
mengandung tellurite. Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe
garvis, intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan
berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2
fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi
oleh adanya bakteriofag, toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang
terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.(1,3)
2.2. Epidemiologi
Difteri tersebar luas di seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia II, setelah penggunaan toksoid difteri. Demikian pula
terdapat penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%./ Di ruang perawatan
penyakit menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo dalam tahun
1982-1986 rata-rata 200-400 kasus difteri setiap tahun dengan angka kematian
sekitar 4-7%, akan tetapi dari tahun ke tahunh tampak penurunan jumlah pasien
dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus dengasn angka kematian 3,08%.(1)
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin, atau
dan system konduksi,. Apabila pasien tetap hidup, terjadi degenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak
pada selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadangkadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. Mukosa
saluran pernapasan bagian atas adalah tempat infreksi yang paling pada anak-anak
tetapi merupakan tempat yang jarang bagi lokalisasi difteri pada pasien dewasa.
Infeksi hidung bagian anterior akan bermanifestasi sekret serosanguinus atau
seropurulent pada hidung, yang sering dikaitkan dengan patch keputihan halus
pada membran mukosa septum. Lesi yang ada dapat memicu erosi hidung bagian
luar dan bibir atas, tetapi gejala biasanya ringan.(3)
2.4. Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik
serta fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteri mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk berobat
setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9C
dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteri.(3,7)
Difteri tonsil dan faring merupakan difteri yang paling umum; Gejala
dimulai dengan sakit tenggorokan, biasanya dengan tidak adanya keluhan
sistemik. Demam, jika terjadi, biasanya lebih rendah dari 102 F, dan malaise,
disfagia, dan sakit kepala tidak terlalu yang menonjol. Pada individu dengan
infeksi difteri yang tidak mempunyai kekebalan, pembentukan membran dimulai
setelah 2 hari ke 5 hari masa inkubasi dan tumbuh melibatkan dinding faring,
tonsil, uvula, dan palatum molle. Membran dapat meluas ke laring dan trakea,
menyebabkan obstruksi jalan napas. Jaringan di bawah dari tenggorokan dan
leher menjadi edema, dan akhirnya mengakibatkan limfadenopati.(4)
2.4.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan
pada tahun 1954, fokus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan
hidung dan laring dua tempat berikutnya yang paling lazim. Setelah sekitar masa
inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang lokal. Demam
jarang lebih tinggi dari 39C.(1)
2.4.1.1. Difteri Hidung
Difteri hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal hidung luar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata
sehingga diagnosis lambat dibuat.(1,4)
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang
umum, tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau
nyeri kepala. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna
putih kelabu, injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil
unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula,
palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan
lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran
bull neck. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi toksin dan luas
membrane. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.
Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1
minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus
ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna.(1,4)
2.4.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita
dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan
penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pada difteri
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor
yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi
pelepasan membran yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila
difteri laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.(1,4)
2.4.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa ulkus dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada
dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi
nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh,
superficial, ektimik dengan membrane coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit
tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang mendasari,
luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi sekunder.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema,
dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran
pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian
kecil penderita dengan difteri kulit.(1)
2.4.3. Difteri Vulvovaginsal, Konjungtiva, dan Telinga
C. diphtheriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta
dan ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif).
10
11
12
dengan streptokok. Mengingat adanya infeksi tumpangan ini, kita harus lebih
waspada dalam mendiagnosis dan mengobati difteri pada anak.(3)
Obstruksi jalan nafas, disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh
membrane difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah
submandibular dan servical. Kasus septikemi yang jarang dan secara umum
mematikan telah diuraikan. Kasus endokarditis sporadik terjadi, dan kelompokkelompok pengguna obat intravena telah dilaporkan di beberapa negara; kulit
adalah tempat masuk yang mungkin, dan hampir semua strain adalah
nontoksigenik. Kasus arthritis piogenik sporadic terutama karena strain
nontoksigenik, dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak. Difteroid yang
diisolasi dari tempat-tempat tubuh steril tidak boleh dianggap sebagai kontaminan
tanpa pertimbangan wujud klinis yang teliti.(5)
Miokardiopati toksik. Terjadi pada sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan
menyebabkan 50-60% kematian. Tanda-tanda miokarditis yang tidak kentara
dapat terdeteksi pada kebanyakan penderita, terutama pada anak yang lebih tua,
tetapi resiko komplikasi yang berarti berkorelasi secara langsung dengan luasnya
dan keparahan penyakit orofaring lokal eksudatif dan penundaan pemberian
antitoksin. Bukti adanya toksisitas jantung khas terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3
sakit ketika penyakit faring membaik tetapi dapat muncul secara akut pada
1minggu bila berkemungkinan hasil akhir meninggal, atau secara tersembunyi
lambat sampai sakit minggu ke-6. Takikardi tanpa demam lazim dan dapat
merupakan bukti efektif toksisitas jantung atau disfungsi system saraf otonom.
Pemanjangan interval PR dan perubahan pada gelombang ST-T pada
13
14
Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya
komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap
minggu selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.(1)
B. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
15
dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa
meningkat sampai 30%.(1)
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara pemberian
Difteri Hidung 20.000 Intramuscular
Difteri Tonsil 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteri Faring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Difteri Laring 40.000 Intramuscular /
Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 Intravena
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 Intravena
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu,
oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus
disediakan larutan adrenalin a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara intrakutan.
Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata
yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak
gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit/mata positif,
ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas
tersebut diatas negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
16
eritromisin
sedikit
lebih
unggul
daripada
penisilin
untuk
17
Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Bebrapa penderita dengan difteri kulit diobati 710 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak
24 jam sesudah selesai terapi.(8)
3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteria yang disertai dengan
gejala obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan
bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.(1)
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
C. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.(1)
D. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick
yang negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
18
Uji Schick
(-)
Tindakan
Bebas isolasi : anak yang telah mendapat imunisasi
(+)
(-)
(+)
(-)
(+)
selama 1 minggu
Penisilin 100 mg/kgBB/hari
(+)
oral/suntikan
atau
status imunisasi
2.9. Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum.(8)
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada
sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian
tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut
Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
(2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
19
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria,
pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian
pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis
prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis >
25.000/
20
imunisasi difteri lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian memungkinkan
seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita
difteri ringan.(1,8)
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin,
kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar
imunogenitas. Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan
batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu
DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL;
preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.(1)
Rencana (Jadwal) :
Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin
mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan.
Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12
21
bulan sesudah dosis ke tiga. Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali
kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL
yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8
minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus
mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6
tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama
adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang
diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur
4 tahun.(4)
BAB III
KESIMPULAN
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi dengan segera,
oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam
22
23
imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan
pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. RampenganTH dan Laurentz I. 1992. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak;
Difteri, 1-18.
24
2. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
3. Murphy. J. 2008. Pathological dan etiology of diphteriae disease.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books?NBK7971/ Diakses pada 13 April
2015.
4. Cem
Demirci.2014.
Pediatric
Diphteriae
Clinical
Presentation,
B.2014.
Cardiac
Complication
of
diphteriae,
http://pediatrics.aappublications.org/content/32/4/549.full.pdf.
Diakses
http://www.molevol.de/publications/el-haddad1.pdf
25
Diakses