Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM PERJANJIAN SYARIAH


Dosen Pengampu: Dr. Suwandi, M.H.

Disusun Oleh:
Bagus Salim Mugofar

( 14220184)

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai agama rahmat, sejak diturunkan di tengahtengah umat, Islam telah mengatur hukum-hukum yang
berhubungan dengan interaksi sosial

atau muamalah.

Peran hukum muamalah ini menjadi penting jika melihat


fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Karena manusia
sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari hubungan
dan interaksi antara individu satu dengan individu yang
lain, mereka akan saling membutuhkan satu sama lainnya
dalam kehidupan ini, sejak mulai dilahirkan hingga sampai
meninggal dunia. Naluri interaksi pada diri manusia itu
telah diberikan Allah sejak lahir, karena dengan itulah
manusia dapat bertahan, berkembang dan memenuhi
kebutuhan dirinya, baik kebutuhan jasmani misalnya:
sandang, pangan, papan maupun kebutuhan rohani.
Di antara perintah muamalah dalam Islam adalah
anjuran kepada umatnya supaya hidup saling tolong
menolong antara manusia satu dengan yang lain. Orang
kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus
menolong yang tidak
dalam

hidup

mampu serta

bermasyarakat,

bantu-membantu

sebagaimana

ditegaskan

Allah dalam surat al-Maidah ayat 2: dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Banyak cara dan bentuk bagaimana manusia dapat
menolong antar sesamanya, di antaranya adalah dengan
jual beli atau pembelian dan pinjaman atau utang-piutang.

Dalam masalah pinjaman dan utang piutang, hukum Islam


juga telah mengatur sedemikian rupa, seperti

menjaga

kepentingan kreditur dan debitur, agar jangan sampai


diantara keduanya mendapatkan kerugian, ataupun saling
merugikan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam
utang-piutang, hukum Islam memperbolehkan kreditur
(murtahin) meminta barang (marhun) dari debitur (rahin)
sebagai jaminan atas utangnya (rahn), sehingga apabila
debitur itu tidak mampu melunasi hutangnya maka barang
jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam
hukum Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.
Gadai atau rahn bukan hanya ada di masa sekarang,
tapi telah ada pada masa Rasulullah, bahkan Rasulullah
pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang
yahudi, dan Rasulullah menggadaikan sebuah baju besi
kepadanya.

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

rahn

telah

mempunyai dasar hukum yang bukan hanya berasal dari


hadits

nabi

tetapi

juga

ada

dalil

al

Quran

yang

mendasarinya. Untuk lebih jelasnya tentang gadai akan


kami bahas pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dan konsep Gadai dalam
Islam?
2. Secara historis seperti apa gadai pada masa
Rasulullah SAW?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dan konsep Gadai
dalam Islam.
2. Untuk mengetahui secara historis seperti apa gadai
pada masa Rasulullah SAW.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Gadai
Menurut bahasa, gadai

berarti al tsubut dan al habs

yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan


bahwa al rahn adalah terkurung atau terjerat.1
Menurut terminologi syara, yang dimaksud dengan rahn
adalah:

Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat

dijadikan

sebagai

pembayaran

dari

barang

tersebut.2
Ulama fiqih mempunyai pendapat dalam mendefenisikan
gadai;
1. Menurut ulama syafiiyah
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat

dijadikan

pembayar

ketika

berhalangan

dalam

membayar utang.
2. Menurut ulama hanabilah
Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar
harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tak
mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman.

1 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,


hlm. 105
2 Rachmat syafeI, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm.
159

Jadi dapat disimpulkan bahwa rahn atau gadai adalah


menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang tersebut memiliki
nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutangnya.

B. Landasan Syariah Tentang Gadai


Akad gadai diperbolehkan oleh syara dengan berbagai
dalil dari al quran maupun hadits Nabi Saw, begitu juga
dengan ijma ulama. Diantaranya adalah firman allah dalam
surah al Baqarah ayat 283 dan 282:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan

amanatnya

(hutangnya)

dan

hendaklah

ia

bertakwa kepada Allah Tuhannya.


Barang tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak
percaya mempercayai.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar.
Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau
sewa menyewa dan sebagainya. Berikutnya ada dalil juga dari
Hadits Nabi saw:
Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw pernah membeli
makanan dari orang yahudi dengan harga yang dihutang,
sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi menggadaikan
baju besinya (Hr. Bukhari & Muslim)3
C. Rukun Dan Syarat Gadai

3 Syafii Jafri, Fiqih Muamalah, Suska Press, Pekanbaru, 2008, hal 74

Rukun akad rahn atau gadai terdiri atas Rahin (orang yang
menyerahkan

barang),

Murtahin

(penerima

barang),

Marhun/Rahn (barang yang digadaikan), dan Marhun Bih


(hutang), serta Sighat (ijab qabul). Menurut Hanafiyah, rukun
rahn hanya terdiri dari ijab dan qabul, rukun selebihnya
merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.4
Prof.

Dr.

Rachmat

Syafei

dalam

bukunya

Fiqih

Muamalah menyatakan bahwa rahn mempunyai empat unsur,


yaitu:
1. Rahin (orang yang menyerahkan barang)
2. Al murtahin (penerima barang)
3. Al marhun (barang yang digadaikan)
4. Al marhun bih (hutang)
Diantara syarat-syarat rahn yaitu sebagai berikut:5
1. Persyaratan Aqid (orang yang berakad)
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi
kriteria ahliyah6. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah
dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam hal jual beli
dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang
mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum Baligh.
Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang
4 Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2008, hlm.263
5 Rachmat syafei, fiqih muamalah, pustaka setia, bandung, 2000,
hlm.162-164
6 Menurut ulama Syafi'iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk
jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus
baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang
yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.

orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan


mudharat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat
dipercaya.
2. Syarat Sighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam
rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan
sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai
syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut

ulama. selain Hanafiyah, syarat

dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya


adalah sebagai berikut.
a. Ulama Syafi'iyah berpendapat .bahwa syarat
dalam rahn ada tiga:
1) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar
murtahin membayar sehingga jaminan tidak
disita.
2)

Mensyaratkan

sesuatu

yang

tidak

bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan


yang dijadikan jaminannya diberi makanan
tertentu.

Syarat

seperti

itu

batal,

tetapi

akadnya sah.
3)

Syarat

yang

merusak

akad,

seperti

mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan


murtahin
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn
terbagi dua, yaitu rahn shahih dan rahn fasid. Rahn
fasid adalah rahn yang didalamnya mengandung
persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti

mensyaratkan

barang

harus

berada

dibawah

tanggung jawab rahin.


c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat
ulama malikiyah di atas, yakni rahn terbagi dua,
shahih dan fasid. Rahn shahih adalah rahn yang
mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan
kebutuhan.

3. Syarat Marhun Bih


Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn.
Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaltu:
a. Marhun

bih

hendaklah

barang

yang

wajib

diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih
hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada
orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang
ataupun berbentuk benda.
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhum bih tidak dapat dibayarkan, rahn
menjadi tidak sah sebab menyalahi maksud dan
tujuan dari disyariatkannya rahn.

c. Hak atas marhun bih harus jelas


Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua
marhun bih dijelaskan utang mana menjadi rahin.
Ulama Hanabilah dan Syafiiyah memberikan tiga syarat
bagi marhum bih:

1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.


2) Utang harus lazim pada waktu akad.
3) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.
4. Syarat Marhun
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh
rahin. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun
sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga
barang

tersebut

dapat

dijual

untuk

memenuhi

hak

murtahin.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a.

Dapat diperjualbelikan

b.

Bermanfaat

c.

Jelas

d.

Milik rahim

e.

Bisa diserahkan

f.

Tidak bersatu dengan harta lain

g.

Dipegang (dikuasai) oleh rahin

h.

Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.


Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan

syarat utama dalam akad rahn, dan akan dikatakan sah jika
memenuhi kriteria sebagai berikut. Serah terima dilakukan
berdasarkan izin dari rahin, jika tidak mendapatkan izin, maka
serah terima tidak dikatakan sah. Ketika serah terima dilakukan,
rahin dan murtahin haruslah memiliki ahliyah.

Ketika akad rahn telah disepakati antara rahin dan


murtahin, dan telah terjadi serah terima marhun, terdapat
beberapa konsekuensi hukum yang melingkupinya.
Korelasi hutang dengan marhun (barang jaminan). Ketika
suatu barang dijadikan sebagai jaminan atas transaksi hutang
yang dilakukan, maka marhun akan senantiasa terkait dengan
hutang yang ada. Artinya, marhun akan tetap ditahan sepanjang
hutang yang ada belum terbayar. Murtahin memiliki hak untuk
menahan

marhun,

hingga

rahin

melunasi

hutang

yang

ditanggungnya. Rahin tidak memiliki hak untuk menarik marhun


kembali, yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada,
sehingga telah terlunasi.
Ketika murtahin menahan marhun, maka la berkewajiban
untuk menjaganya sebagaimana ia menjaga harta kekayaan
pribadinya. Penjagaan itu bisa dilakukan oleh diri pribadinya,
isteri, anak atau pembantu yang telah lama tinggal bersamanya.
Jika marhun diserahkan kepada orang lain, dan terjadi kerusakan,
maka ia berkewajiban untuk menggantinya.
Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun,
menjadi tanggung jawab rahin sebagai pemilik barang. Akan
tetapi, ulama berbeda pendapat tentang biaya yang wajib
ditanggung oleh rahin. Hanafiyah mengatakan, biaya yang
terkait

langsung

dengan

kemaslahatan

marhun,

menjadi

tanggung jawab rahin, karena la adalah pemiliknya. Sedangkan


biaya yang dikeluarkan untuk menjaga marhun dari kerusakan,
menjadi tanggung jawab murtahin, karena ia yang menahan dan
menjaganya.
Rahin harus menanggung biaya makan, minum, upah
penggembala atas hewan ternak yang dijadikan sebagai marhun.
Murtahin berkewajiban atas biaya penjagaan marhun, seperti

penyewaan

kandang,

beserta

penjaga

yang

bertugas

menjaganya. Untuk itu, dalam akad rahn, tidak boleh disyaratkan


bahwa murtahin berhak mendapatkan upah atas aktivitas
penjagaan marhun yang dilakukan, karena itu sudah menjadi
kewajibannya.7

D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai


Dalam

pengambilan

manfaat

barang-barang

yang

digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya


jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian
tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini
termasuk

kepada

utang

yang

dapat

menarik

manfaat,

sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba8. Rasul bersabda:


"Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba"
(Riwayat Hants bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, Jika
barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan
atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka
penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda
gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang
dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu
ada padanya. Rasul bersabda:

7 Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar,


Jogjakarta, 2008, hlm.264-265
8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,
hlm 108-109

Binatang

tunggangan

boleh

ditunggangi

karena

pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil


susunya

untuk

diminum

karena

pembiayaannya

bila

digadaikan bagi orang yang memegang dan memi- numnya


wajib memberikan biaya".
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas
ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan
sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti
di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu
adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang
barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di
sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang
gadaian yang ada pada dirinya.

E. Gadai Pada Masa Rasulullah


Pegadaian pada masa rasulullah maupun pada masa
sahabat dan perkembangannya telah banyak dipraktekkan
oleh umat islam, hal ini didasari bahwa gadai itu adalah suatu
syariat karena di dalam al Quran disebutkan dalilnya.
Meskipun di dalam al Quran disebutkan dalam kondisi
tertentu, tetapi itu tidak membatasi orang untuk melakukan
gadai. Seperti yang telah dicontohkan rasul bahwa beliau
melakukan praktek gadai tidak dalam keadaan safar seperti
kondisi yang disebutkan al Quran. Mengapa demikian? Hal ini
dikarenakan pada esensinya gadai itu dilakukan pada saat
orang ingin bermuamalah tapi tidak secara tunai, maka
diberikanlah jaminan barang berharga oleh rahin kepada
murtahin

agar

menjadi

jaminan

bahwa

pinjaman

yang

dilakukan akan dilunasi dikemudian hari.


Jika diteliti banyak hadits-hadits yang mengindikasikan
bahwa telah banyak praktek gadai pada masa rasulullah,
sehingga rasul menunjukkan tata cara pengambilan manfaat
barang gadai melalui haditsnya.9Bahkan ada salah satu
sumber menyebutkan bahwa pada zaman jahiliyah, jika ar
rahin tidak bisa membayar utang atau pinjaman pada waktu
yang

telah

ditetapkan,

maka

barang

agunan

langsung

menjadi milik al murtahin. Lalu praktik jahiliyah ini dibatalkan


oleh islam. Rasulullah saw bersabda : Agunan (barang gadai)
itu

tidak

boleh

dihalangi

dari

pemiliknya

yang

telah

menggadaikannya, ia berhak atas kelebihan (manfaatnya) dan


wajib menanggung kerugian (penyusutannya) (Hr. as Syafii,
al Baihaki, ibn Hibban dan ad Daruqutni).

9 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,


hlm 108-109

Gadai menurut hukum Islam dikategorikan sebagai


perbuatan Jaiz atau boleh menurut ketentuan al Quran, as
Sunah, dan Ijma. Aktifitas gadai pada masa sekarang sudah
jauh berbeda dengan zaman rasulullah saw sebab gadai pada
saat ini tidak hanya bersifat social semata akan tetapi menjadi
lading bisnis bagi para pengusaha.
Landasan syariahnya adalah kisah di masa Rasulullah,
ketika seseorang menggadaikan kambingnya, saat itu rasul
ditanya bolehkan kambingnya diperah. Nabi mengizinkan
sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rahn adalah menahan barang yang dijadikan jaminan oleh
orang yang berutang dan barang itu mempunyai nilai /harga,
apabila pemilik barang ingin barangnya kembali maka ia
harus melunasi hutangnya terlebih dahulu.
Pada surah al Baqarah ayat 283 disebutkan bahwa
syariatnya apabila dalam perjalanan melakukan mualamalah
dengan tidak tunai dengan memberikan jaminan barang yang
kegiatan ini disebut rahn atau gadai, ternyata tidak hanya
terbatas pada saat perjalanan (safar/ musafir), akan tetapi
bisa dalam keadaan yang lain, seperti yang dicontohkan
Rasulullah yang pada waktu melakukan praktik rahn tidak
dalam keadaan bepergian. Kuncinya ya misalnya pinjam
meminjam dan masalah muamalah lain yang tidak tunai
sehingga diharapkan ada barang berharga yang jadi jaminan
agar yang memberi hutang percaya kepada orang yang
berhutang.
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak
diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja, jika kedua belah
pihak tidak saling mempercayai
Penggalan ayat 283 itu hanya anjuran saja (irsyad) kepada
orang beriman. Sebab lanjutan ayat tersebut:
Artinya: akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya).

B. Saran
Untuk para pembaca, dalam melakukan praktik gadai kita
sebaiknya melihat dulu bagaimana sistem yang dianut perum
pegadaian, karena sekarang pengadaian kebanyakan didirikan
oleh perusahaan yang mencari keuntungan, jangan sampai
kita terlibat dalam praktik riba, agar perlu juga diketahui
syarat-syarat rahn agar tidak menjadi akad yang fasid dan
ada yang merasa dirugikan.
Makalah ini tentunya masih sarat dengan kekurangan
karena penulis juga manusia biasa, untuk itu kritik dan saran
yang membangun penulis harapkan dari para pembaca, demi
kesempurnaan ilmu yang akan disampaikan selanjutnya.

Daftar Pustaka

Al Quranul Karim
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
2008.
SyafeI, Rachmat. Fiqih muamalah. Bandung. Pustaka Setia.
2000.
Jafri, Syafii. Fiqih Muamalah. Pekanbaru. Suska Press. 2008.
Djuwaini, Dimyaudin. Pengantar Fiqih Muamalah. Jogjakarta.
Pustaka Pelajar. 2008

Anda mungkin juga menyukai